Share

5. Merindukan Sosok Ayah

“Maaf, Ma, Apa Risa boleh menemui Mama Yulia?” tanya Risa dengan ragu-ragu. Ia takut jika ada perjanjian antara ibu kandung dan ibu mertuanya yang tidak ia ketahui.

“Tentu saja boleh, kamu bahkan tidak perlu minta izin untuk bertemu sama dia. Pergilah! Mama akan suruh sopir untuk mengantar kamu ke sana,” kata Ibu Airin sambil mengelus pundak Risa.

“Tidak perlu, Ma. Risa bisa naik taksi,” tolak Risa, tapi Ibu Airin tetap memaksa.

“Kamu harus pergi sama sopir. Jika tidak, maka Mama tidak akan mengizinkan kamu pergi.” Ibu Airin mencubit gemas pipi menantunya. 

“Baiklah, Ma. Terima kasih atas semua kebaikan Mama,” ucap Risa dengan senyum tulus. 

“Tidak perlu berterima kasih, tapi maaf, ya, Mama tidak bisa ikut. Sampaikan salam Mama sama Mama kamu,” ujar Ibu Airin. 

“Iya, Ma. Nanti Risa sampaikan,” jawab Risa, lalu ia pergi ke kamar untuk mengambil tasnya.

Risa pulang ke kontrakannya untuk yang pertama kali setelah ia menikah. Pernikahannya baru berjalan tiga hari. Seharusnya di usia pernikahan seperti itu, sepasang suami istri memupuk hubungan mereka agar lebih kokoh dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Tapi sayangnya Risa hanyalah istri di atas kertas. 

Nasibnya tak seberuntung teman-temannya, tapi dia akan selalu berusaha menjalaninya dengan tabah dan akan selalu tersenyum meski ada luka menganga yang disembunyikan.

Mobil yang mengantar Risa telah berhenti di depan Gang Sempit. Kontrakan yang dulu ditempatinya tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Karena itu, Risa meminta sopir untuk berhenti di pinggir jalan. 

Risa segera turun dari mobil, lalu meminta sopir untuk mengangkat barang-barang bawaannya yang ada di bagasi. Ibu Airin menitipkan banyak sekali barang untuk besannya, Risa pun tidak bisa menolak.

“Nyonya duluan saja. Biar saya yang bawa barang-barangnya,” ucap pak sopir. 

“Tidak apa-apa, Pak. Biar saya bantu,” ujar Risa sambil mengangkat sebuah kardus yang lumayan berat. Ia sendiri tidak tahu apa yang ada di dalam benda tersebut.

Risa berjalan menyusuri lorong yang sedikit gelap. Karena jalan di Gang Sempit memang minim pencahayaan. Apalagi ini masih pagi, sinar matahari belum terik. 

Pak Sopir mengikuti langkahnya menuju kontrakan kecil, tak lama kemudian mereka sudah sampai di tempat tujuan. Di sinilah tempat Risa dan ibunya berteduh dari teriknya matahari dan dinginnya guyuran air hujan.

“Assalamualaikum! Mama,” panggil Risa saat sampai di depan kontrakan. 

“Wa'alaikum salam,” sahut seseorang dari dalam rumah. Namun, yang menjawab salam Risa bukan suara perempuan, melainkan suara seorang laki-laki.

“Ayah, di mana Mama?” tanya Risa sambil masuk ke dalam rumah untuk mencari keberadaan ibunya.

“Lagi di tempat tetangga. Kamu juga tahu kalau sekarang mama kamu hanya seorang buruh cuci keliling. Kamu yang sudah jadi orang kaya, kenapa tidak kamu bawa saja mama kamu ikut ke rumah mewah itu?” ujar laki-laki berandalan yang berpenampilan sangat berantakan. 

Risa hanya diam dan tak ingin menjawab perkataan ayah tirinya. Ia sangat paham apa maksud perkataan pria itu. Sudah pasti laki-laki itu ingin memanfaatkan keluarga suami Risa, agar bisa dijadikan mesin ATM berjalan. 

Sama seperti dulu saat Risa dan ibunya masih punya segalanya. Laki-laki itu mempunyai seribu cara untuk membujuk istrinya agar mau menuruti semua keinginannya.

Risa meletakkan barang-barang bawaannya ke dapur lalu membuatkan minuman untuk pak sopir yang biasa dipanggil Mang Karim.

