“Cinta adalah sebuah rasa yang setiap orang memilikinya. Pernikahan adalah impian, menikah dengan orang yang kita cintai adalah harapan setiap pasangan kekasih. Sayangnya itu tidak terjadi padaku, aku seolah dipermainkan oleh takdir.” (Larisa Maheswari)
***
Adi Chandrawinata adalah pengusaha muda berusia 28 tahun. Memiliki wajah tampan, postur tubuh yang proporsional, rahang kokoh dan memiliki mata tajam seperti elang. Sikapnya dingin tak tersentuh, kasar dan angkuh.
Papanya bernama Arya Winata, berusia 55 tahun. Sedangkan mamanya bernama Airin Pratiwi Winata, berusia 45 tahun. Mereka berdua adalah pasangan suami istri dari kalangan orang biasa. Perusahaan yang Adi pimpin saat ini adalah hasil jerih payahnya sendiri, ia memulai usaha itu dari nol hingga bisa sukses seperti sekarang.
******
Sehari setelah menikah, Risa langsung pindah ke rumah suaminya. Untuk pertama kalinya ia masuk ke dalam rumah mewah bak istana, luasnya bisa tiga kali lipat dari rumahnya yang dulu. Ia disambut dengan ramah oleh keluarga besar suaminya.
“Ayo masuk, Sayang!” ajak ibu mertua Risa dengan lembut.
“Iya, Nyonya!” jawab Risa dengan gagu karena ia tidak tahu harus memanggil wanita itu dengan sebutan apa.
“Jangan panggil Nyonya, Sayang. Tapi Mama, sama seperti Adi.” Ibu Airin tersenyum ramah sambil merangkul menantunya.
‘Masya Allah … dia sangat baik,’ ucap Risa dalam hati.
“Bi, tolong antar dia ke kamar!” pinta Bu Airin pada seorang asisten rumah tangga.
“Baik, Nyonya. Mari, Nona Muda!” seru wanita paruh baya sembari membawa tas milik Risa.
Risa kemudian dibawa ke salah satu kamar yang berada di lantai atas. Saat kakinya melangkah masuk ke ruangan itu, ia melihat kamar yang sangat indah. Bertaburan bunga mawar merah di setiap sudut ruangan, di lantai dan di atas tempat tidur. Itu adalah kamar pengantin tapi bukan untuknya. Seharusnya kamar itu menjadi kamar pengantin Adi dan calon istrinya yang telah pergi entah ke mana.
“Silahkan beristirahat, Nyonya Muda!” ucap seorang wanita paruh baya yang belum Risa ketahui namanya.
“Terima kasih, Buk.” Risa membungkukkan badan sebagai bentuk hormat terhadap pada wanita itu.
“Jangan seperti itu, Nyonya Muda. Saya hanya seorang pelayan di sini,” ucap wanita itu lagi.
“Jadi … saya harus panggil apa?” tanya Risa dengan lembut.
“Bi Ratih,” sahut seseorang dari arah pintu kamar yang terbuka.
Risa dan Bi Ratih menoleh ke arah sumber suara, ternyata itu adalah Ibu Airin, ibu mertua Risa. Wanita itu tersenyum sembari masuk ke dalam kamar.
“Nyonya, saya permisi!” Wanita bernama Bi Ratih segera keluar dari kamar itu.
“Risa … sekarang kamu istirahat, ya. Nanti kalau Adi sudah pulang, kamu tolong siapkan pakaiannya!” pinta Bu Airin.
“Baik, Ma.” Risa masih merasa gugup saat memanggil ibu mertuanya.
“Maafkan kami karena sudah membuat kamu berada dalam posisi sekarang. Dari dulu Mama memang tidak suka sama calon istrinya Adi, tapi Mama tidak bisa berbuat apa-apa. Adi sangat susah dibilangin, dia akan selalu melakukan apapun yang menurutnya benar.” Bu Airin memeluk Risa dengan erat.
“Tidak apa-apa, Ma, aku akan berusaha untuk ikhlas. Mungkin ini memang takdirku,” sahut Risa sambil tersenyum dalam dekapan hangat ibu mertuanya.
“Kamu yang sabar, ya. Buatlah Adi jatuh cinta sama kamu. Mama yakin, dia akan menerima kamu suatu saat nanti," ujar Bu Airin seraya melerai pelukannya.
“Iya, Ma. Aku akan berusaha jadi istri yang baik untuknya.” jawab Risa dengan ragu-ragu. Karena ia sendiri merasa tidak yakin dengan ucapannya.
