Share

2

Jon

Juni, 2015

Aku mengerang. ”Ada apa lagi, bibi?” kataku setelah menghampirinya ke dapur.

Bibiku berdecak karena mengetahui responku.

Aku tidak bisa mengelak dari panggilannya ketika ia melihatku melintasi ruangan itu. Sepertinya hari ini akan menjadi hari bebas yang tidak santai lagi untukku.

Ia berkacak pinggang padaku. “Bisakah kau hilangkan nada mengeluhmu itu? Kau tahu, kau bertambah tampan kalau saja kau bersikap semanis biasanya. Aku tahu ini hari liburmu Jon… tapi, sepertinya aku membutuhkan banyak bantuanmu.”

Aku menghela nafas berat. Seperti tikus yang terlanjur masuk dalam jebakan. “Oke, baiklaaah….”

Ia geleng-geleng kepala. Lalu meringis, “Jangan buat aku merasa bersalah, please? Apa kau tidak iba sedikit pun dengan satu-satunya wanita yang tinggal di rumah ini dan harus memastikan semuanya beres sendirian?"

Aku menghela nafas dan tersenyum. Luluh. “Oke, baiklah.” Aku tak bisa mengelak, mengingat bagaimana ia begitu menggantikan penuh sosok ibu dalam hidupku. 

Bibiku yang paling tangkas itu langsung girang. Sementara, aku menghela nafas lagi. Benar-benar sudah terjebak.

“Memangnya Kevin ke mana sih?”

“Kevin sedang ada wawancara untuk berita di web majalahnya. Dan aku sangat membutuhkan banyak bantuanmu hari ini. Maafkan aku, Jon sayang…”

Tak cukup rupanya. Setelah ia memohon padaku mengantarkan beberapa kebutuhan kemah adik sepupuku di camp ground yang lumayan jauh, ia juga membuatku terlambat memenuhi janji bersama kawanku dengan menyuruhku berbelanja bahan memasak mendadak. Dan kini ia tak henti membuatku banjir keringat dengan hal yang lain. Padahal baru saja aku berniat kembali ke rumah Evan dengan membawa beberapa dvd game agar kami bisa menghabiskan waktu dengan menuntaskan pertandingan.

“Antarkan pie ini ke tetangga depan rumah. Tetangga baru kita. Rosalie dan Summer. Rosie akan menjadi teman baruku,” matanya berbinar, “Dia sangat cantik dan menyenangkan. Tadi kami sudah sempat berbicara banyak di depan rumah. Aku mengundang mereka makan malam. Pastikan mereka jadi datang, oke?”

Aku memutar bola mataku. “Memangnya bibi tidak bisa mengantarkannya sendiri?”

“Tidak. Banyak yang harus kuselesaikan di rumah dan sebentar lagi aku harus mengirimkan paket untuk nenekmu. Sudah sana pergi!”

“Baiklah.” Aku pun mengambil pie itu dari tangannya.

“Oh ya, jangan lupa! Ibumu tadi menelepon. Kalau sudah selesai segera hubungi dia. Ia kangen berat denganmu!”

“Oke,” aku pun menggerutu, “Kalau mom kangen berat kenapa tidak menyempatkan waktu berkunjung kemari sih? Ini kan sudah liburan musim panas!”

Bibiku mengelus kepalaku. “Sabar, Jon. Toko bunganya sedang ramai musim ini. Kau tega mematahkan semangatnya, sementara mimpinya menjadi kenyataan?”

Aku mendesah. “Iya, aku tahu.”

“Apa kau mau pindah ke sana saja sekalian? Tidak apa-apa, sayang… semua terserah denganmu. Kau bisa bersekolah di sana, atau kau mau tetap tinggal di sini.”

Hatiku langsung nyeri. Kalau aku pergi, ayahku akan sendirian dan terhanyut dalam kesibukannya yang menjadi-jadi hingga tak ada lagi yang bisa memperhatikannya. Aku tahu, keputusanku tetap tinggal dekat Springfields agar aku bisa tetap menemani ayahku, meski hanya seminggu sekali.

“Tidak, bibi. Aku tetap tinggal di sini. Dad masih membutuhkanku.”

Ia tersenyum lembut padaku. “Anak baik.”

“Baiklah, aku pergi dulu. Kau tahu aku ada di mana, kalau membutuhkanku lagi.”

