Share

Takdir Cinta Khairunnisa
Takdir Cinta Khairunnisa
Author: Sarastiti Aryono

PROLOG

Aku akan masuk kamar mandi, saat sayup-sayup terdengar pintu samping yang menghubungkan ruang tengah dengan garasi diketuk. Ucapan salam terdengar samar tertimpa suara tetesan air langit yang beradu dengan atap rumah. Sore itu, hujan turun sangat deras disertai kilatan petir dan gelegar halilintar. Gegas diri ini menuju ke arah pintu. Memutar anak kunci yang terpasang di lubangnya, lalu memutar kenopnya sebelum akhirnya pintu terbuka sempurna.

Aku terkesiap demi melihat sosok yang kini ada di hadapan. Mas Iqbal? Baju dan celana yang membalut tubuhnya basah kuyup, wajahnya pucat dengan bibir membiru. Tubuh tegap itu menggigil, bergetar menahan dingin.

Refleks aku bentangkan handuk yang sejak tadi tersampir di pundak, segera menyelimutkan ke dadanya. Sejenak mata kami bertautan, sorot manik hitam itu masih tetap menggetarkan hati. Aku segera mundur beberapa langkah karena tiba-tiba teringat kata-katanya di gazebo Resto Omah Ndeso kemarin siang.

"Maaf ... aku tidak bermaksud_" Belum sempat aku merampungkan kalimat, terdengar suara Mbak Ainun yang ternyata sudah ada di belakangku.

"Masyaallah ... Iqbal? Kenapa hujan-hujanan, nggak bisa apa nunggu reda dulu baru pulang? Cuaca sedang tidak menentu. Rawan! Kalau ada yang harus kamu ambil, kan bisa telepon aku atau Nisa, nanti dibawa pas kami kembali ke rumah sakit." Mbak Ainun berkata panjang lebar sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sebagai anak sulung, ia memang sangat peduli pada kedua adiknya.

"Iya, Mbak, abah memintaku menjemput Nisa."

Suara Mas Iqbal datar, wajahnya tanpa ekspresi. Handuk yang tadi kuselimutkan di dada kini berpindah ke kepala, ia gosok-gosokan pada rambutnya.

"Maksudnya?" Sama sepertiku, Mbak Ainun juga tertegun, belum tahu apa maksud Mas Iqbal.

"Nis, bersiaplah! Setelah aku ganti baju kita segera ke rumah sakit. Semoga secepatnya hujan reda."

Tanpa menjawab pertanyaan Mbak Ainun, Mas Iqbal memintaku segera berkemas. Aku belum sempat mengiyakan kata-katanya karena buru-buru pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu berlalu meninggalkan kami berdua terbengong di ruang tengah.

"Ada apa ya, Mbak? Tiba-tiba Abah memintaku ke rumah sakit. Padahal tadi siang, beliau yang menyuruh kita pulang, kan"

Aku mencoba bertanya pada Mbak Ainun. Sudah tiga hari ini abah dan umi menunggu Mas Irsyad di rumah sakit. Selama itu pula kami bergantian menemani mereka, mengantar makanan dan minuman juga pakaian ganti abah dan umi.

"Entahlah, Nis .... Sebaiknya saat hujan sudah reda nanti, segera ke rumah sakit bersama Iqbal."

Mbak Ainun menyentuh pundakku. Lalu memintaku segera mandi. Ah, di mana handukku? Aku baru ingat tadi kain berbulu itu dipakai Mas Iqbal. Terlintas di benak untuk mengetuk pintu kamarnya, lalu meminta handuk warna biru itu, tetapi buru-buru aku mengurungkan niat. Tidak enak rasanya, nanti dikira yang bukan-bukan lagi. Sudahlah, aku pakai handuk yang lain saja. Lagi pula handuk itu pasti sudah basah olehnya. Sementara aku mandi, Mbak Ainun membantu menyiapkan beberapa baju ganti untuk abah dan umi.

Hujan sudah reda, meski mendung tebal masih bergelayut di langit. Aku membonceng Mas Iqbal menuju rumah sakit. Tak ada sepatah kata pun di antara kami. Membuat hawa yang sudah dingin kian membeku. Seandainya Mas Iqbal tak berubah pikiran untuk mengambil S2 di Malaysia, tentu kami tidak sekaku ini. Setidaknya akan tercipta obrolan yang mampu menghangatkan suasana. Aku bersedekap, menghalau gigil yang menusuk tulang. Saking terburu-buru aku sampai lupa mengenakan baju hangat yang tadi sudah kusiapkan.

Khayalanku terhenti saat Mas Iqbal menepikan laju kendaraannya dan perlahan berhenti di bahu jalan. Sosok penuh kharisma itu segera turun dari motor dan membiarkan diri ini tetap duduk di boncengan. Seperti mengerti apa yang ada di benakku, sejurus kemudian ia melepas jaketnya. Aku tak kuasa menolak, saat dalam hitungan detik lelaki berkaus putih itu telah memakaikan jaket biru dongker itu di tubuh ini. Diam tanpa kata. Kemudian bergegas kembali melanjutkan perjalanan yang baru setengah kami lalui.

