GADIS BERKERUDUNG BIRU
Hai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat tatap mata kita bertemuSaat senyum tersungging di bibirmuSaat pipimu menjadi merah daduLalu kau tertunduk maluHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat jarak memisahkanku darimuSaat tak kudengar merdu suaramuAda selaksa rindu yang menggebuEntah kapan tiba waktu itu ?Waktu di mana kan ungkap rasaku padamuHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat kusebut namamu di untaian doakuHanya satu yang kuminta pada Rabb-kuJadikanlah engkau RatukuDan bersemayam abadi di kalbuM. I. HambaliBerulang kali kubaca tiga bait puisi pada secarik kertas berwarna biru. Aku bisa memastikan kalau puisi itu Mas Iqbal yang membuat, karena di sudut kanan bawah tertera inisial namanya, Muhammad Iqbal Hambali.Gadis Berkerudung Biru? Siapakah dia? Aku bertanya dalam hati, penasaran dengan sosok berkerudung biru yang dimaksud dalam puisi tadi.Apakah itu aku? Ah, Nisa ... kau terlalu GR .... Terlalu percaya diri, hati kecilku berbisik.Biru memang warna favoritku, tapi bukankah yang berkerudung biru itu banyak, bukan hanya aku ....Mungkin teman Mas Iqbal di kampus, bisa juga teman SMA-nya, atau temannya di pesantren.Bahkan Mak Dijah juga sering memakai kerudung biru ... Eh ... tapi Mak Dijah bukan gadis lagi ya ... hehehe ....Selama menunggu pengumuman kelulusan, siswa kelas tiga diliburkan, begitu pun denganku. Untuk mengisi waktu, aku membantu Bu Nyai atau Yu Girah di rumah. Dan pagi ini Bu Nyai memintaku untuk membersihkan kamar Mas Iqbal. Kata Bu Nyai besok sore Mas Iqbal akan pulang.Asyiiiik ... Mas Iqbal mau pulang .... Aku bersorak dalam hati.Untuk pertama kalinya selama di sini aku masuk ke kamar Mas Iqbal.Meski tak ada pemiliknya, aku deg-degan juga berada di dalamnya, bagaimana kalau ada Mas Iqbal di sini. Baru membayangkan saja aku sudah panas dingin, apalagi kalau benar terjadi hihhihi .... Ah, pikiranku semakin kacau, mungkin karena kemarin-kemarin waktuku habis berkutat dengan buku pelajaran dan imbasnya sekarang jadi mikir yang aneh-aneh.Luas kamar ini sama dengan kamar yang aku tempati, bedanya ada meja rias di kamarku, sementara di kamar ini hanya ada ranjang, lemari pakaian, meja belajar dan meja kecil di sudut ruangan. Saat akan mengganti taplak meja kecil inilah tanpa sengaja aku melihat secarik kertas di bawah taplak.Aku buru-buru mengembalikan kertas tadi ke tempat semulas--terdengar suara langkah Bu Nyai mendekat ke arahku-- dan menutupnya dengan taplak meja yang telah kusiapkan sebelumnya."Mak Dijah mencarimu, Nis," kata Bu Nyai di ambang pintu kamar."Mak Dijah? Ada apa ya, Mi?" Aku mulai terbiasa dengan sebutan Umi untuk Bu Nyai."Temui saja dulu, Nis, dia menunggumu di ruang tamu. Nanti dilanjutkan lagi bersih-bersihnya. Umi ke dapur dulu ya, biar Yu Girah buatkan minum untuk Mak Dijah." Umi menepuk pundakku."Baik Umi, ini juga hampir selesai, tinggal masang seprei sama sarung bantal." Aku beranjak keluar kamar menuju ruang tamu di mana ada Mak Dijah.Selain Mak Dijah, ternyata ada Pak Lurah, Pak Kyai tentunya dan satu lagi seorang pemuda yang aku pastikan bukan warga desa ini.Aku menyalami mereka satu persatu, lalu duduk di samping Mak Dijah."Mas Ilham ... ini Khairunnisa, pemilik rumah di samping rumah Mak Dijah tadi." Pak Lurah memperkenalkan aku pada pemuda yang ternyata bernama Ilham itu, dia mengangguk dan tersenyum padaku."Nisa, ini Mas Ilham, beliau adalah Penyuluh Pertanian yang ditugaskan di desa kita." Pak Lurah bergantian memperkenalkan Mas Ilham padaku.Aku ikut mengangguk dan membalas senyumnya.Tak berapa lama Umi datang membawa seteko teh hangat lengkap dengan cangkir dan pisang rebus pada sebuah nampan."Ah, Bu Nyai repot-repot." Hampir bersamaan Mak Dijah dan Pak Lurah berbasa-basi."Sama sekali tidak ... kebetulan kemarin pisang samping rumah ada yang roboh, sebenarnya sudah tua ... tapi belum begitu masak. Nah, tadi pagi direbus sama Yu Girah. Monggo Pak Lurah, Mak Dijah dan Mas ... siapa ini?" tanya Umi pada Mas Ilham."Saya Ilham, Bu ...." Mas Ilham mengulurkan tangan bersalaman dengan Umi.Aku menuang teh hangat ke cangkir, lalu meletakkannya di meja, di depan mereka masing-masing. Kami menikmati teh hangat dan pisang rebus sambil mengobrol ringan. Sampai akhirnya Pak Lurah menyampaikan maksud kedatangannya menemuiku."Jadi begini, Nis ... Mas Ilham bermaksud akan menyewa rumahmu selama beliau tugas di sini. Nah, kedatangan kami mau minta izin padamu, Nis." Pak Lurah menyampaikan inti dari pembicaraan."Iya, Nis. Daripada kosong ndak ada yang merawat, kalo ada yang nempatin kan jadi keurus." Mak Dijah menimpali apa yang Pak Lurah sampaikan."Betul, Mbak Nisa. Kalau dijinkan nanti saya bersama rekan saya, namanya Mas Juned. Tapi dia belum bisa hadir di sini, masih ada keperluan keluarga katanya." Mas Ilham dengan sopan menyampaikan langsung maksudnya padaku."Oh, begitu ... tapi maaf sebelumnya, rumah saya ndak bagus, kecil pula." Aku mengatakan apa adanya."Wah, nggak papa Mbak Nisa, yang penting bisa buat berteduh, karena saya di sini nggak cuma sehari dua hari, jadi memang butuh tempat tinggal, gak masalah besar atau kecil, bagus atau jelek , yang penting bisa ditempati," ujar Mas Ilham jujur."Iya, Nis ... tadi Mas Ilham sudah lihat-lihat rumahmu, dan katanya cocok, selain dekat dengan Balai Desa, rumahmu juga dekat masjid, bukan begitu Mas Ilham ...?" Mak Dijah sepertinya mendukung keinginan Mas Ilham.Mak Dijah benar juga, kalau ada yang menempati otomatis ada yang membersihkan dan merawat rumahku."Iya, Nis .... Lebih baik biar ditempati Mas Ilham selama beliau tugas di sini, sayang kalau terlalu lama kosong, jadi terlihat gimana gitu?" Ujar Bu Nyai sambil melirik Pak Kyai."Benar, Nis ... saran kami kalau ada yang menempati itu sangat bagus. Toh kamu sudah di sini, tidak bisa rutin merawat. Tapi semua kembali sama kamu, membolehkan
Sore ini tanpa memberi tahu terlebih dahulu, Mas Ilham menjemputku kuliah. Aku kaget ketika melihatnya duduk di atas motor matic warna hitam miliknya, menungguku di depan gerbang kampus. Aku tak bisa menolak saat dia mengajak ke pantai yang lokasinya tak jauh dari kampus. Hanya butuh waktu lima menit kami sudah sampai di pantai yang menjadi ikon wisata di kotaku. Mungkin karena akhir pekan, sore ini pantai lumayan ramai. Selain para nelayan, pantai ini banyak dikunjungi para pelancong dari dalam maupun luar kota. Kami duduk di salah satu gazebo, menghadap ke laut lepas melihat pemandangan yang memanjakan mata."Aku mau bicara serius denganmu, Dik." Setelah beberapa saat kami berbasa-basi akhirnya Mas Ilham menyampaikan maksudnya menjemputku lalu mengajakku kesini. Sejak kami akrab, Mas Ilham mengubah panggilannya padaku, kalau sebelumnya dia memanggilku Mbak Nisa sekarang menjadi Dik Nisa. Aku tidak keberatan dengan panggilan itu, toh usiaku memang tujuh tahun lebih muda darinya."Ten
