Share

BAB 4. KELUARGA BARU

Sore hari, setelah menyampaikan kemantapan hati tinggal di rumah Pak Kyai, aku segera berkemas. Dibantu Mak Dijah aku memasukkan seluruh seragam sekolah dan beberapa stel baju harian ke dalam tas besar. Sedangkan buku-buku dan alat sekolah lainnya aku kemas rapi dengan kardus bekas. Sengaja aku tidak langsung membawa semua barang-barang, agar bisa bolak-balik ke rumah. Bagaimana juga banyak kenangan tercipta di rumah ini. Alhamdulillah Pak Kyai dan Bu Nyai tidak keberatan dengan permintaanku.

"Ndak papa, Nis. Kamu bawa saja barang yang dirasa perlu dulu. Lainnya bisa nyicil besok-besok. Toh, rumahmu dekat. Atau mau aku panggilkan Pakde Tono biar diangkut pakai truk? Hehehe ...?" canda Bu Nyai. Pakde Tono adalah sopir truk di tempat penggilingan padi Pak Kyai.

"Nggak usah, Bu Nyai, terimakasih ... biar saya boncengkan saja naik sepeda. Wong barang-barang saya cuma dikit. Saya nggak mau merepotkan Pakde Tono," jawabku jujur.

"Hehehe ... kamu itu loh, Nis ... kok lugu banget, wong aku cuma guyon." Bu Nyai tak bisa menahan gelak tawanya mendengar jawabanku.

Jujur saja meninggalkan rumah yang menjadi saksi kehidupanku sebenarnya sangat berat. Apalagi melihat mesin jahit dan alat-alat jahit yang teronggok di rumah ini. Pikiranku terseret ke masa-masa saat bapak dan ibu masih ada. Suara mesin jahit inilah yang mengiringi tarian kehidupan kami, dari pagi hingga malam. Meski kami hidup dalam keterbatasan, tetapi terasa sangat tenang dan bahagia.

Tentang bapak yang pekerja keras, hingga tak sadar ternyata kanker telah menggerogoti paru-parunya. Tentang ibu yang begitu tegar mendampingi bapak. Juga keteguhan hati ibu untuk tidak menikah lagi setelah bapak tiada. Meski aku tahu ada beberapa orang yang berniat memperistri ibu, tetapi dengan halus wanita sederhana itu menolaknya.

“Ibu nggak mau kamu jadi anak tiri,” jawab ibu saat aku bertanya mengapa ibu tak menerima pinangan mereka. Ah, ibu … sepertinya bukan hanya itu alasannya, tetapi cinta ibu pada bapak yang begitu besar menjadi penyebabnya.

Aku terpekur beberapa saat, tanpa sadar pipiku sudah basah oleh air mata. Semoga secepatnya rumah ini ada yang berkenan menempati, agar ada yang rutin membersihkan dan merawat. Aku tidak berniat untuk menjualnya karena bagaimanapun ini adalah satu-satunya peninggalan orang tuaku. Museum keluargaku yang di tiap bagiannya ada kenangan yang selamanya akan kuingat.

Tak terasa sudah tiga bulan lebih aku tinggal di rumah Pak Kyai Hambali. Alhamdulillah atas pertolongan Allah, dengan perantara keluarga ini aku bisa meneruskan sekolah. Selama ini perlakuan Pak Kyai dan keluarganya sangat baik. Seluruh kebutuhan hidup dan sekolah mereka penuhi. Di sini aku merasa menemukan keluarga baru.

Mbak Ainun yang rutin mengunjungi orang tuanya senang melihatku tinggal di sini.

"Alhamdulillah, sekarang aku punya adik perempuan ya, Mi," selorohnya pada umi suatu hari.

“Titip abah dan umi ya, Nis. Aku sebenarnya ingin selalu berada di dekat mereka, tetapi mau bagaimana lagi, suamiku tugas di luar kota. Mau tak mau harus mengikutinya. Jangan sungkan-sungkan di sini, anggap seperti rumah sendiri .... Oh, iya sekarang kalau memanggil abah dan umi ya, Nis, jangan Pak Kyai dan Bu Nyai lagi. Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kami," pinta Mbak Ainun panjang lebar sambil matanya bergantian memandangku dan Bu Nyai.

