“Maaf, Ma, Apa Risa boleh menemui Mama Yulia?” tanya Risa dengan ragu-ragu. Ia takut jika ada perjanjian antara ibu kandung dan ibu mertuanya yang tidak ia ketahui.
“Tentu saja boleh, kamu bahkan tidak perlu minta izin untuk bertemu sama dia. Pergilah! Mama akan suruh sopir untuk mengantar kamu ke sana,” kata Ibu Airin sambil mengelus pundak Risa.
“Tidak perlu, Ma. Risa bisa naik taksi,” tolak Risa, tapi Ibu Airin tetap memaksa.
“Kamu harus pergi sama sopir. Jika tidak, maka Mama tidak akan mengizinkan kamu pergi.” Ibu Airin mencubit gemas pipi menantunya.
“Baiklah, Ma. Terima kasih atas semua kebaikan Mama,” ucap Risa dengan senyum tulus.
“Tidak perlu berterima kasih, tapi maaf, ya, Mama tidak bisa ikut. Sampaikan salam Mama sama Mama kamu,” ujar Ibu Airin.
“Iya, Ma. Nanti Risa sampaikan,” jawab Risa, lalu ia pergi ke kamar untuk mengambil tasnya.
Risa pulang ke kontrakannya untuk yang pertama kali setelah ia menikah. Pernikahannya baru berjalan tiga hari. Seharusnya di usia pernikahan seperti itu, sepasang suami istri memupuk hubungan mereka agar lebih kokoh dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Tapi sayangnya Risa hanyalah istri di atas kertas.
Nasibnya tak seberuntung teman-temannya, tapi dia akan selalu berusaha menjalaninya dengan tabah dan akan selalu tersenyum meski ada luka menganga yang disembunyikan.
Mobil yang mengantar Risa telah berhenti di depan Gang Sempit. Kontrakan yang dulu ditempatinya tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Karena itu, Risa meminta sopir untuk berhenti di pinggir jalan.
Risa segera turun dari mobil, lalu meminta sopir untuk mengangkat barang-barang bawaannya yang ada di bagasi. Ibu Airin menitipkan banyak sekali barang untuk besannya, Risa pun tidak bisa menolak.
“Nyonya duluan saja. Biar saya yang bawa barang-barangnya,” ucap pak sopir.
“Tidak apa-apa, Pak. Biar saya bantu,” ujar Risa sambil mengangkat sebuah kardus yang lumayan berat. Ia sendiri tidak tahu apa yang ada di dalam benda tersebut.
Risa berjalan menyusuri lorong yang sedikit gelap. Karena jalan di Gang Sempit memang minim pencahayaan. Apalagi ini masih pagi, sinar matahari belum terik.
Pak Sopir mengikuti langkahnya menuju kontrakan kecil, tak lama kemudian mereka sudah sampai di tempat tujuan. Di sinilah tempat Risa dan ibunya berteduh dari teriknya matahari dan dinginnya guyuran air hujan.
“Assalamualaikum! Mama,” panggil Risa saat sampai di depan kontrakan.
“Wa'alaikum salam,” sahut seseorang dari dalam rumah. Namun, yang menjawab salam Risa bukan suara perempuan, melainkan suara seorang laki-laki.
“Ayah, di mana Mama?” tanya Risa sambil masuk ke dalam rumah untuk mencari keberadaan ibunya.
“Lagi di tempat tetangga. Kamu juga tahu kalau sekarang mama kamu hanya seorang buruh cuci keliling. Kamu yang sudah jadi orang kaya, kenapa tidak kamu bawa saja mama kamu ikut ke rumah mewah itu?” ujar laki-laki berandalan yang berpenampilan sangat berantakan.
Risa hanya diam dan tak ingin menjawab perkataan ayah tirinya. Ia sangat paham apa maksud perkataan pria itu. Sudah pasti laki-laki itu ingin memanfaatkan keluarga suami Risa, agar bisa dijadikan mesin ATM berjalan.
Sama seperti dulu saat Risa dan ibunya masih punya segalanya. Laki-laki itu mempunyai seribu cara untuk membujuk istrinya agar mau menuruti semua keinginannya.
Risa meletakkan barang-barang bawaannya ke dapur lalu membuatkan minuman untuk pak sopir yang biasa dipanggil Mang Karim.
“Silahkan diminum, Pak!” ujar Risa seraya meletakkan segelas minuman di atas meja.
“Terima kasih, Nyonya,” ucap Mang Karim.
“Risa, kamu ada di sini? Kenapa nggak kasih kabar kalau mau ke sini,” ujar seseorang yang baru saja masuk rumah.
