Setelah puas menumpahkan kesedihannya, Risa segera beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi. Lima menit kemudian ia keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Risa mencuci muka agar tak terlihat seperti habis menangis, ia tidak ingin terlihat sedih di depan ibunya.
Risa keluar kamar lalu pergi ke dapur untuk menemui ibunya, tapi seseorang yang dicarinya tidak ada di sana. “Mama di mana?” gumamnya.
“Risa, ada apa?” Bu Yulia tiba-tiba muncul di belakang Risa.
“Mama, bikin kaget aja. Risa mau pamit pulang, Ma. Risa mau beres-beres pakaian yang akan dibawa ke apartemen.” Risa mengambil segelas air lalu menenggaknya hingga habis.
“Ya sudah, kamu hati-hati. Ingat, jangan mengeluh apapun. Itu demi masa depan kamu. Bersabarlah,” ucap Bu Yulia sambil memeluk putrinya dengan erat.
Risa mengangguk seraya mengulas senyum. “Iya, Ma. Risa pulang dulu, ya. Mama harus jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri. Risa akan selalu ada untuk Mama,” ujar Risa seraya mempererat pelukannya pada sang ibu.
“Iya. Ayo, Mama antar sampai ke depan! Sopir kamu sudah menunggu di mobil,” kata Bu Yulia sambil melerai pelukannya.
Risa berjalan beriringan bersama ibunya sampai ke mobil. Sang sopir berdiri di samping mobil dan bersiap untuk membuka pintu mobil untuk Nyonya Muda Winata.
“Ma, Risa pamit. Risa sayang Mama,” ucap Risa dengan isak tangis yang sedari tadi ia tahan. Wanita itu pun berhamburan ke pelukan ibunya untuk mengurangi beban berat yang sedang dipikulnya.
“Sudah … kamu cepat pulang sana! Nanti suami kamu nyariin, tidak baik keluar rumah tanpa izin suami.” Bu Yulia melepas pelukan Risa.
“Ya sudah, Ma. Risa pulang, tapi Risa pasti akan ke sini lagi lain waktu. Dadah, Mama. Risa masuk ke dalam mobil dengan perasaan sedih dan kecewa atas sikap dingin ibu kandungnya.
Bu Yulia melambaikan tangan saat mobil yang membawa putrinya telah keluar dari simpang Gang Sempit. Ingin rasanya Risa berbalik dan memeluk ibunya lagi, tapi segera diurungkan saat ia teringat perkataan sang ibu yang mengatakan; ‘Tidak baik pergi tanpa izin suami.
Memang benar jika Risa tidak memberitahu Adi saat ingin mengunjungi ibunya. Tapi bagaimana caranya ia mau memberitahu laki-laki itu? Ia bahkan tidak punya nomor telepon laki-laki yang dipanggilnya sebagai suami.
Di dalam mobil, Risa terus memandangi foto almarhum ayahnya. Ia sengaja membawa foto sang ayah untuk melepas rasa rindu. Cuma itu kenangan tentang almarhum ayahnya yang Risa punya, karena barang-barang milik ayah kandungnya yang lain telah dibuang oleh ayah tirinya, bahkan sang ibu hanya membiarkan saja saat suami keduanya melakukan itu.
Risa kecewa karena ibunya selalu menutup mata atas apapun yang dilakukan suami barunya. Segitu besarnya cinta Bu Yulia terhadap pria berandalan itu. Sehingga ia dengan mudahnya membuang kenang-kenangan suami pertamanya.
Karena terlalu larut dalam kesedihan, hingga tanpa Risa sadari mobil yang membawanya telah berhenti di depan gerbang yang begitu megah dan kokoh. Ternyata ia telah sampai di rumah mewah seperti istana, rumah orang tua suaminya.
“Silahkan, Nyonya.” Pak Sopir membuka pintu mobil untuk Risa.
“Terima kasih, Pak.” Risa tersenyum seraya keluar dari mobil.
