Risa sedikit terkejut mendengar suara seseorang yang tiba-tiba memanggilnya, lalu ia menoleh ke arah orang itu sambil mengulas senyum. “Mama,” ucapnya.
Ibu Airin menghampiri menantunya saat melihat wanita itu tengah sibuk menyajikan makanan ke dalam piring.
“Risa, kamu ngapain pagi-pagi sudah ada di dapur?” tanya Ibu Airin.
“Risa buatkan ini untuk Mama dan Papa, semoga saja makanan hasil masakan Risa cocok di lidah Mama dan Papa.” Risa menyerahkan piring yang berisi makanan kepada ibu mertuanya.
“Wah … sepertinya enak. Ayo kita makan sama-sama! Mama ingin makan sepiring berdua sama kamu,” ujar Ibu Airin dengan semangat. “Papa nggak bisa ikut sarapan karena dia nggak ada di rumah,” lanjutnya.
Risa terharu mendengar ajakan ibu mertuanya. Ia sangat bersyukur bisa mendapatkan ibu mertua yang sangat baik seperti Ibu Airin.
“Tapi, Ma.” Risa berusaha menolak karena merasa sungkan. Ibu mertuanya itu adalah seorang nyonya besar, ia merasa tidak pantas makan sepiring dengan wanita terhormat seperti Ibu Airin.
“Sudah, ayo kita ke meja makan!” seru Ibu Airin seraya menarik tangan Risa.
Bi Ratih membawa makanan ke meja makan dan menyiapkan minuman hangat untuk majikannya. Risa dan Ibu Airin menikmati sarapan hanya berdua karena saat ini Pak Arya dan juga Adi sedang tidak ada di rumah.
Ibu Airin tampak sangat menikmati makanan yang dibuat oleh Risa. Entah itu rasanya memang betul-betul enak atau dia hanya menghargai usaha menantunya.
“Risa, ini enak sekali! Kamu hebat loh! Pintar masak, Mama aja nggak bisa masak seenak ini. Tapi kamu, masih muda, cantik, jago masak lagi. Pokoknya paket komplit, Adi beruntung punya istri seperti kamu.” Ibu Airin memuji Risa secara terang-terangan.
Risa hanya tersenyum mendengar pujian yang dilontarkan sang ibu mertua kepadanya. Itu adalah hal biasa bagi Risa. Karena di rumahnya, ia yang selalu memasak setiap hari.
Bahkan saat ayahnya masih ada pun ia sudah melakukan pekerjaan itu. Meski mereka juga mempekerjakan asisten rumah tangga, tapi Risa tetap ingin membuat makanan untuk ayah dan ibunya. Pak Mahes sangat menyukai masakan yang diolah sendiri oleh putri kesayangannya.
“Alhamdulillah, Ma. Risa senang kalau Mama suka makanannya,” ucap Risa sambil tersenyum menatap Ibu Airin yang sedang makan dengan begitu lahap.
“Iya. Ini benar-benar enak,” ujar Ibu Airin.
“Habiskan, Ma.” Risa sangat senang melihat Ibu Airin begitu bersemangat. Padahal rasanya biasa-biasa saja menurutnya, justru masakan koki di rumah ini jauh lebih enak dari masakannya.
Usai sarapan, mereka berdua duduk di ruang keluarga. Ibu Airin meminta Bi Ratih membawakan makanan penutup dan teh hangat untuk dirinya dan sang menantu.
“Risa, apa semalam Adi memberitahu kamu kalau dia nggak pulang ke rumah?” tanya Ibu Airin.
Risa nyaris tersedak minuman saat Ibu Airin tiba-tiba mengajukan pertanyaan seperti itu padanya, ternyata Adi sudah memberitahu orang tuanya kalau dia tidak pulang ke rumah.
Pantas saja Ibu Airin biasa-biasa saja saat melihat Adi tidak keluar kamar dan tidak ikut sarapan bersama. Padahal, tadinya Risa sudah khawatir jika ibu mertuanya akan bertanya tentang keberadaan putranya. Karena ia sama sekali tidak tahu di mana laki-laki itu berada saat ini.
“Oh, iya, Ma. Semalam dia sudah kasih tahu Risa, kok. Katanya banyak pekerjaan di kantor, jadi harus lembur.” Risa menjawab asal. Karena ia sendiri bingung harus memberikan jawab apa atas pertanyaan ibu mertuanya.
“Syukurlah, soalnya Adi juga bilang begitu sama Mama,” ujar Ibu Airin, tetapi cukup mengejutkan bagi Risa.