Meski membisu dengan alasan yang aku tak tahu, tetapi Mas Iqbal masih sangat peduli. Kupandangi bahu bidang di hadapan, ingin rasanya kusandarkan kepala di situ. Lalu, perlahan kutumpahkan semua tanya yang mengendap di dada. Tentang rasa penasaranku kenapa tiba-tiba ia berubah pikiran untuk kuliah di luar negeri, juga tentang sikapnya padaku yang tak menentu.

Namun, itu tak mungkin, karena sejak mendengar pernyataannya kemarin di gazebo Omah Ndeso, aku bertekad melupakan dirinya. Aku lelah dengan semua ini, tak mau lagi terombang-ambing dalam rasaku sendiri. Meski itu sangat sulit. Seperti petikan lirik lagu Fatin.

'Berkali kumencoba lupakan kisah tentangmu. Hapuskanmu dari benakku, tetapi semakin kucoba semakin ku tak berdaya.'

Tak terasa pipiku telah basah oleh titik-titik air mata bercampur dengan rintik gerimis yang mulai turun lagi.

***

Tiba di rumah sakit, abah dan umi menyambutku dengan senyuman meski sedih masih terlihat jelas di wajah sepuh mereka. Umi memeluk erat tubuh ini, di antara isak terdengar bisiknya di telingaku.

"Bantu Irsyad, Nis ...."

Kuanggukkan kepala beberapa kali, memastikan kalau aku siap untuk membantu Mas Irsyad, yang merupakan kakak kandung Mas Iqbal.

Tanpa diminta pun diri ini siap membantu putra tengah beliau yang sudah tiga hari dirawat di RS ini. Bukankah semalam aku juga bersama dengan umi dan yang lain bermalam di sini? Bahkan aku pulang pun atas perintah abah untuk mengambil keperluan abah dan umi selama menunggu Mas Irsyad dirawat. Itu semua adalah wujud kepedulianku untuk Mas Irsyad.

Aku ikhlas melakukannya karena sadar semua ini tak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan bantuan abah dan umi untukku. Apa pun akan kulakukan untuk keluarga ini karena aku sudah menjadi bagian dari mereka. Dua orang bijaksana itu sangat berjasa dalam perjalanan hidupku, sudah seharusnya aku membantu di saat sulit seperti ini. Aku dan umi masih berpelukan.

Sesaat kemudian, abah memintaku untuk duduk di bangku panjang ruang tunggu. Aku menuruti perintahnya, kuletakkan pantatku tepat di sebelah kanan umi. Tangan wanita berumur enam puluh tahun itu kugenggam erat, berusaha menenangkan dan memberikan semangat. Meyakinkan wanita penyabar itu, bahwa aku akan senantiasa di sampingnya. Tak berselang lama, abah telah duduk di samping kananku. Jadilah kini aku diapit oleh dua orang tua asuhku. Umi masih terisak, ketika dengan suara parau abah menyampaikan maksudnya memanggilku kesini.

“Harapan Irsyad untuk sadar sangat tipis, Nis. Hanya mukjizat dari Allah yang bisa membuatnya siuman. Dokter pernah menangani kasus yang sama seperti yang kini Irsyad alami. Menurut dokter, dengan menghadirkan orang yang mempunyai hubungan emosional kuat dengan pasien diyakini dapat membantu memancing kesadarannya. Seseorang yang pasien anggap menjadi alasan untuknya tetap bertahan hidup di dunia ini.”

Abah mengubah posisi duduknya. Helaan napasnya terdengar sangat jelas di telingaku. Aku terdiam, belum menemukan kata-kata yang tepat untuk menanggapi apa yang baru saja disampaikan lelaki sepuh di sampingku.

“Kemarin, saat Irsyad mengantarmu kuliah, abah bersama Iqbal menggeledah kamarnya. Awalnya, kami mengira dia mengonsumsi barang laknat lagi. Karena setelah kembali ke rumah, tingkahnya aneh, seperti ada yang disembunyikan di kamarnya. Namun, semua terbantahkan saat tanpa sengaja Iqbal mendapati lukisan wajah seorang gadis di kamar itu. Yang membuat kami yakin kalau Irsyad menaruh hati pada gadis itu adalah kalimat yang ada di kanvas. Menurutnya, gadis itu yang membuatnya ingin hidup seribu tahun lagi. Kau tahu, Nis ...? Sebelumnya anak itu sulit sekali diajak kembali ke rumah, meski hanya sebentar. Kami sampai putus asa, menyerah dan membiarkannya menjadi relawan di panti. Namun, setelah bertemu gadis itu, ia bersedia untuk pulang. Dan gadis itu adalah kamu, Nis.” Kembali, abah menatap lekat netraku seraya menarik napas panjang.

