Share

BAB. 6 GADIS BERKERUDUNG BIRU

GADIS BERKERUDUNG BIRU

Hai, Gadis Berkerudung Biru ....

Tahukah kau apa yang ada di kalbu?

Saat tatap mata kita bertemu

Saat senyum tersungging di bibirmu

Saat pipimu menjadi merah dadu

Lalu kau tertunduk malu

Hai, Gadis Berkerudung Biru ....

Tahukah kau apa yang ada di kalbu?

Saat jarak memisahkanku darimu

Saat tak kudengar merdu suaramu

Ada selaksa rindu yang menggebu

Entah kapan tiba waktu itu ?

Waktu di mana kan ungkap rasaku padamu

Hai, Gadis Berkerudung Biru ....

Tahukah kau apa yang ada di kalbu?

Saat kusebut namamu di untaian doaku

Hanya satu yang kuminta pada Rabb-ku

Jadikanlah engkau Ratuku

Dan bersemayam abadi di kalbu

M. I. Hambali

Berulang kali kubaca tiga bait puisi pada secarik kertas berwarna biru. Aku bisa memastikan kalau puisi itu Mas Iqbal yang membuat, karena di sudut kanan bawah tertera inisial namanya, Muhammad Iqbal Hambali.

Gadis Berkerudung Biru? Siapakah dia? Aku bertanya dalam hati, penasaran dengan sosok berkerudung biru yang dimaksud dalam puisi tadi.

Apakah itu aku? Ah, Nisa ... kau terlalu GR .... Terlalu percaya diri, hati kecilku berbisik.

Biru memang warna favoritku, tapi bukankah yang berkerudung biru itu banyak, bukan hanya aku ....

Mungkin teman Mas Iqbal di kampus, bisa juga teman SMA-nya, atau temannya di pesantren.

Bahkan Mak Dijah juga sering memakai kerudung biru ... Eh ... tapi Mak Dijah bukan gadis lagi ya ... hehehe ....

Selama menunggu pengumuman kelulusan, siswa kelas tiga diliburkan, begitu pun denganku. Untuk mengisi waktu, aku membantu Bu Nyai atau Yu Girah di rumah. Dan pagi ini Bu Nyai memintaku untuk membersihkan kamar Mas Iqbal. Kata Bu Nyai besok sore Mas Iqbal akan pulang.

Asyiiiik ... Mas Iqbal mau pulang .... Aku bersorak dalam hati.

Untuk pertama kalinya selama di sini aku masuk ke kamar Mas Iqbal.

Meski tak ada pemiliknya, aku deg-degan juga berada di dalamnya, bagaimana kalau ada Mas Iqbal di sini. Baru membayangkan saja aku sudah panas dingin, apalagi kalau benar terjadi hihhihi .... Ah, pikiranku semakin kacau, mungkin karena kemarin-kemarin waktuku habis berkutat dengan buku pelajaran dan imbasnya sekarang jadi mikir yang aneh-aneh.

Luas kamar ini sama dengan kamar yang aku tempati, bedanya ada meja rias di kamarku, sementara di kamar ini hanya ada ranjang, lemari pakaian, meja belajar dan meja kecil di sudut ruangan. Saat akan mengganti taplak meja kecil inilah tanpa sengaja aku melihat secarik kertas di bawah taplak.

Aku buru-buru mengembalikan kertas tadi ke tempat semulas--terdengar suara langkah Bu Nyai mendekat ke arahku-- dan menutupnya dengan taplak meja yang telah kusiapkan sebelumnya.

"Mak Dijah mencarimu, Nis," kata Bu Nyai di ambang pintu kamar.

"Mak Dijah? Ada apa ya, Mi?" Aku mulai terbiasa dengan sebutan Umi untuk Bu Nyai.

"Temui saja dulu, Nis, dia menunggumu di ruang tamu. Nanti dilanjutkan lagi bersih-bersihnya. Umi ke dapur dulu ya, biar Yu Girah buatkan minum untuk Mak Dijah." Umi menepuk pundakku.

"Baik Umi, ini juga hampir selesai, tinggal masang seprei sama sarung bantal." Aku beranjak keluar kamar menuju ruang tamu di mana ada Mak Dijah.

Selain Mak Dijah, ternyata ada Pak Lurah, Pak Kyai tentunya dan satu lagi seorang pemuda yang aku pastikan bukan warga desa ini.

Aku menyalami mereka satu persatu, lalu duduk di samping Mak Dijah.

"Mas Ilham ... ini Khairunnisa, pemilik rumah di samping rumah Mak Dijah tadi." Pak Lurah memperkenalkan aku pada pemuda yang ternyata bernama Ilham itu, dia mengangguk dan tersenyum padaku.

"Nisa, ini Mas Ilham, beliau adalah Penyuluh Pertanian yang ditugaskan di desa kita." Pak Lurah bergantian memperkenalkan Mas Ilham padaku.

Aku ikut mengangguk dan membalas senyumnya.

Tak berapa lama Umi datang membawa seteko teh hangat lengkap dengan cangkir dan pisang rebus pada sebuah nampan.

"Ah, Bu Nyai repot-repot." Hampir bersamaan Mak Dijah dan Pak Lurah berbasa-basi.

"Sama sekali tidak ... kebetulan kemarin pisang samping rumah ada yang roboh, sebenarnya sudah tua ... tapi belum begitu masak. Nah, tadi pagi direbus sama Yu Girah. Monggo Pak Lurah, Mak Dijah dan Mas ... siapa ini?" tanya Umi pada Mas Ilham.

"Saya Ilham, Bu ...." Mas Ilham mengulurkan tangan bersalaman dengan Umi.

Aku menuang teh hangat ke cangkir, lalu meletakkannya di meja, di depan mereka masing-masing. Kami menikmati teh hangat dan pisang rebus sambil mengobrol ringan. Sampai akhirnya Pak Lurah menyampaikan maksud kedatangannya menemuiku.

"Jadi begini, Nis ... Mas Ilham bermaksud akan menyewa rumahmu selama beliau tugas di sini. Nah, kedatangan kami mau minta izin padamu, Nis." Pak Lurah menyampaikan inti dari pembicaraan.

"Iya, Nis. Daripada kosong ndak ada yang merawat, kalo ada yang nempatin kan jadi keurus." Mak Dijah menimpali apa yang Pak Lurah sampaikan.

"Betul, Mbak Nisa. Kalau dijinkan nanti saya bersama rekan saya, namanya Mas Juned. Tapi dia belum bisa hadir di sini, masih ada keperluan keluarga katanya." Mas Ilham dengan sopan menyampaikan langsung maksudnya padaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status