Share

Summer Pieces
Summer Pieces
Penulis: Allein Gios

1

Summer

Juni, 2015

Aku sangat mengantuk. Sekujur tubuhku begitu lemas. Tak mampu sedikit pun melakukan gerak kecil. Lalu tiba-tiba semua gelap. Aku merasa seperti melayang.

Kemudian sedikit demi sedikit tersadar. Kubuka kelopak mataku. Biasanya ketika terbangun dari tidur ada cahaya yang menusuk mataku, atau mungkin bayangan kabur benda-benda di sekeliling kamarku. Tapi, kali ini semua hitam pekat. Aku mulai panik. Kukerjap-kerjapkan kelopakku, tapi nyatanya tetap saja gelap gulita. Aku jadi takut. Tak ada cahaya. Benar-benar gelap. Kucoba memanggil ibuku.

“Mom!” suaraku menggema. Sepertinya ruangan ini luas.

“Mom!” kucoba lagi lebih keras. Aku ingin melihat wajahnya. Aku mulai panik.

Tapi, ibuku tak menampakkan diri. Yang kuterima hanyalah tawa mengejek. Suara laki-laki. Dua, atau mungkin tiga orang. Ketika sebuah sekat ruangan terbuka, cahaya temaram muncul dari sana. Mereka mendatangiku. Aku tak kenal mereka. Aku takut. Ini bukan rumah. Ini di mana?

Aku mulai meracau kalut. Aku merengek. Aku mau pulang. Aku mau ibuku. Aku mau ayahku. Ketika mulutku sudah meraung tak terkendali, sebuah tangan menamparku dengan keras.

“Tutup mulutmu kalau tidak kau akan kuhukum!”

Suaraku menciut. Tangisku terisak sesak. Sementara, mereka keluar kembali dan menutup sekat ruangan rapat-rapat. Kini aku sendiri lagi dan takut. Tapi, aku keliru. Sebuah suara lirih berbicara kepadaku.

“Hei, kau baik-baik saja? Sudah, jangan menangis lagi. Kau tak sendiri.”

Suara anak laki-laki itu menuntunku mendekat padanya. Kaki dan tanganku terikat. Dengan susah payah aku bergeser ke arahnya. Aku merasa sedikit lega. Tak sendirian. Aku bersama anak laki-laki itu. Tapi, aku tak mampu melihatnya. Tak tahu bentuk hidung pun warna bola matanya. Ataupun menatap wajahnya. Aku tak tahu siapa dia.

***

Mimpi itu menyerangku lagi. Mimpi yang sama sudah beberapa kali. Aku jadi ragu membedakan itu mimpi atau kenangan nyata. Mimpi yang mengerikan. Peluh membanjiri tubuhku. Aku pun menata kembali nafasku yang memburu. Mimpi itu sungguh melelahkan dan aku masih mengantuk, jadi kuputuskan tidur kembali. Lalu, tak lama kemudian aku terhisap ke dunia mimpi yang lain.

***

Aku tengah bosan menunggu ayahku. Ia berjanji setelah dari bengkel mobil akan menjemputku untuk berenang. Berenang di musim panas. Terdengar sangat menyenangkan. Di tengah waktu menunggu itu aku dikejutkan sesuatu.

“Summer!” suara bocah laki-laki itu memekik riang dari depan rumahku. “Coba tebak aku bawa apa?”

Aku mencoba menerka dan menjadi bersemangat. “Memangnya apa? Pistol mainan?”

Ia menggeleng. Lalu menunjukkan dua telapaknya yang sedari tadi tersembunyi di balik punggung. “Rubik baru! Ini satu untukmu. Satu untukku.

Cemberut di wajahku hilang. Aku berterima kasih padanya. Lalu ia mengajariku cara bermain. Setelahnya kami berlomba menyatukan tiap warna hingga ayahku datang. Aku dan ia juga berlomba berlari menuju ayahku yang ke luar dari mobil. Ia mendahuluiku. Lalu tiba-tiba sebelum aku sampai, seseorang menyambarku. Menjauh dari mereka.

***

Aku terbangun dengan terkesiap lagi. Mimpi yang lain. Juga terulang. Mimpi itu membuat dadaku lebih sesak. Aku bersandar sejenak. Masih terduduk di atas ranjang. Air mataku mengalir begitu saja. Tanpa pernah kumau. Selalu seperti ini, setiap kali bayangan wajah ayahku mampir di sana. Di setiap mimpi mengerikan ketika sampai pada bagian aku dan ayahku berpisah.

