Share

7

Summer

Juli, 2005

“Kau tahu, kau kelihatan berantakan sekali!” suara anak laki-laki di sebelahku menyadarkanku.

Aku kembali sadar setelah tertidur cukup lama. Dalam remang aku menyesuaikan pandangan. Aku menoleh ke sumber suara. Anak laki-laki itu sedang mengamatiku. Penasaran. Penuh rasa ingin tahu. Aku balas menatapnya. Lalu membenahi posisi dudukku. Kini kami duduk berhadapan dengan tumit sama-sama terlipat di depan. Kurasa ia beberapa tingkat di atasku.

“Apa itu sakit?”

Aku bingung. “Apanya yang sakit?”

“Itu. Memar di dahimu.”

Kedua tanganku yang terikat spontan terangkat menuju dahi. Jari-jariku meraba di sana. Saat menyentuh bagian samping kudapati rasa nyeri yang sangat menusuk. Aku merintih.

“Sudah jangan di pegang lagi!” katanya dengan terburu padaku.

Aku menurunkan kedua tanganku segera. Ia benar. Itu akan membuatku merasa sakit. Aku melihatnya lagi mencari penjelasan. “Kenapa dahiku seperti ini?”

“Kau tidak ingat?”

Aku berusaha mengingat sesuatu, tapi kepalaku menjadi pusing. Aku menggeleng.

“Semalam kau dibenturkan. Setelah itu kau kesakitan dan menangis terus. Tapi, anehnya kau tidak bersuara. Ketika aku berusaha mendekatimu kau sudah tertidur.”

Aku mencoba mengingat lagi. Samar-samar yang kuingat adalah hanya rasa takut dan aku menangis ingin pulang. Kini aku ingin menangis lagi. Air mataku mulai turun ke pipi.

“Hei, jangan menangis lagi! Aku takut mereka kembali menyakitimu,” ia berusaha membujukku.

“Kepalaku pusing. Aku ingin pulang.”

“Kemarilah!”

Aku ragu-ragu.

“Ayo sini, mendekatlah! Bersandarlah di sini. Sudah, tidak usah menangis lagi. Ada aku di sini,” ia mengedikkan bahunya.

Aku pun mendekat padanya. Kami bersisian. Aku meletakkan kepala di bahunya. Sementara itu, ia bersandar di tembok.

“Di sini menakutkan dan gelap,” kataku.

“Kau benar. Tempat ini mengerikan.”

“Padahal musim panas belum berakhir.”

“Ya. Seharusnya kita masih liburan.”

Aku membuang nafas panjang. “Aku masih ingin bermain air. Piknik dengan mom dan dad. Tiduran di rumput. Dad dan aku akan menatap awan. Terkadang kami tebak-tebakan tentang bentuk awan seperti apa. Aku ingin sekali melihat langit dan awan. Tapi, di sini tidak bisa. Gelap. Lihat! Jendalanya saja tertutup semua.“

“Seharusnya aku sedang ada di pantai. Dad menjanjikanku belajar selancar minggu ini. Hei, aku juga suka memandang langit dan awan ketika mom mengajakku ke pantai. Mom suka melukis langit dan pantai. Aku sering menemaninya.”

“Benarkah? Itu sangat menyenangkan! Aku ingin sekali melihatnya. Tapi...”aku merasa sedih lagi, “seandainya saja kita bisa pulang.”

“Bersabarlah! Kita pasti keluar dari sini.”

“Aku harap begitu. Ayahku bekerja di kepolisian. Ia pasti akan menyelamatkan kita,” aku membayangkan dad benar-benar datang mencariku.

“Kalau begitu ia pasti akan datang mencarimu. Jadi jangan khawatir!”

Kami sama-sama terdiam. Ia menyandarkan pipinya ke kepalaku.

“Apa awan itu seperti kasur?”tanyaku kepadanya.

“Tidak. Kau tidak bisa memegangnya. Awan hanya kumpulan uap air. Suatu saat ia akan turun menjadi hujan. Ketika menjadi hujan kau baru bisa merasakannya.”

Aku kecewa mendengar jawabannya. “Aku kira awan seperti kasur. Pasti sangat menyenangkan bisa tidur dan melompat-lompat di atasnya. Aku ingin sekali merasakan tidur di sana.”

Ia melirikku.

Aku mendongak menatapnya. “Jadi kita tidak bisa pergi ke awan dan tidur di sana?”

Ia menggeleng. “Kau hanya bisa melihatnya. Kalau kau ingin melihatnya lebih dekat, maka kau harus naik pesawat. Aku pernah sekali melihatnya saat naik pesawat. Seperti gumpalan permen kapas. Tapi, kau tidak bisa merasakannya.”

