Suasana di meja makan menjadi hening seketika. Mereka bertiga pun melanjutkan sarapan tanpa Bu Airin. Pak Arya juga tidak menghabiskan makanannya, beliau segera menyusul istrinya ke kamar.
Di meja makan saat ini hanya tinggal sepasang suami istri yang tampak saling diam satu sama lain. Setelah selesai sarapan, Adi langsung pergi ke kantor.
Risa ikut mengantar sampai ke teras depan sambil membawa tas kerja suaminya. Ada rasa aneh yang dirasakan wanita itu saat ini, ia merasa menjadi istri sesungguhnya hanya karena perubahan sikap Adi.
Pagi ini sikap Adi memang berbeda dari tadi malam. Pria itu mau menggunakan pakaian yang Risa siapkan, sekarang ia juga mengizinkan istrinya untuk ikut mengantar sampai ke mobil. Hal sekecil itu saja sudah membuat Risa bahagia. Namun, sepertinya itu hanya berlaku di depan kedua orang tuanya.
“Sini tas-nya!” pinta Adi dengan nada ketus, ia juga mengambil paksa tas kerjanya yang ada di tangan Risa.
“Maaf,” ucap Risa dengan wajah tertunduk. Baru saja merasa senang karena sikap Adi yang terkesan lembut dan bisa menghargainya, sekarang perasaannya kembali dihancurkan lagi.
“Tidak usah sok baik! Aku nggak butuh,” kata Adi sambil masuk ke dalam mobil, lalu melempar tasnya di kursi samping kemudi.
Risa berniat mencium tangan Adi sebagai bentuk bakti seorang istri terhadap suami, tapi melihat sikap sang suami yang kembali kasar, Risa langsung mengurungkan niatnya. Ia tidak mau membuat suasana hati suaminya tambah buruk lagi.
Adi menyalakan mesin mobil, lalu melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan istrinya yang masih melambaikan tangan padanya.
Setelah mobil Adi tak terlihat lagi, Risa kembali masuk ke dalam rumah. Wanita itu berjalan dengan langkah gontai menaiki tangga menuju kamarnya. Namun, baru satu langkah kakinya menginjak anak tangga, ia dikagetkan dengan teriakan seseorang dari depan rumah. Suara itu terdengar sangat familiar di telinganya.
“Bunda Risa …,” teriak seorang gadis kecil dari arah pintu depan.
Risa langsung bergegas menghampiri anak kecil itu. “Indri, kamu kenapa ke sini, Sayang? Nggak sekolah, hm?” Risa berjongkok menatap wajah cantik gadis kecil itu.
“Maafkan saya, Bun. Indri nggak mau sekolah jika tidak belajar sama Bunda Risa. Kepala sekolah sampai kebingungan menghadapi sikap Indri pagi ini. Makanya saya memutuskan meminta alamat rumah Bunda Risa sama Bu Yulia,” kata orang tuanya Indri.
“Loh, kok gitu? Sayang … kenapa nggak mau sekolah? Indri, ‘kan, anak pintar. Jadi harus nurut sama guru dan juga sama mamanya,” ujar Risa sambil mengelus surai panjang gadis mungil nan cantik.
“Nggak mau! Indri maunya belajar sama Bunda Risa.” Indri berbicara sambil menangis tersedu-sedu.
Risa langsung membawa anak itu ke pelukannya, lalu mengajaknya untuk pergi ke taman yang ada di samping rumah. Indri sangat senang, senyum ceria kembali menghiasi wajah cantik gadis kecil itu. Indri memang sangat dekat dengan Risa melebihi murid-murid yang lain.
Dulunya, anak itu adalah seorang murid yang paling cengeng dan pemalu di kelasnya, makanya ia sangat susah dekat dengan orang lain. Bahkan teman-temannya kurang mau berteman sama dia, tapi sejak bertemu dengan Risa, ia menjadi pribadi yang lebih ceria dan mudah berbaur dengan teman-temannya.
“Bunda Risa kenapa tidak datang ke sekolah?” tanya Indri seraya menatap wajah Risa dengan lekat. Mereka saat ini sedang duduk di kursi taman menghadap ke arah kolam renang.
“Bunda baru pindah rumah, Sayang. Bunda perlu waktu untuk untuk membereskan barang-barang yang Bunda bawa dari rumah lama, tapi kamu tenang saja. Sebentar lagi Bunda akan kembali mengajar. Itu berarti kita bisa bertemu setiap hari,” ujar Risa sambil tersenyum.
“Seriously?” tanya Indri dengan mata berbinar bahagia.
“Yes!” jawab Risa dengan semangat. Sehingga membuat gadis kecil itu merasa sangat senang dengan kabar tersebut.
“Janji, ya, Bunda.” Indri menautkan jari kelingkingnya pada jari Risa.
