Aku akan masuk kamar mandi, saat sayup-sayup terdengar pintu samping yang menghubungkan ruang tengah dengan garasi diketuk. Ucapan salam terdengar samar tertimpa suara tetesan air langit yang beradu dengan atap rumah. Sore itu, hujan turun sangat deras disertai kilatan petir dan gelegar halilintar. Gegas diri ini menuju ke arah pintu. Memutar anak kunci yang terpasang di lubangnya, lalu memutar kenopnya sebelum akhirnya pintu terbuka sempurna.
Aku terkesiap demi melihat sosok yang kini ada di hadapan. Mas Iqbal? Baju dan celana yang membalut tubuhnya basah kuyup, wajahnya pucat dengan bibir membiru. Tubuh tegap itu menggigil, bergetar menahan dingin.Refleks aku bentangkan handuk yang sejak tadi tersampir di pundak, segera menyelimutkan ke dadanya. Sejenak mata kami bertautan, sorot manik hitam itu masih tetap menggetarkan hati. Aku segera mundur beberapa langkah karena tiba-tiba teringat kata-katanya di gazebo Resto Omah Ndeso kemarin siang."Maaf ... aku tidak bermaksud_" Belum sempat aku merampungkan kalimat, terdengar suara Mbak Ainun yang ternyata sudah ada di belakangku."Masyaallah ... Iqbal? Kenapa hujan-hujanan, nggak bisa apa nunggu reda dulu baru pulang? Cuaca sedang tidak menentu. Rawan! Kalau ada yang harus kamu ambil, kan bisa telepon aku atau Nisa, nanti dibawa pas kami kembali ke rumah sakit." Mbak Ainun berkata panjang lebar sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sebagai anak sulung, ia memang sangat peduli pada kedua adiknya."Iya, Mbak, abah memintaku menjemput Nisa."Suara Mas Iqbal datar, wajahnya tanpa ekspresi. Handuk yang tadi kuselimutkan di dada kini berpindah ke kepala, ia gosok-gosokan pada rambutnya."Maksudnya?" Sama sepertiku, Mbak Ainun juga tertegun, belum tahu apa maksud Mas Iqbal."Nis, bersiaplah! Setelah aku ganti baju kita segera ke rumah sakit. Semoga secepatnya hujan reda."Tanpa menjawab pertanyaan Mbak Ainun, Mas Iqbal memintaku segera berkemas. Aku belum sempat mengiyakan kata-katanya karena buru-buru pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu berlalu meninggalkan kami berdua terbengong di ruang tengah."Ada apa ya, Mbak? Tiba-tiba Abah memintaku ke rumah sakit. Padahal tadi siang, beliau yang menyuruh kita pulang, kan"Aku mencoba bertanya pada Mbak Ainun. Sudah tiga hari ini abah dan umi menunggu Mas Irsyad di rumah sakit. Selama itu pula kami bergantian menemani mereka, mengantar makanan dan minuman juga pakaian ganti abah dan umi."Entahlah, Nis .... Sebaiknya saat hujan sudah reda nanti, segera ke rumah sakit bersama Iqbal."Mbak Ainun menyentuh pundakku. Lalu memintaku segera mandi. Ah, di mana handukku? Aku baru ingat tadi kain berbulu itu dipakai Mas Iqbal. Terlintas di benak untuk mengetuk pintu kamarnya, lalu meminta handuk warna biru itu, tetapi buru-buru aku mengurungkan niat. Tidak enak rasanya, nanti dikira yang bukan-bukan lagi. Sudahlah, aku pakai handuk yang lain saja. Lagi pula handuk itu pasti sudah basah olehnya. Sementara aku mandi, Mbak Ainun membantu menyiapkan beberapa baju ganti untuk abah dan umi.Hujan sudah reda, meski mendung tebal masih bergelayut di langit. Aku membonceng Mas Iqbal menuju rumah sakit. Tak ada sepatah kata pun di antara kami. Membuat hawa yang sudah dingin kian membeku. Seandainya Mas Iqbal tak berubah pikiran untuk mengambil S2 di Malaysia, tentu