Ia merasa heran, kenapa jawabannya bisa sama persis dengan alasan yang disampaikan Adi kepada ibunya. Entahlah, Risa berpikir mungkin itu hanya kebetulan saja.
“Iya, Ma. Yaudah, Ma. Risa mau siapin barang-barang dulu, ya.” Risa beranjak dari tempat duduknya.
“Iya, Sayang.” Ibu Airin tersenyum lembut. “Mbak Mia, tolong bantu kemasi barang-barang Risa yang mau dibawa, ya. Sekalian barang Mbak Mia juga,” pintanya pada salah satu asisten rumah tangga yang bernama Mia.
Sebenarnya Risa tidak membutuhkan bantuan siapa pun, karena barang-barangnya juga tidak seberapa. Akan tetapi, ia tidak bisa menolak jika itu adalah perintah langsung dari sang ibu mertua.
Risa dibantu oleh asisten rumah tangga untuk mengemasi barang-barangnya hingga selesai dan saat ini semua barang tersebut sudah menumpuk di sudut kamar.
“Terima kasih, Mbak,” ucap Risa.
“Sama-sama, Nyonya Muda.” Mia tersenyum sambil menyeka keringat yang mengucur di dahinya.
“Ada apa, Mbak?" tanya Risa penasaran karena Mia menatapnya cukup lama.
“Tidak ada apa-apa, Nyonya Muda.” Mia langsung mengalihkan pandangannya.
“Mbak Mia nggak keberatan ikut sama saya, ‘kan?” tanya Risa memastikan.
“Tentu saja tidak, Nyonya Muda. Saya malah senang sekali karena bisa ikut Nyonya dan Tuan Muda ,” jawab Mia dengan semangat.
“Syukurlah kalau begitu, saya hanya tidak mau Mbak Mia mau ikut bersama saya karena dipaksa oleh ibu mertua saya.” Risa meraih tasnya sambil melirik jam di pergelangan tangannya. “Ayo, kita keluar dari sini!” serunya sambil menenteng satu tas pakaian.
Risa turun ke bawah bersama Mia, ia merasa berat sekali meninggalkan rumah mertuanya, bukan karena kemewahannya, tetapi karena pemilik rumah itu sangat baik padanya. Ibu Airin sangat berarti bagi Risa, ia sudah menganggap wanita itu seperti ibu kandungnya.
“Sudah siap, Sayang?” tanya Ibu Airin seraya menatap wajah Risa dengan lekat.
“Iya, Ma.” Risa tersenyum sambil berjalan mendekat ke arah ibu mertuanya..
“Kamu jaga diri baik-baik, ya, kalau ada apa-apa segera kabari Mama.” Ibu Airin memeluk Risa dengan erat, seakan-akan enggan untuk melepaskannya.
“Pasti, Ma. Mama jaga kesehatan, ya, kalau ada apa-apa kabari Risa juga,” ujar Riisa sambil membalas pelukan ibu mertuanya.
“Iya, Mama pasti akan memberitahumu jika terjadi apa-apa sama Mama. Ya sudah, ayo Mama antar ke depan. Mbak Mia, bawa tasnya!” pinta Ibu Airin seraya menyerahkan tas yang dibawa Risa ke tangan asisten rumah tangga yang akan ikut bersama Risa.
Mereka berjalan beriringan menuju halaman depan, di sana sudah terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat yang telah siap mengantarkan Risa ke tempat tinggalnya yang baru. Sebelum masuk ke dalam mobil, Risa memeluk Ibu Airin dengan erat.
“Ma, terima kasih karena sudah menerima Risa di rumah ini. Risa akan sering-sering ke sini jika Mama izinkan,” ucap Risa sambil terisak dalam dekapan ibu mertuanya. Ia sudah berusaha menahan air mata, tetapi nyatanya ia tidak bisa.
“Hei, kenapa kamu berbicara seperti itu? Rumah ini akan selalu terbuka untuk kamu dan Adi, jadi jangan sungkan. Ini juga rumah kamu, Sayang.” Ibu Airin pun tak kuasa menahan air matanya.
“Terima kasih, Ma.” Risa tersenyum sambil mengusap air matanya, merasa terharu atas kebaikan hati Ibu Airin. Ia tidak menyesal menikah dengan anaknya meski ia sama sekali tak pernah dianggap dan tidak mendapatkan perhatian dari laki-laki itu. Karena kasih sayang dari ibu mertuanya telah menghapus semua luka yang ditorehkan oleh Adi.
