Share

6

Summer

Juli, 2015

Ruangan ini terlihat asing. Kotor. Terbengkalai seperti tempat yang lama ditinggalkan. Ada sebuah meja di tengah ruangan dan beberapa kursi berserakan. Di sana ada dua lelaki sedang berbicara. Mereka berdiri di dekat jendela yang setengah dibuka. Dari situ aku tahu hari mulai terang. Aku baru terbangun dan menyadari aku tidak sedang berada di rumah.

Spontan telapak tanganku terangkat untuk menutup mulut ketika menguap. Tapi, tanganku berada di depan dan tak bisa digerakkan. Kedua tanganku terikat menjadi satu. Aku menggerak-gerakkannya mencoba melepaskan tali itu, tapi tidak bisa.

Seseorang di dekat jendela tertawa. Sementara itu, aku mulai kedinginan dan takut. Aku hanya mengenakan kaus dan rok selutut. Dan aku lapar. Aku ingin ayahku. Aku ingin ibuku.

“Aku mau pulang,” aku mulai merengek.

“Diamlah!” suara keras itu meneriakiku.

Tangisku bertambah hebat.

“Tenanglah! Kau tidak sendirian,”satu suara berbisik di sebelahku. Suara kecil yang mencoba menenangkanku.

Tapi, tangisku belum berhenti meski tidak sehisteris tadi. “Aku tetap mau pulang.”

Lalu satu tamparan melayang dan membuatku terkejut.

***

Aku terkesiap membuka mata. Pipiku basah. Aku tertegun dan mencoba mencerna keadaan. Sadar kalau tadi aku sedang tidur dan bermimpi. Mimpi yang sama tiga kali. Entah bersambung dengan cerita mimpi yang lain atau tidak.

Aku turun dari ranjang. Lalu membuka jendela. Ternyata masih terlalu pagi untuk bangun. Di luar bahkan belum terang. Tapi, rasanya sia-sia jika aku kembali meringkuk dan mencoba tidur karena kedua mataku pasti akan terus terbuka. Kuputuskan pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Aku mengganti piyamaku dengan celana training dan kaus. Lalu menyambar sepatuku dan segera turun ke bawah.

Ibuku masih tertidur saat aku menyelinap ke luar rumah. Aku mengambil sepeda. Lalu memilih rute ke arah jalur sekolah. Meskipun terlalu awal untuk disebut olah raga pagi, tapi aku tetap menyebutnya begitu.

Aku menyimpang dari rute utama untuk mengelilingi beberapa jalan pemukiman. Tidak ada salahnya mulai mengenali tempat tinggal baru. Terlintas dalam benakku, mungkin dengan penelusuran kecil ini besok aku bisa menjadi pengantar koran. Aku mulai mempertimbangkan hal itu.

Tanpa sadar aku sudah menemukan sekolah. Kuingat kembali jalan yang harus kutempuh untuk sampai di sini dengan cepat dan selamat. Aku pun berhenti dan beristirahat sejenak. Kuteguk botol airku. 

Tiba-tiba berada di sini membuatku merinding. Aku merasa diawasi. Memang masih terlalu pagi dan sepi. Bahkan kabut masih tersisa dan bau embun masih terasa dari muka daun-daun dan rumput. Tapi, itu malah membuatku semakin gelisah.

Tap. Tap.

Hampir saja aku berteriak ketika mendengarkan langkah kaki di belakangku.  Langkah kaki sungguhan. Bukan khayalanku. Tak mau membuang waktu, aku langsung mengayuh berputar ke arah jalur semula. Tapi, belum sampai lima meter jarak yang kuambil, seseorang berseru padaku, pemilik langkah kaki itu.

“Hei! Tunggu!” suara laki-laki itu terdengar lantang di tengah suasana sunyi.

Aku menoleh. Ia sukses membuatku penasaran. Kini aku berhenti. Ragu, aku menatap tajam pada sosok bertudung hitam itu. Aku sedikit lega ketika ia mengenakan celana training dan bersepatu lari. Ternyata ia hanya warga yang sedang olah raga. Aku pun menghela nafas.

“Kau menjatuhkan sesuatu,” ia berlari kecil ke arahku. Ia memberikan benda di genggamannya.

Aku menerima benda yang diberikannya. Seketika aku malu. Tahu bahwa yang kujatuhkan adalah isi kantong celanaku. Beberapa uang receh dan jepit rambut kuningku.

“Trims,” kataku singkat.

Sebelum aku berbalik dan lanjut mengayuh ia kembali menahanku. “Tunggu!”

Aku menatapnya kembali.

