Share

BAB 1. KHAIRUNNISA

Sepeda usang warna biru sudah aku sandarkan di samping pohon jambu depan rumah. Meski tidak sebagus dan semahal punya Lani atau Dewi, aku sangat bersyukur memilikinya. Sepeda inilah yang setia mengantarku menuntut ilmu, sejak masuk SMP hingga kini duduk di kelas 3 SMK. Bapak membelinya ketika aku diterima di SMP Negeri di Kota Kecamatan. Bukan sepeda baru, hanya sepeda bekas, tetapi aku sangat bersyukur karena memang kemampuan orang tuaku sebatas itu.

Bapak seorang petani penggarap dan bekerja pada sebuah tempat penggilingan padi jika tidak ada pekerjaan di sawah. Aku sadar dengan keadaan ini. Untuk itu, tak pernah menuntut lebih. Selain itu, bapak dan ibu selalu mengajariku falsafah Jawa 'Nrimo Ing Pandum', menerima apa yang Allah SWT berikan pada hamba-Nya.

"Masih terlalu pagi, Nis. Bagaimana kalo mampir ke rumah Bu Nyai dulu, baju yang tempo hari beliau bawa ke sini sudah selesai ibu jahit." Suara ibu membuyarkan lamunanku.

"Baik, Bu. Sekalian Nisa bawa," jawabku dengan senang hati. Kebetulan aku melewati rumah Bu Nyai saat berangkat dan pulang sekolah.

Ya, ibu membuka jasa menjahit baju di rumah. Ada yang berkenan mengambil saat baju sudah selesai dijahit, ada pula yang meminta diantarkan ke rumah, seperti Bu Nyai Aisyah, langganan setia ibu. Tugasku hanya mengantarkan baju-baju yang telah selesai dijahit ke pelanggan, karena ibu tidak pernah mengizinkan kalau membantu mengerjakan jahitan.

"Tak usah, Nis ... nanti kalau keliru, biar ibu saja yang mengerjakan. Kita sudah dipercaya, jangan sampai membuat mereka kecewa. Besok saja kalo kamu sudah mahir, ya!"

Selalu begitu kata ibu jika aku menawarkan diri untuk membantunya, sekadar memotong kain atau menggantikannya menjahit bagian yang simpel. Bahkan, untuk menyetrika baju yang telah jadi pun ibu tidak membolehkan, takut tidak haluslah, kurang licinlah, apalah-apalah ... hehehe ... kayak lagunya Iis Dahlia, ya?

Memang benar alasan ibu. Meski anak ibu satu-satunya, tetapi aku sama sekali tidak menuruni bakat menjahit seperti beliau. Aku justru tertarik pada dunia hitung-menghitung dan mengambil jurusan Akuntansi pada SMK Negeri di kotaku—Cilacap-sebuah kota kecil yang terletak di ujung barat daya Provinsi Jawa Tengah. Ibu sangat hati-hati dan teliti saat menjahit, telaten mengerjakan setiap detailnya. Pantas saja, siapa pun yang pernah menjahitkan baju pada ibu pasti puas dengan hasil jahitannya.

Pelanggan ibu lumayan banyak, ini sangat membantu perekonomian kami. Semenjak bapak sakit dan akhirnya meninggalkan kami berdua untuk selamanya, otomatis ibu yang menjadi tulang punggung keluarga. Sering ibu begadang, ngebut menyelesaikan jahitan karena semua pelanggan menginginkan jadi secepatnya. Semakin cepat selesai, itu berarti semakin cepat pula ibu menerima upahnya. Aku paham dan tahu betul pengorbanan ibu untukku, anak semata wayangnya.

Untuk itu, aku bertekad akan membahagiakan ibu. Menuruti segala perintah dan keinginan beliau adalah kewajibanku sebagai seorang anak. Selama ini, aku berusaha tidak mengecewakannya dengan tekun belajar dan berusaha menjadi yang terbaik. Alhamdulillah, karena usaha keras dan berkat dukungan ibu, aku selalu menjadi juara di sekolah.