“Iya. Bunda janji,” jawab Risa sembari mengulas senyum.
“Sudah, ‘kan? Sekarang kita pulang, oke? Tadi janji kalau sudah ketemu Bunda Risa, Indri akan sekolah, makan dan tidur siang juga. Sekarang kita ke sekolah dulu, ya?” bujuk mamanya Indri.
“Iya, baiklah.” Indri akhirnya mau menuruti keinginan orang tuanya. “Indri ke sekolah dulu, ya, Bunda. Indri sayang Bunda Risa,” ucapnya sambil memeluk Risa.
“Iya, Sayang. Sekolah yang rajin, ya, biar jadi anak pintar.” Risa menggendong gadis kecil itu, lalu mengantarnya sampai ke mobil.
“Terima kasih, Bunda. Permisi,” ucap mamanya Indri sambil melambaikan tangan.
“Sama-sama, Bu.” Risa tersenyum dan melambaikan tangan.
Setelah Indri dan orang tuanya pergi, Risa kembali masuk ke dalam rumah. Ibu Airin langsung menghampirinya. Wanita itu pun tersenyum lalu memeluk menantunya. Risa merasa bingung dengan sikap sang ibu mertua yang tiba-tiba saja memeluknya.
“Risa, Mama beruntung sekali memiliki menantu seperti kamu,” ucap Ibu Airin tanpa melepas pelukannya pada Risa.
“Memangnya kenapa, Ma?” tanya Risa dengan dahi berkerut. Karena ia merasa tidak melakukan apapun untuk ibu mertuanya.
“Mama sudah melihat semuanya, Sayang. Anak kecil itu hatinya masih suci dan polos. Dia tidak mudah menyayangi seseorang jika orang itu tidak memiliki hati yang tulus,” kata Bu Airin sambil menatap wajah Risa dengan lekat.
Risa yang ditatap seperti itu merasa tidak nyaman dan salah tingkah. Ia tidak tahu ternyata ibu mertuanya berbuat seperti itu karena beliau sudah melihat semua yang ia lakukan pada Indri.
Risa melakukan apa yang biasa dia lakukan di sekolah, dia memperlakukan semua muridnya seperti anaknya sendiri. Meskipun pada kenyataannya dia belum punya anak, tapi rasa sayang Risa terhadap anak kecil benar-benar tulus dari hati.
“Namanya Indri, Ma. Dia murid Risa di sekolah. Anak itu memang sangat dekat dengan Risa, makanya saat Risa tidak datang, dia pun tidak mau sekolah,” tutur Risa dengan lembut.
“Iya, Mama juga tahu itu. Oh, ya. Apa kamu akan tetap menjadi seorang guru setelah menikah?” tanya Ibu Airin.
Risa menghela napas panjang mendengar pertanyaan yang diajukan oleh ibu mertuanya. Meskipun menjadi seorang guru adalah cita-citanya sejak kecil, tapi Risa akan merelakan itu semua jika seandainya Adi selaku suaminya merasa keberatan dengan pekerjaanya.
“Pekerjaan adalah tanggung jawabku, tapi seorang istri tugasnya adalah berbakti kepada suami. Risa akan tetap bekerja jika suami Risa mengizinkan, tapi jika dia tidak mengizinkan, maka Risa akan berhenti dari pekerjaan itu, Ma.” Risa berbicara dengan nada suara yang begitu lembut dan tenang. Sehingga membuat Ibu Airin semakin kagum pada sosok wanita itu.
“Kamu sungguh baik hati, Sayang. Semoga Adi segera membuka matanya supaya dia bisa melihat kebaikan dan ketulusan hatimu. Mama tahu kalau kamu menyembunyikan sesuatu dari Mama,” kata Ibu Airin sambil mengelus rambut Risa.
Perkataan Ibu Airin sontak saja membuat Risa tersenyum getir. Batin seorang ibu memang sangat peka. Meskipun Risa hanya sebagai menantu di rumah besar itu, tetapi Ibu Airin memperlakukan dia seperti putri kandungnya sendiri.
Risa sangat bersyukur bisa memiliki ibu mertua yang baik seperti Ibu Airin, ia merasa punya dua orang ibu. Walaupun ibu kandungnya telah membuat dia berada dalam posisi sekarang, tapi rasa sayang dan hormatnya pada wanita yang telah melahirkannya tidak akan berubah. Karena saat ini hanya Bu Yulia yang ia punya, Risa sangat menyayangi ibunya.
