Share

5

Jon

Juni, 2015

“Summer?” panggilku cemas ketika ia mulai sadar.

Ia membuka kedua matanya perlahan. Summer mulai sadarkan diri dan terduduk di sofa.

“Kau baik-baik saja?”

“Apa kau pusing?” tanya Kevin mendekatinya, “Minumlah!” ia menyerahkan segelas air pada cewek itu.

“Aku di mana?” tanyanya dengan raut menelisik. Mulai waspada.

“Kau di rumah. Minumlah dulu,” saranku padanya.

Summer segera meminum air yang diberikan Kevin. Ia meletakkan gelas yang sudah kosong itu di atas meja di hadapannya. “Apa yang terjadi?”

“Entahlah, tiba-tiba saja kau pingsan sewaktu kita di danau. Lalu kami membawamu pulang,” jelasku padanya.

Ia terkesiap. Sepertinya ia mulai sadar. “Maafkan aku.” Ia mulai menampakkan sorot menyesalnya. “Aku sudah merepotkan kalian. Apa kalian memberi tahu ibuku? Bagaimana kalian bisa masuk?” ia terlihat mulai panik.

Kevin menepuk bahunya. “Tenanglah Sum. Kami belum memberitahu ibumu. Belum ada yang tahu.”

“Kumohon jangan ceritakan pada ibuku, atau ibumu. Aku tidak ingin ia cemas,” lalu ia menatap kami bergantian dengan raut bingung, “Ibuku sedang bekerja, bagaimana kalian bisa masuk kalau tidak memberi tahunya? Apa kalian mendobrak pintu rumahku?”

Aku terburu-buru menjawab, “Aku berpikir kau pasti punya kunci sendiri, kalian kan cuma tinggal berdua. Dan pasti kau membawanya. Aku melihatmu mengalungkan kunci di leher. Jadi, kucoba saja.”

Summer terlihat sangat lega. Kentara sekali ia tak mau terlibat masalah dan membuat murka ibunya. Aku jadi mengira-ngira apa Rosalie segalak itu pada anaknya.

“Apa ibumu galak?” tanyaku tanpa tedeng aling-aling.

Summer tersenyum geli. “Tidak, Jon! Dia sangat sabar.”

“Yang benar?” tanya Kevin tak percaya. Kentara sekali ia memberi spekulasi yang sama denganku terhadap Rosalie. Kini dahinya berkerut. “Kita tadi cuma mau hang out, tapi kau bilang meminta ijin padanya bisa rumit. Kau sangat gelisah dan takut kalau-kalau ada masalah seperti yang barusan. Jangan bilang aku salah, aku memperhatikan gelagat ibumu ketika makan malam yang lalu. Sepertinya ia selalu mengontrol dirimu. Maksudku, terlihat sangat protektif terhadap dirimu. Dan sangat menjaga bagaimana sikapmu di sana.”

Summer terlihat putus asa. Begitu yang kulihat darinya. Tubuhnya kembali merosot di sofa. Ia menghela nafas berat.

“Ada sesuatu tak baik yang pernah menimpaku. Sejak itu, ia tak pernah melepaskanku melakukan segala hal. Ia jadi sangat panik ketika ada hal tak beres lain yang menimpaku. Ia tak pernah marah. Tidak pernah, sungguh. Hanya saja ia sangat mudah cemas dan merasa takut sesuatu yang buruk, yang bahkan menurutku konyol, terjadi padaku. Maksudku, lihatlah! Aku baik-baik saja sampai detik ini.” Ia menghela nafas lagi. “Aku sih tak masalah dengan semua perhatiannya. Aku tahu ia menyayangiku. Tapi, terkadang aku merasa ia berlebihan. Tapi, yah... itulah seorang ibu, begitu kan?!”

“Jangan-jangan kejadian barusan adalah karma karna kau sudah berbohong padanya. Diam-diam pergi,” kataku padanya. “Aku jadi ikut merasa bersalah.” Aku ikut menghela nafas berat.

Ia mengangguk lemah. Ada penyesalan tersirat dari sana. “Tidak apa-apa, Jon.”

“Tahu tidak sih? Kau tadi kayak ikan menggelepar keluar dari air. Mau tahu tidak mulutmu seperti apa?” Tiba-tiba Kevin dengan menyebalkan menirukan tubuh dan mulut ikan yang sedang sekarat di darat.

“Mukamu yang seperti itu, Kev, yang membuatku ingin meninjumu!”

