"Birawa lebih baik kamu menyerah, karena kekuasaan Ayahmu sudah berakhir, sekarang akulah yang menjadi Raja di sini!" seruan keras mengagetkan Birawa yang sedang melawan penyerangnya.
Kepala Birawa langsung berputar menuju sumber suara, Dia cukup kaget melihat orang yang berteriak kepada dirinya.
"Adipati Arya ternyata kamu yang melakukan pengkhianatan kepada Kerajaan!" Birawa berkata dengan gigi bergeletakan menahan amarah.
"Tidak ada kata pengkhianat aku hanya membersihkan apa yang harus di bersihkan, sebaiknya kamu segera letakkan pedangmu karena kekuasaan Ayahmu sudah habis, aku akan memberikan kematian terbaik kepadamu!" ejek Adipati Arya dengan bibir tersenyum mengejek.
Badan Birawa bergetar mendengar tawaran dari pimpinan pengkhianat yang merupakan Adipati kerajaan itu sendiri.
"Kamu akan merasakan pembalasan atas apa yang kamu lakukan, aku akan pastikan sendiri kematianmu!" bentak Birawa sambil mengembungkan pipinya menahan amarah.
"Hahaha.... Kau silakan membentak semaumu, sebentar lagi tubuhmu bersama Ayahmu yang tak berguna itu juga seluruh keluargamu akan tergantung di tiang gantungan dan semua orang di kerajaan ini akan memuja-muja kepadaku!" jawab Adipati Arya dengan sombong.
"Jangan harap kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan, sekarang bersiaplah, aku akan menanggalkan kepalamu!" bentak Birawa dengan suara menggelegar.
"Aku masih memberi kamu kesempatan untuk menyerah supaya aku bisa mengambil nyawamu dengan cepat tanpa menyakitkan!" ejek Adipati Arya kepada Birawa.
"Mampus kamu sekarang Adipati Arya!" bentak Birawa sambil menyabetkan pedangnya dengan cepat ke arah Adipati Arya.
Dengan cepat Birawa melesat menerjang Adipati Arya yang menjadi pimpinan pengkhianat yang mengkudeta kerajaan, pedang di tangan Birawa berputar cepat untuk memenggal leher Adipati Arya.
Namun setengah jalan badan Birawa bergerak beberapa pasukan pengkhianat langsung menyongsong serangannya melindungi Adipati Arya dari kematian.
"Aaaaaa.... Aaaaaa...."
Beberapa teriakan bergema di tempat itu bersama dengan tumbangnya berapa tubuh yang langsung jatuh terkena amukan pedang Birawa.
Birawa yang pada kesempatan pertama gagal memenggal kepala Adipati Arya dengan cepat memutar pedang di tangannya untuk kembali menyerang.
"Yang Mulia!, jangan mengotori tubuhmu dengan tubuh hina dina itu, biar kami yang mewakili untuk memenggal kepalanya!" sebuah seruan terdengar di tempat itu bersama dengan melesatnya berapa tubuh.
Birawa melihat orang baru datang merupakan tokoh berilmu tinggi dari golongan hitam yang membantu Sang Adipati melakukan kudeta.
"Bagus sekarang kalian sudah berkumpul di sini jadi lebih mudah aku merobek jantung kalian semua!" bentak Birawa yang kembali bersiaga dalam posisi menyerang.
"Kalau begitu aku mau lihat seberapa hebat ilmu kamu sehingga berani bersumbar seperti itu atau omongan kamu hanya isapan jempol belaka!" Satu tubuh langsung meloncat menyongsong serangan Birawa.
"Bagus, kamu terima ini!" bentak Birawa menggelegar.
Pedang di tangannya berputar menyerang musuh tapi walaupun serangan yang dilayangkan Birawa sangat mematikan lawan tetap berdiri di tempatnya dengan bibir menyeringai.
Begitu tubuh Birawa sudah dekat dengan lawan, Birawa merasakan kakinya bergetar badannya seketika lemas pandangannya menjadi hitam.