"Baik, Mbak. InshaAllah," jawabku sambil melengkungkan bibir.

Bukan hanya Mbak Ainun, Pak Kyai, Bu Nyai dan Mas Iqbal juga memintaku mengganti sebutan Pak Kyai dan Bu Nyai menjadi abah dan umi seperti anak-anak mereka memanggilnya. Akan tetapi, sampai hari ini, masih kikuk dengan sebutan itu dan sering keliru mengucapkannya. Mungkin karena belum terbiasa.

Selain cantik dan pintar, Mbak Ainun juga sangat baik. Wanita semampai itu menawarkan seluruh barang yang ada di kamarnya agar aku gunakan. Bukan hanya itu, setiap kali ia dan Mas Anas--suaminya--berkunjung, selalu membawakan oleh-oleh khusus buatku. Dia dan suaminya adalah dosen pada sebuah almamater terkemuka di Kota Gudeg. Mereka sudah menikah hampir lima tahun, tetapi belum juga dikaruniai momongan.

"Belum dipercaya sama Allah.” Begitu kata Mbak Ainun setiap kali kerabat dan tetangga sekitar menyinggung perihal keturunan.

"Pasrah saja, Nun. Kalau sudah waktunya pasti juga Allah kasih, yang penting berdoa dan berusaha." Umi selalu membesarkan hati putrinya.

"Dulu, umi sembilan tahun menikah baru hamil kamu. Jadi tepat sepuluh tahun usia pernikahan, kamu lahir, Nun. Selang tiga tahun, lahir Irsyad dan tiga tahun kemudian ada Iqbal." Umi menceritakan sedikit riwayatnya.

Oh, ya, selama aku tinggal di rumah Pak Kyai, Mas Iqbal baru pulang sekali. Ia sibuk mempersiapkan KKN. Bagiku ini lebih baik, setidaknya jika intensitas pertemuan kami jarang, aku lebih mudah meredam rasa itu dan menganggap dia biasa saja. Namun, perkiraanku salah besar. Lama tidak melihat sosoknya, tak mendengar suaranya justru rasanya ada yang hilang, hati seperti terhempas. Aku tak tahu entah apa namanya.

Mungkinkah ini yang dinamakan kangen? Benarkah ini rindu? Yang hanya akan hilang jika bertemu?

‘Kangen? Rindu?’

‘Hai, Nisa! Jangan plin-plan! Bukankah kamu akan membuang jauh rasa itu, belajar menganggapnya biasa saja?”

Kembali hati kecilku mengingatkan. Ah, mengapa sulit sekali merubah rasa itu? Kalau ada Mas Iqbal, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Pikiranku tidak fokus dan konsentrasi buyar. Namun, aku sangat menikmati saat-saat seperti itu. Seperti ada sensasi rasa serupa candu yang membuat diri ini ketagihan dan enggan mengakhiri.

Seperti malam itu, saat rapat Remaja Masjid (ReMas) Al-Barokah dimulai. Waktu itu, aku baru sebulan tinggal di rumah Pak Kyai. Mas Iqbal yang sedang libur semesteran juga hadir, ia berkesempatan memberikan saran dan ide untuk mengisi acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Malam itu Mas Iqbal mengenakan baju koko biru muda dipadukan dengan sarung motif kotak-kotak nuansa biru lengkap dengan kopiah turki warna abu-abu bertengger di kepala. Mas Iqbal begitu menawan, aku terkesima melihatnya, menikmati keindahan makhluk ciptaan-Nya yang sudah lama mencuri hatiku.

Sesaat usai Pak Kyai, selaku penasihat ReMas, memberikan wejangan, seharusnya sebagai pembawa acara aku membacakan acara apa selanjutnya. Namun, karena terpesona pada Mas Iqbal—yang duduk bersila di seberangku-- aku malah terbengong-bengong beberapa saat. Sampai-sampai Lani yang duduk di sebelahku menepuk pahaku sambil berbisik, kalau aku harus segera membacakan susunan acara berikutnya.