Risa masuk ke dalam rumah dengan senyuman yang selalu menghiasi wajah cantiknya, ia menyapa semua para pekerja yang ada di rumah besar itu. Begitu banyaknya para pekerja di rumah mertuanya, hingga ia kesulitan untuk mengingat mereka satu persatu.
“Nyonya Muda sudah pulang?” tanya salah satu asisten rumah tangga yang belum pernah Risa temui sejak ia datang ke rumah itu.
“Iya, Mbak. Baru saja sampai,” sahut Risa dengan lembut serta senyum ramah.
“Nyonya Besar tadi berpesan sama saya. Jika Nyonya Muda sudah pulang, Nyonya Muda diminta untuk menemui beliau,” kata salah satu ART menyampaikan pesan majikannya.
“Oh, baiklah. Saya akan menemuinya. Sekarang Mama di mana, Mbak?” tanya Risa.
“Ada di kamarnya, Nyonya Muda. Mari, saya antar!” tawar ART itu seraya menghalau tangannya ke depan.
“Baiklah, Mbak. Ayo!” seru Risa sembari mengikuti langkah sang asisten rumah tangga. Ia memang masih sungkan untuk masuk ke kamar ibu mertuanya karena belum terbiasa.
Sampai di depan kamar Ibu Arin, asisten rumah tangga yang membawa Risa segera membuka pintu kamar dengan kartu akses yang ada di tangannya. Risa sedikit kaget melihat itu, membuka pintu dengan sebuah benda seperti kartu?
Naluri kemiskinannya meronta-meronta melihat hal yang menakjubkan seperti itu. Biasanya benda seperti itu digunakan di hotel-hotel mewah. Risa juga pernah menggunakan benda itu pada saat ia ikut study tour antar sekolah, waktu itu ia terpilih sebagai guru teladan terfavorit.
“Silahkan, Nyonya Muda!” ucap sang asisten rumah tangga setelah pintu ruangan itu terbuka.
“Terima kasih, Mbak,” ucap Risa, kemudian ia masuk ke dalam kamar.
“Sayang, kamu sudah pulang? Ayo duduk sini,” ajak Ibu Airin sambil menepuk sofa di sebelahnya.
“Iya, Ma.” Risa tersenyum lembut.
Asisten rumah tangga yang tadi mengantar Risa, ikut masuk ke dalam kamar. Ibu Airin tampak sedang duduk di sofa sambil membaca majalah. Risa merasa ragu untuk melangkah ke arah ibu mertuanya karena semua peralatan yang ada di kamar itu adalah barang-barang mahal.
“Nyonya, saya permisi” ucap asisten rumah tangga dengan membungkukkan badan, lalu ia keluar dari kamar majikannya.
“Terima kasih, Mbak Mia,” ucap Ibu Airin pada ART itu. Risa baru mengetahui nama wanita muda itu adalah Mia setelah sang ibu mertua memanggilnya.
“Mama ada perlu sama Risa?” Risa duduk menghadap ibu mertuanya.
Ibu Airin menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala. “Risa, mulai besok kamu akan tinggal berdua sama Adi. Mama sebenarnya keberatan kalian pindah secepat ini, tapi Mama sangat mengenal Adi. Dia tidak butuh persetujuan siapa pun untuk mengambil satu tindakan,” tuturnya dengan sendu.
“Ma, Risa janji akan sering datang ke sini jika nanti kami sudah pindah rumah. Mama juga bisa datang kapan saja kan ke sana. Risa pasti sangat merindukan Mama,” ucap Risa sambil menyandarkan kepalanya di pundak Ibu Airin.
“Sekarang kamu jujur sama Mama! Apa Adi bersikap baik sama kamu?” tanya Ibu Airin.
Deg!
Pertanyaan Ibu Airin membuat Risa merasa serba salah. Jika ia bicara jujur, itu artinya ia melanggar perintah Adi. Jika tidak jujur, maka ia berdosa karena membohongi ibu mertuanya.