Pedang di tangannya terlepas dan badannya berubah limbung seperti tidak ada kekuatan sama sekali.
"Mati aku, apa yang terjadi dengan tubuhku," gumam Birawa yang seketika merasakan pandangan matanya menjadi hitam, badannya langsung jatuh seperti daun kering.
*******
Beberapa hari sebelumnya pengkhianatan ini sebenarnya sudah terendus oleh mata-mata kerajaan namun karena kelicinan para pengkhianat sehingga bukti akan adanya kudeta tidak di temukan sama sekali.
Adipati Arya juga sudah terendus melakukan pengkhianatan karena ambisi lamanya untuk menjadi raja, kekurangan buktilah yang membuat dia lolos dari hukuman. Sebenarnya Adipati Arya bukan orang luar bagi Kerajaan, dia merupakan keponakan Baginda Raja sendiri, masa kecilnya dihabiskan di komplek istana bersama Birawa dan saudaranya yang lain.
Puncak dari desas desus pengkhianatan terjadi malam ini ketika Birawa sedang berada dikamarnya.
Darrr.... Darrr....
Malam yang tenang di Kerajaan Bandar Agung tiba-tiba dikejutkan oleh suara keras gedoran di pintu kamar Birawa, ketukan itu seperti bukan di ketuk biasa namun di hantam menggunakan satu buah balok kayu. Birawa yang berada di dalam kamar dengan cepat meloncat bangun dari tempat tidurnya.
Dia segera berlari menuju pintu kamarnya yang ada di Komplek Kaputeran Kerajaan, begitu pintu di buka di depan pintu berdiri dua orang prajurit yang tidak bisa menyembunyikan raut muka tegang.
"Ada apa?" tanya Birawa melihat dua perajurit berdiri di depan pintu dengan keringat membasahi sekujur tubuh mereka masing-masing.
Sebagai seorang Pangeran yang sudah mempelajari semua hal tentang kerajaan baik itu filsapat, Seni Pemerintahan, Seni Peperangan sampai Kedigjayaan membuat dia yakin kalau ada kejadian yang tidak beres sedang di alami oleh Kerajaan. Selain itu Birawa bukan hanya Pangeran biasa, dia juga merupakan Panglima pasukan khusus Kerajaan Bandar Agung.
"Istana di serang pengkhianat, jumlah mereka sangat banyak hampir tiga kali lipat pasukan yang kita miliki sehingga pasukan kewalahan menghadapinya, selain itu beberapa prajurit kita juga membelot, untuk itu kami ke sini mau mengajak Pangeran mengungsi!" lapor salah satu Prajurit yang datang dengan napas memburu.
"Bagaimana kondisi Ayahanda?" tanya Birawa dengan suara bergetar.
"Raja dan keluarga yang lain berada di ruangan persembunyian di kawal oleh beberapa prajurit, hanya tinggal Pangeran yang belum bersembunyi!" Lanjut prajurit tadi melaporkan, mendengar pertanyaan Birawa.
Dengan gerakan ringan Birawa langsung meloncat meraih pedangnya yang dia letakkan di samping tempat tidur.
"Aku akan menuju ke tempat Ayahanda berada untuk memastikan keselamatannya, kalian tidak perlu mengantarku, lebih baik kalian bantu pasukan kita yang sedang melawan musuh, lakukan perlawanan sekeras yang kalian bisa utuk melindungi Kerajaan, ingat satu hal keselamatan kalian harus didahulukan."
Selesai memberikan petunjuk kepada Prajurit tersebut kemudian dengan gerakan ringan dan pedang terhunus Birawa berlari menuju tempat yang menjadi persembunyian Raja.
Sembari berlari dengan gerakan ringan dia mengayunkan pedangnya ke arah musuh yang menghadang langkahnya. Matanya menangkap jika pasukan kerajaan sudah kewalahan menghadapi penyerangan yang terjadi.