Pagi ini, sekalian berangkat sekolah, aku membantu ibu mengantarkan baju Bu Nyai Aisyah, istri Pak Kyai Hambali. Beliau salah satu pelanggan setia ibu. Seingatku dari SD sampai sekarang hampir lulus SMK, Bu Nyai Aisyah selalu menjahitkan bajunya ke ibu. Suatu kebanggaan jika seorang seperti Bu Nyai cocok dengan jahitan ibu.

"Jahitan Ibumu enak dipakai, Nis, pas di badan," puji Bu Nyai suatu ketika, saat aku mengantarkan jahitan.

"Syukurlah, kalau Bu Nyai berkenan dan cocok dengan jahitan ibu," kataku sambil menunduk takzim.

Di desaku, seorang Kyai dan keluarganya sangat dihormati dan disegani. Seperti keluarga Pak Kyai Hambali, terutama Bu Nyai, selain gemrapyak⸺ramah kata orang Jawa. Beliau juga berjiwa sosial tinggi. Bukan tanpa alasan aku menilai demikian karena setiap kali mengantarkan jahitan, beliau selalu memberi ongkos lebih.

"Buat beli buku, Nis!" Begitu kata beliau.

Ternyata, bukan hanya aku⸺anak yatim⸺yang beliau bantu, tetapi banyak tetangga yang kurang mampu juga rutin mendapat santunan. Biasanya saat bulan Ramadhan, kami diundang untuk buka bersama di Masjid Al-Barokah yang berada di samping kiri rumah beliau. Begitu pun saat Idul Fitri tiba, anak-anak yatim piatu dan yang dipandang kurang mampu di kampung ini mereka berikan santunan dengan pantas.

Selain memiliki sawah yang luas, Pak Kyai juga mengelola beberapa usaha penggilingan padi di beberapa tempat. Bapak dulu juga bekerja pada salah satu penggilingan padi milik Pak Kyai saat tidak ada orang yang memakai tenaganya untuk menggarap sawah.

Tak butuh waktu lama, sepeda yang kukayuh sudah tiba di depan Masjid Al-Barokah. Aku berhenti mengayuh pedal lalu menuntunnya, melewati pintu pagar menuju halaman rumah Bu Nyai. Pintu pagar masjid dan rumah Bu Nyai menjadi satu.

"Sandarkan di sini saja, Nis!" teriak seseorang dari arah teras.

Seketika, dada ini bergetar hebat mendengar suara itu. Suara pemuda dua puluh satu tahun menyadarkanku bahwa orang yang kuhindari mau tak mau harus kutemui pagi ini. Mas Iqbal, nama pemilik suara itu, bangkit dari kursi lalu melangkah. Kurasakan jantungku bertalu-talu seiring semakin dekat pemuda berperawakan jangkung itu ke arahku.

Bu Nyai mempunyai tiga orang anak, yang pertama Mbak Ainun. Putri sulung Bu nyai itu menikah dengan seorang dosen mengikuti suaminya tinggal di Yogyakarta. Putra kedua, Mas Irsyad, kira-kira usianya tiga tahun lebih tua dari Mas Iqbal. Aku tidak begitu mengenalnya, selain karena usia kami terpaut jauh dia juga jarang pulang ke rumah. Setahuku, sejak lulus SD dia tinggal di asrama pesantren. Dari desas-desus tetangga, Mas Irsyad sering membuat masalah, berkali-kali kabur dari pesantren hingga salah pergaulan.

"Makanya dipasang standar, Nis, jadi gampang pas mau parkir," sambung Mas Iqbal sambil memegang setang sepeda, memastikan sepedaku tersandar dengan baik.

"Belum sempat, Mas," ujarku singkat dengan kepala menunduk.

