Share

2. Kehidupan Risa Setelah Menikah

“Cinta adalah sebuah rasa yang setiap orang memilikinya. Pernikahan adalah impian, menikah dengan orang yang kita cintai adalah harapan setiap pasangan kekasih. Sayangnya itu tidak terjadi padaku, aku seolah dipermainkan oleh takdir.” (Larisa Maheswari)

*** 

Adi Chandrawinata adalah pengusaha muda berusia 28 tahun. Memiliki wajah tampan, postur tubuh yang proporsional, rahang kokoh dan memiliki mata tajam seperti elang. Sikapnya dingin tak tersentuh, kasar dan angkuh.

Papanya bernama Arya Winata, berusia 55 tahun. Sedangkan mamanya bernama Airin Pratiwi Winata, berusia 45 tahun. Mereka berdua adalah pasangan suami istri dari kalangan orang biasa. Perusahaan yang Adi pimpin saat ini adalah hasil jerih payahnya sendiri, ia memulai usaha itu dari nol hingga bisa sukses seperti sekarang.

******

Sehari setelah menikah, Risa langsung pindah ke rumah suaminya. Untuk pertama kalinya ia masuk ke dalam  rumah mewah bak istana, luasnya bisa tiga kali lipat dari rumahnya yang dulu. Ia disambut dengan ramah oleh keluarga besar suaminya.

“Ayo masuk, Sayang!” ajak ibu mertua Risa dengan lembut.

“Iya, Nyonya!”  jawab Risa dengan gagu karena ia tidak tahu harus memanggil wanita itu dengan sebutan apa.

“Jangan panggil Nyonya, Sayang. Tapi Mama, sama seperti Adi.” Ibu Airin tersenyum ramah sambil merangkul menantunya.

‘Masya Allah … dia sangat baik,’ ucap Risa dalam hati. 

“Bi, tolong antar dia ke kamar!” pinta Bu Airin pada seorang asisten rumah tangga. 

“Baik, Nyonya. Mari, Nona Muda!” seru wanita paruh baya sembari membawa tas milik Risa.

Risa kemudian dibawa ke salah satu kamar yang berada di lantai atas. Saat kakinya melangkah masuk ke ruangan itu, ia melihat kamar yang sangat indah. Bertaburan bunga mawar merah di setiap sudut ruangan, di lantai dan di atas tempat tidur. Itu adalah kamar pengantin tapi bukan untuknya. Seharusnya kamar itu menjadi kamar pengantin Adi dan calon istrinya yang telah pergi entah ke mana.

“Silahkan beristirahat, Nyonya Muda!”  ucap seorang wanita paruh baya yang belum Risa ketahui namanya.

“Terima kasih, Buk.” Risa membungkukkan badan sebagai bentuk hormat terhadap pada wanita itu.

“Jangan seperti itu, Nyonya Muda. Saya hanya seorang pelayan di sini,”  ucap wanita itu lagi.

“Jadi … saya harus panggil apa?” tanya Risa dengan lembut. 

“Bi Ratih,” sahut seseorang dari arah pintu kamar yang terbuka.

Risa dan Bi Ratih menoleh ke arah sumber suara, ternyata itu adalah Ibu Airin, ibu mertua Risa. Wanita itu tersenyum sembari masuk ke dalam kamar.

“Nyonya, saya permisi!” Wanita bernama Bi Ratih segera keluar dari kamar itu.

“Risa … sekarang kamu istirahat, ya. Nanti kalau Adi sudah pulang, kamu tolong siapkan pakaiannya!” pinta Bu Airin.

“Baik, Ma.” Risa masih merasa gugup saat memanggil ibu mertuanya.

“Maafkan kami karena sudah membuat kamu berada dalam posisi sekarang. Dari dulu Mama memang tidak suka sama calon istrinya Adi, tapi Mama tidak bisa berbuat apa-apa. Adi sangat susah dibilangin, dia akan selalu melakukan apapun yang menurutnya benar.” Bu Airin memeluk Risa dengan erat.

“Tidak apa-apa, Ma, aku akan berusaha untuk ikhlas. Mungkin ini memang takdirku,” sahut Risa sambil tersenyum dalam dekapan hangat ibu mertuanya.