“Iya, Ma. Risa kangen sama Mama,” jawab Risa sambil berjalan ke arah ibunya, lalu memeluk erat wanita itu untuk melepaskan rindu dan semua beban pikirannya.
“Sebentar, ya. Mama ke belakang dulu,” kata Bu Yulia sambil melerai pelukan Risa, saat ini di tangannya ada sebuah baskom yang selalu dibawa saat ia pergi mencuci pakaian di rumah tetangga.
“Iya, Ma.” Risa hanya bisa menarik napas panjang melihat sikap dingin ibunya, lalu ia pun mengikuti Bu Yulia ke dapur.
“Risa, bagaimana dengan pernikahanmu sama Adi?” tanya Bu Yulia.
Risa terdiam sejenak, ia tidak menyangka ibunya akan mengajukan pertanyaan seperti itu. Lantas, apa yang harus ia katakan? Apakah ia harus jujur dan menceritakan semuanya? Tentu saja tidak. Risa tidak ingin membuat ibunya sampai kepikiran jika sang ibu sampai mengetahui apa yang dialaminya setelah menikah.
“Baik, Ma.” Hanya jawaban itu yang bisa Risa berikan pada ibunya.
“Kamu harus bertahan dengan keadaan apapun, Risa. Apapun yang terjadi dalam rumah tanggamu nanti, kamu harus tetap menjadi istri Adi Chandra Winata. Cuma itu jalan satu-satunya agar kehidupan kita bisa kembali seperti dulu,” kata Bu Yulia dengan santai.
Risa tersentak kaget mendengar ucapan sang ibu. Hatinya semakin sakit dan hancur setelah mendengar permintaan ibunya. Apa tidak ada sedikitpun rasa bersalah di hati wanita itu setelah ia memaksa putrinya menikah dengan pria asing? Akankah ia merasa iba jika ia mengetahui apa yang dialami putrinya setelah menikah dengan laki-laki pilihannya itu?
“Ma, Mama harus tahu kalau laki-laki itu sama sekali tidak mencintai Risa. Dia bahkan tidak sudi menatap wajah putri Mama ini,” ujar Risa mencoba untuk jujur.
“Cinta itu akan tumbuh seiring dengan waktu yang kalian habiskan bersama. Kuncinya hanya satu, kamu harus sabar.” Bu Yulia menatap Risa sekilas, lalu kembali berkutat dengan pekerjaannya.
Risa menggelengkan kepala, tak percaya dengan semua yang diucapkan oleh wanita yang telah melahirkannya.
“Besok kami akan pindah ke apartemen. Adi sudah mengatakan itu pada kedua orang tuanya tadi pagi,” ujar Risa sambil berjalan ke arah lemari pendingin.
“Baguslah. Kalian harus terbiasa hidup mandiri. Adi laki-laki yang bertanggung jawab,” sahut Bu Yulia.
Risa lagi-lagi menggelengkan kepala sambil menarik napas panjang. Ia hanya berharap semoga apa yang dikatakan ibunya bisa menjadi sebuah kenyataan.
Meskipun yang terjadi adalah sebaliknya, tapi Risa bisa apa? Ibu kandungnya sendiri bahkan sudah terang-terangan meminta kepadanya supaya dia selalu bertahan dengan keadaan apapun.
Risa meninggalkan ibunya di dapur, lalu masuk ke kamar. Ia duduk di atas tempat tidur sambil meraih sebuah bingkai foto di dalam laci meja.
“Pa, apa kabar? Risa rindu sama Papa. Semoga Papa tenang, ya, di sana.” Air mata Risa menetes begitu saja saat menatap potret almarhum ayahnya.
Andai saja sang ayah masih ada. Mungkin kehidupan Risa tidak akan seperti saat ini, tapi semua sudah menjadi kehendak takdir. Risa harus bisa menerima dan menjalaninya dengan ikhlas meski terasa sangat menyakitkan.