“Maaf, Ma, Apa Risa boleh menemui Mama Yulia?” tanya Risa dengan ragu-ragu. Ia takut jika ada perjanjian antara ibu kandung dan ibu mertuanya yang tidak ia ketahui. “Tentu saja boleh, kamu bahkan tidak perlu minta izin untuk bertemu sama dia. Pergilah! Mama akan suruh sopir untuk mengantar kamu ke sana,” kata Ibu Airin sambil mengelus pundak Risa. “Tidak perlu, Ma. Risa bisa naik taksi,” tolak Risa, tapi Ibu Airin tetap memaksa. “Kamu harus pergi sama sopir. Jika tidak, maka Mama tidak akan mengizinkan kamu pergi.” Ibu Airin mencubit gemas pipi menantunya. “Baiklah, Ma. Terima kasih atas semua kebaikan Mama,” ucap Risa dengan senyum tulus. “Tidak perlu berterima kasih, tapi maaf, ya, Mama tidak bisa ikut. Sampaikan salam Mama sama Mama kamu,” ujar Ibu Airin. “Iya, Ma. Nanti Risa sampaikan,” jawab Risa, lalu ia pergi ke kamar untuk mengambil tasnya. Risa pulang ke kontrakannya untuk yang pertama kali setelah ia menikah. Pernikahannya baru berjalan tiga hari. Seharusnya di usi
Setelah puas menumpahkan kesedihannya, Risa segera beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi. Lima menit kemudian ia keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Risa mencuci muka agar tak terlihat seperti habis menangis, ia tidak ingin terlihat sedih di depan ibunya. Risa keluar kamar lalu pergi ke dapur untuk menemui ibunya, tapi seseorang yang dicarinya tidak ada di sana. “Mama di mana?” gumamnya.“Risa, ada apa?” Bu Yulia tiba-tiba muncul di belakang Risa.“Mama, bikin kaget aja. Risa mau pamit pulang, Ma. Risa mau beres-beres pakaian yang akan dibawa ke apartemen.” Risa mengambil segelas air lalu menenggaknya hingga habis.“Ya sudah, kamu hati-hati. Ingat, jangan mengeluh apapun. Itu demi masa depan kamu. Bersabarlah,” ucap Bu Yulia sambil memeluk putrinya dengan erat.Risa mengangguk seraya mengulas senyum. “Iya, Ma. Risa pulang dulu, ya. Mama harus jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri. Risa akan selalu ada untuk Mama,” ujar Risa seray
Risa sedikit terkejut mendengar suara seseorang yang tiba-tiba memanggilnya, lalu ia menoleh ke arah orang itu sambil mengulas senyum. “Mama,” ucapnya.Ibu Airin menghampiri menantunya saat melihat wanita itu tengah sibuk menyajikan makanan ke dalam piring.“Risa, kamu ngapain pagi-pagi sudah ada di dapur?” tanya Ibu Airin. “Risa buatkan ini untuk Mama dan Papa, semoga saja makanan hasil masakan Risa cocok di lidah Mama dan Papa.” Risa menyerahkan piring yang berisi makanan kepada ibu mertuanya. “Wah … sepertinya enak. Ayo kita makan sama-sama! Mama ingin makan sepiring berdua sama kamu,” ujar Ibu Airin dengan semangat. “Papa nggak bisa ikut sarapan karena dia nggak ada di rumah,” lanjutnya.Risa terharu mendengar ajakan ibu mertuanya. Ia sangat bersyukur bisa mendapatkan ibu mertua yang sangat baik seperti Ibu Airin. “Tapi, Ma.” Risa berusaha menolak karena merasa sungkan. Ibu mertuanya itu adalah seorang nyonya besar, ia merasa tidak pantas makan sepiring dengan wanita terhormat
Setelah merapikan semua barang-barang di kamar Risa, Mia melanjutkan pekerjaan di kamarnya sendiri. Ia juga menata baju-bajunya ke dalam lemari. Setelah selesai berbenah, mereka berdua pergi ke dapur untuk melihat apa yang bisa dimasak untuk makan siang.“Nyonya, kulkasnya masih kosong. Kita pesan makanan saja, ya,” kata Mia mengusulkan.“Nggak usah, Mbak. Bagaimana kalau kita beli bahan mentahnya saja? Masih lama juga waktu makan siang. Nanti kalau Pak Adi pulang tidak ada makanan, ‘kan, nggak enak,” ucap Risa. Ia sengaja memanggil Adi dengan sebutan ‘pak’ di depan asisten rumah tangga supaya terdengar lebih sopan.“Baiklah, Nyonya Muda. Saya akan minta Pak Dodi pergi berbelanja ke supermarket,” ujar Mia.“Tidak usah, Mbak. Supermarketnya cuma di bawah, ‘kan? Bar saya saja yang pergi,” pungkas Risa sambil menyambar tas di atas tempat tidur.“Jangan, Nyonya Muda. Anda tidak boleh melakukan apapun, itu perintah Nyonya Besar.” Mia langsung menahan tangan Risa.“Mbak Mia, di sini tidak