kami tidak sekaku ini. Setidaknya akan tercipta obrolan yang mampu menghangatkan suasana. Aku bersedekap, menghalau gigil yang menusuk tulang. Saking terburu-buru aku sampai lupa mengenakan baju hangat yang tadi sudah kusiapkan.Khayalanku terhenti saat Mas Iqbal menepikan laju kendaraannya dan perlahan berhenti di bahu jalan. Sosok penuh kharisma itu segera turun dari motor dan membiarkan diri ini tetap duduk di boncengan. Seperti mengerti apa yang ada di benakku, sejurus kemudian ia melepas jaketnya. Aku tak kuasa menolak, saat dalam hitungan detik lelaki berkaus putih itu telah memakaikan jaket biru dongker itu di tubuh ini. Diam tanpa kata. Kemudian bergegas kembali melanjutkan perjalanan yang baru setengah kami lalui.Meski membisu dengan alasan yang aku tak tahu, tetapi Mas Iqbal masih sangat peduli. Kupandangi bahu bidang di hadapan, ingin rasanya kusandarkan kepala di situ. Lalu, perlahan kutumpahkan semua tanya yang mengendap di dada. Tentang rasa penasaranku kenapa tiba-tiba ia berubah pikiran untuk kuliah di luar negeri, juga tentang sikapnya padaku yang tak menentu.Namun, itu tak mungkin, karena sejak mendengar pernyataannya kemarin di gazebo Omah Ndeso, aku bertekad melupakan dirinya. Aku lelah dengan semua ini, tak mau lagi terombang-ambing dalam rasaku sendiri. Meski itu sangat sulit. Seperti petikan lirik lagu Fatin.'Berkali kumencoba lupakan kisah tentangmu. Hapuskanmu dari benakku, tetapi semakin kucoba semakin ku tak berdaya.'Tak terasa pipiku telah basah oleh titik-titik air mata bercampur dengan rintik gerimis yang mulai turun lagi.***Tiba di rumah sakit, abah dan umi menyambutku dengan senyuman meski sedih masih terlihat jelas di wajah sepuh mereka. Umi memeluk erat tubuh ini, di antara isak terdengar bisiknya di telingaku."Bantu Irsyad, Nis ...."Kuanggukkan kepala beberapa kali, memastikan kalau aku siap untuk membantu Mas Irsyad, yang merupakan kakak kandung Mas Iqbal.Tanpa diminta pun diri ini siap membantu putra tengah beliau yang sudah tiga hari dirawat di RS ini. Bukankah semalam aku juga bersama dengan umi dan yang lain bermalam di sini? Bahkan aku pulang pun atas perintah abah untuk mengambil keperluan abah dan umi selama menunggu Mas Irsyad dirawat. Itu semua adalah wujud kepedulianku untuk Mas Irsyad.Aku ikhlas melakukannya karena sadar semua ini tak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan bantuan abah dan umi untukku. Apa pun akan kulakukan untuk keluarga ini karena aku sudah menjadi bagian dari mereka. Dua orang bijaksana itu sangat berjasa dalam perjalanan hidupku, sudah seharusnya aku membantu di saat sulit seperti ini. Aku dan umi masih berpelukan.Sesaat kemudian, abah memintaku untuk duduk di bangku panjang ruang tunggu. Aku menuruti perintahnya, kuletakkan pantatku tepat di sebelah kanan umi. Tangan wanita berumur enam puluh tahun itu kugenggam erat, berusaha menenangkan dan memberikan semangat. Meyakinkan wanita penyabar itu, bahwa aku akan senantiasa di sampingnya. Tak berselang lama, abah telah duduk di samping kananku. Jadilah kini aku diapit oleh dua orang tua asuhku. Umi masih terisak, ketika dengan suara parau abah menyampaikan maksudnya memanggilku kesini.