Lamunanku terinterupsi oleh ketukan pintu. Suara ibuku menembus ke dalam kamarku. Memintaku cepat bersiap diri dan keluar. Hari ini adalah hari terakhir kami ada di rumah. Selepas itu, kami berdua akan memiliki tempat tinggal baru. Lagi. Ya, kami akan pindah rumah untuk kesekian kalinya. Berharap hidup baru yang semakin membaik. Aku berharap kali ini ibuku jera dan lepas dari kengeriannya sendiri.

***

“Sudah kubilang, biar aku saja yang bereskan, mom!” cegahku sembari mengambil dua tumpukan kardus yang ada di tangan wanita berusia 49 tahun itu. Kularang ia membawa barang pindahan kami ke dalam rumah. Aku tahu ia pasti sangat lelah.

Ia berkacak pinggang, memandangku dengan senyum gigi lebarnya. “Kau putri paling kuat sejagat raya!”

Aku hanya tersenyum simpul mendengar kalimat berlebihannya kemudian masuk ke dalam rumah. Membawa tumpukan kardus terakhir meninggalkan beranda. Benda itu kuletakkan di bawah tangga.

Mataku tertuju pada ibuku yang tengah menenteng kardus pizza. Ia masuk dengan membawa menu makan siang kami beserta tas belanja. Tepat ketika perutku berbunyi. Berontak ingin diberi asupan. Aku menirukan senyum gigi lebarnya tadi. “Kalau begitu kau adalah mom paling pengertian sejagat raya!”

Ia menyentil keningku pelan. “Sudah, makan siang sana!”

Aku pun mengikutinya ke arah dapur dan segera mencuci tangan di wastafel. Setelah itu aku duduk di meja makan minimalis di depan konter. Memperhatikan ibuku yang tengah menuangkan jus jeruk ke dalam dua buah gelas.

“Maaf, mom tidak memasak dulu hari ini,” ia menyerahkan gelasku.

Aku menerimanya. “Tidak masalah. Aku bersyukur kita masih bisa makan enak di hari yang melelahkan ini.”

Ia mengelus lembut puncak kepalaku dari seberang. “Aku tahu kau tak pernah buatku kecewa.”

“Karna aku sayang mom.”

“Dan tentu saja kau satu-satunya putri kesayanganku,” ia mengedikkan bahunya, “Memangnya siapa lagi? Anakku kan cuma satu!”

Aku membeliak. “Memangnya mom berharap punya anak berapa? Sebelas?”

“Coba saja begitu, pasti ramai.”

“Sebelas?!”

 Ia menatapku sok serius. “Kan kita bisa buat klub sepak bola sendiri.”

“Dengan pelatih seorang wanita?!”

Kami pun tertawa.

Aku dan mom, terutama sejak ayahku tidak ada, hubungan kami semakin akrab. Tidak hanya sebagai anak dan ibu, bahkan teman. Aku suka dengan semangatnya.

Aku sangat senang melihatnya memasak. Kemahiran yang sempurna sebagai seorang wanita. Dan itu sama sekali tidak sepertiku.

Ia berjuang keras untuk hidup kami selepas keterpurukan paling menyakitkan. Ia orang tua tunggal yang merawatku tanpa cela.

Ia mengantar dan menjemputku setiap pulang sekolah, hampir tak pernah terlambat. Ia berkata bahwa aku tidak perlu berangkat sendiri atau naik bis sekolah. Aku hampir tidak pernah menolaknya, kecuali aku ingin bersepeda. 

Ia sangat protektif, namun aku mulai nakal. Jadi, bersepeda pulang ke rumah tepat waktu adalah pengecualian yang kudapat dengan negosiasi rumit setahun yang lalu. Ia tidak bisa terus mengukungku, meskipun aku tidak keberatan selalu menuruti peraturannya. Aku bicara padanya kalau aku butuh udara bebas untuk menyegarkan diri. Ia menyuruhku ikut klub olah raga agar aku tetap bugar dan kuat, namun aku tidak menyukainya. Hanya sepeda yang aku suka saat ini, jadi ia tak bisa menolakku.