Aku langsung tergagap ... rasanya maluuu sekaliii .... Segera kuraih spiker dan kubacakan acara selanjutnya. Tak peduli dengan reaksi mereka, yang menertawakanku .... Eh, kira-kira mereka tahu nggak ya, apa yang ada di di benakku saat itu? Astaghfirullahaladzim .... Ampuni hamba-Mu yang khilaf ini ya Allah .... Pintaku dalam hati. Aku berharap hanya Allah yang tahu semua ini. Heran, semakin aku menekannya justru rasa itu mengakar kuat di dasar hati.

Sejak awal kedatanganku, Bu Nyai sudah menceritakan tentang perangai Mas Irsyad—anak tengahnya--yang berbalik 180 derajat dari kakak dan adiknya. Kata beliau, sejak kecil sifat membangkang Mas Irsyad sudah terlihat. Bahkan di pesantren pun dia sering kabur karena tidak mau terikat dengan aturan yang menurutnya mengekang. Mengenai kabar itu aku sudah tahu sebelumnya dari desas-desus warga kampung.

Namun, aku kaget dan tidak mengira saat Bu Nyai dengan terus terang menceritakan bahwa Mas Irsyad saat ini bukan di pesantren, melainkan sedang dirawat di suatu yayasan semacam panti rehabilitasi bagi mantan pengguna narkoba di Magelang. “Sudah setengah tahun dia dirawat di sana. Abah dan umi rutin mengunjunginya, memberikan semangat hidup untuk Irsyad di tengah putus asa yang mendera,” terang Bu Nyai padaku yang masih melongo karena tak percaya.

Masyaallah ... awalnya aku tidak percaya, seorang anak kyai, tokoh agama yang sering memberikan tausiah bisa terjerumus pada hal-hal seperti itu.

"Aku ceritakan di awal ,Nis, biar nanti tidak kaget jika suatu saat kamu umi ajak besuk Irsyad. Kamu juga ndak usah takut bila suatu saat dia pulang ke rumah ini. Namun, ya ndak tahu kapan dia mau balik. Wong berkali-kali diajak pulang ndak mau, kok, Nis.”

“Oh, begitu?”

“Iya, sudah nyaman tinggal di panti katanya. Mungkin kamu bertanya, kenapa bisa ada salah satu anakku yang seperti itu? Ya, itulah cara Allah menyayangi hamba-Nya. Kami sebagai orang tua sudah berusaha mendidik dengan sebaik-baiknya. Sama dengan kakak dan adiknya, tetapi apa mau dikata kalau hasilnya tidak seperti yang kami harapkan. Bagaimanapun dia tetap anak kami. Abah juga umi tetap mengusahakan yang terbaik. Ainun dan Iqbal juga Alhamdulillah mengerti. Malu, putus asa itu pasti, Nis, tetapi yakin ada hikmah dibalik semua ini. Kami tidak menganggap ia sebagai aib keluarga, justru kami ingin berbagi cerita, tukar kawruh dengan mereka yang mempunyai masalah dalam mendidik anak." Bu Nyai panjang lebar menceritakan ihwal Mas Irsyad.

Subhanallah. Aku merinding mendengarnya, mereka begitu legowo menerima semua cobaan ini. Sebelumnya aku sering heran dan bertanya-tanya, kenapa anak kyai bisa salah langkah? Anak ustadz kenapa terjerumus pergaulan bebas? Menurut Bu Nyai itu adalah ujian.

“Kyai dan ustadz juga manusia, kan? Mereka pasti tidak menginginkan hal tersebut, dan sudah berusaha mendidik sebaik mungkin. Namun, seperti kata pepatah ‘Tak ada gading yang tak retak', tak ada sesuatu yang sempurna, karena sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah azza wajalla. Jangankan kyai dan ustadz, sedangkan Nabi Nuh yang adalah utusan Allah, manusia pilihan Allah juga mempunyai anak yang tidak sejalan dengan yang beliau ajarkan. Wallahu alam bi shawab.” Bu Nyai mengatakan itu dengan mata berkaca-kaca.

Ah, aku jadi penasaran seperti apa rupa Mas Irsyad sekarang. Seingatku dulu sosoknya mirip dengan Mas Iqbal. Akan tetapi, jika dibandingkan menurutku lebih ganteng dan lebih berkharisma sang adik. Duh ... lagi-lagi Mas Iqbal yang muncul di benakku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status