Risa masuk ke dalam mobil dengan wajah sembab. Ia sudah berusaha tegar di depan ibu mertuanya, tetapi pada kenyataannya ia tidak sekuat itu. Air mata yang selama ini ia tahan, akhirnya tumpah juga saat rasa sakit itu kembali mendera di dalam jiwanya.
“Hati-hati,” ucap Ibu Airin dengan mata berkaca-kaca. Ia melambaikan tangan hingga mobil yang membawa Risa sudah menghilang di balik tembok raksasa yang mengelilingi rumah besar itu.
Risa pun tak kuasa melihat ibu mertuanya bersedih seperti itu, rasanya seperti ditusuk sebilah pisau saat melihat air mata jatuh di pipinya. Namun, ia harus kuat. Ia tidak boleh lemah. Risa mencoba mengukir senyum meski rasanya sangat berat. Ia merasa sedih harus berpisah dengan Ibu Airin.
“Nyonya Muda yang sabar, ya.” Mia mengelus lembut lengan Risa sembari menyerahkan selembar tisu.
“Terima kasih, Mbak Mia.” Risa tersenyum sambil meraih tisu yang diberikan oleh Mia.
Tak berapa lama, mobil yang membawa mereka telah berhenti di depan sebuah bangunan pencakar langit. Risa keluar dari mobil dan diikuti oleh Mia. Wanita itu tertegun saat menatap bangunan yang ada di hadapannya saat ini, sungguh indah dan sangat megah menurutnya. Di sinilah tempat tinggalnya yang baru, di apartemen suaminya.
“Mari, Nyonya. Tuan Muda sudah berpesan agar Nyonya istirahat terlebih dahulu,” ucap salah satu pengawal yang ikut bersama Risa dan Mia.
‘Apa? Adi memintaku untuk beristirahat? Apa dia tidak salah ucap?’ batin Risa berteriak senang.
“Ayo, Nyonya Muda!” seru Mia, seketika membuyarkan lamunan Risa.
“Ah, iya.” Risa mengikuti langkah dua orang pengawal.
Saat sampai di dalam gedung, Risa kembali terperangah melihat fasilitas yang ada di sana. Apartemen Adi adalah apartemen termewah dengan fasilitas terlengkap. Risa dibawa masuk ke dalam lift menuju unit apartemen milik Adi yang berada di lantai 27.
“Ayo, Nyonya Muda!” Mia langsung menggandeng tangan Risa saat pintu lift kembali terbuka. Saat ini mereka sudah sampai di depan unit apartemen milik Adi.
Pengawal membuka pintu dengan menggunakan password, kemudian mempersilahkan sang Nyonya Muda Winata untuk masuk ke dalam kamar yang sangat mewah dengan nuansa gold. Semua perabotan di dalam ruangan itu adalah barang-barang mahal. Risa sangat takjub melihat semua barang yang ada di kamar tersebut.
“Ini kamar Nyonya Muda, kamar Mbak Mia ada di sebelah. Kamar Tuan Muda ada di lantai atas,” ujar pengawal menjelaskan.
Risa sudah tidak kaget dengan apa yang disampaikan oleh pengawal. Saat masih tinggal di rumah orang tuanya saja, Adi sudah memintanya untuk tidur di kamar lain. Apalagi di sini yang hanya ada mereka berdua dan asisten rumah tangga, sudah pasti Mia tidak akan berani ikut campur dengan urusan majikannya.
“Iya, nggak apa-apa. Terima kasih, ya, Pak.” Risa meletakkan tas di atas tempat tidur.
“Iya, Nyonya. Selamat beristirahat,” ucap pengawal sambil membungkukkan badan, lalu keluar dari kamar itu.
“Saya susun dulu baju-bajunya, ya, Nyonya Muda.” Mia menarik koper dan tas yang berisi pakaian Risa menuju walk in closet.
“Iya, Mbak. Biar saya bantu,” ujar Risa sembari berjalan mengikuti Mia.