“Apa kita pernah bertemu?” ia membuka tudungnya. Mencoba memperlihatkan sosoknya. Sepertinya ia merasa pernah mengenalku.

Aku mengamatinya dengan seksama. Kutaksir usianya tiga hingga lima tahun di atasku. Rambutnya wavy sebahu berwarna pirang seperti pasir pantai. Dengan sedikit kuning dan cokelat. Bentuk wajahnya inverted triangle. Keningnya lebar dengan dagu agak panjang. Hal lain yang kudapati darinya adalah matanya biru. Rahangnya menonjol. Posturnya tinggi dan tidak terlalu berisi. Tatapannya seperti menginterogasi. Aku pun mencoba mengingat apakah punya kenalan sepertinya. Tapi, karena aku jarang mempunyai kenalan terlebih aku baru beberapa minggu di sini, maka aku yakin sekali tidak pernah kenal dengannya.

“Maaf. Sepertinya tidak. Mungkin kau salah mengira aku orang lain.”

Ia ganti meminta maaf. Ia segera undur diri dari hadapanku. Aku pun pergi dari sana.

***

Kevin sedang memotong rumput ketika aku melintas di halaman. Wajahnya masam. Rupanya ia mengomel.

 “Hai, Kevin!” Aku ikut berjongkok di sampingnya. “Bagaimana kabarmu hari ini? Sepertinya kau sedang kesal ya?” 

“Ada beberapa deadline yang harus kukerjakan hari ini. Tapi, karna sepupu brengsekku itu, semua berantakan!”

“Kenapa? Jon buat ulah?”

“Yep. Mom sedang lembur. Ia mengambil shift malam. Sebenarnya hari ini jatah Jon membantu mom mengurus rumah. Tapi, ia mangkir. Hilang setelah kami sarapan. Aku sudah berusaha mencarinya, tapi percuma saja. Sekarang aku yang harus mengerjakan semuanya. Kau tahu ibuku kan, ia akan ngomel jika pekerjaan rumah tidak beres.”

“Jadi Jon suka kabur?” Aku cekikikan.

Ia menatapku tajam. “Kau tidak berniat membantuku?”

“Sebenarnya aku harus pergi.”

“Baiklah. Pergi saja sana! Jangan buat aku berharap banyak padamu.”

“Jangan merajuk begitu dong, Kev! Lain kali aku pasti membantumu. Aku pergi dulu ya.”

Aku meninggalkan Kevin dan kembali mengambil sepeda. Belum terlalu sore sebelum mom pulang. Aku bergegas ke toko bahan bangunan. Tujuan utamaku adalah membeli cat. Tekadku sudah bulat untuk mendekor ulang kamarku.

Sejak meringkuk di kamar baru aku merasa tak tenang. Terlebih mimpi-mimpi itu menggencarku lebih dari pada biasanya hampir tiap tengah malam. Aku rindu sesuatu yang biasa ada di kamar tidurku. Aku butuh sesuatu yang biasa membuatku lebih tenang dan nyaman. Langit.

***

Toko itu terlihat sepi. Sepertinya akan tutup. Aku bergegas masuk dan langsung menyusuri beberapa lorong rak.

Aku mencari kaleng cat. Ada beberapa merek. Aku memilih salah satu. Jenis akrilik tentu saja. Kuputuskan memilih warna biru dan putih.

Saat aku akan meraih warna biru, seseorang mendahuluiku.

Ia tepat berada di belakangku. Aku langsung berjengit. Aku menoleh dan berhadapan dengannya. Ia menatapku dengan wajah dingin. Aku menerka-nerka wajah itu karena merasa pernah melihatnya. Kupikir aku sudah salah orang, tapi ternyata tidak. Aku berbicara dengannya tadi pagi tatkala berada di depan sekolah. Aku terkejut. Sementara, ia masih terdiam dan memandangku lurus. Seperti menyelidik.

“Kau ingat aku?” tanyanya.

“Kupikir begitu. Kau yang tadi pagi kan?” Kini aku sadar tinggiku hanya sampai sebatas pundaknya. Ia lebih menjulang dari pada yang kukira.

“Ya. Kukira kau tidak mengingatku. Kau tinggal dekat sini?”

Aku mengangguk. “Kau juga?”

“Masih beberapa blok lagi dari sini. Sepertinya kita membutuhkan benda yang sama dengan warna yang sama.” Ia menatap kaleng cat warna biru.

“Yep.” Aku pun mengambil kaleng cat putih yang kubutuhkan.

Ia memindahkan kaleng ke tangan kirinya, lalu tangannya yang bebas menunjuk ke tangan kananku. “Boleh kubantu bawakan? Kau keberatan membawanya.”

Aku tidak menolak. “Trims.”