“Ya sudah. Sekarang kamu rapikan baju-baju kamu, ya. Mama mau ke bawah,” ucap Bu Airin, lalu ia keluar dari kamar putranya.
***
Malam harinya. Waktu sudah menunjuk di angka tujuh malam saat mobil Adi berhenti di depan rumah besar keluarga Winata. Pria itu bergegas masuk rumah dan langsung pergi ke kamarnya.
BRAK!
Suara pintu kamar ditendang dengan kasar sehingga membuat penghuni di dalamnya terperanjat kaget. Adi masuk ke ruangan itu dan menatap seseorang yang duduk di atas kasurnya dengan tajam, seperti menatap musuh yang sangat ia benci.
Risa menelan ludah dengan susah payah sambil meremas ujung sprei. “Kamu sudah pulang? Aku siapkah pakaian,” ucapnya dengan suara bergetar, lalu berdiri dan berjalan menuju walk in closet.
“Kamu nggak punya mata? Sudah lihat orangnya ada di sini masih saja ditanya! Nggak perlu kamu siapin apa-apa, aku bisa sendiri!” tandas Adi dengan ketus serta sorot mata tajam.
“Maafkan aku, aku hanya ingin membantumu.” Risa menghentikan langkahnya, lalu kembali duduk di atas kasur.
“Kamu jangan bermimpi untuk tidur satu ranjang denganku. Sana! Aku mau istirahat.” Adi mendorong tubuh istrinya dengan kasar, lalu melempar satu bantal ke sofa yang ada di kamar itu. “Tidur sana!” perintahnya.
Risa mengangguk patuh lalu berjalan ke arah sofa dan membaringkan tubuhnya yang lelah. Ia melihat ke arah Adi yang terbaring di atas kasur, tapi pria itu masih menggunakan sepatunya.
“Kenapa sepatunya tidak dilepas?” Risa bergumam sembari bangkit dari tidurnya.
Risa berniat membantu Adi melepaskan sepatunya. Tangannya pun terulur untuk melepaskan sepatu yang masih melekat di kaki pria itu. Namun, belum sempat ia menyentuh kakinya, Adi sudah lebih dulu menendang wajahnya yang tertunduk.
“Jangan lancang kamu! Dasar wanita sialan!” bentak Adi dengan sangat keras sehingga membuat Risa kaget mendengarnya.
“Maaf, tapi aku cuma ….” Ucapan Risa langsung dipotong oleh Adi.
“Cuma apa? Cuma mau jadi penjilat? Kamu salah sasaran! Aku nggak mempan sama trik murahan kamu itu!” sergah Adi seraya bangkit dari tidurnya. Ia melepas sepatu dengan kasar lalu masuk ke kamar mandi dengan membanting pintu sangat keras.
Hati Risa sakit mendengar perkataan suaminya, tapi ia berusaha menahan air matanya agar tak menetes. Karena air mata tidak akan mengubah apapun.
“Ya Tuhan, apa salahku? Aku tidak mengetahui apapun sebelumnya, tapi kenapa suamiku mengatakan kalau aku seorang penjilat?” gumam Risa sambil memungut sepatu suaminya yang tergeletak di lantai.
Adi menikahi Risa hanya untuk menjaga nama baik keluarganya. Karena calon istrinya pergi meninggalkan dia tepat di hari pernikahan mereka. Hingga akhirnya Risa yang harus menjadi istri pengganti.
Setelah mereka menikah, Risa juga baru mengetahui bahwa almarhum ayahnya dan orang tua Adi adalah teman baik. Hotel tempat pernikahan mereka dilaksanakan kemarin, tanah itu dulunya adalah milik almarhum ayahnya Risa yang dibeli oleh orang tuanya Adi.
Tak lama kemudian, Adi keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk putih yang melilit di pinggangnya. Risa menutup wajahnya saat melihat pria itu berjalan ke arahnya.
“Ngapain kamu masih di sini? Cepat keluar! Aku nggak sudi berbagi ruangan sama wanita sialan sepertimu.” Adi lagi-lagi melontarkan kata-kata yang sangat menyakitkan.
“Lalu, aku harus tidur dimana?” tanya Risa dengan polosnya.
“Terserah! Ada banyak kamar di rumah ini, kamu bisa tidur di mana saja asal jangan di kamar ini.” Nada suara Adi sangat ketus saat berbicara dengan istrinya.
