Summer
Juni, 2015“Apa kita benar-benar harus datang?”
Ibuku mengangguk. “Segeralah berganti pakaian yang pantas! Jangan mengecewakan. Dia tetangga yang baik sekali. Jangan buat mom malu.”
Aku merengek padanya. “Mom, bisakah aku di rumah saja, please?”
“Tidak, Summy sayang. Kau harus ikut. Lagi pula kau satu-satunya anggota keluargaku, masa aku pergi sendirian?”
Aku menghela nafas panjang. “Baiklah... baiklah...” berat hati harus ikut.
Ibuku tersenyum dan mencium keningku. “Cepatlah! Aku tunggu kau di bawah.”
Aku segera membuka lemari pakaianku. Melihat-lihat apakah ada dress yang tidak berlebihan dan pantas untuk kugunakan untuk malam ini. Tapi, aku mulai pusing mencari dan memilih mengenakan setelan favoritku. Celana jeans gelap dan kemeja berwarna gelap pula, plus sneakers. Masa bodoh! pikirku.
Aku sangat lelah dan ingin sekali berdiam diri di kamar. Tapi, ia memaksaku keluar. Aku hanya ingin kenyamanan. Sementara itu, ibuku sudah mulai berteriak padaku. Ia menyuruhku segera bergegas. Aku berlari kecil ke bawah. Lalu ia hanya mengomel sebentar tepat saat aku menuruni anak tangga bawah. Namun, setelah itu ia langsung melangkahkan kaki ke luar ruangan. Sepertinya sudah menyerah dengan kelakuanku kali ini. Aku pun menyunggingkan senyum kemenangan diam-diam.Kami menyeberangi jalan menuju rumah Diana. Rumah berlantai dua dan bercat kalem. Rumah itu tidak terlihat meluas, namun memanjang ke belakang, dan dibangun lumayan lebih tinggi dibandingkan jalanan. Rumah Diana terlihat sederhana, praktis, nyaman, dan terkesan sejuk. Dikelilingi halaman luas berumput rapi di sekitarnya dan juga pepohonan cokelat yang rindang, membuatnya terasa teduh. Terdapat taman di depan jendela tengah bagian depan rumah yang terlihat minimalis dengan pola simetris. Hanya ada hamparan rumput sekotak dan tanaman perdu setinggi pinggang orang dewasa. Jajaran tanaman rapat itu di pinggirannya membentuk garis U ke dalam sehingga memberi kesan bahwa penghuninya berkarakter terbuka. Kutebak wanita itu pasti sangat rapi, praktis, dan ramah.
Kami masuk di jalan rumah. Berbelok kiri searah pedestrian melewati kotak surat di sisi kiri dan garasi di sisi kanan. Lalu belok kanan menaiki anak tangga panjang yang langsung mengarahkan ke pintu utama bercat putih. Pintu itu terletak di sudut pinggir depan rumah. Ibuku memencet bel, sementara aku bersandar di pembatas tangga dan melihat-lihat hamparan rumput dan pepohonan di pinggir rumah. Tidak lama kemudian seseorang membuka pintu. Benar saja perkiraanku, si tuan rumah memang ramah.
“Dia putrimu?” tanyanya dengan senyum lebar pada ibuku.
“Ya. Ini Summer. Dia akan segera bersekolah di SMA Pittsfield.”
Aku menjabat tangannya untuk memperkenalkan diri. Kukerahkan senyum terbaikku padanya. “Summer Bower.”
“Diana.”
“Maafkan aku kalau ia tidak memakai pakaian yang pantas kemari. Ia benci dress dan apapun itu yang bergaya feminin. Dan aku gagal membujuknya,” kata ibuku mengeluh kepada wanita itu seakan mereka sudah berteman lama.
“Mooom…” rengekku padanya dengan malu.
Diana terkikik. “Tidak... tidak... itu bukan masalah. Memakai apa saja Summer tetap manis,” ia menengok ke arahku, “Kau manis sekali!”
Aku hanya bisa tersipu. “Trims.”
“Apa aku berlebihan menyukaimu? Maafkan aku, di sini hanya aku anggota keluarga yang perempuan,” lalu ia mempersilakan kami masuk ke ruang makan.
Ibuku tertawa. Mereka berdua terlihat sangat akrab di mataku.