Entahlah, setiap bertemu dengan Mas Iqbal, aku selalu kikuk dan deg-degan. Untuk itu, aku hanya sedikit bicara saat berhadapan dengannya. Padahal, sudah lama kami saling kenal. Usia yang hanya terpaut tiga tahun dan rumah yang berdekatan membuat kami sering bermain bersama waktu kecil.

Berbagai permainan sering kami mainkan, seperti Lompat Tali, Tong Pet, Sunda Manda, Gobak Sodor dan segala permainan khas anak-anak desa pada masa itu. Dia sangat lihai memanjat pohon. Oleh karena itu, setiap bermain Petak Umpet atau Tong Pet dalam bahasa daerah kami, dia paling sulit untuk dicari karena nangkring di pohon, bersembunyi di rimbunnya daun-daun. Setelah tamat SD, Mas Iqbal melanjutkan SMP sekaligus mondok di suatu pesantren di luar kota, sama seperti Mas Irsyad kakaknya. Sejak saat itu, kami jarang bertemu, hanya sesekali saat Mas Iqbal liburan atau Idul Fitri tiba.

"Loh, kok malah bengong? Ada apa nih, pagi-pagi sudah ke sini?” Pertanyaan Mas Iqbal membuatku tergagap.

"Eh ... emm ... Bu Nyai ada, Mas? Ini saya diutus ibu mengantar baju Bu Nyai yang sudah jadi," jawabku tanpa sanggup menatap wajah Mas Iqbal.

"Waduh, baru saja umi pergi ke pasar, Nis .... Begini saja, biar bajunya aku yang kasihkan. Nah, pulang sekolah nanti kamu mampir buat ambil ongkos jahitnya, gimana?"

"Oh ... baik, Mas. Yang penting sudah saya antarkan," ujarku sambil menyerahkan beberapa potong baju yang tadi sudah ibu bungkus rapi dengan kertas koran.

Sebenarnya, ingin berlama-lama ngobrol dengan Mas Iqbal. Namun apa daya, yang ada nanti semakin terlihat kalau aku gugup dan salah tingkah di hadapannya. Selain itu, ada alasan kuat yang membuatku terpaksa menghindar darinya meski hati ini sebenarnya menolak.

"Iya ... jangan lupa nanti pulang sekolah mampir ya, Nis!" pinta Mas Iqbal lagi.

"Baik, Mas, Insyaallah. Saya permisi dulu," jawabku segera. Susah payah aku mengatur napas agar suara ini terdengar wajar.

"Kok, buru-buru sih, Nis? Masih pagi loh, paling juga gerbang sekolah belum dibuka," ujar Mas Iqbal sambil terkekeh.

"Iya, biar bisa markir sepeda di pinggir."

Aku menjawab jujur sambil membalikkan badan. Di situasi seperti ini aku tak mampu mengarang alasan. Kenyataannya aku memang selalu berangkat pagi-pagi agar bisa memilih tempat parkir. Maklum, sepedaku tidak ada standarnya, jadi selalu memarkirnya di ujung, agar bisa disandarkan pada tiang penopang atap yang ada di sisi kanan dan kiri tempat parkir.

Sambil meraih setang sepeda, sekilas aku melirik Mas Iqbal yang terus mengawasiku sambil tersenyum. Entah apa yang ada di benak pemuda bermata tajam itu.

"Hati-hati, Nis!" Kembali suara bariton itu menggetarkan hati ini.

Aku hanya mampu mengangguk. Tak ada sepatah kata pun mampu terucap. Kalimat terakhirnya telah membuat diri ini merasa mendapat perhatian lebih dari pemuda itu.

Sebenarnya yang Mas Iqbal katakan sangat wajar. Namun, entah mengapa terdengar spesial dan terngiang-ngiang terus di telinga.

‘Kira-kira dia punya perasaan yang sama atau tidak, ya denganku?’