Ibu Airin sangat baik, Risa tidak tega melukai hatinya. Tapi demi menjaga perasaan ibu mertuanya, Risa lebih memilih berdosa asalkan tidak membuat ibu mertuanya kepikiran. Biarlah ia menanggung dosa karena telah membohonginya.
“Tentu saja, Ma. Mama bisa lihat sendiri, ‘kan? Dia tidak pernah bersikap kasar sama Risa, Ma. Tidak mudah bagi Adi menerima Risa secepat ini, tapi bukan berarti dia menolak Risa. Jadi Mama tenang saja, ya. Risa janji akan memenangkan hati suami Risa,” ucap Risa tanpa sadar apa yang ia katakan. Semua perkataan yang baru saja diucapkannya meluncur begitu saja.
“Syukurlah … Mama lega mendengarnya. Mama pikir, Adi memperlakukanmu dengan tidak baik.” Ibu Airin bernapas lega setelah mendengar ucapan Risa.
“Tidak, Ma. Mama tidak perlu khawatir soal itu,” ujar Risa sambil menatap ibu mertuanya.
“Yaudah, sekarang kamu beres-beres barang yang akan kamu bawa besok. Mbak Mia akan ikut kamu ke Apartemen Adi,” kata Ibu Airin sambil mengelus lembut lengan Risa.
“Iya, Ma. Mama istirahat, ya,” ucap Risa seraya mengulas senyum yang dipaksakan. Ada rasa sesak di relung hatinya, tapi ia tidak mampu untuk mengungkapkannya.
Risa keluar dari kamar ibu mertuanya dengan perasaan bersalah. Ia merasa berdosa telah membohongi orang yang sangat baik dan tulus menyayanginya, tapi Risa melakukan itu semua karena tidak ingin membuat sang ibu mertua terluka, cukup dia saja yang tersakiti, ia tidak ingin membuat Ibu Airin merasa bersalah padanya jika sampai beliau mengetahui yang sebenarnya.
***
Malam harinya. Dalam gelapnya malam, udara dingin bertiup lembut membuat bulu kuduk berdiri. Didukung waktu yang telah menunjukan di angka dua dini hari, kian menambah keheningan malam yang terasa tak biasa dan sunyi-senyap. Risa terbangun saat tenggorokannya terasa kering, sedangkan persediaan air di kamar juga telah habis.
Lantas ia segera pergi ke dapur dengan langkah cepat agar bisa kembali ke kamar dengan segera. Saat sedang menuangkan air ke dalam gelas, tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang sedang mengawasinya. Risa melihat ke semua arah, tapi ia tidak menemukan siapa pun.
Wanita itu berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju kamar. Setelah sampai di kamar, ia baru menyadari jika Adi belum pulang dari kantor, ia menatap tempat tidur yang kosong lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa.
“Apa Mama Airin tahu kalau Adi belum pulang? Apakah ia sudah biasa tidak pulang ke rumah seperti ini?” Risa bergumam sendiri sambil menatap langit-langit kamar. Tak lama kemudian ia sudah terlelap kembali dan berkelana di alam mimpinya.
***
Pagi telah menjelang. Waktu baru menunjuk pukul 04:30 WIB. Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh berkumandang dari kejauhan yang selalu setia menyapa telinga setiap umat muslim dan sekedar mengingatkan manusia untuk menghadap kehadirat Tuhan semesta alam.
Risa terbangun untuk menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Setelah shalat subuh, ia langsung turun ke bawah untuk membantu para asisten rumah tangga. Walaupun tenaganya sama sekali tidak butuhan, tapi Risa hanya ingin membuat sesuatu untuk ibu mertuanya sebelum ia pindah dari rumah itu.
“Selamat pagi, Nyonya Muda! Anda membutuhkan sesuatu?” tanya salah satu ART saat berpapasan dengan Risa
“Selamat pagi!” Risa tersenyum ramah. “Tidak, Bi. Saya tidak membutuhkan apa-apa,” jawabnya seraya berjalan menuju dapur.