Seorang suami yang seharusnya menjaga kehormatan dan harga diri seorang istri di depan laki-laki lain, tetapi Adi justru melakukan hal sebaliknya. Ia sendiri malah membiarkan laki-laki lain menawar istrinya seperti barang dagangan dan dengan mudahnya ia memberikan istrinya pada laki-laki itu.Risa terus menangis di dalam kamar sambil memeluk foto almarhum ayahnya, hanya dengan cara itu yang bisa membuat perasaannya sedikit lebih tenang saat menghadapi masalah. Pada saat mengingat almarhum ayahnya, Risa selalu mencoba untuk tetap bersabar dan menerima kenyataan bahwa ia harus kuat menghadapi semuanya.“Papa, berikan hatimu padaku agar aku bisa belajar bagaimana Papa menghadapi masalah tanpa sedikitpun mengeluh.” Risa mengelus foto almarhum ayahnya, kemudian diletakkannya kembali ke dalam laci meja.Ia beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi, Risa langsung mengerjakan shalat maghrib. Ternyata sudah cukup lama ia mengurung diri
Bola mata Risa membulat sempurna begitu melihat siapa yang sedang bersama Adi di sofa. Wanita yang tak sengaja ditabraknya saat di mal beberapa yang lalu, sekarang ada di apartemen suaminya. Risa menatap Adi untuk menunggu penjelasannya, tetapi laki-laki itu hanya diam seribu bahasa. Ia tidak mengatakan apapun pada Risa atas apa yang diperbuatnya saat ini dan siapa wanita yang sedang bersamanya itu.“Kenapa wanita sialan ini ada di apartemen kamu, Beb?” tanya wanita itu dengan mengarahkan telunjuknya pada Risa. Ia bergelayut manja di lengan Adi.“Kamu kenal sama dia? Bagaimana bisa?” Adi balik bertanya pada wanita itu.“Iya, Beb. Tadi dia yang menabrakku di mal,” ujar wanita itu dengan nada yang dibuat manja. Sebagai sesama perempuan, Risa bahkan merasa malu melihat tingkahnya yang seperti itu.“Kamu pergi keluar? Sama siapa?” teriak Adi dengan emosi sambil menatap Risa dengan tajam.“Maaf, Tuan Muda. Saya yang mengajak Nyonya Mu ….” Mia belum menyelesaikan ucapannya, tetapi Adi sud
Seminggu telah berlalu, kini usia pernikahan Risa dan Adi sudah memasuki minggu kedua. Tidak ada yang berubah dalam kisah rumah tangga mereka, semua masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Mereka berdua memang tinggal satu atap, tetapi dibatasi oleh dinding yang sangat kokoh. Risa bahkan tidak diizinkan menginjak kakinya ke dalam kamar pria itu.Hari ini adalah awal pekan, Adi telah pergi ke kantor pagi-pagi sekali. Risa juga sudah memutuskan untuk kembali mengajar meskipun sebenarnya ia masih diberikan waktu cuti oleh kepala sekolah, tetapi ia merasa bosan dengan hanya berdiam diri di apartemen, makanya ia memutuskan untuk kembali mengajar. Risa juga sudah mengatakan hal itu kepada Adi, meskipun pria itu tidak memberikan tanggapan apapun, tetapi ia juga tidak melarang istrinya. “Mbak Mia, aku berangkat kerja, ya. Mbak nggak apa-apa kalau saya tinggal sendiri?” tanya Risa, ia merasa tidak enak meninggalkan Mia sendirian di apartemen.“Iya, Nyonya Muda, tidak apa-apa. Nyonya berangk
Pelajaran pun dimulai, Risa melakukan tugasnya seperti biasa. Ia bernyanyi dan diikuti oleh anak-anak. Itulah kegiatan para murid sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), mereka belajar sambil bermain. Suasana di dalam kelas ricuh dengan suara nyanyian dan teriakan. Inilah alasan terbesar Risa ingin menjadi tenaga pendidik, ia ikut bahagia saat melihat anak-anak muridnya tertawa lepas seperti tanpa beban. Keceriaan mereka adalah semangat bagi Risa. “Anak-anak Bunda, sekarang istirahat dulu, ya. Bel sudah berbunyi,” ucap Risa. “Baik, Bunda!” sahut anak-anak secara bersamaan. “Sekarang cuci tangan dulu, setelah itu kita makan. Anak-anak Bunda bawa bekal semuanya, ‘kan?” tanya Risa. “Bawa dong, Bunda!” jawab anak-anak, mereka bergantian pergi ke wastafel untuk mencuci tangan. Setelah selesai mencuci tangan mereka pun mulai makan bersama. Semua anak membawa bekal, kecuali satu orang, yaitu Alif. Anak murid laki-laki yang sangat pendiam, tidak banyak bicara dan susah berinteraksi d