“Kau akan mendekor ulang rumah atau bagaimana?”

“Hanya mengecat kamarku. Aku baru saja pindah. Kau sudah lama tinggal di sini?”

“Baru beberapa tahun. Kau butuh yang lain?”

“Tidak itu saja. Kalau kau?”

“Aku hanya butuh ini. Aku kehabisan warna biru. Kalau begitu ayo pergi dari sini.”

“Ya, sepertinya toko ini sudah mau tutup.”

Kami bersisian melintasi lorong menuju kasir di depan.

“Memangnya apa yang sedang kau kerjakan? Mengecat rumah juga?” tanyaku penasaran padanya.

“Sama. Hanya kamarku. Aku mau membuat laut dan ombak.”

“Kalau begitu kau pandai melukis?”

Ia tersenyum. “Ya.”

“Aku mau membuat langit. Di dinding dan langit-langit kamarku tepatnya.”

“Kalau begitu kau juga bisa melukis?”

“Tidak terlalu mahir. Ibuku tidak suka. Tapi, aku tidak peduli. Hanya saja kamar tanpa langit membuatku tidak nyaman.”

“Mau kubantu?”

“Akan kupikirkan lagi.”

"Gratis kok. Tidak dipungut biaya." 

Kami tertawa. 

"Menyewa jasa pelukis kan mahal tahu!" kataku saat menoleh kepadanya. Tatapannya padaku begitu tajam,  sekaligus hangat. Entahlah, tapi aku tidak bisa mengerti kenapa nyaman-nyaman saja berjalan bersisian begini dengan orang asing seperti dirinya. Sesuatu yang tidak pernah kutemui sebelumnya. 

"Koreksi. Bukan membuka jasa pelukis.  Aku cuma menawarkan bantuan."

"Trims. Akan kupertimbangkan." Kusunggingkan senyum padanya.

Ia balas tersenyum padaku. Menatapku sejenak.  "Manis sekali kau memakai jepit rambut kuning itu."

"Eh..." tiba-tiba mukaku terasa menghangat. "Terima kasih sudah memungutnya tadi pagi untukku, itu sangat berharga." Aku menunduk malu. Berharap wajahku sekarang tidak semerah lobster rebus. 

"Sebegitu berharganya ya barang seimut itu?"

Aku mengangguk. "Itu pemberian ayahku."

Kami berjalan terus bersisian sampai hampir mendekati kasir. 

“Ngomong-ngomong aku Cloud,” ia menjulurkan telapak tangannya padaku.

Aku terdiam. Entah mengapa seperti tersengat sesuatu di kepalaku ketika mendengar Cloud.

“Kau baik-baik saja?” ia ikut terhenti.

Kini aku ganti menatapnya dan berusaha mencerna apa ada yang salah dengan nama itu. Namun, aku tidak menemukan reaksi apa-apa di dalam pikiranku. Mungkin saja karena namanya yang unik dan aku juga suka awan.

“Maksudmu Cloud seperti awan di langit?”

“Begitulah. Kau oke? Terkaget karena namaku?”

“Mungkin. Namamu unik. Aku Summer.”

Kami berjabat tangan lalu kembali ke arah kasir. Cloud membayar dulu. Aku mengantri.

Aku memperhatikan cowok itu dari belakang. Meski ototnya tidak sebesar Jon, tetap saja ia memiliki tubuh ramping yang berbentuk. Terutama lengan tangannya. Rambutnya lebih mengkilat dan indah dibanding rambutku yang kusam. Sejenak aku merasa malu karena aku cewek dan sangat cuek. Lalu memoriku memutar ulang pertemuanku dengannya. Aku mencernanya. Menyimpulkan kalau caranya bercakap selalu dengan nada lugas dan tidak terburu-buru. Terlihat tenang. Ia dingin, namun tidak semenakutkan yang kubayangkan.

“Sum?”

Aku mengerjap.

“Giliranmu!” ia pergi dari hadapanku.

Aku tersadar dan langsung membayar. Sambil menunggu kembalian aku menoleh ke samping. Sekedar memastikan kalau Cloud sudah tidak ada di dekatku. Dan ia memang sudah pergi.

Aku mengambil kembalian. Tanganku menenteng dua kaleng cat menuju pintu. Saat berjalan ke luar kukira sepi, tapi Cloud berbalik menghadapku. Ia menatapku dengan sorot iba.

“Kukira kau sudah pergi.”

Ia menghampiriku. “Aku menunggumu. Sepertinya tidak tepat aku meninggalkanmu begitu saja. Kemarikan! Biar kubantu membawanya.”

Aku terperangah. Tapi,  tak menolak.