“Nyonya Muda silahkan tunggu di meja makan! Kami akan menyiapkan segala keperluan Anda,” ujar Bi Ratih sambil menuntun Risa ke arah meja makan.
“Maaf, Bi. Saya ingin membuat sesuatu untuk ibu mertua saya. Boleh saya pinjam dapurnya sebentar?” Risa menatap Bi Ratih sambil menyatukan kedua tangannya.
“Tapi, Nyonya Muda, itu adalah tugas kami. Nyonya Muda tinggalkan bilang saja apa yang Nyonya Muda inginkan,” jawab Bi Ratih, merasa keberatan dengan permintaan Risa.
“Saya tahu kalau itu adalah tugas Bibi, tapi pagi ini tolong biarkan saya yang melakukan tugas itu. Saya hanya ingin membuat sarapan untuk ayah dan ibu mertua saya,” ujar Risa sembari melanjutkan langkahnya menuju dapur.
Bi Ratih dan para pekerja yang lain hanya melihat saja tanpa berani mencegah. Risa mulai berkutat dengan pekerjaannya, tetapi ia selalu diawasi oleh para asisten rumah tangga. Mereka seperti tidak rela melihat sang Nyonya Muda Winata melakukan pekerjaan dapur seperti itu, tapi Nyonya Muda hanyalah status bagi Risa. Karena pada kenyataannya, ia hanyalah seorang istri diatas kertas.
“Nyonya Muda, jika sudah selesai biarkan kami yang membereskan semuanya. Nyonya Muda silahkan menunggu di meja makan!” Bi Ratih kembali bersuara, tetapi Risa hanya melihat sekilas ke arahnya lalu melanjutkan kembali pekerjaannya dan membereskan semua bekas peralatan masak yang sudah digunakannya.
“Selesai,” ucap Risa dengan riang, kemudian ia meletakkan apron ke tempat semula.
“Risa, kamu ngapain di dapur?” Seseorang tiba-tiba mengagetkan Risa.
Risa sedikit terkejut mendengar suara seseorang yang tiba-tiba memanggilnya, lalu ia menoleh ke arah orang itu sambil mengulas senyum. “Mama,” ucapnya.Ibu Airin menghampiri menantunya saat melihat wanita itu tengah sibuk menyajikan makanan ke dalam piring.“Risa, kamu ngapain pagi-pagi sudah ada di dapur?” tanya Ibu Airin. “Risa buatkan ini untuk Mama dan Papa, semoga saja makanan hasil masakan Risa cocok di lidah Mama dan Papa.” Risa menyerahkan piring yang berisi makanan kepada ibu mertuanya. “Wah … sepertinya enak. Ayo kita makan sama-sama! Mama ingin makan sepiring berdua sama kamu,” ujar Ibu Airin dengan semangat. “Papa nggak bisa ikut sarapan karena dia nggak ada di rumah,” lanjutnya.Risa terharu mendengar ajakan ibu mertuanya. Ia sangat bersyukur bisa mendapatkan ibu mertua yang sangat baik seperti Ibu Airin. “Tapi, Ma.” Risa berusaha menolak karena merasa sungkan. Ibu mertuanya itu adalah seorang nyonya besar, ia merasa tidak pantas makan sepiring dengan wanita terhormat
Setelah merapikan semua barang-barang di kamar Risa, Mia melanjutkan pekerjaan di kamarnya sendiri. Ia juga menata baju-bajunya ke dalam lemari. Setelah selesai berbenah, mereka berdua pergi ke dapur untuk melihat apa yang bisa dimasak untuk makan siang.“Nyonya, kulkasnya masih kosong. Kita pesan makanan saja, ya,” kata Mia mengusulkan.“Nggak usah, Mbak. Bagaimana kalau kita beli bahan mentahnya saja? Masih lama juga waktu makan siang. Nanti kalau Pak Adi pulang tidak ada makanan, ‘kan, nggak enak,” ucap Risa. Ia sengaja memanggil Adi dengan sebutan ‘pak’ di depan asisten rumah tangga supaya terdengar lebih sopan.“Baiklah, Nyonya Muda. Saya akan minta Pak Dodi pergi berbelanja ke supermarket,” ujar Mia.“Tidak usah, Mbak. Supermarketnya cuma di bawah, ‘kan? Bar saya saja yang pergi,” pungkas Risa sambil menyambar tas di atas tempat tidur.“Jangan, Nyonya Muda. Anda tidak boleh melakukan apapun, itu perintah Nyonya Besar.” Mia langsung menahan tangan Risa.“Mbak Mia, di sini tidak