“Rumah Evan?”

Aku mengangguk lalu bergegas pergi dari sana menuju rumah tetangga baru kami.

Pandanganku fokus pada pintu bercat putih di depan sana. Kemarin rumah kosong itu kedatangan penghuni baru. Dan hari ini sepasang ibu anak terlihat wira-wiri mengangkat banyak kardus dari truk yang kini sudah tak terparkir di halaman depannya. Terakhir kali aku lewat tadi pagi pintu itu terbuka dan tumpukan kardus yang banyak itu menghiasi beranda. Kini tempat itu kembali bersih dan rapi. Pintunya juga sudah tertutup rapat.

Aku pun sudah tepat berada di depannya. Lalu menekan tombol bel rumah di samping pintu itu dua kali. Tidak lama kemudian kenop pintu terputar dan pintu terbuka. Seorang gadis berbadan tegap berambut gelap di kuncir berantakan seadanya menatapku terkejut. Mata bulat lebarnya yang indah dan lucu menatap wajahku penuh inspeksi. Lalu ia tersenyum. Entah mengapa senyum itu rasanya sering kulihat.

“Hai,” sapaku.

“Hai,” katanya gugup.

“Aku tinggal di rumah seberang. Yah... kita tetanggaan. Bibiku menyuruhku kemari mengantarkan ini... untuk Rosalie?” Aku menyerahkan pie di tanganku padanya.

Ia terkejut. “Oh, ya, trims. Rosalie, ibuku. Ya, kami baru saja pindah kemari. Katakan terima kasih banyak untuk bibimu.”

“Tentu,” dan setelahnya aku tak tahu kenapa aku masih berdiri diam di sana, sementara ia juga terdiam di hadapanku beberapa detik.

Ia memecah kecanggungan kami, “Kau mau masuk?”

Sejenak aku berniat mengatakan iya, namun aku langsung teringat kalau aku harus kembali ke rumah Evan. Ia menungguku untuk menyelesaikan permainan kami. Jadi, aku mengatakan tidak padanya. “Tidak, terima kasih.”

“Baiklah,” katanya segera, “Kalau begitu aku akan kembali masuk sekarang.”

Aku buru-buru berkata padanya, “Em... mungkin kapan-kapan aku boleh masuk? Kalau aku tidak sibuk tentu saja,” aku tersenyum ragu padanya.

Ia mengangguk. “Tentu saja.” Ia tersenyum sekilas. Lalu lenyap.

Ugh! Dingin sekali! Batinku.

“Oke,” kataku dengan senyum yang lebih kupaksakan dari pada tadi. Aku buru-buru berbalik ketika teringat sesuatu, “Kalian akan datang kan nanti malam? Bibi Diana mengundang kalian makan malam. Jangan lupa! Sampaikan pada ibumu... eh, siapa namamu?”

“Summer. Tentu, aku akan memberitahunya. Terima kasih banyak.”

“Oke, Summer. Aku Jon.”

Seperti orang idiot, aku kembali melangkah ke arahnya. Sementara, ia memperhatikanku dengan ekspresi waspada. Dan itu malah membuatku tambah gugup.

Aku memandangnya. Lalu mengulurkan telapak tangan.

Ia dengan ragu menyambut jabat tanganku.

“Senang berkenalan denganmu, Sum. Semoga kita jadi tetangga baik.”

Ia mengangguk. “Senang juga sudah berkenalan denganmu, Jon.” Kini wajahnya tak setegang lagi. Membuatku lebih rileks dan tersenyum lepas padanya.

“Baiklah, sampai ketemu nanti.” Aku pun melangkah menjauh darinya.

“Sampai ketemu nanti, Jon.”

Aku pun pergi dari sana. Tidak lama ia pun juga menutup kembali pintu rumahnya, sementara aku melapor ke bibiku. Setelahnya aku kembali ke jalan depan rumah dan masuk ke dalam kemudi Ford truk merah menyalaku.

Warna yang sangat kontras dibandingkan cokelat gelap pohon-pohon di sekelilingnya serta warna cat abu-abu dan biru pastel rumah bibi Diana. Itu bukan kemauanku. Ayahku yang bersikeras memberikannya padaku semenjak aku memutuskan hengkang dari Springfield dan memilih tinggal di kota bernama Pittsfield ini. Katanya supaya memperlancar transportasiku ke mana pun, terutama ketika mengunjunginya.