Ia tak menggubrisku dan terus saja menirukan menggeleparnya ikan sekarat.

Aku melemparinya dua bantal sofa. Sementara ia mengaduh sekaligus tertawa mengejek. Dan ia sukses membuat Summer terbahak.

Aku memperhatikan tawa itu. Ini pertama kali Summer menunjukkan raut tawanya yang lepas. Mendung kelabu yang biasa menghiasi wajahnya langsung sirna. Raut yang sering kali datar itu terlihat sangat segar dan berbinar lebih dari pada biasanya.

“Kau terlihat manis saat tertawa,” spontan aku mengatakan itu.

Sekejap garis tawanya menghilang. Ia terdiam. Lalu tersenyum padaku. “Terima kasih sanjungannya, Jon.”

Kevin mendorongku hingga merebah di lantai. Ia mengerang. “Kurasa aku bakalan muntah kalau lama-lama di sini,” ia bangkit dari karpet.

"Hoek! Hoek... Hoek!!!" serunya dibuat-dibuat.

"Gak lucu tahu!" aku dengan sebal menimpuknya lagi.

"Memangnya aku lagi melucu?! Sudah,  aku mau pergi dulu. Kalian bersenang-senang sana berdua!" ia pun melangkah ke arah pintu depan. 

“Kau mau kemana?” tanyaku dan Summer hampir bersamaan.

Ia terhenti. “Pingsanmu merusak acara bersenang-senang kita di danau tahu! Aku mau berjalan-jalan untuk memotret.”

Summer terlihat menyesal setelah mendengar perkataan Kevin. “Maafkan aku, Kev.”

Kevin pun buru-buru menjawab, “Tidak, Sum. Tidak apa-apa. Kau istirahat saja di rumah. Jon mungkin akan menemanimu sejenak. Aku pergi dulu. Istirahatlah dengan baik.”

Lalu dengan cepat ia mengerlingkan matanya padaku dan segera keluar. 

Aku memutar bola mataku. Tahu kalau bocah itu sedang menggodaku. Konyol. 

Sesaat selepas kepergian Kevin suasana menjadi hening. Ia memang sumber keributan. Berbeda sekali dengan gadis yang ada di dekatku sekarang ini.

Aku memperhatikannya diam-diam. Ia selalu tampak waspada. Seperti selalu curiga jika di sekelilingnya ada sesuatu yang siap menerkamnya jika ia lengah. Ia tak banyak bicara, bahkan tertawa sangat irit. Sangat tidak cocok dengan nama yang disandangnya, Summer. Seolah ia diselubungi oleh lapisan es tak kasat mata. Setiap awalan dengannya terasa canggung. Ada tembok yang mengitarinya.

“Kau sudah sarapan? Apa kau lapar?” tanyanya padaku tiba-tiba.

“Belum. Sebenarnya... ya, aku lapar. Bagaimana denganmu?”

“Sebenarnya juga iya. Aku tidak mahir memasak. Meskipun aku yakin di kulkas banyak bahan mentah siap dimasak. Apa kau mau makan di luar?”

Aku menimbang-nimbang. “Mungkin... kita buat makanan saja di sini. Kalau kau tidak keberatan?”

“Tentu. Tapi, kau yang harus memasak.”

“Baiklah! Tunjukan padaku kau punya apa saja.”

Ia bangkit dari sofa. Gadis itu sepertinya mengajakku berjalan menuju ruang paling belakang di lantai satu rumah ini. Melewati ruang tengah dan sebuah kamar tertutup di sebelah kiri kami. Aku mengikutinya dalam keheningan. Kami berjalan dalam lorong dengan banyak  pigura foto di dinding kanannya.

Aku memecah keheningan, “Gadis kecil di beberapa pigura itu apakah kau?”

“Ya,” katanya singkat.

Ia membenahi kuncir ekor kudanya yang sudah berantakan. Menguncirnya lalu pada ikatan terakhir menggulungnya keluar dan rambutnya sukses tergulung sempurna. Beberapa rambut halus menghiasi leher belakangnya yang jenjang. Indah, pikirku.

“Kau sangat manis dengan baju perempuanmu, dulu. Khas seorang cewek. Sekarang sepertinya terjadi perubahan.”

Ia menoleh padaku sembari masih berjalan. “Perubahan itu biasa terjadi kan pada masa puber?”

“Oke. Aku tidak bermaksud menyinggungmu,” aku mengangkat kedua tanganku di udara, “Sungguh, aku memang hanya ingin mengetahuinya. Kenapa?”