Risa tidak ingin membantah dan lebih memilih untuk pergi sesuai dengan permintaan Adi. Lantas ia pun bersiap untuk keluar dari kamar itu. Namun, baru satu langkah berjalan, tiba-tiba seseorang menghentikannya.
“Tunggu!” ucap Adi dengan nada dingin.
“Iya.” Risa menoleh ke arah laki-laki itu.
“Bawa barang-barang kamu keluar dari kamar saya!” kata Adi sembari melempar semua pakaian Risa yang sudah tersusun rapi.
“Tapi … kalau nanti mama kamu melihat ini bagaimana? Aku harus jawab apa?” Risa memberanikan diri untuk bertanya lagi. Karena ia tidak mau membuat ibu mertuanya sampai kecewa.
Adi langsung terdiam, ia tampak seperti memikirkan sesuatu. Lalu pria itu masuk ke ruang ganti tanpa mengucapkan apapun. Sementara Risa masih berdiri mematung di tempatnya, menunggu keputusan si pemilik kamar.
Beberapa menit kemudian, Adi keluar dari kamar ganti dengan mengenakan kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek.
“Kamu boleh tidur di kamar ini, tapi tempat kamu di sana!” tunjuk pria itu pada lantai yang hanya beralas karpet.
“Di sana?” tanya Risa memastikan. Tadinya ia pikir Adi kan mengizinkan dia tidur di sofa.
“Iya. Apa itu salah? Aku nggak sudi kamu menyentuh barang-barang milikku. Ini kamu ganti lagi, ada bekas kamu di sini.” Adi menarik sprei yang tadi sempat Risa duduki. Apa segitu buruk istrinya di mata pria itu? Sampai-sampai semua barang yang telah Risa sentuh harus diganti.
“Aku tidak tahu di mana spreinya,” kata Risa dengan wajah tertunduk.
“Dasar nggak berguna! Minggir sana! Biar aku ganti sendiri. Kalau kamu yang ganti sama saja, tetap ada bekas tangan kotormu nanti.” Adi mendorong tubuh Risa dengan kasar sehingga membuat wanita itu tersungkur di lantai.
“Awww,” Risa meringis kesakitan, lututnya terlihat memar karena dorongan Adi yang sangat kuat.
“Gak usah cari perhatian!” tukas Adi seraya menatap istrinya dengan sinis.
“Aku nggak cari perhatian. Ini benar-benar sakit,” sahut Risa sambil meringis menahan rasa sakit pada lututnya, tapi Adi sama sekali tak peduli.
“Ck!” Adi berdecak kesal. “Ini belum seberapa. Tunggu saja, kamu akan tahu rasa sakit yang sebenarnya itu seperti apa!” pekiknya memekakkan telinga Risa.
Risa berusaha bangkit, tapi kakinya terasa nyeri. Ia merasa tidak sanggup untuk berdiri. Akhirnya ia merangkak menuju tempat yang ditunjukkan Adi, kemudian membaringkan tubuhnya di atas karpet dan berusaha untuk memejamkan mata.
Untuk pertama kalinya Risa tidur hanya beralaskan karpet seperti ini. Meskipun hanya tinggal di kontrakan kecil, tapi ia masih bisa tidur di atas kasur.
“Bismillah,” ucap Risa sambil menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhnya. Namun, belum sempat ia memejamkan mata, terdengar suara seseorang memanggil namanya.
“Risa …,” panggil seseorang sambil mengetuk pintu kamar.