Ketika masuk ke ruang tengah, benar saja semua yang ada di sini laki-laki. Aku melihat sepasang anak dan ayah sedang berbicara. Kami pun sedikit berbasa-basi dengan anggota keluarga yang lain. Suami Diana bernama Leo. Ia bekerja sebagai pegawai bank. Mereka memiliki dua orang putra. Yang akan segera menjadi temanku bernama Kevin. Dan satu lagi yang tidak ada di rumah karena menghabiskan waktu berlibur musim panas bernama Dean. Kevin sangat ramai, ia bercerita kalau ia ada di klub jurnalistik dan menulis untuk koran sekolah. Ia juga penulis artikel di sebuah majalah online. Ibuku bertanya tentang pemuda yang tadi siang mengantarkan pie ke rumah kami apakah itu Kevin. Diana pun memberitahukan kalau ada keponakan laki-lakinya yang tinggal di sini. Jon. Tanpa kusangka ia juga bersekolah di tempat yang sama denganku.
“Well, kurasa ada peluang kau bakal sekelas denganku dan dengannya, Sum!” kata Kevin bersemangat.
Dua detik kemudian cowok yang ia maksud itu dengan nafas terengah-engah mendatangi kami yang sudah mulai bersiap di meja makan. ”Aku belum terlambat kan?” katanya dengan raut ramah.
“Itu dia!” seru Kevin padaku.
Kami pun memperhatikannya.
“Bisakah kau sedikit sopan dan bersiap-siap diri dulu? Ada tamu di sini!” kata Diana. Kelihatan sekali wanita itu ingin melempar keponakannya dengan sesuatu, namun ekspresinya itu berubah sangat lembut dan penuh kasih sayang saat wajah Jon memelas.
“Ups! Maaf, bibi.” Lalu ia duduk di hadapanku, di sebelah Kevin. Dua sepupu itu langsung ribut sikut-sikutan, meskipun cekikikan.
Leo berdeham. Ia memberi isyarat agar dua cowok itu tidak gaduh.
Kevin terdiam. Meskipun begitu jari tangannya masih terketuk-ketekuk di atas lipatan lengannya. Kurasa ia tipikal orang yang tidak bisa diam.
Jon. Nama yang tidak asing bagiku, dulu. Kesan pertamaku yang lain adalah mata cokelatnya sangat indah. Mata itu melirik ke setiap sudut meja makan. Memperhatikan menu apa saja yang ada di sana. Sepertinya ia sudah sangat lapar. Lalu mata itu kembali memandang ke sekeliling dan berhenti di depannya. Tepat pada seseorang yang ada di hadapannya. Aku. Ia menatapku yang tengah memperhatikannya.
Sial! gumamku dalam hati. Menyadari ia sudah tahu aku memperhatikannya. Ingin sekali aku menutup mukaku dengan sesuatu atau pergi dari sini. Namun, sebelum itu kulakukan ia tersenyum simpul padaku. Penuh kegugupan aku membalasnya, lalu segera membuang muka darinya. Hal itu tepat ketika kami mulai berdoa dan setelahnya aku memilih bungkam ketika sesi makan malam berlangsung.
Lepas makan malam aku mengobrol dengan Kevin. Ia menyeretku ke atas. Ia banyak berbagi cerita tentang sekolah kami di kamarnya. Tak lama kemudian Jon bergabung. Aku banyak terdiam sembari membaca buku 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia milik Kevin. Aku hanya mendengarkan mereka berdua berbicara. Isinya hanya mengenai rencana mereka selama liburan musim panas. Hal lainnya adalah percakapan anak cowok yang tidak terlalu kupedulikan. Selama pembicaraan aku merasa Jon banyak melihatku. Pandangannya seperti menyelidik. Entah apa yang dipikirkannya. Aku tak mau ambil pusing, jadi aku membuang muka dan mengacuhkan gelagat anehnya itu.
***
“Summer!” suara cowok itu lantang berseru padaku ketika aku sedang mengecek ban sepedaku di halaman depan.
Aku mendongak ke arah jalan.
Kevin berjalan ke arahku dengan senyum lebar. Posturnya tinggi, namun tidak segagah Jon. Tapi, ia sangat ramah dan menyenangkan seperti ibunya. Banyak bicara dengan kecepatan tinggi. Terlalu semangat dalam setiap tindak-tanduknya. Itu memudahkanku dalam berkomunikasi.
“Kau memanggilku?” tanyaku heran.
“Tidak! Pada semesta!”
“Oke. Lalu kenapa kau kemari?"
Ia memutar bola mata. “Tentu saja aku memanggilmu tadi!”
“Mengira-ngira saja, sapa tahu kau memang sedang menyapa musim panas pada semesta ini.”
“Ha... ha...” ejanya untuk tawa sarkastisnya, “Aku memang menyapa musim panas.”
Aku hanya tersenyum.
“Ya ampun! Kau bisa tersenyum juga!”
