Share

4. Naluri Seorang Ibu

Suasana di meja makan menjadi hening seketika. Mereka bertiga pun melanjutkan sarapan tanpa Bu Airin. Pak Arya juga tidak menghabiskan makanannya, beliau segera menyusul istrinya ke kamar. 

Di meja makan saat ini hanya tinggal sepasang suami istri yang tampak saling diam satu sama lain. Setelah selesai sarapan, Adi langsung pergi ke kantor. 

Risa ikut mengantar sampai ke teras depan sambil membawa tas kerja suaminya. Ada rasa aneh yang dirasakan wanita itu saat ini, ia merasa menjadi istri sesungguhnya hanya karena perubahan sikap Adi. 

Pagi ini sikap Adi memang berbeda dari tadi malam. Pria itu mau menggunakan pakaian yang Risa siapkan, sekarang ia juga mengizinkan istrinya untuk ikut mengantar sampai ke mobil. Hal sekecil itu saja sudah membuat Risa bahagia. Namun, sepertinya itu hanya berlaku di depan kedua orang tuanya.

“Sini tas-nya!” pinta Adi dengan nada ketus, ia juga mengambil paksa tas kerjanya yang ada di tangan Risa.

“Maaf,” ucap Risa dengan wajah tertunduk. Baru saja merasa senang karena sikap Adi yang terkesan lembut dan bisa menghargainya, sekarang perasaannya kembali dihancurkan lagi.

“Tidak usah sok baik! Aku nggak butuh,”  kata Adi sambil masuk ke dalam mobil, lalu melempar tasnya di kursi samping kemudi.

Risa berniat mencium tangan Adi sebagai bentuk bakti seorang istri terhadap suami, tapi melihat sikap sang suami yang kembali kasar, Risa langsung mengurungkan niatnya. Ia tidak mau membuat suasana hati suaminya tambah buruk lagi. 

Adi menyalakan mesin mobil, lalu melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan istrinya yang masih melambaikan tangan padanya.

Setelah mobil Adi tak terlihat lagi, Risa kembali masuk ke dalam rumah. Wanita itu berjalan dengan langkah gontai menaiki tangga menuju kamarnya. Namun, baru satu langkah kakinya menginjak anak tangga, ia dikagetkan dengan teriakan seseorang dari depan rumah. Suara itu terdengar sangat familiar di telinganya.

“Bunda Risa …,” teriak seorang gadis kecil dari arah pintu depan.

Risa langsung bergegas menghampiri anak kecil itu. “Indri, kamu kenapa ke sini, Sayang? Nggak sekolah, hm?” Risa berjongkok menatap wajah cantik gadis kecil itu.

“Maafkan saya, Bun. Indri nggak mau sekolah jika tidak belajar sama Bunda Risa. Kepala sekolah sampai kebingungan menghadapi sikap Indri pagi ini. Makanya saya memutuskan meminta alamat rumah Bunda Risa sama Bu Yulia,” kata orang tuanya Indri.

“Loh, kok gitu? Sayang … kenapa nggak mau sekolah? Indri, ‘kan, anak pintar. Jadi harus nurut sama guru dan juga sama mamanya,” ujar Risa sambil mengelus surai panjang gadis mungil nan cantik.

“Nggak mau! Indri maunya belajar sama Bunda Risa.”  Indri berbicara sambil menangis tersedu-sedu.

Risa langsung membawa anak itu ke pelukannya, lalu mengajaknya untuk pergi ke taman yang ada di samping rumah. Indri sangat senang, senyum ceria kembali menghiasi wajah cantik gadis kecil itu. Indri  memang sangat dekat dengan Risa melebihi murid-murid yang lain. 

Dulunya, anak itu adalah seorang murid yang paling cengeng dan pemalu di kelasnya, makanya ia sangat susah dekat dengan orang lain. Bahkan teman-temannya kurang mau berteman sama dia, tapi sejak bertemu dengan Risa, ia menjadi pribadi yang lebih ceria dan mudah berbaur dengan teman-temannya. 

“Bunda Risa kenapa tidak datang ke sekolah?” tanya Indri seraya menatap wajah Risa dengan lekat. Mereka saat ini sedang duduk di kursi taman menghadap ke arah kolam renang. 

“Bunda baru pindah rumah, Sayang. Bunda perlu waktu untuk untuk membereskan barang-barang yang Bunda bawa dari rumah lama, tapi kamu tenang saja. Sebentar lagi Bunda akan kembali mengajar. Itu berarti kita bisa bertemu setiap hari,” ujar Risa sambil tersenyum.

“Seriously?” tanya Indri dengan mata berbinar bahagia. 