“Mungkin kau bisa menyebutnya sebagai transformasi masa remaja. Kata orang dewasa itu pencarian identitas, benar begitu kan?”

“Mungkin,” aku mengedikkan bahuku, “Hanya saja aku merasa kau akan banyak digilai cowok kalau kau lebih kelihatan khas cewek.”

“Aku hanya tidak mau terlihat mencolok.”

“Kenapa?”

“Aku tidak nyaman menjadi pusat perhatian. Dan tidak mau mendapatkan masalah yang merepotkan.”

“Ah! Alasan yang masuk akal. Hanya saja foto batitamu itu mengingatkanku dengan seseorang.”

“Siapa?”

“Teman masa kecilku. Ia pindah ke Springfield saat kami masih empat tahun. Kami bertetangga. Sekolah bersama. Bermain bersama. Bahkan kami menginap bersama secara bergantian,” aku mengingat gadis kecil itu dan mulai merindukannya lagi, “Hei, bahkan nama kalian sama!”

“Summer?” tanyanya terkejut.

“Yeah! Nama yang keren, kukira. Walaupun pasaran sih!”

“Tidak keren sama sekali!”

“Jadi kau membenci namamu sendiri?” pekikku tak percaya, ”Summer kawanku sangat mencintai namanya! Jelas kau bukan Summer sepertinya!”

“Mungkin,” kini ia sudah menggiringku di depan konter kecil, “Kemarilah!” katanya padaku.

Aku mendekat.

Ia membuka pintu kulkas. “Silahkan kau cermati dan pilih, bahan apa yang bisa kau pakai. Kecuali daging ayam dan jamur, jangan sentuh itu!” ia menjauh dan memberiku ruang.

“Kenapa?”

“Itu harta karun ibuku malam ini.”

“Oke. Sepertinya aku tidak akan memasak yang berat-berat.”

“Lalu kau mau buat apa?”

Aku menimbang-nimbang. “Kita buat pie.”

Ia mengrenyit. “Kau benar-benar pandai memasak?”

“Jangan remehkan aku! Aku sudah biasa membantu bibiku. Nah sekarang, bantu aku buat custard dan kulitnya,” pintaku padanya.

Ia pun menyiapkan bahan-bahan yang kuminta. Ia dengan cekatan membantuku membuat custard dengan mencampurkan susu dan kuning telur. Sementara itu, aku membuat kulit pie.

“Keberatan tidak kalau aku menggunakan stoberi di kulkas untuk isinya?” tanyaku padanya.

“Tidak masalah.  Mau kusiapkan?”

“Kau sudah selesai?”

Ia mengangguk.

“Oke. Tolong siapkan.”

Ia mengambil satu kap buah stoberi. Ia potong menjadi dua tiap buah dan meletakkannya di sebuah baskom. Summer meletakkannya di dekatku.

Ia berdiri di sebelahku. Sangat dekat. Mendadak sisa aroma vanili, tepung, telur, gula menguap. Mendadak aroma stoberi di hadapanku lenyap, tergantikan aroma jeruk segar.

Aku kira Summer mengambil buah yang lain. Tidak. Ia tidak mengambilnya. Ia tepat berdiri di sebelahku.

Aroma jeruk itu menguar dari rambutnya. Mungkin dari sana. Aku suka aroma ini. Mengingatkanku pada masa kecilku. Kenangan indah saat aku bermain bersama teman masa kecilku. Saat di dekatnya ia selalu beraroma jeruk segar. Mengingatkanku pula pada saat musim panas dan minuman kesukaan kami.

***

“Kau suka?”

Ia mengangguk. Summer memakan bagiannya dengan lahap sesaat setelah mencoba pie buatanku. “Enak,” katanya singkat lalu mengunyah kembali.

“Hah! Tidak percuma aku sering membantu bibi Diana di dapur. Kau tahu, ini pertama kalinya aku mencoba membuat pie sendiri untuk orang lain.”

Ia terbelalak. “Sungguh?”

“Yeah.”

“Kalau begitu aku beruntung sekali."

Kami menghabiskan jatah kami masing-masing. Setelah itu aku membantu Summer membereskan dapur. Aku mengikutinya bekerja dalam keheningan. Membereskan piring dan gelas di meja makan.

Lalu aku memutuskan membuka suara, “Apa kau selalu seperti ini?”

“Apa?” tanyanya balik sembari masih mengelap konter.

“Hening. Apa kau selalu melakukan sesuatu dalam keheningan?”