Setelah puas menumpahkan kesedihannya, Risa segera beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi. Lima menit kemudian ia keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Risa mencuci muka agar tak terlihat seperti habis menangis, ia tidak ingin terlihat sedih di depan ibunya. Risa keluar kamar lalu pergi ke dapur untuk menemui ibunya, tapi seseorang yang dicarinya tidak ada di sana. “Mama di mana?” gumamnya.“Risa, ada apa?” Bu Yulia tiba-tiba muncul di belakang Risa.“Mama, bikin kaget aja. Risa mau pamit pulang, Ma. Risa mau beres-beres pakaian yang akan dibawa ke apartemen.” Risa mengambil segelas air lalu menenggaknya hingga habis.“Ya sudah, kamu hati-hati. Ingat, jangan mengeluh apapun. Itu demi masa depan kamu. Bersabarlah,” ucap Bu Yulia sambil memeluk putrinya dengan erat.Risa mengangguk seraya mengulas senyum. “Iya, Ma. Risa pulang dulu, ya. Mama harus jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri. Risa akan selalu ada untuk Mama,” ujar Risa seray
Risa sedikit terkejut mendengar suara seseorang yang tiba-tiba memanggilnya, lalu ia menoleh ke arah orang itu sambil mengulas senyum. “Mama,” ucapnya.Ibu Airin menghampiri menantunya saat melihat wanita itu tengah sibuk menyajikan makanan ke dalam piring.“Risa, kamu ngapain pagi-pagi sudah ada di dapur?” tanya Ibu Airin. “Risa buatkan ini untuk Mama dan Papa, semoga saja makanan hasil masakan Risa cocok di lidah Mama dan Papa.” Risa menyerahkan piring yang berisi makanan kepada ibu mertuanya. “Wah … sepertinya enak. Ayo kita makan sama-sama! Mama ingin makan sepiring berdua sama kamu,” ujar Ibu Airin dengan semangat. “Papa nggak bisa ikut sarapan karena dia nggak ada di rumah,” lanjutnya.Risa terharu mendengar ajakan ibu mertuanya. Ia sangat bersyukur bisa mendapatkan ibu mertua yang sangat baik seperti Ibu Airin. “Tapi, Ma.” Risa berusaha menolak karena merasa sungkan. Ibu mertuanya itu adalah seorang nyonya besar, ia merasa tidak pantas makan sepiring dengan wanita terhormat
Setelah merapikan semua barang-barang di kamar Risa, Mia melanjutkan pekerjaan di kamarnya sendiri. Ia juga menata baju-bajunya ke dalam lemari. Setelah selesai berbenah, mereka berdua pergi ke dapur untuk melihat apa yang bisa dimasak untuk makan siang.“Nyonya, kulkasnya masih kosong. Kita pesan makanan saja, ya,” kata Mia mengusulkan.“Nggak usah, Mbak. Bagaimana kalau kita beli bahan mentahnya saja? Masih lama juga waktu makan siang. Nanti kalau Pak Adi pulang tidak ada makanan, ‘kan, nggak enak,” ucap Risa. Ia sengaja memanggil Adi dengan sebutan ‘pak’ di depan asisten rumah tangga supaya terdengar lebih sopan.“Baiklah, Nyonya Muda. Saya akan minta Pak Dodi pergi berbelanja ke supermarket,” ujar Mia.“Tidak usah, Mbak. Supermarketnya cuma di bawah, ‘kan? Bar saya saja yang pergi,” pungkas Risa sambil menyambar tas di atas tempat tidur.“Jangan, Nyonya Muda. Anda tidak boleh melakukan apapun, itu perintah Nyonya Besar.” Mia langsung menahan tangan Risa.“Mbak Mia, di sini tidak
Seorang suami yang seharusnya menjaga kehormatan dan harga diri seorang istri di depan laki-laki lain, tetapi Adi justru melakukan hal sebaliknya. Ia sendiri malah membiarkan laki-laki lain menawar istrinya seperti barang dagangan dan dengan mudahnya ia memberikan istrinya pada laki-laki itu.Risa terus menangis di dalam kamar sambil memeluk foto almarhum ayahnya, hanya dengan cara itu yang bisa membuat perasaannya sedikit lebih tenang saat menghadapi masalah. Pada saat mengingat almarhum ayahnya, Risa selalu mencoba untuk tetap bersabar dan menerima kenyataan bahwa ia harus kuat menghadapi semuanya.“Papa, berikan hatimu padaku agar aku bisa belajar bagaimana Papa menghadapi masalah tanpa sedikitpun mengeluh.” Risa mengelus foto almarhum ayahnya, kemudian diletakkannya kembali ke dalam laci meja.Ia beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi, Risa langsung mengerjakan shalat maghrib. Ternyata sudah cukup lama ia mengurung diri