Seorang suami yang seharusnya menjaga kehormatan dan harga diri seorang istri di depan laki-laki lain, tetapi Adi justru melakukan hal sebaliknya. Ia sendiri malah membiarkan laki-laki lain menawar istrinya seperti barang dagangan dan dengan mudahnya ia memberikan istrinya pada laki-laki itu.Risa terus menangis di dalam kamar sambil memeluk foto almarhum ayahnya, hanya dengan cara itu yang bisa membuat perasaannya sedikit lebih tenang saat menghadapi masalah. Pada saat mengingat almarhum ayahnya, Risa selalu mencoba untuk tetap bersabar dan menerima kenyataan bahwa ia harus kuat menghadapi semuanya.“Papa, berikan hatimu padaku agar aku bisa belajar bagaimana Papa menghadapi masalah tanpa sedikitpun mengeluh.” Risa mengelus foto almarhum ayahnya, kemudian diletakkannya kembali ke dalam laci meja.Ia beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi, Risa langsung mengerjakan shalat maghrib. Ternyata sudah cukup lama ia mengurung diri
Bola mata Risa membulat sempurna begitu melihat siapa yang sedang bersama Adi di sofa. Wanita yang tak sengaja ditabraknya saat di mal beberapa yang lalu, sekarang ada di apartemen suaminya. Risa menatap Adi untuk menunggu penjelasannya, tetapi laki-laki itu hanya diam seribu bahasa. Ia tidak mengatakan apapun pada Risa atas apa yang diperbuatnya saat ini dan siapa wanita yang sedang bersamanya itu.“Kenapa wanita sialan ini ada di apartemen kamu, Beb?” tanya wanita itu dengan mengarahkan telunjuknya pada Risa. Ia bergelayut manja di lengan Adi.“Kamu kenal sama dia? Bagaimana bisa?” Adi balik bertanya pada wanita itu.“Iya, Beb. Tadi dia yang menabrakku di mal,” ujar wanita itu dengan nada yang dibuat manja. Sebagai sesama perempuan, Risa bahkan merasa malu melihat tingkahnya yang seperti itu.“Kamu pergi keluar? Sama siapa?” teriak Adi dengan emosi sambil menatap Risa dengan tajam.“Maaf, Tuan Muda. Saya yang mengajak Nyonya Mu ….” Mia belum menyelesaikan ucapannya, tetapi Adi sud
Seminggu telah berlalu, kini usia pernikahan Risa dan Adi sudah memasuki minggu kedua. Tidak ada yang berubah dalam kisah rumah tangga mereka, semua masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Mereka berdua memang tinggal satu atap, tetapi dibatasi oleh dinding yang sangat kokoh. Risa bahkan tidak diizinkan menginjak kakinya ke dalam kamar pria itu.Hari ini adalah awal pekan, Adi telah pergi ke kantor pagi-pagi sekali. Risa juga sudah memutuskan untuk kembali mengajar meskipun sebenarnya ia masih diberikan waktu cuti oleh kepala sekolah, tetapi ia merasa bosan dengan hanya berdiam diri di apartemen, makanya ia memutuskan untuk kembali mengajar. Risa juga sudah mengatakan hal itu kepada Adi, meskipun pria itu tidak memberikan tanggapan apapun, tetapi ia juga tidak melarang istrinya. “Mbak Mia, aku berangkat kerja, ya. Mbak nggak apa-apa kalau saya tinggal sendiri?” tanya Risa, ia merasa tidak enak meninggalkan Mia sendirian di apartemen.“Iya, Nyonya Muda, tidak apa-apa. Nyonya berangk