Dahiku berkerut. “Memangnya kau pikir aku tidak bisa apa?”
Ia tertawa. “Tidak. Mukamu itu… D-a-t-a-r!” ejanya menyebalkan. “Hei, setidaknya kau balas menyapa balik untukku?!”
“Oh... Hai... Kevin! Kau mau apa? Atau lebih tepatnya ada apa?”
“Woo... woo... woo... rileks, girl! Kenapa kau selalu curiga pada orang lain sih?”
“Bukan apa-apa. Ada apa?”
“Kau mau pergi? Apa hari ini kau sibuk?"
“Sebenarnya tidak terlalu sibuk. Hanya menyibukkan diri.”
“Kalau begitu ikutlah kami hari ini, jalan-jalan. Kau, aku, Jon, dan yang lain. Bagaimana?”
“Banyak orang?” kataku dengan perasaan tidak nyaman.
“Tidak banyak. Mungkin. Kalau yang lain jadi ikut.”
“Kurasa aku tidak ikut.”
Ia terlihat kecewa. “Oh ayolah! Kenapa? Kau belum berkeliling Pittsfield kan? Ayolah ikut saja! Kita bersenang-senang! Apa perlu aku meminta ijin pada ibumu?”
Aku menggeleng cepat. “Tidak, tidak! Kau tidak perlu meminta ijin ibuku! Sudah pasti akan rumit! Entahlah, tidak nyaman saja kalau aku jalan bersama banyak orang yang belum aku kenal.”
“Serius deh! Kau bisa bicara denganku saja kok!”
“Kau ngotot sekali, Kev!” aku tersenyum padanya. Senyum tulus. Baru kali ini aku punya teman sepertinya. Penuh semangat dan banyak bicara. Kurasa aku menyukainya. “Memangnya kapan? Sekarang?”
“Ya! Sekarang!” seru suara lain di belakang Kevin.
Jon datang. Ia berjalan sambil sesekali menengok ponsel canggihnya. “Kev, aku sudah menghubungi beberapa teman, tapi sepertinya hari ini kita bakalan kesepian tanpa mereka,” ia mengalihkan pandangan ke padaku, "Jadi Summer, ikutlah dengan kami, please?” sorot mata cokelat tajam dan teduh itu memohon padaku.Aku menatap mereka bergantian. Keduanya menyudutkanku dengan ajakan mereka. Aku pun memutuskan untuk memenuhi permohonan mereka. “Baiklah,” aku menghela nafas, “Aku ikut.” Pikirku tidak ada salahnya jalan-jalan di tempat baru.
Jon tersenyum. Tiba-tiba saja aku tak tahu akan bereaksi bagaimana saat ia menepuk bahuku dan menelengkan kepalanya ke arah mobil truk Ford di jalan rumahnya. “Ayo jalan!”
Aku diam di tempat bahkan ketika Kevin yang ada di hadapanku terlihat sangat senang. Aku tetap tanpa suara, meskipun ia merangkulkan tangan ke leherku dan menyeretku meninggalkan sepeda untuk mengikuti langkah Jon.
Duniaku seakan terhenti. Sejenak aku merasakan sedikit ketegangan. Sekujur tubuhku seakan tersengat oleh tepukan itu. Ada hal yang merambati setiap ujung syarafku. Aku merasakan desiran yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Mataku terfokus pada punggung tegap berbalut kemeja motif kotak-kotak itu. Fakta bahwa kami sama-sama senang mengenakan kaus dan kemeja kotak-kotak yang tak dikancing membuatku senang. Aku bahkan tak mengerti mengapa aku menyukai hal itu. Dan saat masih memikirkannya, tahu-tahu aku sudah berada di dalam mobil. Aku duduk di jok abu-abu di belakang sendiri. Memandang ruang di antara Kevin dan Jon. Menembus jendela depan dan memutar ulang memoriku.
Dulu. Dulu sekali, sepertinya aku pernah merasa sering diajak dengan tepukan di bahu seperti itu. Saat sedang bermain di halaman depan rumah. Saat sedang bermain di dalam rumah dengan seseorang. Aku selalu bersama dengan sosok yang samar-samar kuingat itu. Selalu berdua. Setelah itu aku selalu sendiri, tanpa teman dekat.
Kemudian pikiranku teralih ke kejadian tadi. Aku berpikir bagaimana waktu bisa juga terasa cepat bergulir dan tiba-tiba aku berada di tengah-tengah dua orang asing yang sepertinya akan menjadi temanku. Orang asing. Bukan kebiasanku mengakrabkan diri dengan orang asing. Pun menerima ajakan mereka.