“Yes!” jawab Risa dengan semangat. Sehingga membuat gadis kecil itu merasa sangat senang dengan kabar tersebut. 

“Janji, ya, Bunda.” Indri menautkan jari kelingkingnya pada jari Risa. 

“Iya. Bunda janji,” jawab Risa sembari mengulas senyum.

“Sudah, ‘kan? Sekarang kita pulang, oke? Tadi janji kalau sudah ketemu Bunda Risa, Indri akan sekolah, makan dan tidur siang juga. Sekarang kita ke sekolah dulu, ya?” bujuk mamanya Indri.

“Iya, baiklah.” Indri akhirnya mau menuruti keinginan orang tuanya. “Indri ke sekolah dulu, ya, Bunda. Indri sayang Bunda Risa,” ucapnya sambil memeluk Risa.

“Iya, Sayang. Sekolah yang rajin, ya, biar jadi anak pintar.” Risa menggendong gadis kecil itu, lalu mengantarnya sampai ke mobil.

“Terima kasih, Bunda. Permisi,” ucap mamanya Indri sambil melambaikan tangan.

“Sama-sama, Bu.” Risa tersenyum dan melambaikan tangan.

Setelah Indri dan orang tuanya pergi, Risa kembali masuk ke dalam rumah. Ibu Airin langsung menghampirinya. Wanita itu pun tersenyum lalu memeluk menantunya. Risa merasa bingung dengan sikap sang ibu mertua yang tiba-tiba saja memeluknya.

“Risa, Mama beruntung sekali memiliki menantu seperti kamu,” ucap Ibu Airin tanpa melepas pelukannya pada Risa.

“Memangnya kenapa, Ma?” tanya Risa dengan dahi berkerut. Karena ia merasa tidak melakukan apapun untuk ibu mertuanya.

“Mama sudah melihat semuanya, Sayang. Anak kecil itu hatinya masih suci dan polos. Dia tidak mudah menyayangi seseorang jika orang itu tidak memiliki hati yang tulus,” kata Bu Airin sambil menatap wajah Risa dengan lekat.

Risa yang ditatap seperti itu merasa tidak nyaman dan salah tingkah. Ia tidak tahu ternyata ibu mertuanya berbuat seperti itu karena beliau sudah melihat semua yang ia lakukan pada Indri. 

Risa melakukan apa yang biasa dia lakukan di sekolah, dia memperlakukan semua muridnya seperti anaknya sendiri. Meskipun pada kenyataannya dia belum punya anak, tapi rasa sayang Risa terhadap anak kecil benar-benar tulus dari hati.

“Namanya Indri, Ma. Dia murid Risa di sekolah. Anak itu memang sangat dekat dengan Risa, makanya saat Risa tidak datang, dia pun tidak mau sekolah,” tutur Risa dengan lembut.

“Iya, Mama juga tahu itu. Oh, ya. Apa kamu akan tetap menjadi seorang guru setelah menikah?” tanya Ibu Airin.

Risa menghela napas panjang mendengar pertanyaan yang diajukan oleh ibu mertuanya. Meskipun menjadi seorang guru adalah cita-citanya sejak kecil, tapi Risa akan merelakan itu semua jika seandainya Adi selaku suaminya merasa keberatan dengan pekerjaanya.

“Pekerjaan adalah tanggung jawabku, tapi seorang istri tugasnya adalah berbakti kepada suami. Risa akan tetap bekerja jika suami Risa mengizinkan, tapi jika dia tidak mengizinkan, maka Risa akan berhenti dari pekerjaan itu, Ma.” Risa berbicara dengan nada suara yang begitu lembut dan tenang. Sehingga membuat Ibu Airin semakin kagum pada sosok wanita itu.

“Kamu sungguh baik hati, Sayang. Semoga Adi segera membuka matanya supaya dia bisa melihat kebaikan dan ketulusan hatimu. Mama tahu kalau kamu menyembunyikan sesuatu dari Mama,” kata Ibu Airin sambil mengelus rambut Risa.

Perkataan Ibu Airin sontak saja membuat Risa tersenyum getir. Batin seorang ibu memang sangat peka. Meskipun Risa hanya sebagai menantu di rumah besar itu, tetapi Ibu Airin memperlakukan dia seperti putri kandungnya sendiri. 

Risa sangat bersyukur bisa memiliki ibu mertua yang baik seperti Ibu Airin, ia merasa punya dua orang ibu. Walaupun ibu kandungnya telah membuat dia berada dalam posisi sekarang, tapi rasa sayang dan hormatnya pada wanita yang telah melahirkannya tidak akan berubah. Karena saat ini hanya Bu Yulia yang ia punya, Risa sangat menyayangi ibunya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status