“Silahkan diminum, Pak!” ujar Risa seraya meletakkan segelas minuman di atas meja. 

“Terima kasih, Nyonya,” ucap Mang Karim.

“Risa, kamu ada di sini? Kenapa nggak kasih kabar kalau mau ke sini,” ujar seseorang yang baru saja masuk rumah.

“Iya, Ma. Risa kangen sama Mama,”  jawab Risa sambil berjalan ke arah ibunya, lalu memeluk erat wanita itu untuk melepaskan rindu dan semua beban pikirannya.

“Sebentar, ya. Mama ke belakang dulu,” kata Bu Yulia sambil melerai pelukan Risa, saat ini di tangannya ada sebuah baskom yang selalu dibawa saat ia pergi mencuci pakaian di rumah tetangga. 

“Iya, Ma.” Risa hanya bisa menarik napas panjang melihat sikap dingin ibunya, lalu ia pun mengikuti Bu Yulia ke dapur.

“Risa, bagaimana dengan pernikahanmu sama Adi?” tanya Bu Yulia. 

Risa terdiam sejenak, ia tidak menyangka ibunya akan mengajukan pertanyaan seperti itu. Lantas, apa yang harus ia katakan? Apakah ia harus jujur dan menceritakan semuanya? Tentu saja tidak. Risa tidak ingin membuat ibunya sampai kepikiran jika sang ibu sampai mengetahui apa yang dialaminya setelah menikah.

“Baik, Ma.” Hanya jawaban itu yang bisa Risa berikan pada ibunya.

“Kamu harus bertahan dengan keadaan apapun, Risa. Apapun yang terjadi dalam rumah tanggamu nanti, kamu harus tetap menjadi istri Adi Chandra Winata. Cuma itu jalan satu-satunya agar kehidupan kita bisa kembali seperti dulu,” kata Bu Yulia dengan santai. 

Risa tersentak kaget mendengar ucapan sang ibu. Hatinya semakin sakit dan hancur setelah mendengar permintaan ibunya. Apa tidak ada sedikitpun rasa bersalah di hati wanita itu setelah ia memaksa putrinya menikah dengan pria asing? Akankah ia merasa iba jika ia mengetahui apa yang dialami putrinya setelah menikah dengan laki-laki pilihannya itu? 

“Ma, Mama harus tahu kalau laki-laki itu sama sekali tidak mencintai Risa. Dia bahkan tidak sudi menatap wajah putri Mama ini,” ujar Risa mencoba untuk jujur.

“Cinta itu akan tumbuh seiring dengan waktu yang kalian habiskan bersama. Kuncinya hanya satu, kamu harus sabar.” Bu Yulia menatap Risa sekilas, lalu kembali berkutat dengan pekerjaannya.

Risa menggelengkan kepala, tak percaya dengan semua yang diucapkan oleh wanita yang telah melahirkannya. 

“Besok kami akan pindah ke apartemen. Adi sudah mengatakan itu pada kedua orang tuanya tadi pagi,” ujar Risa sambil berjalan ke arah lemari pendingin.

“Baguslah. Kalian harus terbiasa hidup mandiri. Adi laki-laki yang bertanggung jawab,” sahut Bu Yulia.

Risa lagi-lagi menggelengkan kepala sambil menarik napas panjang. Ia hanya berharap semoga apa yang dikatakan ibunya bisa menjadi sebuah kenyataan. 

Meskipun yang terjadi adalah sebaliknya, tapi Risa bisa apa? Ibu kandungnya sendiri bahkan sudah terang-terangan meminta kepadanya supaya dia selalu bertahan dengan keadaan apapun.

Risa meninggalkan ibunya di dapur, lalu masuk ke kamar. Ia duduk di atas tempat tidur sambil meraih sebuah bingkai foto di dalam laci meja.

“Pa, apa kabar? Risa rindu sama Papa. Semoga Papa tenang, ya, di sana.” Air mata Risa menetes begitu saja saat menatap potret almarhum ayahnya.

Andai saja sang ayah masih ada. Mungkin kehidupan Risa tidak akan seperti saat ini, tapi semua sudah menjadi kehendak takdir. Risa harus bisa menerima dan menjalaninya dengan ikhlas meski terasa sangat menyakitkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status