‘Ah, Khairunnisa .... Jangan berlebihan! Itu hal yang lumrah.’

Ada dua kubu dalam perasaanku yang bertentangan.

Gegas kutuntun sepeda keluar dari halaman rumah besar berarsitektur Jawa itu. Buru-buru mengayuh pedal, menghindari tatapan mata Mas Iqbal yang entah mengapa selalu membuat hati ini berdesir. Ah, ternyata usahaku untuk melupakan teman masa kecilku itu belum berhasil. Nyatanya perasaanku masih kalang-kabut saat bertemu dengannya.

Aku jadi ingat saat Mas Iqbal bertandang ke rumah. Dengan santun ia berpamitan padaku dan ibu, bahwa akan melanjutkan kuliah di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah. Setelah melepas kepergian Mas Iqbal di pagar depan rumah, ibu mengingatkanku, agar tidak berharap lebih. Mungkin ibu menangkap sinyal lain pada sikap dan kata-kata Mas Iqbal, atau jangan-jangan ibu memperhatikan tingkahku yang tiba-tiba menjadi aneh karena kepergian Mas Iqbal?

Aku yang waktu itu baru lulus SMP sudah tahu maksud dan arah bicara Ibu. Beliau takut aku menaruh hati pada Putra bungsu Pak Kyai itu. Sementara belum tentu Mas Iqbal punya rasa yang sama.

"Nisa tahu dirilah Bu, siapa Nisa dan siapa Mas Iqbal. Lagian tidak mungkin Mas Iqbal menganggap Nisa lebih dari sekedar teman masa kecilnya," sanggahku saat itu.

Sebenarnya aku heran, Mas Iqbal hanya pamit padaku. Padahal ada Lani, Dewi dan Untari yang juga bisa dibilang dekat dengan Mas Iqbal. Aku tahu kalau Mas Iqbal tidak pamit, karena mereka bertiga kaget saat aku menceritakan perihal kepindahan sementara Mas Iqbal untuk kuliah di Kota Lumpia itu. Namun, buru-buru aku singkirkan rasa heranku, menganggap diri ini terlalu gede rasa.

Meski di hati ada setitik rasa, tetapi segera aku hapus titik itu agar tidak melebar. Tak ingin mengecewakan ibu, aku hanya fokus pada sekolah. Tidak ada waktu memikirkan hal yang lain selain belajar dan belajar.

Setelah Mas Iqbal kuliah, aku semakin jarang bertemu dengannya. Kesibukan di sekolah yang menyita waktu dan tenaga, membuat rasa itu lambat laun pudar. Bukan pudar sih, tepatnya aku simpan rapi di lubuk hati yang terdalam. Ceileh!

Namun, pagi ini tiba-tiba rasa itu hadir lagi. Kalau dulu hanya setitik, kini titik itu semakin lebar dan dalam. Ya Allah ... aku takut dengan rasa ini. Khawatir jika terlalu berharap, sementara Mas Iqbal hanya menganggapku tidak lebih sebagai teman bermainnya dulu, teman masa kecilnya. Aku takut rasa ini bertepuk sebelah tangan. Bukankah kini dia juga mempunyai banyak teman perempuan, yang lebih segalanya dariku. Aku hanya seorang gadis desa, anak yatim yang papa. Tak pantas menaruh hati padanya, seorang anak dari keluarga terpandang di desaku.

Mengayuh sepeda sambil memikirkan Mas Iqbal membuat perjalanan ke sekolah yang berjarak kurang lebih dua belas kilo meter begitu singkat. Tak terasa aku sudah sampai di depan gerbang sekolah. Untungnya, jalan ini setiap hari aku lalui, jadi sudah hapal betul setiap jengkalnya. Dengan mata tertutup pun aku jamin tidak akan kesasar! Yah ... Dedy Corbuzier kali!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
budi aryono
keren, penasaran gimana lanjutanyya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status