“Harapan Irsyad untuk sadar sangat tipis, Nis. Hanya mukjizat dari Allah yang bisa membuatnya siuman. Dokter pernah menangani kasus yang sama seperti yang kini Irsyad alami. Menurut dokter, dengan menghadirkan orang yang mempunyai hubungan emosional kuat dengan pasien diyakini dapat membantu memancing kesadarannya. Seseorang yang pasien anggap menjadi alasan untuknya tetap bertahan hidup di dunia ini.”Abah mengubah posisi duduknya. Helaan napasnya terdengar sangat jelas di telingaku. Aku terdiam, belum menemukan kata-kata yang tepat untuk menanggapi apa yang baru saja disampaikan lelaki sepuh di sampingku.“Kemarin, saat Irsyad mengantarmu kuliah, abah bersama Iqbal menggeledah kamarnya. Awalnya, kami mengira dia mengonsumsi barang laknat lagi. Karena setelah kembali ke rumah, tingkahnya aneh, seperti ada yang disembunyikan di kamarnya. Namun, semua terbantahkan saat tanpa sengaja Iqbal mendapati lukisan wajah seorang gadis di kamar itu. Yang membuat kami yakin kalau Irsyad menaruh hati pada gadis itu adalah kalimat yang ada di kanvas. Menurutnya, gadis itu yang membuatnya ingin hidup seribu tahun lagi. Kau tahu, Nis ...? Sebelumnya anak itu sulit sekali diajak kembali ke rumah, meski hanya sebentar. Kami sampai putus asa, menyerah dan membiarkannya menjadi relawan di panti. Namun, setelah bertemu gadis itu, ia bersedia untuk pulang. Dan gadis itu adalah kamu, Nis.” Kembali, abah menatap lekat netraku seraya menarik napas panjang.Blem!!!Aku seperti terjatuh dari gedung tinggi demi mendengar apa yang baru saja Abah sampaikan. Mataku panas, tubuhku perlahan lemas. Sudah jelas sekarang, mengapa tiba-tiba Mas Iqbal berubah pikiran untuk melanjutkan S-2. Aku yakin, ini pula yang membuatnya tidak melanjutkan kalimat yang terpotong saat di menara. Lalu, dia membelokkan semua itu dengan menghadiahi kotak biru--yang sampai detik ini belum siap membukanya. Ya Allah ... begitu rumitkah cinta? Atau memang ini salahku, yang menyimpan semua hanya dalam diam?Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, terlihat Mas Anas sedang berbincang dengan salah seorang perawat. Lalu, ke mana Mas Iqbal? Bukankah tadi dia ikut masuk ke ruang ini? Mataku berhenti mencari sosoknya saat kudengar dehaman Abah yang khas."Abah tahu, Nis, kami tidak berhak atasmu untuk menentukan pendamping hidup. Namun, setelah kepergian Nak Ilham kami perhatikan belum ada siapa pun yang dekat denganmu. Untuk itu, Abah mohon bantu kami, Nis. Jika saat ini kamu belum bisa mencintai dan menerima Irsyad, percayalah lambat laun rasa itu akan tumbuh dengan sendirinya."Abah kembali bicara, tampak embun menetes dari sudut-sudut netranya. Bergulir membasahi pipinya yang semakin hari dipenuh keriput.Pikiranku melayang ke beberapa tahun yang lalu, saat Abah dengan tulus memintaku untuk tinggal di rumahnya—tepat tujuh hari setelah ibu tiada. Tak terbayang nasibku kini, jika dulu tak ada yang mengasuh, membimbing dan memenuhi segala keperluanku. Bahkan setelah aku selesai sekolah sbah memintaku mengelola tokonya, memberi gaji yang lebih dari cukup. Pantaskah aku tak mengindahkan kehendaknya?Lalu dengan ekor mata ini kulirik umi. Wanita berjilbab lebar itu masih menunduk dalam. Tangannya erat menggenggam jemariku. Meski tak bersuara, tetapi aku tahu pasti, harapannya juga sama seperti abah. Memintaku selalu ada di samping putranya. Memberi kekuatan dan semangat agar Mas Irsyad bisa bertahan hidup lebih lama lagi.Umi, wanita kedua yang aku sayangi