Segera kututup panggilan, dan bergegas pamit pada Syarif. Kukayuh pedal dengan cepat. Saat seperti ini, jarak antara toko ke rumah yang tak sampai satu kilometer tiba-tiba terasa begitu jauh. Dari pintu pagar, kulihat mobil Abah sudah di halaman rumahku. Setelah memarkir sepeda, aku bergegas masuk ke rumah. Di kamar, sudah ada Mas Iqbal bersama kedua temannya, bersiap menggotong Mas Irsyad. "Mas Irsyad ...," pekikku tertahan. Mak Dijah mendekat, mencoba menenangkanku, disusul Umi dengan lembut meraihku dalam pelukannya. Umi tergugu. Tiba-tiba kekhawatiran menyelimuti hati ini. Aku yakin, Mas Irsyad benar-benar pingsan, bukan sedang akting seperti dulu sesaat sebelum kami menikah. Abah memintaku masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, agar ada yang menerima Mas Irsyad. Agak kerepotan memasukkan tubuh jangkungnya. Kini, kepala Mas Irsyad ada di pangkuanku. Hanya Abah, aku dan Mas Iqbal yang mengantar ke rumah sakit. Sementara Umi menunggu kabar selanjutnya di rumah. Dari dala
POV IrsyadHari ini adalah jadwalku untuk terapi. Meski Nisa sudah sembuh, tapi ia tidak kuperbolehkan mengantar ke rumah sakit. Aku tidak ingin ia terlalu capek dan jatuh sakit lagi seperti kemarin."Mas Irsyad yakin, nggak mau aku antar? "Iya, Nis ... kamu di rumah saja ya, biar Iqbal yang mengantar. Semalam, aku sudah minta tolong, paling sebentar lagi dia menjemputku. Kamu baik-baik di rumah, ya!" Kuelus lembut punggungnya."Suntuk kalau di rumah sendiri, Nisa ke toko saja ya? Ndak papa kan, Mas Irsyad aku tinggal sekarang?""Aduh ... kamu baru sembuh, Nis. Kalau di toko pasti ndak bisa istirahat." "Nisa sudah sehat, Mas. Janji deh di toko ndak ngapa-ngapain, cuma_""Cuma apa? Ketahuan nih, cuma ... cuma ... kangen sama Syarif, ya?" godaku yang membuat Nisa memajukan bibir beberapa centi."Iiih ... Mas Irsyad tega banget sih! Boleh, ya Nisa ke toko?" rajuknya dengan bergelayut di lenganku, kalau sudah begini rasanya tak tega untuk tidak menuruti keinginannya."Ok ... boleh ke
Aku akan masuk kamar mandi, saat sayup-sayup terdengar pintu samping yang menghubungkan ruang tengah dengan garasi diketuk. Ucapan salam terdengar samar tertimpa suara tetesan air langit yang beradu dengan atap rumah. Sore itu, hujan turun sangat deras disertai kilatan petir dan gelegar halilintar. Gegas diri ini menuju ke arah pintu. Memutar anak kunci yang terpasang di lubangnya, lalu memutar kenopnya sebelum akhirnya pintu terbuka sempurna. Aku terkesiap demi melihat sosok yang kini ada di hadapan. Mas Iqbal? Baju dan celana yang membalut tubuhnya basah kuyup, wajahnya pucat dengan bibir membiru. Tubuh tegap itu menggigil, bergetar menahan dingin.Refleks aku bentangkan handuk yang sejak tadi tersampir di pundak, segera menyelimutkan ke dadanya. Sejenak mata kami bertautan, sorot manik hitam itu masih tetap menggetarkan hati. Aku segera mundur beberapa langkah karena tiba-tiba teringat kata-katanya di gazebo Resto Omah Ndeso kemarin siang."Maaf ... aku tidak bermaksud_" Belum
Sepeda usang warna biru sudah aku sandarkan di samping pohon jambu depan rumah. Meski tidak sebagus dan semahal punya Lani atau Dewi, aku sangat bersyukur memilikinya. Sepeda inilah yang setia mengantarku menuntut ilmu, sejak masuk SMP hingga kini duduk di kelas 3 SMK. Bapak membelinya ketika aku diterima di SMP Negeri di Kota Kecamatan. Bukan sepeda baru, hanya sepeda bekas, tetapi aku sangat bersyukur karena memang kemampuan orang tuaku sebatas itu.Bapak seorang petani penggarap dan bekerja pada sebuah tempat penggilingan padi jika tidak ada pekerjaan di sawah. Aku sadar dengan keadaan ini. Untuk itu, tak pernah menuntut lebih. Selain itu, bapak dan ibu selalu mengajariku falsafah Jawa 'Nrimo Ing Pandum', menerima apa yang Allah SWT berikan pada hamba-Nya."Masih terlalu pagi, Nis. Bagaimana kalo mampir ke rumah Bu Nyai dulu, baju yang tempo hari beliau bawa ke sini sudah selesai ibu jahit." Suara ibu membuyarkan lamunanku."Baik, Bu. Sekalian Nisa bawa," jawabku dengan senang hat