JonJuni, 2015“Jadi Summer, kau akan sekolah di tempat kami ya?” tanyaku padanya sembari melihat cewek itu dari kaca spion tengah.Kesunyiannya di belakang membuatku jengah. Dan fakta bahwa hanya Kevin yang banyak bicara dari tadi membuatku bosan.“Yeah, mom mendaftarkanku di sana.”Sebelum aku merespon jawabannya, lagi-lagi Kevin mendahuluiku berbicara dan mulai cerewet lagi.“Please Sum, jangan jadi murid yang menyebalkan seperti Jon dan kawan-kawannya nanti, oke?”Oh! Dia yang mulai menyebalkan seperti biasanya!Kulihat dahi Summer berkerut. Ia tampak geli sekaligus waspada. Ia selalu terlihat curiga.“Aku memang tidak berniat menjadi murid menyebalkan. Memangnya dia dan teman-temannya kenapa?”Aku pun cepat-cepat memotong Kevin yang baru akan berbicara. “Jangan dengarkan dia, Sum! Dia itu sinting!”Kevin menatap tajam padaku. Aku pun
JonJuni, 2015“Summer?” panggilku cemas ketika ia mulai sadar.Ia membuka kedua matanya perlahan. Summer mulai sadarkan diri dan terduduk di sofa.“Kau baik-baik saja?”“Apa kau pusing?” tanya Kevin mendekatinya, “Minumlah!” ia menyerahkan segelas air pada cewek itu.“Aku di mana?” tanyanya dengan raut menelisik. Mulai waspada.“Kau di rumah. Minumlah dulu,” saranku padanya.Summer segera meminum air yang diberikan Kevin. Ia meletakkan gelas yang sudah kosong itu di atas meja di hadapannya. “Apa yang terjadi?”“Entahlah, tiba-tiba saja kau pingsan sewaktu kita di danau. Lalu kami membawamu pulang,” jelasku padanya.Ia terkesiap. Sepertinya ia mulai sadar. “Maafkan aku.” Ia mulai menampakkan sorot menyesalnya. “Aku sudah merepotkan kalian. Apa kalian memberi tahu ibuku? Bagaimana kalian bis
SummerJuli, 2015Ruangan ini terlihat asing. Kotor. Terbengkalai seperti tempat yang lama ditinggalkan. Ada sebuah meja di tengah ruangan dan beberapa kursi berserakan. Di sana ada dua lelaki sedang berbicara. Mereka berdiri di dekat jendela yang setengah dibuka. Dari situ aku tahu hari mulai terang. Aku baru terbangun dan menyadari aku tidak sedang berada di rumah.Spontan telapak tanganku terangkat untuk menutup mulut ketika menguap. Tapi, tanganku berada di depan dan tak bisa digerakkan. Kedua tanganku terikat menjadi satu. Aku menggerak-gerakkannya mencoba melepaskan tali itu, tapi tidak bisa.Seseorang di dekat jendela tertawa. Sementara itu, aku mulai kedinginan dan takut. Aku hanya mengenakan kaus dan rok selutut. Dan aku lapar. Aku ingin ayahku. Aku ingin ibuku.“Aku mau pulang,” aku mulai merengek.“Diamlah!” suara keras itu meneriakiku.Tangisku bertambah hebat.“Tenanglah! K
SummerJuli, 2005“Kau tahu, kau kelihatan berantakan sekali!” suara anak laki-laki di sebelahku menyadarkanku.Aku kembali sadar setelah tertidur cukup lama. Dalam remang aku menyesuaikan pandangan. Aku menoleh ke sumber suara. Anak laki-laki itu sedang mengamatiku. Penasaran. Penuh rasa ingin tahu. Aku balas menatapnya. Lalu membenahi posisi dudukku. Kini kami duduk berhadapan dengan tumit sama-sama terlipat di depan. Kurasa ia beberapa tingkat di atasku.“Apa itu sakit?”Aku bingung. “Apanya yang sakit?”“Itu. Memar di dahimu.”Kedua tanganku yang terikat spontan terangkat menuju dahi. Jari-jariku meraba di sana. Saat menyentuh bagian samping kudapati rasa nyeri yang sangat menusuk. Aku merintih.“Sudah jangan di pegang lagi!” katanya dengan terburu padaku.Aku menurunkan kedua tanganku segera. Ia benar. Itu akan membuatku merasa sakit. Aku meliha