dan hormati setelah ibu. Beliau yang selama ini menggantikan sosok ibu di hidupku. Bahkan saat aku sedang tidak enak badan atau saat sakit karena datang bulan, dengan telaten umi merawatku layaknya seorang ibu merawat anaknya. Darinya aku banyak belajar tentang kesabaran dan pengorbanan juga keikhlasan seorang wanita, yang kelak akan dibayar dengan nikmatnya surga. Tegakah aku mengecewakannya?Tentu aku sangat siap bila harus membantu mereka memulihkan kesadaran Mas Irsyad. Namun, aku sama sekali tidak membayangkan jika ternyata diam-diam Mas Irsyad mencintaiku. Menurut abah, akulah yang menjadi alasan utama Mas Irsyad mau kembali ke rumah. Menggapai asa setelah bertahun-tahun pupus harapan. Kini, kedua orang tua Mas Irsyad memohon dengan sangat padaku untuk membantu memancing kesadaran putranya⸺sesuai saran dokter. Meski abah mengatakan tidak memaksa, tetapi dari sorot matanya jelas sekali berharap besar padaku.Rasanya aku ingin berlari sekencang mungkin. Keluar dari ruang ini, mencari Mas Iqbal. Lalu mengajaknya ke hadapan abah dan umi. Kemudian dengan bergandengan tangan kami ungkapkan semua. Bahwa sudah sejak lama kami saling mencintai dan saat ini berencana akan merenda hari-hari berdua, merajut asa. Semoga dengan begitu mereka maklum dan memahami. Untuk kemudian mencari solusi lain untuk memancing kesadaran Mas Irsyad.'Hai, Nis! Belum ada sepatah kata pun ungkapan cinta dari Mas Iqbal!' Hati kecilku mengingatkan, dan aku membenarkan.Satu kali pun aku belum mendengar Mas Iqbal mengatakan cinta padaku. Bahkan kini Mas Iqbal membulatkan tekadnya meninggalkanku dengan merubah keputusannya untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Menjauh dariku. Menyadari itu, aku hanya bisa menunduk dalam. Rasanya tak ada alasan untuk menolak permohonan sbah dan umi meski itu jelas-jelas menentang hati nurani.Hujan kembali turun deras disertai kilatan petir dan suara guntur yang memekakkan telinga. Sama seperti suasana hatiku, bergejolak tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Aku belum mengiyakan permintaan abah dan umi, butuh waktu untuk memutuskan semua ini. Semoga mereka maklum akan diriku.Sepeda usang warna biru sudah aku sandarkan di samping pohon jambu depan rumah. Meski tidak sebagus dan semahal punya Lani atau Dewi, aku sangat bersyukur memilikinya. Sepeda inilah yang setia mengantarku menuntut ilmu, sejak masuk SMP hingga kini duduk di kelas 3 SMK. Bapak membelinya ketika aku diterima di SMP Negeri di Kota Kecamatan. Bukan sepeda baru, hanya sepeda bekas, tetapi aku sangat bersyukur karena memang kemampuan orang tuaku sebatas itu.Bapak seorang petani penggarap dan bekerja pada sebuah tempat penggilingan padi jika tidak ada pekerjaan di sawah. Aku sadar dengan keadaan ini. Untuk itu, tak pernah menuntut lebih. Selain itu, bapak dan ibu selalu mengajariku falsafah Jawa 'Nrimo Ing Pandum', menerima apa yang Allah SWT berikan pada hamba-Nya."Masih terlalu pagi, Nis. Bagaimana kalo mampir ke rumah Bu Nyai dulu, baju yang tempo hari beliau bawa ke sini sudah selesai ibu jahit." Suara ibu membuyarkan lamunanku."Baik, Bu. Sekalian Nisa bawa," jawabku dengan senang hat