Setelah berjibaku Birawa sampai di depan pintu sebuah ruangan yang kelihatan kokoh, dia menoleh ke kiri dan kanan ternyata pasukan pengkhianat belum mencapai ruangan tempat dia berada sekarang.
Dengan cepat Birawa mendorong pintu ruangan, ketika pintu terbuka terlihat berapa pasukan melindungi Raja dan Keluarganya berdiri dengan tegang.
Birawa langsung menutup pintu ruangan itu kemudian menuju sudut tempat Raja dan Keluarganya berada.
"Apakah kalian tidak terluka?" tanyanya kepada prajurit yang siaga dengan pedang terhunus.
"Tidak Pangeran!" jawab prajurit serentak.
"Kalian segera bawa Ayahanda dan yang lain keluar melalui pintu rahasia, ingat pastikan mereka mencapai tempat persembunyian dengan aman, aku akan menahan musuh sebisa mungkin!" perintah Birawa dengan tegas.
"Tapi Pangeran!" Salah satu prajurit memotong perkataannya.
"Jangan banyak tanya, kalau aku bisa selamat dari sini, aku akan segera menyusul kalian menuju tempat persembunyian!" bentak Birawa.
"Baik Pangeran!" jawab para prajurit tanpa berani membantah lagi.
Raja yang dari tadi berada di belakang para prajurit melangkah maju mendekati Birawa yang berdiri dengan pedang terhunus.
"Ayahanda tidak ada waktu lagi, sekarang juga Ayahanda bersama yang lain harus pergi dari sini," Birawa langsung berkata melihat Raja mendatanginya.
"Baiklah aku akan pergi bersama prajurit, tapi kamu harus berjanji untuk menyusul kami menuju tempat persembunyian," jawab Raja dengan suara tegas.
"Baik Ayahanda," jawab Birawa sambil meundukkan kepalanya.
Setelah Baginda Raja dan yang lainnya keluar melalui pintu rahasia Birawa segera keluar dari ruangan itu dengan cepat.
Birawa melihat para pengkhianat sudah sampai di depan ruangan tempat dia berada. Dengan cepat tanpa menunggu Birawa langsung menyabetkan pedangnya ke arah pemberontak yang menyerang istana.
Birawa benar-benar mengamuk, kemana saja pedangnya bergerak selalu saja ada lawan yang tergeletak tanpa nyawa.
Pertarungan terus terjadi sampai Birawa merasakan tubuhnya yang tahu-tahu melayang seperti daun kering. Pijakan kakinya lemas seketika dengan pandangan hitam kelam, tubuhnya terjatuh tanpa kendali apapun.
"Mati aku!"
Teriakan terakhir keluar dari mulutnya sebelum semuanya menjadi senyap.
#######
Birawa membuka matanya yang terpejam, dia merasakan seluruh badannya sakit dan ngilu. Matanya yang mengerjap kesilauan karena cahaya yang berasal dari batu tempatnya berada. Birawa yang memandang berkeliling menyadari dia berada di sebuah ruangan yang tertutup kabut aneh."Apa aku sudah mati," gumam Birawa bingung.Birawa memandang berkeliling ternyata badannya terbaring di atas batu putih bercahaya dan mengeluarkan aroma seperti bau stanggi.Birawa mencoba bangkit sambil memperhatikan sekeliling ruangan berkabut tempatnya berada.Ketika berhasil duduk Birawa merasakan pertengahan dadanya terasa sangat sakit menekan-nekan membuat keringat sebesar biji jagung keluar dari kening Birawa."Apa yang terjadi dengan diriku, di mana aku berada sekarang?" gumam Birawa bingung.Walaupun pertengahan dadanya terasa sakit berdenyut, namun Birawa tetap memaksakan dirinya untuk beranjak dari batu putih tempatnya terbaring.Baru saja kaki Birawa akan