“Kamu yang sabar, ya. Buatlah Adi jatuh cinta sama kamu. Mama yakin, dia akan menerima kamu suatu saat nanti," ujar Bu Airin seraya melerai pelukannya. 

“Iya, Ma. Aku akan berusaha jadi istri yang baik untuknya.” jawab Risa dengan ragu-ragu. Karena ia sendiri merasa tidak yakin dengan ucapannya.

“Ya sudah. Sekarang kamu rapikan baju-baju kamu, ya. Mama mau ke bawah,” ucap Bu Airin, lalu ia keluar dari kamar putranya. 

*** 

Malam harinya. Waktu sudah menunjuk di angka tujuh malam saat mobil Adi berhenti di depan rumah besar keluarga Winata. Pria itu bergegas masuk rumah dan langsung pergi ke kamarnya. 

BRAK!

Suara pintu kamar ditendang dengan kasar sehingga membuat penghuni di dalamnya terperanjat kaget. Adi masuk ke ruangan itu dan menatap seseorang yang duduk di atas kasurnya dengan tajam, seperti menatap musuh yang sangat ia benci.

Risa menelan ludah dengan susah payah sambil meremas ujung sprei. “Kamu sudah pulang? Aku siapkah pakaian,” ucapnya dengan suara bergetar, lalu berdiri dan berjalan menuju walk in closet.

“Kamu nggak punya mata? Sudah lihat orangnya ada di sini masih saja ditanya! Nggak perlu kamu siapin apa-apa, aku bisa sendiri!” tandas Adi dengan ketus serta sorot mata tajam.

“Maafkan aku, aku hanya ingin membantumu.” Risa menghentikan langkahnya, lalu kembali duduk di atas kasur.

“Kamu jangan bermimpi untuk tidur satu ranjang denganku. Sana! Aku mau istirahat.” Adi mendorong tubuh istrinya dengan kasar, lalu melempar satu bantal ke sofa yang ada di kamar itu. “Tidur sana!” perintahnya.

Risa mengangguk patuh lalu berjalan ke arah sofa dan membaringkan tubuhnya yang lelah. Ia melihat ke arah Adi yang terbaring di atas kasur, tapi pria itu masih menggunakan sepatunya.

“Kenapa sepatunya tidak dilepas?” Risa bergumam sembari bangkit dari tidurnya.

Risa berniat membantu Adi melepaskan sepatunya. Tangannya pun terulur untuk melepaskan sepatu yang masih melekat di kaki pria itu. Namun, belum sempat ia menyentuh kakinya, Adi sudah lebih dulu menendang wajahnya yang tertunduk.

“Jangan lancang kamu! Dasar wanita sialan!” bentak Adi dengan sangat keras sehingga membuat Risa kaget mendengarnya.

“Maaf, tapi aku cuma ….” Ucapan Risa langsung dipotong oleh Adi.

“Cuma apa? Cuma mau jadi penjilat? Kamu salah sasaran! Aku nggak mempan sama trik murahan kamu itu!” sergah Adi seraya bangkit dari tidurnya. Ia melepas sepatu dengan kasar lalu masuk ke kamar mandi dengan membanting pintu sangat keras.

Hati Risa sakit mendengar perkataan suaminya, tapi ia berusaha menahan air matanya agar tak menetes. Karena air mata tidak akan mengubah apapun.

“Ya Tuhan, apa salahku? Aku tidak mengetahui apapun sebelumnya, tapi kenapa suamiku mengatakan kalau aku seorang penjilat?” gumam Risa sambil memungut sepatu suaminya yang tergeletak di lantai.

Adi menikahi Risa hanya untuk menjaga nama baik keluarganya. Karena calon istrinya pergi meninggalkan dia tepat di hari pernikahan mereka. Hingga akhirnya Risa yang harus menjadi istri pengganti.

Setelah mereka menikah, Risa juga baru mengetahui bahwa almarhum ayahnya dan orang tua Adi adalah teman baik. Hotel tempat pernikahan mereka dilaksanakan kemarin, tanah itu dulunya adalah milik almarhum ayahnya Risa yang dibeli oleh orang tuanya Adi.