“Apa aku terlihat demikian?”

“Apa kau tidak menyadari bagaimana dirimu sendiri?”

“Apa aku terlihat aneh bagimu?” ia berbalik menghadapku. Gadis itu menghentikan pekerjaannya.

“Apa kau tersinggung dengan pertanyaanku?” aku pun menghentikan kegiatanku juga.

Ia tersenyum dan alisnya terangkat satu. “Apa kau merasa menyinggungku dengan pertanyaanmu?”

Aku tersenyum mengetahui maksudnya. Bukan pertanyaannya. Aku mendekapkan kedua tanganku di depan dan ganti menantangnya. Ini permainan bertahan dalam bertanya. “Apa kau gampang tersinggung?

“Apa kau suka menyinggung orang?”

“Apa kau tidak suka disinggung?”

“Apa kau suka mengganggu orang?”

“Apa kau tidak suka diganggu?”

“Apa kau tukang penggoda?"

“Apa aku terlihat seperti tukang penggoda?”

“Apa aku...” ia menggangtungkan pertanyaannya. Berusaha keras memikirkan kalimat selanjutnya.

“Tik... tok... kena kau!” aku tetawa. “Kau kalah!”

Ia tertawa lalu berbalik kembali menghadap konter. “Oke, baiklah, aku kalah.”

Tawanya sekilas menunjukkan lesung di kedua pipinya. Namun, lenyap begitu saja saat ia berbalik. Tawanya sungguh membuat orang lain tidak mau berpindah pandangan dari sana. Sangat menawan dan menyenangkan.

“Hei, boleh aku bertanya sesuatu?”

“Kau sudah bertanya.”

Aku mengerang. “Aku serius.”

“Baiklah, silahkan.”

“Ada apa dengan yang tadi? Mendadak kau pingsan. Sebelumnya aku melihat wajahmu pucat dan seperti bingung, entahlah, aku sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Kau seperti ketakutan.”

“Aku... aku teringat sesuatu,” ia terdiam, “Aku tidak bisa pergi ke sana lagi. Aku tidak bisa pergi ke danau.”

“Kenapa? Apa terjadi sesuatu?”

“Hanya saja aku tidak bisa pergi ke sana.”

Kami sama-sama terdiam.

Aku rasa aku tidak ingin mendesaknya. Aku tahu pasti ada rahasia tak mengenakkan di sana. “Oke. Tidak masalah. Kau tahu, kau bisa menceritakannya padaku kalau kau mau. Mungkin lain kali?”

“Yeah, mungkin, lain kali. Trims, Jon. Kukira kita sudah berteman cukup baik kan?”

Aku mengangguk. “Tentu saja. Sangat disayangkan kau tidak bisa pergi ke sana. Airnya bersih dan segar, pemandangannya bagus, kau bisa memancing dan naik perahu juga di sana,” lalu aku teringat sesuatu, “Tunggu, memangnya kau pindah dari mana? Kita sudah kenal seminggu lebih dan kita belum membahas yang satu itu, serius deh!”

Ia tertawa. “Sebelum ini aku tinggal di Seattle.”

“Jadi memilih ke kota yang lebih kecil?”

“Ibuku ingin kedamaian, jika ada kesempatan pindah ke tempat yang lebih tenang ia akan langsung mengambilnya,” ia tersenyum. Entah mengapa aku seperti pernah tahu senyum itu. “Kau juga memilih di sini.”

Aku terkekeh. “Aku merasa nyaman dengan keluargaku di sini. Oke. Kurasa aku akan pergi sekarang,” rasanya aku tidak ingin pembicaraan ini mengungkit tentang keluargaku sendiri. Ayah dan ibuku.

“Oke. Kau akan pergi sekarang.”

Suasana kembali menjadi canggung. Kami saling berpandangan dan tidak tahu bagaimana akan mengakhiri pertemuan siang ini.

“Jadi, kau pergi sekarang?” tanyanya ragu.

“Ya, aku pergi dulu. Sampai nanti, Sum.”

“Sampai nanti, Jon.”

Aku pun keluar dari rumah itu. Langkah kakiku menyeberangi jalan. Aku kembali masuk ke dalam rumah dan menuju ke dalam kamar. Pintu kamar kututup dan kukunci. Aku pun menghempaskan tubuhku ke atas ranjang. Entah mengapa jantungku berdegub begitu cepat. Pikiranku kembali pada aroma jeruk. Pada suatu sudut di Springfield. Di mana dulu segalanya terasa sangat manis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status