Aku menunduk.

“Kau sedih?”

Aku mengangguk.

“Kenapa?”

“Karna kita tidak bisa memegang awan dan tidur atau bermain di sana. Dan sekarang aku tidak bisa memandangnya lagi. Aku di sini sendiri.”

Ia terkikik. “Kau bisa tidur di sini. Bersandar padaku. Kau tidak sendirian lagi. Kau bisa melihatku bahkan ketika kau tidak bisa melihat awan,” ia tersenyum padaku.

Aku mendongak. Lalu aku tersenyum padanya. Aku mengangguk.

Ia menyuruhku bersandar padanya lagi. “Siapa namamu?”tanyanya kali ini.

“Summer Daisy Bower.”

“Nah Summer, jangan menangis lagi. Tersenyumlah! Namamu kan Summer. Kalau kau murung akan kupanggil kau dengan sebutan Snowy. Mengerti? Seperti musim salju yang murung dan dingin.”

“Juga seperti nama anjing! Aku tidak mau!”kataku padanya.

Kami pun terkikik bersama.

***

Jon

Juli, 2015

Masuk ke dalam rumah sekarang adalah resiko yang teramat besar dan aku tidak ingin melakukannya. Meninggalkan rumah hari ini adalah kesalahan terbesar. Aku lupa kalau hari ini adalah giliranku membantu bibi membereskan rumah dan memotong rumput. Tapi, aku tidak bisa meninggalkan jadwalku untuk latihan basket dan setelahnya aku harus singgah sebentar ke Spriengfield menemui ayahku. Seandainya ada satu saja anak cewek di rumah ini, kami para cowok pasti tidak perlu repot-repot mendapatkan jatah mengurus rumah seminggu sekali.

Ngomong-ngomong soal anak cewek, aku melihatnya di depan rumah tetangga depan. Ia baru saja keluar dari dalam mobil yang terparkir tepat di hadapan jalan masuk rumah. Aku memperhatikannya mengibaskan rambut ke belakang dan menutup pintu. Aku baru saja berpikir akan menemuinya. Namun, niatku untuk keluar dari mobil sejenak terhenti, saat orang lain juga keluar dari kemudi mobil hitam itu. Summer berjalan bersama cowok aneh jangkung berambut pirang bergelombang sebahu yang berpakaian serba hitam-hitam. Terlintas kata psikopat dalam kepalaku. Aku menggeleng. Ia lebih mirip Jace Wayland dalam City of Bones. Tentu saja tanpa tato aneh dan tindikan. Sepertinya aku pernah melihat cowok itu, tapi entahlah.

Cowok itu menurunkan sepeda yang dikaitkan di belakang mobil. Ia menuntunnya hingga samping beranda, sementara itu Summer sibuk meletakkan kaleng di depan pintu. Summer berjalan menghampiri cowok itu. Cowok yang sepertinya punya aura yang membuat siapa saja yang ada di sekitarnya mengambil jarak. Entah karena segan, bergidik, takut, ngeri, khawatir, atau waspada. Dan yang terakhir itu seharusnya cocok bagi Summer. Namun, ia malah semakin mempersempit jarak di antara mereka.

Cowok itu juga mendekat pada Summer dan menatapnya lekat-lekat. Ia menyentuh wajah cewek itu perlahan dan hati-hati. Aku tidak suka menyaksikan adegan itu. Namun, mataku tak juga beralih dari sana. Mereka berkata sesuatu. Summer nampak terkejut. Sangat terkejut. Ia seperti berusaha berpikir keras. Lalu tiba-tiba ia memegang kepala dengan dua tangannya, persis seperti saat di danau bulan lalu. Hampir saja ia merosot. Aku segera keluar dari mobil dan berlari ke sana saat cowok itu memapah Summer duduk di undakan beranda. Sialan!

“Sum!” aku terengah-engah menghampirinya, “Kau baik-baik saja?”

Ia mendongak. Cowok misterius itu juga menatapku. Tatapannya membuatku bergidik. Tapi, aku merasa aku pernah melihatnya beberapa kali. Entahlah.

“Yeah. Aku oke. Hanya sedikit pusing.”

“Oh Sum! Jangan berkata oke kalau kau kelihatan mau pingsan! Jangan sampai kau pingsan lagi!”

“Sumpah Jon, aku tidak akan pingsan lagi. Hanya saja kepalaku sangat sakit. Bisakah kau bukakan pintu, please?”