Setelah merapikan semua barang-barang di kamar Risa, Mia melanjutkan pekerjaan di kamarnya sendiri. Ia juga menata baju-bajunya ke dalam lemari. Setelah selesai berbenah, mereka berdua pergi ke dapur untuk melihat apa yang bisa dimasak untuk makan siang.“Nyonya, kulkasnya masih kosong. Kita pesan makanan saja, ya,” kata Mia mengusulkan.“Nggak usah, Mbak. Bagaimana kalau kita beli bahan mentahnya saja? Masih lama juga waktu makan siang. Nanti kalau Pak Adi pulang tidak ada makanan, ‘kan, nggak enak,” ucap Risa. Ia sengaja memanggil Adi dengan sebutan ‘pak’ di depan asisten rumah tangga supaya terdengar lebih sopan.“Baiklah, Nyonya Muda. Saya akan minta Pak Dodi pergi berbelanja ke supermarket,” ujar Mia.“Tidak usah, Mbak. Supermarketnya cuma di bawah, ‘kan? Bar saya saja yang pergi,” pungkas Risa sambil menyambar tas di atas tempat tidur.“Jangan, Nyonya Muda. Anda tidak boleh melakukan apapun, itu perintah Nyonya Besar.” Mia langsung menahan tangan Risa.“Mbak Mia, di sini tidak
Seorang suami yang seharusnya menjaga kehormatan dan harga diri seorang istri di depan laki-laki lain, tetapi Adi justru melakukan hal sebaliknya. Ia sendiri malah membiarkan laki-laki lain menawar istrinya seperti barang dagangan dan dengan mudahnya ia memberikan istrinya pada laki-laki itu.Risa terus menangis di dalam kamar sambil memeluk foto almarhum ayahnya, hanya dengan cara itu yang bisa membuat perasaannya sedikit lebih tenang saat menghadapi masalah. Pada saat mengingat almarhum ayahnya, Risa selalu mencoba untuk tetap bersabar dan menerima kenyataan bahwa ia harus kuat menghadapi semuanya.“Papa, berikan hatimu padaku agar aku bisa belajar bagaimana Papa menghadapi masalah tanpa sedikitpun mengeluh.” Risa mengelus foto almarhum ayahnya, kemudian diletakkannya kembali ke dalam laci meja.Ia beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi, Risa langsung mengerjakan shalat maghrib. Ternyata sudah cukup lama ia mengurung diri
Bola mata Risa membulat sempurna begitu melihat siapa yang sedang bersama Adi di sofa. Wanita yang tak sengaja ditabraknya saat di mal beberapa yang lalu, sekarang ada di apartemen suaminya. Risa menatap Adi untuk menunggu penjelasannya, tetapi laki-laki itu hanya diam seribu bahasa. Ia tidak mengatakan apapun pada Risa atas apa yang diperbuatnya saat ini dan siapa wanita yang sedang bersamanya itu.“Kenapa wanita sialan ini ada di apartemen kamu, Beb?” tanya wanita itu dengan mengarahkan telunjuknya pada Risa. Ia bergelayut manja di lengan Adi.“Kamu kenal sama dia? Bagaimana bisa?” Adi balik bertanya pada wanita itu.“Iya, Beb. Tadi dia yang menabrakku di mal,” ujar wanita itu dengan nada yang dibuat manja. Sebagai sesama perempuan, Risa bahkan merasa malu melihat tingkahnya yang seperti itu.“Kamu pergi keluar? Sama siapa?” teriak Adi dengan emosi sambil menatap Risa dengan tajam.“Maaf, Tuan Muda. Saya yang mengajak Nyonya Mu ….” Mia belum menyelesaikan ucapannya, tetapi Adi sud
Seminggu telah berlalu, kini usia pernikahan Risa dan Adi sudah memasuki minggu kedua. Tidak ada yang berubah dalam kisah rumah tangga mereka, semua masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Mereka berdua memang tinggal satu atap, tetapi dibatasi oleh dinding yang sangat kokoh. Risa bahkan tidak diizinkan menginjak kakinya ke dalam kamar pria itu.Hari ini adalah awal pekan, Adi telah pergi ke kantor pagi-pagi sekali. Risa juga sudah memutuskan untuk kembali mengajar meskipun sebenarnya ia masih diberikan waktu cuti oleh kepala sekolah, tetapi ia merasa bosan dengan hanya berdiam diri di apartemen, makanya ia memutuskan untuk kembali mengajar. Risa juga sudah mengatakan hal itu kepada Adi, meskipun pria itu tidak memberikan tanggapan apapun, tetapi ia juga tidak melarang istrinya. “Mbak Mia, aku berangkat kerja, ya. Mbak nggak apa-apa kalau saya tinggal sendiri?” tanya Risa, ia merasa tidak enak meninggalkan Mia sendirian di apartemen.“Iya, Nyonya Muda, tidak apa-apa. Nyonya berangk