Masih dalam libur musim panas. Dengan suhu tinggi dan kegiatan berat membereskan rumah baru, kalori yang terbakar sangat banyak. Aku pun melahap pizza itu hingga habis, lalu bergegas membongkar barang siang ini. Siang yang terang di musim panas. Terang yang melelahkan dan aku sudah merindukan malam ketika aku bisa meringkuk tenang di atas kasurku.

Rumah baru. Hari baru. Begitulah setiap selang beberapa tahun sejak aku kelas tiga. Sejak mom bekerja kembali di perusahaan lamanya. Tapi, itu artinya aku harus menerima kenyataan kalau kami harus siap-siap sering pindah dari kota ke kota karena penugasannya. Awalnya itu berat bagiku. Imbasnya aku tidak punya kawan dengan hubungan sangat erat. Tidak sama sekali. Pergaulanku berganti-ganti seolah itu musim. Namun, suasana yang berbeda-beda setiap beberapa waktu menjadikan diriku terbiasa menikmatinya.

Melihat mom yang bekerja keras, kali ini aku ingin meringankan bebannya. Setidaknya aku berusaha tidak menyusahkannya. Terbersit keinginan bekerja paruh waktu, tanpa mengesampingkan sekolahku. 

Kemampuan akademikku memang tidak secemerlang murid-murid pengikut kompetisi cerdas cermat. Tapi, aku selalu berusaha untuk mempertahankan posisiku ada dalam lima besar di kelas. Kata mom itu cukup untuk membuatnya bahagia.

Aku berusaha keras mengerjakan pekerjaan rumah untuk kami berdua, kecuali memasak. Jika pekerjaan rumah beres, maka kecantikannya akan bertambah karena rautnya berbinar-binar. 

Namun sekarang, itu tidak cukup untuk menghibur kegelisahannya. Karena akhir-akhir ini kami membutuhkan banyak biaya untuk berbagai tagihan dan rumah baru ini. Ia berkata padaku bahwa ia sudah mulai lelah. Ia ingin hidup di satu tempat dengan nyaman. Rumah yang sebenarnya. Namun, itu malah menguras tabungannya. Maka, bulatlah tekadku untuk membereskan masalah uang jajan. Di sela-sela menata perabot di ruang tengah aku memutuskan membicarakan hal itu padanya.

“Mom, ada yang ingin kubicarakan.”

Ia masih sibuk menata beberapa pigura ketika menjawab, “Ada apa?”

“Aku berencana untuk mencari kerja paruh waktu.”

Ia melotot. “Kau serius? Kau yakin? Jangan konyol, Sum! Jangan bercanda denganku sekarang!”

“Aku serius mom! Aku tahu kita butuh banyak biaya. Kalau aku punya pemasukan sendiri, setidaknya aku tidak perlu lagi menerima uang jajan darimu. Aku bisa menabung dengan uangku sendiri.”

“Sayang, apa uang jajanmu kurang?” ia menatapku lembut.

“Cukup kok. Lebih dari cukup malah. Maksudku aku tidak ingin menjadi beban bagimu terus-menerus. Aku bisa membeli keperluanku sendiri.”

Ia berjalan ke arahku. Memelukku erat dan singkat. Menatapku lekat. “Kau tidak perlu melakukannya. Itu kewajibanku.”

“Mom! Ayolah...” protesku padanya.

Ia menggeleng.

“Kenapa?”

“Aku bilang, kau tidak perlu melakukannya.”

“Mom, ijinkan aku melakukannya, please?”

 Lagi-lagi ia menggeleng.

“Kenapa tidak? Jelaskan padaku!”

“Aku tidak yakin itu akan baik bagimu. Aku hanya memintamu untuk belajar dengan baik.”

Mom terlalu banyak memberi aturan. Tapi, untuk yang satu ini, yang bahkan bermaksud baik, ia juga tak ijinkan. Aku sangat kesal.

“Mom! Anak seusiaku... mereka baik-baik saja dengan hal itu. Apa salah jika aku mau belajar mandiri? Aku ingin semua berjalan normal seperti mereka.”

“Kau normal, Sum.”

“Tidak! Aku tidak normal seperti mereka!”

“Kau normal!”