Bola mata Risa membulat sempurna begitu melihat siapa yang sedang bersama Adi di sofa. Wanita yang tak sengaja ditabraknya saat di mal beberapa yang lalu, sekarang ada di apartemen suaminya. Risa menatap Adi untuk menunggu penjelasannya, tetapi laki-laki itu hanya diam seribu bahasa. Ia tidak mengatakan apapun pada Risa atas apa yang diperbuatnya saat ini dan siapa wanita yang sedang bersamanya itu.“Kenapa wanita sialan ini ada di apartemen kamu, Beb?” tanya wanita itu dengan mengarahkan telunjuknya pada Risa. Ia bergelayut manja di lengan Adi.“Kamu kenal sama dia? Bagaimana bisa?” Adi balik bertanya pada wanita itu.“Iya, Beb. Tadi dia yang menabrakku di mal,” ujar wanita itu dengan nada yang dibuat manja. Sebagai sesama perempuan, Risa bahkan merasa malu melihat tingkahnya yang seperti itu.“Kamu pergi keluar? Sama siapa?” teriak Adi dengan emosi sambil menatap Risa dengan tajam.“Maaf, Tuan Muda. Saya yang mengajak Nyonya Mu ….” Mia belum menyelesaikan ucapannya, tetapi Adi sud
Seminggu telah berlalu, kini usia pernikahan Risa dan Adi sudah memasuki minggu kedua. Tidak ada yang berubah dalam kisah rumah tangga mereka, semua masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Mereka berdua memang tinggal satu atap, tetapi dibatasi oleh dinding yang sangat kokoh. Risa bahkan tidak diizinkan menginjak kakinya ke dalam kamar pria itu.Hari ini adalah awal pekan, Adi telah pergi ke kantor pagi-pagi sekali. Risa juga sudah memutuskan untuk kembali mengajar meskipun sebenarnya ia masih diberikan waktu cuti oleh kepala sekolah, tetapi ia merasa bosan dengan hanya berdiam diri di apartemen, makanya ia memutuskan untuk kembali mengajar. Risa juga sudah mengatakan hal itu kepada Adi, meskipun pria itu tidak memberikan tanggapan apapun, tetapi ia juga tidak melarang istrinya. “Mbak Mia, aku berangkat kerja, ya. Mbak nggak apa-apa kalau saya tinggal sendiri?” tanya Risa, ia merasa tidak enak meninggalkan Mia sendirian di apartemen.“Iya, Nyonya Muda, tidak apa-apa. Nyonya berangk
Pelajaran pun dimulai, Risa melakukan tugasnya seperti biasa. Ia bernyanyi dan diikuti oleh anak-anak. Itulah kegiatan para murid sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), mereka belajar sambil bermain. Suasana di dalam kelas ricuh dengan suara nyanyian dan teriakan. Inilah alasan terbesar Risa ingin menjadi tenaga pendidik, ia ikut bahagia saat melihat anak-anak muridnya tertawa lepas seperti tanpa beban. Keceriaan mereka adalah semangat bagi Risa. “Anak-anak Bunda, sekarang istirahat dulu, ya. Bel sudah berbunyi,” ucap Risa. “Baik, Bunda!” sahut anak-anak secara bersamaan. “Sekarang cuci tangan dulu, setelah itu kita makan. Anak-anak Bunda bawa bekal semuanya, ‘kan?” tanya Risa. “Bawa dong, Bunda!” jawab anak-anak, mereka bergantian pergi ke wastafel untuk mencuci tangan. Setelah selesai mencuci tangan mereka pun mulai makan bersama. Semua anak membawa bekal, kecuali satu orang, yaitu Alif. Anak murid laki-laki yang sangat pendiam, tidak banyak bicara dan susah berinteraksi d
Kurang lebih selama dua puluh menit berada di dalam lift yang tak berfungsi, akhirnya Indri dan Risa berhasil dikeluarkan oleh tim keamanan. Risa ditemukan dalam keadaan sudah tidak sadarkan diri, sementara Indri menangis tergugu di samping tubuh gurunya.“Bunda, bangun! Bunda kenapa? Indri takut, Bunda,” ucap Indri. Anak itu terus mengguncang tubuh Risa untuk membangunkannya.Tim keamanan dan Pak Dodi masuk ke dalam lift untuk membawa Risa dan Indri keluar dari sana. Namun, di saat Pak Dodi bersiap akan mengangkat tubuh Risa, tiba-tiba seseorang menghentikannya.“Tunggu!” ucap orang itu. Kemudian ia mengambil alih tubuh Risa, menggendongnya keluar dari lift.“Papa,” panggil Indri seraya berlari ke arah laki-laki yang sedang memangku tubuh Risa.“Hei, Princess Papa. Kamu tidak apa-apa, ‘kan?” tanya orang itu dengan lembut.“Iya, Pa. Indri tidak apa-apa, tapi Bunda Risa pingsan.” Indri menundukkan wajahnya, merasa bersalah atas kejadian yang menimpa gurunya..“Tidak apa-apa, dia akan