Aku baru saja melipat mukena, saat kudengar pintu depan diketuk dari luar."Assalamualaikum ... Nis .... Buka pintunya, Nis!"Aku hapal benar suara itu, suara Mak Dijah⸺tetangga sebelah rumah yang sudah kuanggap seperti saudara."Waalaikumsalam," jawabku sambil meletakan mukena di atas sajadah. Refleks kuraih kerudung instan yang tergantung di balik pintu kamar, segera memakainya. Lalu setengah berlari menuju pintu depan."Ada apa, Mak?" tanyaku sambil membuka pintu."Ibumu, Nis ... tadi⸺" Mak Dijah tak melanjutkan kalimatnya."Ada apa, Mak? Ibu kenapa?" Aku kembali bertanya sambil menggoyang-goyang lengan Mak Dijah.Menjelang Magrib, ibu pamit untuk menghadiri majelis taklim di masjid. Biasanya, usai pengajian akan dilanjut dengan salat Isya berjamaah, kemudian pulang ke rumah masing-masing. Meski ibu sibuk dengan jahitan yang menumpuk, tetapi beliau berusaha meluangkan waktu dan tidak pernah absen hadir di majelis taklim khusus untuk ibu-ibu di kampung ini."Tidak apa-apa, Nis. Bu N
"Begini Nis, mungkin sebelumnya sudah abah sampaikan, bahwa sebelum ibumu meninggal, ia berwasiat menitipkanmu pada kami. Untuk itu, kedatangan kali ini bermaksud mengajakmu tinggal bersama di rumah kami. Karena bagaimanapun kamu masih butuh bimbingan, meski boleh dibilang telah dewasa, akan tetapi sangat riskan jika seorang gadis tinggal di rumah sendirian. Ya, walaupun berdekatan dengan rumah Mak Dijah, tetapi tidak setiap saat Mak Dijah bisa mengawasimu, kan? Mak Dijah juga punya keluarga yang harus diperhatikan, bukankah begitu Mak Dijah?" tanya Pak Kyai sambil mengalihkan pandangannya ke Mak Dijah. MakDijah yang duduk di sebelahku mengangguk-angguk, mengiyakan kata-kata Pak Kyai."Insyaallah kami akan siap membimbing dan mendampingimu, Nis. Memenuhi segala kebutuhan hidup dan sekolahmu. Anggaplah kami sebagai pengganti ibu dan bapakmu. Ya, meskipun kami paham tidak ada yang bisa menggantikan posisi itu, Nis. Paling tidak kami akan sangat lega karena sudah menunaikan pesan terakh
Sore hari, setelah menyampaikan kemantapan hati tinggal di rumah Pak Kyai, aku segera berkemas. Dibantu Mak Dijah aku memasukkan seluruh seragam sekolah dan beberapa stel baju harian ke dalam tas besar. Sedangkan buku-buku dan alat sekolah lainnya aku kemas rapi dengan kardus bekas. Sengaja aku tidak langsung membawa semua barang-barang, agar bisa bolak-balik ke rumah. Bagaimana juga banyak kenangan tercipta di rumah ini. Alhamdulillah Pak Kyai dan Bu Nyai tidak keberatan dengan permintaanku. "Ndak papa, Nis. Kamu bawa saja barang yang dirasa perlu dulu. Lainnya bisa nyicil besok-besok. Toh, rumahmu dekat. Atau mau aku panggilkan Pakde Tono biar diangkut pakai truk? Hehehe ...?" canda Bu Nyai. Pakde Tono adalah sopir truk di tempat penggilingan padi Pak Kyai. "Nggak usah, Bu Nyai, terimakasih ... biar saya boncengkan saja naik sepeda. Wong barang-barang saya cuma dikit. Saya nggak mau merepotkan Pakde Tono," jawabku jujur. "Hehehe ... kamu itu loh, Nis ... kok lugu banget, wong aku
Selain Pak Kyai dan Bu Nyai, ada sepasang suami istri separuh baya yang sehari-hari membantu di rumah ini. Mereka menempati rumah kecil di belakang rumah besar ini. Kang Sarman dan Yu Girah nama suami istri itu. Kang Sarman bertugas membantu membersihkan masjid dan pekarangan sekitar rumah. Sedang Yu Girah membantu Bu Nyai di dapur dan membersihkan rumah, serta pekerjaan rumah tangga lainnya. Sedikit cerita dari Yu Girah, katanya keluarganya sudah turun temurun bekerja pada keluarga ini. Pak Kyai dan Bu Nyai memperlakukan mereka dengan sangat baik, hingga mereka betah bertahun-tahun bekerja di sini. Padahal anak-anak mereka semua sudah hidup berkecukupan dan berkali-kali menawari untuk ikut bersamanya, namun mereka tetap bersikukuh tinggal di sini. Beruntung sejak kecil aku terbiasa bangun sebelum subuh, hingga tidak kaget saat awal-awal tinggal di rumah ini. Sudah menjadi kewajiban dan kebiasaan seluruh penghuni rumah harus menunaikan salat Subuh berjamaah di masjid. Setelah salat