Sore hari, setelah menyampaikan kemantapan hati tinggal di rumah Pak Kyai, aku segera berkemas. Dibantu Mak Dijah aku memasukkan seluruh seragam sekolah dan beberapa stel baju harian ke dalam tas besar. Sedangkan buku-buku dan alat sekolah lainnya aku kemas rapi dengan kardus bekas. Sengaja aku tidak langsung membawa semua barang-barang, agar bisa bolak-balik ke rumah. Bagaimana juga banyak kenangan tercipta di rumah ini. Alhamdulillah Pak Kyai dan Bu Nyai tidak keberatan dengan permintaanku.
"Ndak papa, Nis. Kamu bawa saja barang yang dirasa perlu dulu. Lainnya bisa nyicil besok-besok. Toh, rumahmu dekat. Atau mau aku panggilkan Pakde Tono biar diangkut pakai truk? Hehehe ...?" canda Bu Nyai. Pakde Tono adalah sopir truk di tempat penggilingan padi Pak Kyai."Nggak usah, Bu Nyai, terimakasih ... biar saya boncengkan saja naik sepeda. Wong barang-barang saya cuma dikit. Saya nggak mau merepotkan Pakde Tono," jawabku jujur."Hehehe ... kamu itu loh, Nis ... kok lugu banget, wong aku cuma guyon." Bu Nyai tak bisa menahan gelak tawanya mendengar jawabanku.Jujur saja meninggalkan rumah yang menjadi saksi kehidupanku sebenarnya sangat berat. Apalagi melihat mesin jahit dan alat-alat jahit yang teronggok di rumah ini. Pikiranku terseret ke masa-masa saat bapak dan ibu masih ada. Suara mesin jahit inilah yang mengiringi tarian kehidupan kami, dari pagi hingga malam. Meski kami hidup dalam keterbatasan, tetapi terasa sangat tenang dan bahagia.Tentang bapak yang pekerja keras, hingga tak sadar ternyata kanker telah menggerogoti paru-parunya. Tentang ibu yang begitu tegar mendampingi bapak. Juga keteguhan hati ibu untuk tidak menikah lagi setelah bapak tiada. Meski aku tahu ada beberapa orang yang berniat memperistri ibu, tetapi dengan halus wanita sederhana itu menolaknya.“Ibu nggak mau kamu jadi anak tiri,” jawab ibu saat aku bertanya mengapa ibu tak menerima pinangan mereka. Ah, ibu … sepertinya bukan hanya itu alasannya, tetapi cinta ibu pada bapak yang begitu besar menjadi penyebabnya.Aku terpekur beberapa saat, tanpa sadar pipiku sudah basah oleh air mata. Semoga secepatnya rumah ini ada yang berkenan menempati, agar ada yang rutin membersihkan dan merawat. Aku tidak berniat untuk menjualnya karena bagaimanapun ini adalah satu-satunya peninggalan orang tuaku. Museum keluargaku yang di tiap bagiannya ada kenangan yang selamanya akan kuingat.Tak terasa sudah tiga bulan lebih aku tinggal di rumah Pak Kyai Hambali. Alhamdulillah atas pertolongan Allah, dengan perantara keluarga ini aku bisa meneruskan sekolah. Selama ini perlakuan Pak Kyai dan keluarganya sangat baik. Seluruh kebutuhan hidup dan sekolah mereka penuhi. Di sini aku merasa menemukan keluarga baru.Mbak Ainun yang rutin mengunjungi orang tuanya senang melihatku tinggal di sini."Alhamdulillah, sekarang aku punya adik perempuan ya, Mi," selorohnya pada umi suatu hari.“Titip abah dan umi ya, Nis. Aku sebenarnya ingin selalu berada di dekat mereka, tetapi mau bagaimana lagi, suamiku tugas di luar kota. Mau tak mau harus mengikutinya. Jangan sungkan-sungkan di sini, anggap seperti rumah sendiri .... Oh, iya sekarang kalau memanggil abah dan umi ya, Nis, jangan Pak Kyai dan Bu Nyai lagi. Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kami," pinta Mbak Ainun panjang lebar sambil matanya bergantian memandangku dan Bu Nyai."Baik, Mbak. InshaAllah," jawabku sambil melengkungkan bibir.Bukan hanya Mbak Ainun, Pak Kyai, Bu Nyai dan Mas Iqbal juga memintaku mengganti sebutan Pak Kyai dan Bu Nyai menjadi abah dan umi seperti anak-anak mereka memanggilnya. Akan tetapi, sampai hari ini, masih kikuk dengan sebutan itu dan sering keliru mengucapkannya. Mungkin karena belum terbiasa.Selain cantik dan pintar, Mbak Ainun juga sangat baik. Wanita semampai itu menawarkan seluruh barang yang ada di kamarnya agar aku gunakan. Bukan hanya itu, setiap kali ia dan Mas Anas--suaminya--berkunjung, selalu membawakan oleh-oleh khusus buatku. Dia dan suaminya adalah dosen pada sebuah almamater terkemuka di Kota Gudeg. Mereka sudah menikah hampir lima tahun, tetapi belum juga dikaruniai momongan."Belum dipercaya sama Allah.” Begitu kata Mbak Ainun setiap kali kerabat dan tetangga sekitar menyinggung perihal keturunan."Pasrah saja, Nun. Kalau sudah waktunya pasti juga Allah kasih, yang penting berdoa dan berusaha." Umi selalu membesarkan hati putrinya."Dulu, umi sembilan tahun menikah baru hamil kamu. Jadi tepat sepuluh tahun usia pernikahan, kamu lahir, Nun. Selang tiga tahun, lahir Irsyad dan tiga tahun kemudian ada Iqbal." Umi menceritakan sedikit riwayatnya.Oh, ya, selama aku tinggal di rumah Pak Kyai, Mas Iqbal baru pulang sekali. Ia sibuk mempersiapkan KKN. Bagiku ini lebih baik, setidaknya jika intensitas pertemuan kami jarang, aku lebih mudah meredam rasa itu dan menganggap dia biasa saja. Namun, perkiraanku salah besar. Lama tidak melihat sosoknya, tak mendengar suaranya justru rasanya ada yang hilang, hati seperti terhempas. Aku tak tahu entah apa namanya.Mungkinkah ini yang dinamakan kangen? Benarkah ini rindu? Yang hanya akan hilang jika bertemu?‘Kangen? Rindu?’‘Hai, Nisa! Jangan plin-plan! Bukankah kamu akan membuang jauh rasa itu, belajar menganggapnya biasa saja?”Kembali hati kecilku mengingatkan. Ah, mengapa sulit sekali merubah rasa itu? Kalau ada Mas Iqbal, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Pikiranku tidak fokus dan konsentrasi buyar. Namun, aku sangat menikmati saat-saat seperti itu. Seperti ada sensasi rasa serupa candu yang membuat diri ini ketagihan dan enggan mengakhiri.Seperti malam itu, saat rapat Remaja Masjid (ReMas) Al-Barokah dimulai. Waktu itu, aku baru sebulan tinggal di rumah Pak Kyai. Mas Iqbal yang sedang libur semesteran juga hadir, ia berkesempatan memberikan saran dan ide untuk mengisi acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Malam itu Mas Iqbal mengenakan baju koko biru muda dipadukan dengan sarung motif kotak-kotak nuansa biru lengkap dengan kopiah turki warna abu-abu bertengger di kepala. Mas Iqbal begitu menawan, aku terkesima melihatnya, menikmati keindahan makhluk ciptaan-Nya yang sudah lama mencuri hatiku.Sesaat usai Pak Kyai, selaku penasihat ReMas, memberikan wejangan, seharusnya sebagai pembawa acara aku membacakan acara apa selanjutnya. Namun, karena terpesona pada Mas Iqbal—yang duduk bersila di seberangku-- aku malah terbengong-bengong beberapa saat. Sampai-sampai Lani yang duduk di sebelahku menepuk pahaku sambil berbisik, kalau aku harus segera membacakan susunan acara berikutnya.Aku langsung tergagap ... rasanya maluuu sekaliii .... Segera kuraih spiker dan kubacakan acara selanjutnya. Tak peduli dengan reaksi mereka, yang menertawakanku .... Eh, kira-kira mereka tahu nggak ya, apa yang ada di di benakku saat itu? Astaghfirullahaladzim .... Ampuni hamba-Mu yang khilaf ini ya Allah .... Pintaku dalam hati. Aku berharap hanya Allah yang tahu semua ini. Heran, semakin aku menekannya justru rasa itu mengakar kuat di dasar hati.Sejak awal kedatanganku, Bu Nyai sudah menceritakan tentang perangai Mas Irsyad—anak tengahnya--yang berbalik 180 derajat dari kakak dan adiknya. Kata beliau, sejak kecil