Lagi-lagi ia membantuku. Ia menumpuk dua kaleng punyaku dengan satu miliknya. Lalu membawanya dengan kedua tangan di depan dada.

“Kau naik apa kemari?”

“Sepeda. Aku parkirkan di sana,” aku menunjuk ke depan, “Antar saja sampai sana.”

Ia mengelak. “Tidak. Biar kuantarkan sampai rumah.”

Biasanya aku akan merespon dengan penolakan. Tapi, kali ini aku terkaget sendiri dengan jawaban spontanku. “Bagaimana dengan sepedaku?”

“Akan kunaikkan ke mobilku. Di sana,” ia menunjuk mobilnya yang hanya berjarak sekitar empat meter dari sepedaku, “Tidak akan merepotkan kalau kau akan berkata akan merepotkan. Mobilku tidak jauh.”

“Baiklah.”

Cloud menurunkan kaleng-kaleng cat di aspal dekat mobil. Ia mencari kunci dan membuka pintu mobil. Aku pun menaruhnya di jok belakang. Sementara itu, ia mengangkat sepedaku dan mengaitkannya di belakang mobil. Lalu kami pergi dari sana. 

Beberapa meter terlalui. Kami diam sepanjang perjalanan. Diam di dekatnya tidak membuatku canggung. Tenang. Hanya itu. Ia juga tidak repot-repot memaksaku untuk terus mendengarkan atau berbicara. Hanya bunyi suara dari radio yang terdengar. Sesekali aku memberinya intruksi harus berbelok ke arah mana.

“Kau tinggal dengan orang tuamu?” tanyanya tiba-tiba.

“Dengan ibuku.”

“Ayahmu?”

“Sudah meninggal.”

Aku meliriknya. Rahangnya mengeras. Ia tampak tegang. Ia akan berkata sesuatu. Tapi, aku buru-buru menginterupsinya.

“Kau tidak perlu berkata untuk ikut berduka cita. Tidak perlu, sungguh. Aku tidak pernah nyaman mendengarnya. Membuatku merasa kalau ia sudah tidak berbekas lagi.”

Ia menghela nafas. Entah lega atau bagaimana. Ia menyunggingkan senyum. “Aku tahu rasanya. Ayahku juga sudah tidak ada. Dan kau juga tidak perlu berkata begitu.”

“Jadi kita senasib ya?” Aku tersenyum mengejek. Entah padaku atau padanya.

“Yeah,” kini ia tersenyum miring. Lalu ia tertawa.

Aku tertawa. 

Mungkin kami menertawakan nasib.

Baru kali ini aku merasa berbeda. Aneh karena bisa sesantai ini berkata tentang hal yang menyakitkan. Merasa ringan tersenyum pada kepedihan.

“Hei! Yang mana rumahmu? Kita sudah dekat kan?”

Aku tersadar kembali dari pikiranku. “Rumahku di seberang truk merah di depan sana,” Kini aku memikirkan kalau Jon sudah pulang. Pasti ia kena omelan.

Aku menatap lekat-lekat rumah Kevin ketika Cloud memarkirkan mobil di depan jalan masuk. Perkiraanku sepertinya meleset kalau Jon sudah kena omelan. Kulihat ia masih ada di belakang kemudi.

Perhatianku teralihkan saat Cloud mematikan mesin mobil dan membuka pintu. Aku menyusulnya. Membuka pintu penumpang lalu segera mengeluarkan kaleng catku dari sana. Sementara itu, Cloud menurunkan sepedaku. Ia menuntunnya melewati halaman.

“Ditaruh di mana?”

“Samping beranda saja,” kataku sembari meletakkan barangku di tangga beranda. Setelah itu aku menghampirinya.

Cloud juga berjalan menghampiriku. Wajahnya masih datar. Ia mengamati wajahku. Kami saling bergeming dalam diam. Ia menatapku begitu dalam. Jantungku berpacu, tapi tatapanku pun terus lekat pada matanya.

Ia menyentuh lembut ubun-ubunku. Lalu perlahan jari telunjuknya turun ke pipiku. Entah mengapa itu tak lagi membuatku takut. Meski begitu ada getaran merambatiku.

”Kau mau apa?” tanyaku lugas.

“Summer Daisy Bower,” gumamnya.

Aku mengerjap. “Apa kau bilang?” Mataku terbelalak menatapnya tak percaya. Sungguh,  aku terkejut. 

Ia menyebut namaku sekali lagi lebih jelas, “Summer Daisy Bower.”

Aku syok. Terbata-bata meresponnya,“Kau... tahu… namaku?”

“Aku memang pernah mengenalmu.” Ia menatapku tanpa berkedip.  “Dulu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status