Aku tidak membuang-buang waktu dan segera menyambar kunci yang disodorkannya. Aku membuka pintu putih itu. Dan bergegas ikut memapah Summer ke sofa ruang tengah bersama cowok aneh yang sedari tadi tak bersuara itu. Sejenak aku berpikir jangan-jangan ia memang tak bisa bicara. Namun, pendapatku segera terbantahkan saat ia berkata pada Summer, “Kau mau minum?”

Summer mengangguk.

Cowok itu segera berlari ke dalam mencari di mana dapur.

Aku bertanya padanya, “Mau kupijit?”

“Kalau kau tidak keberatan.”

Aku pun memijit kepalanya pelan-pelan.

Cowok itu kembali lagi dengan segelas air dan satu tablet aspirin di tangannya. “Minumlah Sum!”

Aku menghentikan kegiatanku di kepala Summer.

Summer menerimanya dan langsung menegak habis air beserta tablet itu. “Terima kasih banyak, Cloud. Maaf aku merepotkanmu.”

“Kalau kau sakit memang merepotkan!”

Kata-katanya memang sedingin penampilannya. Hampir saja aku mau menghajarnya, namun terhenti tatkala melihat Summer meringis.

Cowok itu menyunggingkan senyum. Entah memang ikut senyum tulus atau senyum kecut mengejek. Sulit membedakannya. Ia berkata, “Istirahatlah! Aku akan pergi dari sini,” ia segera melangkah keluar ruangan tanpa basa-basi lagi.

“Cloud!” seru Summer padanya. Ia seakan belum rela cowok itu pergi.

Di ambang pintu si aneh bernama Cloud itu berbalik. Ia menatap Summer tajam, “Maafkan aku. Kau istirahat sekarang. Aku harus pergi.”

Sebelum Summer bersuara hendak memprotes, Cloud sudah menghilang.

Beberapa detik kemudian terdengar suara halus mesin mobil yang menjauh seketika. Cowok itu sudah lenyap dari sini. Tapi, aku masih heran dengan kelugasan dan aura mengerikannya.

“Jon?”

Aku kembali fokus pada Summer. “Ya?”

“Trims. Dua kali aku berhutang budi padamu.”

Aku tertawa. “Santai saja, aku akan menagihnya di saat yang tepat.”

Ia ikut tertawa. Aku menikmati tawanya yang indah.

“Hei, ngomong-ngomong siapa yang tadi? Pacarmu?”

Ia segera menggeleng. “Bukan.”

“Hah! Pantas saja! Tidak mungkin pacarmu akan berkata sekasar itu.”

Summer tertawa kecil. “Sepertinya memang itu cara Cloud berbicara. Tapi, ia baik hati.”

“Berapa lama kau mengenalnya?”

“Entahlah, Tiga puluh menit mungkin...”

Aku terbelalak dan protes. “Kau mengenalnya baru setengah jam dan kau bilang dia baik hati? YANG BENAR SAJA, SUMMY!”

“Dia memang baik! Aku tahu itu!”

Aku berdecak. “Bagaimana bisa kau tahu kalau kau baru saja mengenalnya selama setengah jam? Ingat tidak bagaimana kau sangat jaga jarak dan berhati-hati denganku dan Kevin? Padahal kita sering sekali bertemu dan rumah kita hanya berjarak beberapa langkah saja! Kenapa kau selalu jaga jarak dan waspada dengan orang yang baru kau kenal yang jelas-jelas tetangga baik seperti kami, sementara berdekatan dengan cowok menyeramkan itu kau malah terlihat baik-baik saja?” protesku padanya.

“Aku sendiri juga tidak tahu, Jon! Oke?” Ia menghela nafas. “Kau membuat kepalaku jadi sakit lagi. Aku istirahat di kamarku saja. Kau cerewet sekali!” ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju tangga sambil memijit dahinya.

Aku menyesal dengan kata-kataku dan segera menyusulnya. Aku memegangi lengannya saat kami menaiki anak tangga.

“Kau mau apa?” ia bersingut.

“Aku cuma mau membantumu! Aku tidak mau kau tiba-tiba pingsan lagi dan jatuh dari tangga lalu gegar otak. Karena aku orang pertama yang ada bersamamu, pasti aku yang akan disalahkan."

“Omong kosong!”

“Kau kira aku berbohong? Aku serius, Sum! Lihatlah! Kau bersikap begitu lagi denganku, tapi tadi saat ia memapahmu kau tidak membantah!”

Ia menghela nafas lagi. “Oke. Baiklah. Aku tidak akan membantah lagi.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status