Tak lama kemudian, Adi keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk putih yang melilit di pinggangnya. Risa menutup wajahnya saat melihat pria itu berjalan ke arahnya. 

“Ngapain kamu masih di sini? Cepat keluar! Aku nggak sudi berbagi ruangan sama wanita sialan sepertimu.” Adi lagi-lagi melontarkan kata-kata yang sangat menyakitkan.

“Lalu, aku harus tidur dimana?” tanya Risa dengan polosnya.

“Terserah! Ada banyak kamar di rumah ini, kamu bisa tidur di mana saja asal jangan di kamar ini.” Nada suara Adi sangat ketus saat berbicara dengan istrinya. 

Risa tidak ingin membantah dan lebih memilih untuk pergi sesuai dengan permintaan Adi. Lantas ia pun bersiap untuk keluar dari kamar itu. Namun, baru satu langkah berjalan, tiba-tiba seseorang menghentikannya. 

“Tunggu!” ucap Adi dengan nada dingin.

“Iya.” Risa menoleh ke arah laki-laki itu.

“Bawa barang-barang kamu keluar dari kamar saya!” kata Adi sembari melempar semua pakaian Risa yang sudah tersusun rapi. 

“Tapi … kalau nanti mama kamu melihat ini bagaimana? Aku harus jawab apa?” Risa memberanikan diri untuk bertanya lagi. Karena ia tidak mau membuat ibu mertuanya sampai kecewa.

Adi langsung terdiam, ia tampak seperti memikirkan sesuatu. Lalu pria itu masuk ke ruang ganti tanpa mengucapkan apapun. Sementara Risa masih berdiri mematung di tempatnya, menunggu keputusan si pemilik kamar.

Beberapa menit kemudian, Adi keluar dari kamar ganti dengan mengenakan kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek.

“Kamu boleh tidur di kamar ini, tapi tempat kamu di sana!” tunjuk pria itu pada lantai yang hanya beralas karpet.

“Di sana?” tanya Risa memastikan. Tadinya ia pikir Adi kan mengizinkan dia tidur di sofa. 

“Iya. Apa itu salah? Aku nggak sudi kamu menyentuh barang-barang milikku. Ini kamu ganti lagi, ada bekas kamu di sini.” Adi menarik sprei yang tadi sempat Risa duduki. Apa segitu buruk istrinya di mata pria itu? Sampai-sampai semua barang yang telah Risa sentuh harus diganti. 

“Aku tidak tahu di mana spreinya,” kata Risa dengan wajah tertunduk.

“Dasar nggak berguna! Minggir sana! Biar aku ganti sendiri. Kalau kamu yang ganti sama saja, tetap ada bekas tangan kotormu nanti.”  Adi mendorong tubuh Risa dengan kasar sehingga membuat wanita itu tersungkur di lantai.

“Awww,”  Risa meringis kesakitan, lututnya terlihat memar karena dorongan Adi yang sangat kuat.

“Gak usah cari perhatian!” tukas Adi seraya menatap istrinya dengan sinis.

“Aku nggak cari perhatian. Ini benar-benar sakit,” sahut Risa sambil meringis menahan rasa sakit pada lututnya, tapi Adi sama sekali tak peduli.

“Ck!” Adi berdecak kesal. “Ini belum seberapa. Tunggu saja, kamu akan tahu rasa sakit yang sebenarnya itu seperti apa!” pekiknya memekakkan telinga Risa.

Risa berusaha bangkit, tapi kakinya terasa nyeri. Ia merasa tidak sanggup untuk berdiri. Akhirnya ia merangkak menuju tempat yang ditunjukkan Adi, kemudian membaringkan tubuhnya di atas karpet dan berusaha untuk memejamkan mata.

Untuk pertama kalinya Risa tidur hanya beralaskan karpet seperti ini. Meskipun hanya tinggal di kontrakan kecil, tapi ia masih bisa tidur di atas kasur. 

“Bismillah,” ucap Risa sambil menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhnya. Namun, belum sempat ia memejamkan mata, terdengar suara seseorang memanggil namanya. 

“Risa …,” panggil seseorang sambil mengetuk pintu kamar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status