Aku baru keluar dari masjid usai pengajian rutin remaja, saat kulihat mobil sedan warna silver berhenti di halaman. Tak lama kemudian seorang gadis cantik berkerudung keluar dari pintu depan mobil sebelah kanan. pencahayaan yang cukup terang membuat diri ini bisa melihat jelas sosoknya. Penampilannya sangat modis, memakai celana jeans coklat dipadu dengan tunik panjang motif bunga-bunga warna salem dengan kerudung warna senada. Kedua ujung kerudung bagian depan diikat ke belakang memperlihatkan kalung manik-manik besar warna maron di dadanya. Tak ketinggalan tas kulit dengan brand terkenal ia cangklong di pundak. Aku lihat hak sepatunya tinggi dan runcing. Tak terbayang jika aku yang memakainya, pasti akan kerepotan berjalan dan keseleo berkali-kali.Gadis itu tersenyum saat melihatku berdiri mengawasinya. Aku membalas senyumnya."Assalamualaikum ...." Dia berjalan ke arahku, mengulurkan tangannya."Waalaikumsalam ...." Kami berjabat tangan."Saya Hanum, teman kuliah Iqbal, maaf bisa b
Kubiarkan saat Umi mengetok kamarku, mungkin Umi mengira aku telah terlelap. Aku tidak ingin Umi mendengar isak ini, melihat mataku sembab. Hingga Umi menanyakan apa penyebabnya. Tidak mungkin kan aku menceritakan semua ini pada Umi. Yang ada nanti Umi akan menilaiku sebagai anak yang tidak tahu diri, aku mengira-ngira sendiri reaksi Umi jika beliau tahu tentang perasaan ini.Hingga Subuh menjelang aku belum tidur sama sekali, ternyata begini rasanya patah hati. Benar kata almarhumah Ibu, jangan terlalu berharap pada Mas Iqbal. Mungkin karena Ibu tidak ingin melihatku terluka. Ibu ... seandainya beliau masih hidup, tentu akan kuluapkan tangis ini di pangkuanmu. Mencurahkan keluh kesah padamu dan tanganmu akan mengelus-ngelus pundakku hingga sakit ini sedikit terobati.***Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, meski semalam nyaris tidak dapat tidur. Kuselesaikan tugas membersihkan rumah dengan cepat, lalu mandi kemudian segera bergegas ke toko. Aku menolak saat Umi dan Yu Girah
Seperti anjuran Umi, usai makan malam aku mohon restu pada Abah dan Umi. Selain mereka berdua, ada juga Mas Iqbal yang memang beberapa hari ini ada di rumah. Dia menunggu pelaksanaan wisuda bulan depan.Selama di rumah Mas Iqbal lebih sering ke penggilingan padi, dan hanya beberapa kali datang ke toko. Saat musim panen seperti sekarang ini, toko lebih sepi dari biasanya dan gantian penggilingan padi yang ramai."Abah sudah menduga sebelumnya Nis, dari tatapan Nak Ilham saat melihatmu, cara bicaranya padamu, hehehe .... Abah kan juga pernah muda, Nis." Abah terkekeh menanggapi ceritaku. Abah memang sering mengontrol toko dan beliau kerap mengobrol akrab dengan Mas Ilham."Iya, Nis... Umi dan Abah sering membicarakan kalian, sudah dari awal kami menangkap kalau Nak Ilham itu menaruh hati padamu, tapi Umi perhatikan sepertinya kamu sama sekali tidak merespons, adem ayem saja, bahkan terkesan cuek, tidak menanggapi sama sekali. Makanya kami pikir kamu tidak suka sama Nak Ilham, atau meman