“Normal seperti apa? Hidup hanya berdua? Tanpa saudara? Berpindah-pindah tempat? Tidak melakukan apapun selain sekolah? Aku ingin melakukan kegiatan yang kusukai, tapi kau malah menyuruhku melakukan hal yang kau mau... Seperti klub olah raga misalnya. Sudah cukup, mom! Aku tidak mau lagi. Kau bahkan tidak mengijinkanku keluar rumah terlalu jauh! Aku harus apa lagi?”

“Sum! Kau tidak mengerti, ini semua demi...”

Aku memotongnya, “Mom! Cukup. Hentikan!”

Aku menjauh darinya. “Bahkan aku tidak punya ayah lagi!” Air mataku pun tumpah dalam keheningan.

Mom terpukul.

Lalu aku merasa bimbang. Aku merasa bersalah, namun juga bersikeras dengan suara yang bergema di kepalaku. Tapi, kali ini aku memang bebal.

“Aku tidak masalah dengan sendiri. Segalanya, bahkan ketika kau harus bekerja. Aku menuruti peraturanmu di rumah. Aku tidak keberatan untuk tidak mengakses media sosial bahkan ketika aku tidak memiliki banyak teman. Aku selalu pulang tepat waktu, aku jarang keluyuran. Tapi please, ijinkan aku melakukan apa yang kumau.”

Ia terlihat ragu sejenak. Namun, ia kembali maju menghampiriku. Ia menyentuh helai rambutku yang jatuh di pipi. Menyingkirkannya perlahan ke balik telingaku. Ia memandangku sejenak. Pandangan yang mencairkan keras kepalaku, “Aku minta maaf, Sum. Aku hanya ingin kau baik-baik saja. Bukan maksudku untuk kolot. Tolong, percayalah padaku.”

“Tapi, ijinkan aku melakukan apa yang kumau. Kali ini saja, mom...  Please?”

Ia menghela nafas. Ia memandangku lama, lalu berkata, “Oke.” Ia tersenyum, namun dahinya masih mengerut, “Aku harap kau selalu baik-baik saja.”

“Aku bisa jaga diriku baik-baik, mom. Tenang saja!” kataku mencoba meyakinkannya.

Ia tersenyum lagi. Memandangku lebih dalam, “Jadi, kau sudah mulai dewasa ya?”

Aku memutar bola mataku. “Aku remaja, mom! SMA!”

Ia geleng-geleng. “Tidak. Kau selalu saja lebih dewasa dari umurmu. Pemahamanmu. Seperti itu. Seperti ayahmu,” ia tersenyum, namun matanya mulai berair.

“Mom?” kataku khawatir.

Ia menahannya, tersenyum kembali padaku. “Lihatlah! Anakku sudah mulai dewasa. Di mana pun ia sekarang, ayahmu pasti selalu bangga padamu.”

“Aku harap begitu.”

“Oh ayolah... tentu saja ia bangga padamu ! Kau adalah kebanggaannya, begitulah katanya padaku. Setiap kali pulang ke rumah, hal pertama yang ditanyakannya adalah dirimu. Aku selalu melaporkan perkembanganmu. Bagaimana pertama kau bisa membaca dan berhitung. Kau sangat cepat belajar mengayuh sepeda. Kau tidak berhenti belajar sesuatu yang kau mau hingga kau bisa. Sama sepertinya.”

Aku pun memeluknya. Bicara tentang laki-laki itu selalu membuat kami rapuh.

Saat itu pelukan kami terinterupsi oleh bel rumah yang tiba-tiba berbunyi. Dan aku merasa sangat lega. Setidaknya, bunyi nyaring itu menyelamatkan kami dari tangisan.

“Kita baru di sini dan kita sudah punya tamu?” tanyaku tak percaya.

Ia mengedikkan bahu. “Sepertinya begitu.”

“Well, biar kulihat siapa tamu pertama kita kali ini,” kataku sembari berjalan ke arah pintu depan.

“Duduklah, Sum. Makan! Biar aku yang lihat.”

“Tidak, mom! Kau yang duduk dan makan. Aku tahu kau lelah.”

Ia menghela nafas. “Baiklah.”

Aku pun mencari tahu siapa yang datang. Sangat penasaran.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mutiara Balqis
... bagus lho narasinya huhuhu
goodnovel comment avatar
Puteri
Kayak ada yg disembunyiin sama ibunyaaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status