Birawa yang kaget begitu lolos dari serangan angin deras segera melompat berdiri, dia melihat tak jauh darinya berdiri seorang memakai topeng berwarna hitam yang tadi menyerangnya."Siapa kamu?, kenapa menyerangku?" tanya Birawa bingung."Kau tak usah banyak tanya sebab, hari ini kamu layak mampus di sini!" bentak suara orang itu mengagetkan Birawa.Dia melihat di depannya orang yang menggunakan topeng hitam itu menyerangnya dengan menggunakan tongkat bambu. Serangan yang di lakukan penyerang sangat cepat sehingga membuat Birawa kelabakan meladeninya.Setelah meladeni serangan sebanyak dua puluh jurus Birawa mengernyitkan keningnya sebab dia merasa kalau penyerang sepertinya tidak berniat membunuhnya."Mungkinkah ini Kakek Tapak Malaikat?" gumam Birawa yang menjadi bengong.Bukkk.... Bukkk...."Aaaaaa...."Aksi bengong Birawa berapa saat membuat badannya menjadi makanan tongkat penyerang sehingga tubuhnya menggelundung membentu
Si kakek tidak langsung menjawab pertanyaan Birawa, dia sebelumnya menarik napas panjang berapa kali."Zaman dahulu ada satu senjata yang di turunkan dari langit ke muka bumi, senjata itu awalnya di turunkan untuk memerangi kejahatan di muka bumi ketika kekuatan Iblis bangkit dan menguasai bumi, namun sebenarnya senjata tersebut mempunyai sisi yang berseberangan, senjata itu bisa di gunakan untuk apa saja tergantung siapa yang memegang senjata tersebut, kamu harus menemukan senjata itu sebelum senjata itu di temukan golongan hitam, senjata itu harus berada di tangan kamu untuk dipergunakan selayaknya yakni memerangi kejahatan," jelas Si Kakek dengan mata menerawang jauh."Senjata apa itu Kek, dan kemana aku dapat mencari senjata itu?" tanya Birawa kepada Si Kakek karena dari tadi tidak menyebutkan nama senjata yang dia maksud."Senjata itu berbentuk golok dengan nama Mandau yang kesemua bahannya berasal dari emas, namun Mandau itu seperti mempunyai nyawa dan jiw
Pohon yang ada di belakang Birawa terkelupas kulitnya karena terkena pukulan dari salah satu dari Golok Kematian. Merasakah kalau Birawa mempermainkannya membuat Golok Kematian mukanya menjadi merah padam menahan amarah.Dengan cepat kedua orang itu mencabut golok besar yang tergantung di pinggang mereka. tampaknya Golok Kematian tidak mau main-main lagi, kedua golok mereka menderu mengincar leher Birawa. Birawa yang tahu bahaya mengancam nyawanya dengan cepat menundukkan badannya, membuat dua golok yang mengincar lehernya lewat di atas kepalanya.Begitu terbebas dari serangan golok Birawa langsung berguling di tanah menjauh dari kedua lawan yang mengincar nyawanya. Begitu Birawa bangun golok dari sepasang Golok Kematian kembali menderu mengincar dada dan lehernya. Kali ini dengan cepat Birawa menundukkan badannya kemudian kedua tangannya dengan cepat dipukulkan pada pergelangan tangan kedua lawan.Krakkk!.... krakkkk!"Aaaaaa......""Aaaaaa......"