sifat membangkang Mas Irsyad sudah terlihat. Bahkan di pesantren pun dia sering kabur karena tidak mau terikat dengan aturan yang menurutnya mengekang. Mengenai kabar itu aku sudah tahu sebelumnya dari desas-desus warga kampung.Namun, aku kaget dan tidak mengira saat Bu Nyai dengan terus terang menceritakan bahwa Mas Irsyad saat ini bukan di pesantren, melainkan sedang dirawat di suatu yayasan semacam panti rehabilitasi bagi mantan pengguna narkoba di Magelang. “Sudah setengah tahun dia dirawat di sana. Abah dan umi rutin mengunjunginya, memberikan semangat hidup untuk Irsyad di tengah putus asa yang mendera,” terang Bu Nyai padaku yang masih melongo karena tak percaya.Masyaallah ... awalnya aku tidak percaya, seorang anak kyai, tokoh agama yang sering memberikan tausiah bisa terjerumus pada hal-hal seperti itu."Aku ceritakan di awal ,Nis, biar nanti tidak kaget jika suatu saat kamu umi ajak besuk Irsyad. Kamu juga ndak usah takut bila suatu saat dia pulang ke rumah ini. Namun, ya ndak tahu kapan dia mau balik. Wong berkali-kali diajak pulang ndak mau, kok, Nis.”“Oh, begitu?”“Iya, sudah nyaman tinggal di panti katanya. Mungkin kamu bertanya, kenapa bisa ada salah satu anakku yang seperti itu? Ya, itulah cara Allah menyayangi hamba-Nya. Kami sebagai orang tua sudah berusaha mendidik dengan sebaik-baiknya. Sama dengan kakak dan adiknya, tetapi apa mau dikata kalau hasilnya tidak seperti yang kami harapkan. Bagaimanapun dia tetap anak kami. Abah juga umi tetap mengusahakan yang terbaik. Ainun dan Iqbal juga Alhamdulillah mengerti. Malu, putus asa itu pasti, Nis, tetapi yakin ada hikmah dibalik semua ini. Kami tidak menganggap ia sebagai aib keluarga, justru kami ingin berbagi cerita, tukar kawruh dengan mereka yang mempunyai masalah dalam mendidik anak." Bu Nyai panjang lebar menceritakan ihwal Mas Irsyad.Subhanallah. Aku merinding mendengarnya, mereka begitu legowo menerima semua cobaan ini. Sebelumnya aku sering heran dan bertanya-tanya, kenapa anak kyai bisa salah langkah? Anak ustadz kenapa terjerumus pergaulan bebas? Menurut Bu Nyai itu adalah ujian.“Kyai dan ustadz juga manusia, kan? Mereka pasti tidak menginginkan hal tersebut, dan sudah berusaha mendidik sebaik mungkin. Namun, seperti kata pepatah ‘Tak ada gading yang tak retak', tak ada sesuatu yang sempurna, karena sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah azza wajalla. Jangankan kyai dan ustadz, sedangkan Nabi Nuh yang adalah utusan Allah, manusia pilihan Allah juga mempunyai anak yang tidak sejalan dengan yang beliau ajarkan. Wallahu alam bi shawab.” Bu Nyai mengatakan itu dengan mata berkaca-kaca.Ah, aku jadi penasaran seperti apa rupa Mas Irsyad sekarang. Seingatku dulu sosoknya mirip dengan Mas Iqbal. Akan tetapi, jika dibandingkan menurutku lebih ganteng dan lebih berkharisma sang adik. Duh ... lagi-lagi Mas Iqbal yang muncul di benakku.Selain Pak Kyai dan Bu Nyai, ada sepasang suami istri separuh baya yang sehari-hari membantu di rumah ini. Mereka menempati rumah kecil di belakang rumah besar ini. Kang Sarman dan Yu Girah nama suami istri itu. Kang Sarman bertugas membantu membersihkan masjid dan pekarangan sekitar rumah. Sedang Yu Girah membantu Bu Nyai di dapur dan membersihkan rumah, serta pekerjaan rumah tangga lainnya. Sedikit cerita dari Yu Girah, katanya keluarganya sudah turun temurun bekerja pada keluarga ini. Pak Kyai dan Bu Nyai memperlakukan mereka dengan sangat baik, hingga mereka betah bertahun-tahun bekerja di sini. Padahal anak-anak mereka semua sudah hidup berkecukupan dan berkali-kali menawari untuk ikut bersamanya, namun mereka tetap bersikukuh tinggal di sini. Beruntung sejak kecil aku terbiasa bangun sebelum subuh, hingga tidak kaget saat awal-awal tinggal di rumah ini. Sudah menjadi kewajiban dan kebiasaan seluruh penghuni rumah harus menunaikan salat Subuh berjamaah di masjid. Setelah salat