Blem!!!

Aku seperti terjatuh dari gedung tinggi demi mendengar apa yang baru saja Abah sampaikan. Mataku panas, tubuhku perlahan lemas. Sudah jelas sekarang, mengapa tiba-tiba Mas Iqbal berubah pikiran untuk melanjutkan S-2. Aku yakin, ini pula yang membuatnya tidak melanjutkan kalimat yang terpotong saat di menara. Lalu, dia membelokkan semua itu dengan menghadiahi kotak biru--yang sampai detik ini belum siap membukanya. Ya Allah ... begitu rumitkah cinta? Atau memang ini salahku, yang menyimpan semua hanya dalam diam?

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, terlihat Mas Anas sedang berbincang dengan salah seorang perawat. Lalu, ke mana Mas Iqbal? Bukankah tadi dia ikut masuk ke ruang ini? Mataku berhenti mencari sosoknya saat kudengar dehaman Abah yang khas.

"Abah tahu, Nis, kami tidak berhak atasmu untuk menentukan pendamping hidup. Namun, setelah kepergian Nak Ilham kami perhatikan belum ada siapa pun yang dekat denganmu. Untuk itu, Abah mohon bantu kami, Nis. Jika saat ini kamu belum bisa mencintai dan menerima Irsyad, percayalah lambat laun rasa itu akan tumbuh dengan sendirinya."

Abah kembali bicara, tampak embun menetes dari sudut-sudut netranya. Bergulir membasahi pipinya yang semakin hari dipenuh keriput.

Pikiranku melayang ke beberapa tahun yang lalu, saat Abah dengan tulus memintaku untuk tinggal di rumahnya—tepat tujuh hari setelah ibu tiada. Tak terbayang nasibku kini, jika dulu tak ada yang mengasuh, membimbing dan memenuhi segala keperluanku. Bahkan setelah aku selesai sekolah sbah memintaku mengelola tokonya, memberi gaji yang lebih dari cukup. Pantaskah aku tak mengindahkan kehendaknya?

Lalu dengan ekor mata ini kulirik umi. Wanita berjilbab lebar itu masih menunduk dalam. Tangannya erat menggenggam jemariku. Meski tak bersuara, tetapi aku tahu pasti, harapannya juga sama seperti abah. Memintaku selalu ada di samping putranya. Memberi kekuatan dan semangat agar Mas Irsyad bisa bertahan hidup lebih lama lagi.

Umi, wanita kedua yang aku sayangi dan hormati setelah ibu. Beliau yang selama ini menggantikan sosok ibu di hidupku. Bahkan saat aku sedang tidak enak badan atau saat sakit karena datang bulan, dengan telaten umi merawatku layaknya seorang ibu merawat anaknya. Darinya aku banyak belajar tentang kesabaran dan pengorbanan juga keikhlasan seorang wanita, yang kelak akan dibayar dengan nikmatnya surga. Tegakah aku mengecewakannya?

Tentu aku sangat siap bila harus membantu mereka memulihkan kesadaran Mas Irsyad. Namun, aku sama sekali tidak membayangkan jika ternyata diam-diam Mas Irsyad mencintaiku. Menurut abah, akulah yang menjadi alasan utama Mas Irsyad mau kembali ke rumah. Menggapai asa setelah bertahun-tahun pupus harapan. Kini, kedua orang tua Mas Irsyad memohon dengan sangat padaku untuk membantu memancing kesadaran putranya⸺sesuai saran dokter. Meski abah mengatakan tidak memaksa, tetapi dari sorot matanya jelas sekali berharap besar padaku.

Rasanya aku ingin berlari sekencang mungkin. Keluar dari ruang ini, mencari Mas Iqbal. Lalu mengajaknya ke hadapan abah dan umi. Kemudian dengan bergandengan tangan kami ungkapkan semua. Bahwa sudah sejak lama kami saling mencintai dan saat ini berencana akan merenda hari-hari berdua, merajut asa. Semoga dengan begitu mereka maklum dan memahami. Untuk kemudian mencari solusi lain untuk memancing kesadaran Mas Irsyad.

'Hai, Nis! Belum ada sepatah kata pun ungkapan cinta dari Mas Iqbal!' Hati kecilku mengingatkan, dan aku membenarkan.

Satu kali pun aku belum mendengar Mas Iqbal mengatakan cinta padaku. Bahkan kini Mas Iqbal membulatkan tekadnya meninggalkanku dengan merubah keputusannya untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Menjauh dariku. Menyadari itu, aku hanya bisa menunduk dalam. Rasanya tak ada alasan untuk menolak permohonan sbah dan umi meski itu jelas-jelas menentang hati nurani.

Hujan kembali turun deras disertai kilatan petir dan suara guntur yang memekakkan telinga. Sama seperti suasana hatiku, bergejolak tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Aku belum mengiyakan permintaan abah dan umi, butuh waktu untuk memutuskan semua ini. Semoga mereka maklum akan diriku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status