JonJuli, 2015Aku dan Summer menaiki anak tangga. Kali ini ia membiarkanku menuntunnya. Kamar Summer ada di pojok depan atas rumah ini dan berhadapan langsung dengan tangga ke bawah. Aku dan Summer masuk ke dalam. Saat masuk ia tak repot-repot menyalakan lampu karena sepertinya lampu di dalam ruangan ini selalu menyala saat hari mulai gelap. Bahkan kamar ini memiliki tiga jendela. Dua menghadap ke rumahku. Dan satu menghadap ke halaman samping rumahnya yang ditumbuhi rumput dan beberapa pohon besar yang rindang.“Apa kau selalu membiarkan lampu menyala di dalam sini?”“Ya. Saat sore hingga pagi. Aku membiarkan ruangan ini terang, bahkan saat tidur.”“Kenapa? Kau takut gelap?”“Aku merasa tidak nyaman dalam kegelapan,” ia berkata sembari naik ke atas kasur yang berada di pojok dekat jendela samping. Summer berbaring di sana dan menyandarkan kepalanya ke bantalan empuk. Ia menepuk-nepu
JonJuli, 2015Rumah sudah sepi. Pasti semua sudah meringkuk di kamar. Aku mengendap-endap masuk ruang tengah dan memastikan suasana aman. Dengan langkah pelan aku menaiki anak tangga. Sampai di lantai dua aku bergegas menuju kamarku. Pikiranku hanya tertuju pada sesuatu yang ada di laci dalam lemari pakaianku. Aku membukanya dan membolak-balik segala nota, surat penting, dokumen, dan catatan yang ada di sana. Lalu kutemukan benda itu di sela tumpukan kertas paling bawah. Aku segera menyambarnya dan kembali ke rumah Summer.Aku berjalan ke arah rumah Summer tepat saat Rosalie keluar dari mobilnya. Wanita yang gemar di dapur itu, banyak sekali berubah. Tubuhnya lebih kurus dari pada dulu. Rambutnya menjadi lurus dan selalu digulung rapi. Tanpa poni. Dan kini ia berkaca mata. Wanita sama yang sering menyiapkan puding, cookies, dan jus jeruk untukku dan Summer dulu. Aku menemuinya sembari berharap ia bukan penghalang agar aku bisa masuk bertemu Summer m
SummerJuli, 2015Kami duduk di ruang tengah. Aku, Jon, dan mom. Acara utamanya adalah membicarakan tentang aku dan Jon. Takdir yang memisahkan dan mempertemukan kami kembali setelah sekian tahun. Mom yang melankolis sudah dipastikan mengeluarkan air mata.Entah mengapa sehari menjadi waktu yang sangat ajaib buatku. Duniaku, memoriku, diriku, sosok-sosok lama yang kembali hadir, segalanya berputar ulang. Cloud yang mengaku mengenalku, walaupun aku tidak pernah merasa mengenalnya. Dan meski berusaha keras hingga kepalaku sakit, aku tidak menemukan gambaran tentangnya. Belum selesai dengan Cloud, muncul hal mengejutkan tentang Jon. Sosok yang selalu bersamaku dulu, yang tidak pernah bisa kuingat lagi bagaimana wajah atau nama lengkapnya. Kini aku sadar cowok di hadapanku itu adalah Jonathan Finch. Aku langsung ingat ketika melihat selembar foto yang ia sodorkan padaku. Bocah kecil itu adalah dia. Mengenal Jon kembali sama dengan membuka kenangan lama bersama dad. Aku takut mengingat se
SummerJuli, 2015Aku menengok ke luar lewat jendela kamarku yang berhadapan dengan rumah Kevin. Jendela atas rumah itu masih menyala semua. Kevin dan Jon belum tidur. Aku melihat siluet seseorang sedang duduk. Itu pasti Kevin. Sementara, di kamar sebelahnya yang berseberangan dengan kamarku, aku tidak melihat siluet Jon sama sekali. Dalam hati aku bertanya-tanya apa yang ia lakukan. Tiba-tiba sebuah sinar mengagetkanku. Spontan tanganku menutup wajah karena silau. Sinar yang menyorotku itu padam. Aku memincingkan mataku ke arah sebuah suara. Kevin tertawa. Ia bersandar di bingkai jendela sembari membawa sebuah senter.“Kau tidak tidur?” tanyanya setengah teriak.“Aku belum bisa tidur.”“Tapi, sepertinya kau tidak pernah tertidur.”“Apa?” kataku lebih keras.Ia berteriak sedikit lebih lantang dari yang tadi, “Lampu kamarmu selalu menyala!”“Oh... aku tidak pernah mematikannya. Kau tidak tidur?”“Sebentar lagi. Tidurlah, Sum! Ini sudah larut!” katanya penuh perhatian.Aku hanya tersen