Aku baru saja melipat mukena, saat kudengar pintu depan diketuk dari luar."Assalamualaikum ... Nis .... Buka pintunya, Nis!"Aku hapal benar suara itu, suara Mak Dijah⸺tetangga sebelah rumah yang sudah kuanggap seperti saudara."Waalaikumsalam," jawabku sambil meletakan mukena di atas sajadah. Refleks kuraih kerudung instan yang tergantung di balik pintu kamar, segera memakainya. Lalu setengah berlari menuju pintu depan."Ada apa, Mak?" tanyaku sambil membuka pintu."Ibumu, Nis ... tadi⸺" Mak Dijah tak melanjutkan kalimatnya."Ada apa, Mak? Ibu kenapa?" Aku kembali bertanya sambil menggoyang-goyang lengan Mak Dijah.Menjelang Magrib, ibu pamit untuk menghadiri majelis taklim di masjid. Biasanya, usai pengajian akan dilanjut dengan salat Isya berjamaah, kemudian pulang ke rumah masing-masing. Meski ibu sibuk dengan jahitan yang menumpuk, tetapi beliau berusaha meluangkan waktu dan tidak pernah absen hadir di majelis taklim khusus untuk ibu-ibu di kampung ini."Tidak apa-apa, Nis. Bu N
"Begini Nis, mungkin sebelumnya sudah abah sampaikan, bahwa sebelum ibumu meninggal, ia berwasiat menitipkanmu pada kami. Untuk itu, kedatangan kali ini bermaksud mengajakmu tinggal bersama di rumah kami. Karena bagaimanapun kamu masih butuh bimbingan, meski boleh dibilang telah dewasa, akan tetapi sangat riskan jika seorang gadis tinggal di rumah sendirian. Ya, walaupun berdekatan dengan rumah Mak Dijah, tetapi tidak setiap saat Mak Dijah bisa mengawasimu, kan? Mak Dijah juga punya keluarga yang harus diperhatikan, bukankah begitu Mak Dijah?" tanya Pak Kyai sambil mengalihkan pandangannya ke Mak Dijah. MakDijah yang duduk di sebelahku mengangguk-angguk, mengiyakan kata-kata Pak Kyai."Insyaallah kami akan siap membimbing dan mendampingimu, Nis. Memenuhi segala kebutuhan hidup dan sekolahmu. Anggaplah kami sebagai pengganti ibu dan bapakmu. Ya, meskipun kami paham tidak ada yang bisa menggantikan posisi itu, Nis. Paling tidak kami akan sangat lega karena sudah menunaikan pesan terakh
Sore hari, setelah menyampaikan kemantapan hati tinggal di rumah Pak Kyai, aku segera berkemas. Dibantu Mak Dijah aku memasukkan seluruh seragam sekolah dan beberapa stel baju harian ke dalam tas besar. Sedangkan buku-buku dan alat sekolah lainnya aku kemas rapi dengan kardus bekas. Sengaja aku tidak langsung membawa semua barang-barang, agar bisa bolak-balik ke rumah. Bagaimana juga banyak kenangan tercipta di rumah ini. Alhamdulillah Pak Kyai dan Bu Nyai tidak keberatan dengan permintaanku. "Ndak papa, Nis. Kamu bawa saja barang yang dirasa perlu dulu. Lainnya bisa nyicil besok-besok. Toh, rumahmu dekat. Atau mau aku panggilkan Pakde Tono biar diangkut pakai truk? Hehehe ...?" canda Bu Nyai. Pakde Tono adalah sopir truk di tempat penggilingan padi Pak Kyai. "Nggak usah, Bu Nyai, terimakasih ... biar saya boncengkan saja naik sepeda. Wong barang-barang saya cuma dikit. Saya nggak mau merepotkan Pakde Tono," jawabku jujur. "Hehehe ... kamu itu loh, Nis ... kok lugu banget, wong aku