GADIS BERKERUDUNG BIRUHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat tatap mata kita bertemuSaat senyum tersungging di bibirmuSaat pipimu menjadi merah daduLalu kau tertunduk maluHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat jarak memisahkanku darimuSaat tak kudengar merdu suaramuAda selaksa rindu yang menggebuEntah kapan tiba waktu itu ?Waktu di mana kan ungkap rasaku padamuHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat kusebut namamu di untaian doakuHanya satu yang kuminta pada Rabb-kuJadikanlah engkau RatukuDan bersemayam abadi di kalbuM. I. HambaliBerulang kali kubaca tiga bait puisi pada secarik kertas berwarna biru. Aku bisa memastikan kalau puisi itu Mas Iqbal yang membuat, karena di sudut kanan bawah tertera inisial namanya, Muhammad Iqbal Hambali.Gadis Berkerudung
"Oh, begitu ... tapi maaf sebelumnya, rumah saya ndak bagus, kecil pula." Aku mengatakan apa adanya."Wah, nggak papa Mbak Nisa, yang penting bisa buat berteduh, karena saya di sini nggak cuma sehari dua hari, jadi memang butuh tempat tinggal, gak masalah besar atau kecil, bagus atau jelek , yang penting bisa ditempati," ujar Mas Ilham jujur."Iya, Nis ... tadi Mas Ilham sudah lihat-lihat rumahmu, dan katanya cocok, selain dekat dengan Balai Desa, rumahmu juga dekat masjid, bukan begitu Mas Ilham ...?" Mak Dijah sepertinya mendukung keinginan Mas Ilham.Mak Dijah benar juga, kalau ada yang menempati otomatis ada yang membersihkan dan merawat rumahku."Iya, Nis .... Lebih baik biar ditempati Mas Ilham selama beliau tugas di sini, sayang kalau terlalu lama kosong, jadi terlihat gimana gitu?" Ujar Bu Nyai sambil melirik Pak Kyai."Benar, Nis ... saran kami kalau ada yang menempati itu sangat bagus. Toh kamu sudah di sini, tidak bisa rutin merawat. Tapi semua kembali sama kamu, membolehkan
Sore ini tanpa memberi tahu terlebih dahulu, Mas Ilham menjemputku kuliah. Aku kaget ketika melihatnya duduk di atas motor matic warna hitam miliknya, menungguku di depan gerbang kampus. Aku tak bisa menolak saat dia mengajak ke pantai yang lokasinya tak jauh dari kampus. Hanya butuh waktu lima menit kami sudah sampai di pantai yang menjadi ikon wisata di kotaku. Mungkin karena akhir pekan, sore ini pantai lumayan ramai. Selain para nelayan, pantai ini banyak dikunjungi para pelancong dari dalam maupun luar kota. Kami duduk di salah satu gazebo, menghadap ke laut lepas melihat pemandangan yang memanjakan mata."Aku mau bicara serius denganmu, Dik." Setelah beberapa saat kami berbasa-basi akhirnya Mas Ilham menyampaikan maksudnya menjemputku lalu mengajakku kesini. Sejak kami akrab, Mas Ilham mengubah panggilannya padaku, kalau sebelumnya dia memanggilku Mbak Nisa sekarang menjadi Dik Nisa. Aku tidak keberatan dengan panggilan itu, toh usiaku memang tujuh tahun lebih muda darinya."Ten