Mendengar namanya dipanggil, Risa berusaha untuk bangun, tapi kakinya benar-benar tidak bisa digerakkan. Lantas ia pun memberanikan diri meminta bantuan Adi untuk membuka pintu dan melihat siapa yang ada di luar kamar.“Maaf, bisa tolong lihat siapa yang ada di luar. Karena kakiku nggak bisa digerakkan,” ucap Risa dengan suara lemah dan nyaris tak terdengar oleh Adi.“Berani sekali kamu memberi perintah padaku. Memangnya siapa kamu, hah?” bentak Adi sambil menatap Risa dengan tatapan tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya. “Aku minta maaf, tapi jika aku yang membuka pintunya, nanti mereka akan bertanya soal kakiku ini,” ujar Risa sambil menatap ke arah lututnya yang memar.“Apa? Jadi kakinya benar-benar sakit? Apa itu karena tadi aku mendorongnya terlalu kuat?” Adi bergumam pelan, tapi masih bisa mendengar oleh telinga Risa. Pria itu tampak memikirkan sesuatu, kemudian berjalan mendekati Risa dan mencengkram bahu istrinya dengan sangat kuat. “Akh!” Risa menjerit saat kuku
Suasana di meja makan menjadi hening seketika. Mereka bertiga pun melanjutkan sarapan tanpa Bu Airin. Pak Arya juga tidak menghabiskan makanannya, beliau segera menyusul istrinya ke kamar. Di meja makan saat ini hanya tinggal sepasang suami istri yang tampak saling diam satu sama lain. Setelah selesai sarapan, Adi langsung pergi ke kantor. Risa ikut mengantar sampai ke teras depan sambil membawa tas kerja suaminya. Ada rasa aneh yang dirasakan wanita itu saat ini, ia merasa menjadi istri sesungguhnya hanya karena perubahan sikap Adi. Pagi ini sikap Adi memang berbeda dari tadi malam. Pria itu mau menggunakan pakaian yang Risa siapkan, sekarang ia juga mengizinkan istrinya untuk ikut mengantar sampai ke mobil. Hal sekecil itu saja sudah membuat Risa bahagia. Namun, sepertinya itu hanya berlaku di depan kedua orang tuanya.“Sini tas-nya!” pinta Adi dengan nada ketus, ia juga mengambil paksa tas kerjanya yang ada di tangan Risa.“Maaf,” ucap Risa dengan wajah tertunduk. Baru saja mera
“Maaf, Ma, Apa Risa boleh menemui Mama Yulia?” tanya Risa dengan ragu-ragu. Ia takut jika ada perjanjian antara ibu kandung dan ibu mertuanya yang tidak ia ketahui. “Tentu saja boleh, kamu bahkan tidak perlu minta izin untuk bertemu sama dia. Pergilah! Mama akan suruh sopir untuk mengantar kamu ke sana,” kata Ibu Airin sambil mengelus pundak Risa. “Tidak perlu, Ma. Risa bisa naik taksi,” tolak Risa, tapi Ibu Airin tetap memaksa. “Kamu harus pergi sama sopir. Jika tidak, maka Mama tidak akan mengizinkan kamu pergi.” Ibu Airin mencubit gemas pipi menantunya. “Baiklah, Ma. Terima kasih atas semua kebaikan Mama,” ucap Risa dengan senyum tulus. “Tidak perlu berterima kasih, tapi maaf, ya, Mama tidak bisa ikut. Sampaikan salam Mama sama Mama kamu,” ujar Ibu Airin. “Iya, Ma. Nanti Risa sampaikan,” jawab Risa, lalu ia pergi ke kamar untuk mengambil tasnya. Risa pulang ke kontrakannya untuk yang pertama kali setelah ia menikah. Pernikahannya baru berjalan tiga hari. Seharusnya di usi
Setelah puas menumpahkan kesedihannya, Risa segera beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi. Lima menit kemudian ia keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Risa mencuci muka agar tak terlihat seperti habis menangis, ia tidak ingin terlihat sedih di depan ibunya. Risa keluar kamar lalu pergi ke dapur untuk menemui ibunya, tapi seseorang yang dicarinya tidak ada di sana. “Mama di mana?” gumamnya.“Risa, ada apa?” Bu Yulia tiba-tiba muncul di belakang Risa.“Mama, bikin kaget aja. Risa mau pamit pulang, Ma. Risa mau beres-beres pakaian yang akan dibawa ke apartemen.” Risa mengambil segelas air lalu menenggaknya hingga habis.“Ya sudah, kamu hati-hati. Ingat, jangan mengeluh apapun. Itu demi masa depan kamu. Bersabarlah,” ucap Bu Yulia sambil memeluk putrinya dengan erat.Risa mengangguk seraya mengulas senyum. “Iya, Ma. Risa pulang dulu, ya. Mama harus jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri. Risa akan selalu ada untuk Mama,” ujar Risa seray