Selain Pak Kyai dan Bu Nyai, ada sepasang suami istri separuh baya yang sehari-hari membantu di rumah ini. Mereka menempati rumah kecil di belakang rumah besar ini. Kang Sarman dan Yu Girah nama suami istri itu. Kang Sarman bertugas membantu membersihkan masjid dan pekarangan sekitar rumah. Sedang Yu Girah membantu Bu Nyai di dapur dan membersihkan rumah, serta pekerjaan rumah tangga lainnya. Sedikit cerita dari Yu Girah, katanya keluarganya sudah turun temurun bekerja pada keluarga ini. Pak Kyai dan Bu Nyai memperlakukan mereka dengan sangat baik, hingga mereka betah bertahun-tahun bekerja di sini. Padahal anak-anak mereka semua sudah hidup berkecukupan dan berkali-kali menawari untuk ikut bersamanya, namun mereka tetap bersikukuh tinggal di sini. Beruntung sejak kecil aku terbiasa bangun sebelum subuh, hingga tidak kaget saat awal-awal tinggal di rumah ini. Sudah menjadi kewajiban dan kebiasaan seluruh penghuni rumah harus menunaikan salat Subuh berjamaah di masjid. Setelah salat
GADIS BERKERUDUNG BIRUHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat tatap mata kita bertemuSaat senyum tersungging di bibirmuSaat pipimu menjadi merah daduLalu kau tertunduk maluHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat jarak memisahkanku darimuSaat tak kudengar merdu suaramuAda selaksa rindu yang menggebuEntah kapan tiba waktu itu ?Waktu di mana kan ungkap rasaku padamuHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat kusebut namamu di untaian doakuHanya satu yang kuminta pada Rabb-kuJadikanlah engkau RatukuDan bersemayam abadi di kalbuM. I. HambaliBerulang kali kubaca tiga bait puisi pada secarik kertas berwarna biru. Aku bisa memastikan kalau puisi itu Mas Iqbal yang membuat, karena di sudut kanan bawah tertera inisial namanya, Muhammad Iqbal Hambali.Gadis Berkerudung
"Oh, begitu ... tapi maaf sebelumnya, rumah saya ndak bagus, kecil pula." Aku mengatakan apa adanya."Wah, nggak papa Mbak Nisa, yang penting bisa buat berteduh, karena saya di sini nggak cuma sehari dua hari, jadi memang butuh tempat tinggal, gak masalah besar atau kecil, bagus atau jelek , yang penting bisa ditempati," ujar Mas Ilham jujur."Iya, Nis ... tadi Mas Ilham sudah lihat-lihat rumahmu, dan katanya cocok, selain dekat dengan Balai Desa, rumahmu juga dekat masjid, bukan begitu Mas Ilham ...?" Mak Dijah sepertinya mendukung keinginan Mas Ilham.Mak Dijah benar juga, kalau ada yang menempati otomatis ada yang membersihkan dan merawat rumahku."Iya, Nis .... Lebih baik biar ditempati Mas Ilham selama beliau tugas di sini, sayang kalau terlalu lama kosong, jadi terlihat gimana gitu?" Ujar Bu Nyai sambil melirik Pak Kyai."Benar, Nis ... saran kami kalau ada yang menempati itu sangat bagus. Toh kamu sudah di sini, tidak bisa rutin merawat. Tapi semua kembali sama kamu, membolehkan
Sore ini tanpa memberi tahu terlebih dahulu, Mas Ilham menjemputku kuliah. Aku kaget ketika melihatnya duduk di atas motor matic warna hitam miliknya, menungguku di depan gerbang kampus. Aku tak bisa menolak saat dia mengajak ke pantai yang lokasinya tak jauh dari kampus. Hanya butuh waktu lima menit kami sudah sampai di pantai yang menjadi ikon wisata di kotaku. Mungkin karena akhir pekan, sore ini pantai lumayan ramai. Selain para nelayan, pantai ini banyak dikunjungi para pelancong dari dalam maupun luar kota. Kami duduk di salah satu gazebo, menghadap ke laut lepas melihat pemandangan yang memanjakan mata."Aku mau bicara serius denganmu, Dik." Setelah beberapa saat kami berbasa-basi akhirnya Mas Ilham menyampaikan maksudnya menjemputku lalu mengajakku kesini. Sejak kami akrab, Mas Ilham mengubah panggilannya padaku, kalau sebelumnya dia memanggilku Mbak Nisa sekarang menjadi Dik Nisa. Aku tidak keberatan dengan panggilan itu, toh usiaku memang tujuh tahun lebih muda darinya."Ten