Share

BAB. 5 MENGABDI PADA KELUARGA BAIK HATI

Selain Pak Kyai dan Bu Nyai, ada sepasang suami istri separuh baya yang sehari-hari membantu di rumah ini. Mereka menempati rumah kecil di belakang rumah besar ini. Kang Sarman dan Yu Girah nama suami istri itu. Kang Sarman bertugas membantu membersihkan masjid dan pekarangan sekitar rumah. Sedang Yu Girah membantu Bu Nyai di dapur dan membersihkan rumah, serta pekerjaan rumah tangga lainnya.

Sedikit cerita dari Yu Girah, katanya keluarganya sudah turun temurun bekerja pada keluarga ini. Pak Kyai dan Bu Nyai memperlakukan mereka dengan sangat baik, hingga mereka betah bertahun-tahun bekerja di sini. Padahal anak-anak mereka semua sudah hidup berkecukupan dan berkali-kali menawari untuk ikut bersamanya, namun mereka tetap bersikukuh tinggal di sini.

Beruntung sejak kecil aku terbiasa bangun sebelum subuh, hingga tidak kaget saat awal-awal tinggal di rumah ini. Sudah menjadi kewajiban dan kebiasaan seluruh penghuni rumah harus menunaikan salat Subuh berjamaah di masjid.

Setelah salat Subuh, tugasku menyapu dan mengepel rumah serta membersihkan perabotan yang dianggap kotor. Saat awal-awal tinggal di sini aku kaget juga, membersihkan rumah sebesar ini terasa sekali capeknya, maklumlah rumah ini lima kali lebih luas dari rumahku. Namun, lama-lama terbiasa, menganggap sebagai olah raga pagi.

Sesuai yang Yu Girah ajarkan waktu itu, aku dianjurkan mengepel lantai teras terlebih dahulu, lalu mundur melewati sepasang pintu kayu jati dengan ukiran yang sangat artistik. Kemudian masuk ke ruang tamu. Ada dua stel kursi tamu di ruang ini, dengan dua bufet dari kayu yang ditempatkan berhadapan di samping kanan dan kiri ruangan, menempel dinding rumah.

Setelah ruang tamu, yang harus dibersihkan berikutnya adalah ruang keluarga. Antara ruang tamu dan ruang keluarga ada gebyok kayu jati sebagai pembatas, di sisi kanan ruang keluarga terdapat jendela lebar. Di bagian kiri ada pintu yang menghubungkan dengan tempat wudu wanita.

Di sini biasanya kami berkumpul, ngobrol ringan sambil minum teh atau nonton TV ditemani camilan buatan Bu Nyai. Di sini pula, tiga bulan yang lalu aku melihat ibu terbujur di dipan setelah jatuh terpeleset di tempat wudu. Astaghfirullahaladzim ... ternyata air mata ini tetap saja mengalir setiap teringat ibu, meskipun hampir seratus hari ibu meninggalkanku. Ada deheman yang membuatku kaget dan secepat kilat kuhapus bulir bening di sudut netraku.

"Kalo capek istirahat dulu Nis, nanti dilanjut lagi." Ternyata ada Pak Kyai di ambang pintu yang menghubungkan dengan tempat wudhu.

"Tidak, Pak Kyai ... cuma berkeringat," dalihku sambil mencelupkan alat pel ke dalam ember berisi air yang sudah diberi cairan pembersih lantai.

"Ujian kelulusanmu kapan, Nis?" tanya Pak Kyai mengalihkan topik pembicaraan.

Sepertinya beliau tahu apa yang sedang aku rasakan, dan berharap bisa sejenak melupakan rasa itu.

"Satu minggu lagi, Pak Kyai. Nisa mohon doanya, ya ..." Aku menjawab pertanyaan abah dengan bahasa Jawa halus.

Sejak kecil, aku dilatih untuk selalu menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil bila berbicara dengan orang yang lebih tua. Ini memudahkanku saat bergaul dengan keluarga Pak Kyai, yang sangat mengedepankan sopan-santun dan unggah-ungguh dalam kehidupan sehari-hari.

"Oh ... ya .... Semoga lancar semuanyaa, ya , Nis. Jangan lupa berdoa, supaya Gusti Allah mengabulkan keinginanmu." Abah mengamini permintaanku.

"Matur nuwun, Pak Kyai, semoga permohonan saya terkabul, maaf saya melanjutkan mengepel lagi." Lelaki berpeci putih itu mengangguk-angguk mengiyakan ucapanku.

Masih ada beberapa ruangan yang belum aku pel. Kamar tidur utama yang bersebelahan dengan ruang makan, dan berikutnya ada tiga kamar berjejer dengan ukuran dan posisi pintu yang semua menghadap ke arah depan. Di sebelah kanan adalah kamar Mas Iqbal, yang tengah kamar Mbak Ainun dan berikutnya kamar Mas Irsyad. Kamar Mbak Ainun inilah yang sekarang aku tempati.

Sementara kamar Mas Iqbal dan Mas Irsyad lebih sering kosong. Selama di sini aku sama sekali belum pernah masuk ke dalam dua kamar itu, walaupun tidak dikunci, tetapi aku tidak berani membersihkan tanpa perintah Bu Nyai.

Tiga kamar yang berjejer tadi merupakan bagian belakang rumah, sedangkan untuk dapur ada pada bagian bangunan yang menjorok keluar, yang biasa disebut gandok dalam bahasa daerahku. Letak gandok ada di sebelah kanan bangunan utama, sejajar dengan ketiga kamar tadi, gandok terbagi menjadi dua ruang, yang depan sebagai dapur dan bagian belakang sebagai tempat menyimpan padi.

Sementara untuk sumur dan kamar mandi serta WC ada di belakang, terpisah dari bangunan rumah. Sebenarnya masih ada paviliun di samping kanan rumah besar ini, lengkap dengan kamar mandi di dalamnya, tetapi hanya dibersihkan sesekali saja, terutama jika akan ada tamu yang menginap.

Hari ini adalah hari terakhir ujian kelulusan. Aku pulang lebih awal dari biasanya karena hanya ada mata pelajaran muatan lokal yang diujikan. Arloji di pergelangan tangan kiri, baru menunjukan jam sepuluh, tetapi matahari sudah bersinar dengan teriknya. Kukayuh pedal sepeda dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan yang hampir tiga tahun aku lalui, saat pergi dan pulang sekolah. Tidak lama lagi aku akan lulus, itu berarti tidak akan rutin lagi melewati jalan ini.

Sebenarnya ada berbagai tawaran beasiswa untuk melanjutkan kuliah, tetapi tidak aku ambil kesempatan itu. Bisa menyelesaikan sekolah hingga SMK saja sudah sangat senang. Beruntung masih ada orang-orang baik dan peduli di sekitar, hingga aku tidak sampai putus sekolah. Allah masih menyayangiku melalui uluran tangan Pak Kyai dan Bu Nyai. Dalam hati berjanji akan selalu mengingat jasa-jasa mereka dan sebisa mungkin tidak akan membuat mereka kecewa. Aku sangat berhutang budi pada mereka.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status