Pelajaran pun dimulai, Risa melakukan tugasnya seperti biasa. Ia bernyanyi dan diikuti oleh anak-anak. Itulah kegiatan para murid sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), mereka belajar sambil bermain. Suasana di dalam kelas ricuh dengan suara nyanyian dan teriakan. Inilah alasan terbesar Risa ingin menjadi tenaga pendidik, ia ikut bahagia saat melihat anak-anak muridnya tertawa lepas seperti tanpa beban. Keceriaan mereka adalah semangat bagi Risa. “Anak-anak Bunda, sekarang istirahat dulu, ya. Bel sudah berbunyi,” ucap Risa. “Baik, Bunda!” sahut anak-anak secara bersamaan. “Sekarang cuci tangan dulu, setelah itu kita makan. Anak-anak Bunda bawa bekal semuanya, ‘kan?” tanya Risa. “Bawa dong, Bunda!” jawab anak-anak, mereka bergantian pergi ke wastafel untuk mencuci tangan. Setelah selesai mencuci tangan mereka pun mulai makan bersama. Semua anak membawa bekal, kecuali satu orang, yaitu Alif. Anak murid laki-laki yang sangat pendiam, tidak banyak bicara dan susah berinteraksi d
Kurang lebih selama dua puluh menit berada di dalam lift yang tak berfungsi, akhirnya Indri dan Risa berhasil dikeluarkan oleh tim keamanan. Risa ditemukan dalam keadaan sudah tidak sadarkan diri, sementara Indri menangis tergugu di samping tubuh gurunya.“Bunda, bangun! Bunda kenapa? Indri takut, Bunda,” ucap Indri. Anak itu terus mengguncang tubuh Risa untuk membangunkannya.Tim keamanan dan Pak Dodi masuk ke dalam lift untuk membawa Risa dan Indri keluar dari sana. Namun, di saat Pak Dodi bersiap akan mengangkat tubuh Risa, tiba-tiba seseorang menghentikannya.“Tunggu!” ucap orang itu. Kemudian ia mengambil alih tubuh Risa, menggendongnya keluar dari lift.“Papa,” panggil Indri seraya berlari ke arah laki-laki yang sedang memangku tubuh Risa.“Hei, Princess Papa. Kamu tidak apa-apa, ‘kan?” tanya orang itu dengan lembut.“Iya, Pa. Indri tidak apa-apa, tapi Bunda Risa pingsan.” Indri menundukkan wajahnya, merasa bersalah atas kejadian yang menimpa gurunya..“Tidak apa-apa, dia akan
Adi telah menyelidiki latar belakang Risa setelah ia menikahi wanita itu. Awalnya Adi merasa bersalah pada Risa, karena ia berpikir wanita itu dipaksa oleh ibunya, tetapi ternyata semua dugaannya salah. Risa menerima pernikahan itu demi uang, Ibu Airin telah mengeluarkan uang dalam jumlah yang sangat besar supaya Risa mau menikah dengan anaknya. Itulah yang membuat Adi sangat membenci istrinya, tetapi sebenarnya Risa sendiri juga tidak tahu apa yang telah dijanjikan oleh ibu kandungnya bersama ibu dari suaminya.Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Adi berencana untuk pergi ke sebuah cafe yang terletak tidak jauh dari kantornya. Ia belum mengetahui jika saat ini Ibu Airin ada di apartemennya.“Selamat sore, Pak.” Sekretaris Adi masuk ke ruangannya.“Ada apa?” Adi berbicara tanpa melihat ke arah sekretarisnya.“Maaf, Pak. Di bawah ada wartawan yang ingin bertemu dengan Bapak,” ujar sekretaris Adi.“Wartawan? Untuk apa mereka ingin bertemu dengan saya?” Adi bergumam sangat pelan.