Pelajaran pun dimulai, Risa melakukan tugasnya seperti biasa. Ia bernyanyi dan diikuti oleh anak-anak. Itulah kegiatan para murid sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), mereka belajar sambil bermain. Suasana di dalam kelas ricuh dengan suara nyanyian dan teriakan. Inilah alasan terbesar Risa ingin menjadi tenaga pendidik, ia ikut bahagia saat melihat anak-anak muridnya tertawa lepas seperti tanpa beban. Keceriaan mereka adalah semangat bagi Risa. “Anak-anak Bunda, sekarang istirahat dulu, ya. Bel sudah berbunyi,” ucap Risa. “Baik, Bunda!” sahut anak-anak secara bersamaan. “Sekarang cuci tangan dulu, setelah itu kita makan. Anak-anak Bunda bawa bekal semuanya, ‘kan?” tanya Risa. “Bawa dong, Bunda!” jawab anak-anak, mereka bergantian pergi ke wastafel untuk mencuci tangan. Setelah selesai mencuci tangan mereka pun mulai makan bersama. Semua anak membawa bekal, kecuali satu orang, yaitu Alif. Anak murid laki-laki yang sangat pendiam, tidak banyak bicara dan susah berinteraksi d
Kurang lebih selama dua puluh menit berada di dalam lift yang tak berfungsi, akhirnya Indri dan Risa berhasil dikeluarkan oleh tim keamanan. Risa ditemukan dalam keadaan sudah tidak sadarkan diri, sementara Indri menangis tergugu di samping tubuh gurunya.“Bunda, bangun! Bunda kenapa? Indri takut, Bunda,” ucap Indri. Anak itu terus mengguncang tubuh Risa untuk membangunkannya.Tim keamanan dan Pak Dodi masuk ke dalam lift untuk membawa Risa dan Indri keluar dari sana. Namun, di saat Pak Dodi bersiap akan mengangkat tubuh Risa, tiba-tiba seseorang menghentikannya.“Tunggu!” ucap orang itu. Kemudian ia mengambil alih tubuh Risa, menggendongnya keluar dari lift.“Papa,” panggil Indri seraya berlari ke arah laki-laki yang sedang memangku tubuh Risa.“Hei, Princess Papa. Kamu tidak apa-apa, ‘kan?” tanya orang itu dengan lembut.“Iya, Pa. Indri tidak apa-apa, tapi Bunda Risa pingsan.” Indri menundukkan wajahnya, merasa bersalah atas kejadian yang menimpa gurunya..“Tidak apa-apa, dia akan
Adi telah menyelidiki latar belakang Risa setelah ia menikahi wanita itu. Awalnya Adi merasa bersalah pada Risa, karena ia berpikir wanita itu dipaksa oleh ibunya, tetapi ternyata semua dugaannya salah. Risa menerima pernikahan itu demi uang, Ibu Airin telah mengeluarkan uang dalam jumlah yang sangat besar supaya Risa mau menikah dengan anaknya. Itulah yang membuat Adi sangat membenci istrinya, tetapi sebenarnya Risa sendiri juga tidak tahu apa yang telah dijanjikan oleh ibu kandungnya bersama ibu dari suaminya.Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Adi berencana untuk pergi ke sebuah cafe yang terletak tidak jauh dari kantornya. Ia belum mengetahui jika saat ini Ibu Airin ada di apartemennya.“Selamat sore, Pak.” Sekretaris Adi masuk ke ruangannya.“Ada apa?” Adi berbicara tanpa melihat ke arah sekretarisnya.“Maaf, Pak. Di bawah ada wartawan yang ingin bertemu dengan Bapak,” ujar sekretaris Adi.“Wartawan? Untuk apa mereka ingin bertemu dengan saya?” Adi bergumam sangat pelan.
Yang bisa Risa lakukan saat ini hanya pasrah atas apa yang telah dilakukan wanita yang telah melahirkannya, orang yang selama ini sangat ia hormati dan sayangi. Namun, ternyata tega menukarkan putri kandungnya dengan uang hanya demi memenuhi ambisinya. Risa pikir selama ini sang ibu benar-benar menyayanginya, tetapi kenyataannya dia malah menjerumuskan dirinya ke jurang yang sangat dalam. Risa merasa sangat malu untuk mengangkat wajahnya di depan Adi.“Maaf, tetapi saya benar tidak tahu apa-apa soal itu. Kamu bisa bertanya langsung sama Mama Airin jika kamu tidak percaya.” Risa mencoba untuk menjelaskan pada suaminya, tetapi tidak semudah itu Adi akan menerima penjelasannya. Karena kebencian pria itu pada istrinya jauh lebih besar dari rasa simpati atau hanya sekedar kasihan.“Jangan pernah berharap apapun atas pernikahan ini. Karena kamu tidak akan mendapatkannya. Baik itu harta, perhatian dari saya, apalagi cinta.” Adi melempar wajah Risa dengan jasnya, kemudian berlalu ke kamar me