Risa sedikit terkejut mendengar suara seseorang yang tiba-tiba memanggilnya, lalu ia menoleh ke arah orang itu sambil mengulas senyum. “Mama,” ucapnya.Ibu Airin menghampiri menantunya saat melihat wanita itu tengah sibuk menyajikan makanan ke dalam piring.“Risa, kamu ngapain pagi-pagi sudah ada di dapur?” tanya Ibu Airin. “Risa buatkan ini untuk Mama dan Papa, semoga saja makanan hasil masakan Risa cocok di lidah Mama dan Papa.” Risa menyerahkan piring yang berisi makanan kepada ibu mertuanya. “Wah … sepertinya enak. Ayo kita makan sama-sama! Mama ingin makan sepiring berdua sama kamu,” ujar Ibu Airin dengan semangat. “Papa nggak bisa ikut sarapan karena dia nggak ada di rumah,” lanjutnya.Risa terharu mendengar ajakan ibu mertuanya. Ia sangat bersyukur bisa mendapatkan ibu mertua yang sangat baik seperti Ibu Airin. “Tapi, Ma.” Risa berusaha menolak karena merasa sungkan. Ibu mertuanya itu adalah seorang nyonya besar, ia merasa tidak pantas makan sepiring dengan wanita terhormat
Setelah merapikan semua barang-barang di kamar Risa, Mia melanjutkan pekerjaan di kamarnya sendiri. Ia juga menata baju-bajunya ke dalam lemari. Setelah selesai berbenah, mereka berdua pergi ke dapur untuk melihat apa yang bisa dimasak untuk makan siang.“Nyonya, kulkasnya masih kosong. Kita pesan makanan saja, ya,” kata Mia mengusulkan.“Nggak usah, Mbak. Bagaimana kalau kita beli bahan mentahnya saja? Masih lama juga waktu makan siang. Nanti kalau Pak Adi pulang tidak ada makanan, ‘kan, nggak enak,” ucap Risa. Ia sengaja memanggil Adi dengan sebutan ‘pak’ di depan asisten rumah tangga supaya terdengar lebih sopan.“Baiklah, Nyonya Muda. Saya akan minta Pak Dodi pergi berbelanja ke supermarket,” ujar Mia.“Tidak usah, Mbak. Supermarketnya cuma di bawah, ‘kan? Bar saya saja yang pergi,” pungkas Risa sambil menyambar tas di atas tempat tidur.“Jangan, Nyonya Muda. Anda tidak boleh melakukan apapun, itu perintah Nyonya Besar.” Mia langsung menahan tangan Risa.“Mbak Mia, di sini tidak
Seorang suami yang seharusnya menjaga kehormatan dan harga diri seorang istri di depan laki-laki lain, tetapi Adi justru melakukan hal sebaliknya. Ia sendiri malah membiarkan laki-laki lain menawar istrinya seperti barang dagangan dan dengan mudahnya ia memberikan istrinya pada laki-laki itu.Risa terus menangis di dalam kamar sambil memeluk foto almarhum ayahnya, hanya dengan cara itu yang bisa membuat perasaannya sedikit lebih tenang saat menghadapi masalah. Pada saat mengingat almarhum ayahnya, Risa selalu mencoba untuk tetap bersabar dan menerima kenyataan bahwa ia harus kuat menghadapi semuanya.“Papa, berikan hatimu padaku agar aku bisa belajar bagaimana Papa menghadapi masalah tanpa sedikitpun mengeluh.” Risa mengelus foto almarhum ayahnya, kemudian diletakkannya kembali ke dalam laci meja.Ia beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi, Risa langsung mengerjakan shalat maghrib. Ternyata sudah cukup lama ia mengurung diri
Bola mata Risa membulat sempurna begitu melihat siapa yang sedang bersama Adi di sofa. Wanita yang tak sengaja ditabraknya saat di mal beberapa yang lalu, sekarang ada di apartemen suaminya. Risa menatap Adi untuk menunggu penjelasannya, tetapi laki-laki itu hanya diam seribu bahasa. Ia tidak mengatakan apapun pada Risa atas apa yang diperbuatnya saat ini dan siapa wanita yang sedang bersamanya itu.“Kenapa wanita sialan ini ada di apartemen kamu, Beb?” tanya wanita itu dengan mengarahkan telunjuknya pada Risa. Ia bergelayut manja di lengan Adi.“Kamu kenal sama dia? Bagaimana bisa?” Adi balik bertanya pada wanita itu.“Iya, Beb. Tadi dia yang menabrakku di mal,” ujar wanita itu dengan nada yang dibuat manja. Sebagai sesama perempuan, Risa bahkan merasa malu melihat tingkahnya yang seperti itu.“Kamu pergi keluar? Sama siapa?” teriak Adi dengan emosi sambil menatap Risa dengan tajam.“Maaf, Tuan Muda. Saya yang mengajak Nyonya Mu ….” Mia belum menyelesaikan ucapannya, tetapi Adi sud