Aku baru keluar dari masjid usai pengajian rutin remaja, saat kulihat mobil sedan warna silver berhenti di halaman. Tak lama kemudian seorang gadis cantik berkerudung keluar dari pintu depan mobil sebelah kanan. pencahayaan yang cukup terang membuat diri ini bisa melihat jelas sosoknya. Penampilannya sangat modis, memakai celana jeans coklat dipadu dengan tunik panjang motif bunga-bunga warna salem dengan kerudung warna senada. Kedua ujung kerudung bagian depan diikat ke belakang memperlihatkan kalung manik-manik besar warna maron di dadanya. Tak ketinggalan tas kulit dengan brand terkenal ia cangklong di pundak. Aku lihat hak sepatunya tinggi dan runcing. Tak terbayang jika aku yang memakainya, pasti akan kerepotan berjalan dan keseleo berkali-kali.Gadis itu tersenyum saat melihatku berdiri mengawasinya. Aku membalas senyumnya."Assalamualaikum ...." Dia berjalan ke arahku, mengulurkan tangannya."Waalaikumsalam ...." Kami berjabat tangan."Saya Hanum, teman kuliah Iqbal, maaf bisa b
Kubiarkan saat Umi mengetok kamarku, mungkin Umi mengira aku telah terlelap. Aku tidak ingin Umi mendengar isak ini, melihat mataku sembab. Hingga Umi menanyakan apa penyebabnya. Tidak mungkin kan aku menceritakan semua ini pada Umi. Yang ada nanti Umi akan menilaiku sebagai anak yang tidak tahu diri, aku mengira-ngira sendiri reaksi Umi jika beliau tahu tentang perasaan ini.Hingga Subuh menjelang aku belum tidur sama sekali, ternyata begini rasanya patah hati. Benar kata almarhumah Ibu, jangan terlalu berharap pada Mas Iqbal. Mungkin karena Ibu tidak ingin melihatku terluka. Ibu ... seandainya beliau masih hidup, tentu akan kuluapkan tangis ini di pangkuanmu. Mencurahkan keluh kesah padamu dan tanganmu akan mengelus-ngelus pundakku hingga sakit ini sedikit terobati.***Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, meski semalam nyaris tidak dapat tidur. Kuselesaikan tugas membersihkan rumah dengan cepat, lalu mandi kemudian segera bergegas ke toko. Aku menolak saat Umi dan Yu Girah
Seperti anjuran Umi, usai makan malam aku mohon restu pada Abah dan Umi. Selain mereka berdua, ada juga Mas Iqbal yang memang beberapa hari ini ada di rumah. Dia menunggu pelaksanaan wisuda bulan depan.Selama di rumah Mas Iqbal lebih sering ke penggilingan padi, dan hanya beberapa kali datang ke toko. Saat musim panen seperti sekarang ini, toko lebih sepi dari biasanya dan gantian penggilingan padi yang ramai."Abah sudah menduga sebelumnya Nis, dari tatapan Nak Ilham saat melihatmu, cara bicaranya padamu, hehehe .... Abah kan juga pernah muda, Nis." Abah terkekeh menanggapi ceritaku. Abah memang sering mengontrol toko dan beliau kerap mengobrol akrab dengan Mas Ilham."Iya, Nis... Umi dan Abah sering membicarakan kalian, sudah dari awal kami menangkap kalau Nak Ilham itu menaruh hati padamu, tapi Umi perhatikan sepertinya kamu sama sekali tidak merespons, adem ayem saja, bahkan terkesan cuek, tidak menanggapi sama sekali. Makanya kami pikir kamu tidak suka sama Nak Ilham, atau meman
Loh kamu bilang akan berangkat ke Semarang seminggu sebelum wisuda, kenapa sekarang mendadak mau berangkat?" Aku sedang berkemas untuk berangkat ke toko, saat dari kamar sayup-sayup kudengar suara Umi. Sepertinya Umi sedang berbicara dengan Mas Iqbal."Iya, Mi. Masih ada yang harus Iqbal siapkan, kalau seminggu sebelumnya terlalu mepet." Kini terdengar suara Mas Iqbal menjawab pertanyaan Umi. Aku juga ingat saat Mas Iqbal bicara dengan Umi, katanya satu minggu sebelum hari H dia baru akan ke Semarang, menurutnya semua perlengkapan wisuda sudah siap. Dan rencananya Abah dan Umi akan berangkat menyusul kemudian, sehari sebelum pelaksanaan. Bahkan Umi juga akan mengajakku serta ke Semarang. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba Mas Iqbal mengubah rencana semula, ya? Apakah ini ada kaitannya dengan rencana Mas Ilham yang akan mengkhitbahku? Aku bertanya-tanya dalam hati. Ah mungkin memang ada sesuatu yang harus ia siapkan dari sekarang, hati kecilku menghalau pikiran yang bukan-bukan."Tapi nan