Rumah kedua orang bekas anak buah Birawa di Pasukan Khusus Kerajaan itu merupakan sebuah gubuk yang ada di pinggiran desa yang bernama Paldas. Mereka berdua tinggal di sana dan hidup sebagai petani sembari menyembunyikan identitas mereka yang pernah menjadi bagian Pasukan Khusus Kerajaan Bandar Agung."Minum dulu pangeran, beginilah keadaan kami sekarang," salah seorang yang bernama Yaksa menyuguhkan Birawa minuman."Terima kasih, namun aku sudah katakan jangan memanggilku pangeran karena akan bahaya kalau ada yang mendengarnya, sekarang aku memakai nama Tapak Malaikat," jawab Birawa sembari meraih gelas minuman."Tapi bagi kami, Raden tetap Pangeran," jawab yang bernama Arya sambil tersenyum."Tapak Malaikat, apakah tapak tangan Raden sekarang ada Malaikatnya?" Yaksa bertanya dengan lucu."Kita tak lebih dari pelarian dari penguasa sekarang jadi ada baiknya menyembunyikan siapa kita yang dahulu panggil saja Raden, oh ya bagaimana kalian bisa ada d
"Aku belum bisa memastikan ada apa di sana kalau kalian ingin bergabung denganku aku hanya bisa mengatakan kalau di sana ada sesuatu yang sangat penting, tapi ingat satu hal aku tidak bisa menjanjikan kesenangan buat kalian namun yang pasti kalau kalian bergabung kita akan mengalami perjuangan yang berdarah-darah," jawab Birawa dengan pandangan mata tajam ke arah dua orang yang ada di hadapannya.Arya dan Yaksa nampak diam mereka menatap Birawa dengan pandangan mata tajam sebelum kemudian mereka berpandangan satu sama lain."Sewaktu bergabung di Pasukan Khusus kita sudah di sumpah bahwa satu sama lain adalah saudara bagi kita, penderitaan satu orang adalah penderitaan yang lain, baiklah kami akan bergabung dengan tuan apapun yang akan kita dapatkan," jawab Arya dengan yakin."Baiklah sekarang apa rencana selanjutnya?" tanya Yaksa dengan pandangan mata berapi-api."Sebelumnya kita menuju ke Wilayah Kertajaya dahulu karena ada orang penting yang harus kita
Mendengar suitan itu membuat Birawa bersama Arya dan Yaksa menjadi siaga."Sepertinya tuan rumah menyambut kedatangan kita." Birawa berkata kepada Arya dan Yaksa.Dari sekeliling mereka kemudian melesat sekitar sepuluh orang yang berwajah sangar langsung mengepung mereka dengan senjata teracung."Siapa kalian yang berani memasuki Kawasan Warok Abang ini?!" bentak salah satu orang yang sepertinya pimpinan rombongan itu."Maaf tuan kami hanya pengembara yang tidak sengaja melewati kawasan ini," jawab Birawa santai menghadapi para pengepung."Apapun alasan kalian, sekali memasuki kawasan ini maka kalian harus menanggalkan nyawa masing-masing!" bentak orang itu lagi.Diawali satu teriakan kemudian berserabutanlah sepuluh orang yang mengepung mereka menyerang dengan senjata masing-masing setelah sebelumnya mendapat kode dari pimpinannya.Birawa bersama Arya dan Yaksa berjibaku melawan orang-orang yang mengepung mereka, ketiga orang itu buk
"Kenapa melakukan itu tuan?" tanya Yaksa tak percaya melihat kejadian itu. "Pimpinan mereka Warok Abang ini terkenal karena kejam, jadi kita harus memainkan pikirannya dan menunjukkan kalau kita bisa lebih kejam dari pada dirinya," jawab Birawa sambil menyeringai. "Namun mengapa orang itu dilepas, bukankah lebih baik kalau tadi langsung di bunuh," protes Arya juga tak terima apa yang dilakukan oleh Birawa. "Membunuhnya itu sangat mudah, namun Warok Abang masih akan mencari dan membunuh kita, jadi kita biarkan orang itu hidup namun kondisinya cacat supaya dia bisa menyampaikan pesan dan memberikan peringatan kepada warok pimpinannya, dan agar warok itu tahu siapa kita, hari sudah siang aku yakin markas mereka ada di tengah hutan ini jadi kita harus buru-buru supaya tidak kemalaman di hutan ini," jelas Birawa lagi. Tanpa bertanya lagi Arya dan Yaksa akhirnya berjalan mengikuti langkah Birawa yang terus memasuki hutan rimba yang lebat. Setelah berjalan s