Loh kamu bilang akan berangkat ke Semarang seminggu sebelum wisuda, kenapa sekarang mendadak mau berangkat?" Aku sedang berkemas untuk berangkat ke toko, saat dari kamar sayup-sayup kudengar suara Umi. Sepertinya Umi sedang berbicara dengan Mas Iqbal."Iya, Mi. Masih ada yang harus Iqbal siapkan, kalau seminggu sebelumnya terlalu mepet." Kini terdengar suara Mas Iqbal menjawab pertanyaan Umi. Aku juga ingat saat Mas Iqbal bicara dengan Umi, katanya satu minggu sebelum hari H dia baru akan ke Semarang, menurutnya semua perlengkapan wisuda sudah siap. Dan rencananya Abah dan Umi akan berangkat menyusul kemudian, sehari sebelum pelaksanaan. Bahkan Umi juga akan mengajakku serta ke Semarang. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba Mas Iqbal mengubah rencana semula, ya? Apakah ini ada kaitannya dengan rencana Mas Ilham yang akan mengkhitbahku? Aku bertanya-tanya dalam hati. Ah mungkin memang ada sesuatu yang harus ia siapkan dari sekarang, hati kecilku menghalau pikiran yang bukan-bukan."Tapi nan
Aku baru melewati pintu gerbang kampus dan berniat naik angkutan umum untuk pulang ke rumah, saat terdengar seseorang memanggil namaku. Refleks aku menengok ke arah suara itu. Seorang perempuan berjalan mendekat ke arahku. Usianya mungkin tiga puluhan tahun. Postur tubuhnya sedang, tidak tinggi dan juga tidak terlalu pendek. Wajahnya biasa saja, tapi dandanan dan segala yang ia kenakan di tubuhnya terlihat mewah, hingga terlihat elegan. Belum sempat aku menanyakan siapa dia, wanita itu sudah mengulurkan tangan. "Aku Laila, kamu Khairunnisa, kan?” Kami bersalaman. "Dari mana Mbak tahu nama saya?" Tak bisa kusembunyikan rasa heran. "Tidak penting dari mana aku tahu namamu, yang pasti sekarang aku ingin bicara denganmu." Nada suaranya tegas. "Maaf kita baru kenal--" Aku belum selesai bicara saat dia memotong kalimatku. "Jangan khawatir, aku bukan penjahat yang akan menculikmu. Kita bisa ngobrol di taman seberang jalan itu. Kamu bisa berteriak minta tolong pada orang-orang yang lalu
Kurasakan udara di sekitarku semakin panas dan pengap, embusan angin pun tak dapat memberikan kesejukan sama sekali. Jelas sudah kini .... Apa maksud dan tujuan Mbak Laila menemuiku. Kuhela napas panjang .... Susah payah mengumpulkan oksigen agar napasku bisa normal kembali. Aku menerima Mas Ilham memang tidak dengan hati, hanya karena emosi, tapi berharap lambat laun bisa mencintai lelaki itu seutuhnya. "Seminggu yang lalu, dia mengabarkan pada orang tuaku, bahwa akan bertunangan dengan gadis yatim piatu dari desa tempatnya bertugas. Orangtuaku yang berhati mulia dengan senang hati merestuinya. Bahkan mereka bersedia akan datang untuk melamarmu." Tidak salah lagi ... benar memang Mas Ilham yang ia maksud. Ya ... Allah apa yang harus kuperbuat? "Aku protes pada mereka, agar jangan merestui Ilham, tapi justru diceramahi habis-habisan. Heran, mereka tetap saja membela Ilham yang jelas-jelas sudah membuat Almira menderita. Lebih heran lagi, saat mereka mengatakan bahwa apa yang