 Rumah Evan lumayan jauh dari kawasan rumahku. Aku tinggal di Scammell Ave yang dekat dengan Springside Park. Sementara ia tinggal di lokasi yang dekat dengan sekolah. Kalau aku berjalan kaki atau naik sepeda ke sana, maka akan membutuhkan waktu sekitar hampir setengah jam. Dan aku sedang malas berjalan kaki.

Rasanya senang sekali jauh dari rutinitas biasanya dan tugas-tugas sekolah ketika musim liburan datang. Waktuku bisa dihabiskan bersenang-senang sejenak bersama kawan-kawanku, terutama Evan, sahabatku semenjak kami masuk SMA di minggu pertama kala itu. 

Aku sudah tiba di jalan rumah Evan ketika seseorang melambaikan tangan kepadaku dari beranda depan. Ruby. Cewek paling gotik di antara teman cewekku yang lain. Gadis itu adalah salah satu teman sekolah kami. Aku heran kenapa ia kemari. Sangat heran.

“Hai, Rub. Kau sedang apa di sini?” tanyaku penuh curiga.

“Memangnya kau saja yang boleh punya perlu dengan cowok menyebalkan di dalam sana?” balasnya memprotesku.

Aku bingung. “Santai dulu! Ada apa? Ada masalah dengan Evan?”

“Ya. Kalian berdua menyebalkan!”

“Kami? Tunggu... aku juga?” kataku tak percaya, “Apa masalahnya? Aku baru saja datang! Kau sudah sebal denganku?!"

Ia berdecak lalu cemberut. “Masa Evan mendadak rela membatalkan janji kencan denganku hanya karena ingin menghabiskan waktu denganmu? Konyol! Serius deh! Kalian gay?”

Aku terkejut. Mataku terbelalak lebar.“Kalian? Kencan?”

“Memangnya kenapa kalau iya?” katanya sewot. "Lagipula, kenapa sih dia baru mengatakannya ketika aku baru selesai siap-siap? Lihat! Padahal rumah kita cuma berjarak beberapa meter! Setidaknya kan dia bisa meneleponku!” gerutunya padaku.

“Kau dan Evan? Ya ampun! Aku tidak percaya! Sejak kapan?”

“Dua minggu ini. Tapi, kau tahu? Yang paling banyak dihubunginya hanya nomor ponselmu!” ia mendengus.

“Sekarang siapa pacarnya? Aku atau kau? Dia suka cowok atau cewek sih?”

Aku tertawa. “Sepertinya Evan lebih menyukai aku ketimbang dirimu,” kataku menggodanya.

“Oh terserahlah!”

“Jangan cemberut begitu, mengertilah kalau waktu bermainku dengannya tidak banyak tahun ini. Kami saling merindukan. Yaah... mungkin begitu,” aku meringis padanya.

“Oh ya... bersenang-senanglah!” sepertinya ia tambah sebal denganku.

“Rub… jangan marah begitu. Aku akan mentraktir kalian makan dan nonton lain kali. Oke?”

“Jangan cuma omong kosong! Aku pergi dulu. Rasanya sebal berada di sini dan melihat kalian berdua. Kalau aku ikut nimbrung pasti kalian mengacuhkanku,” ia tertawa sinis padaku lalu berlalu.

Aku setengah berteriak padanya, “Maaf, Rub!”

Ia hanya melambaikan tangannya dan pergi dari halaman rumah Evan.

Aku masuk ke dalam. Evan tengah berada di depan layar PC ketika aku masuk.

“Kau bertemu Ruby di luar? Apa ia sudah pergi?”

Aku mengangguk saat ia memandangku. “Dia sudah pergi dan ikut-ikutan marah padaku,” kataku sembari menghempaskan tubuh ke ranjang Evan yang super empuk, “Serius deh! Memangnya tidak bisa ya, tidak membatalkan janji mendadak di hari H seperti itu pada cewekmu?” aku ikutan kesal padanya, “Kasihan Ruby!”

“Aku lupa.”

Aku menimpuk kepalanya dengan bantal. “Lain kali jangan seperti itu.”

"Aduh!" Ia tertawa, “Punya cewek kadang merepotkan ya... Waktu berkumpulku dengan teman-teman, terutama denganmu, jadi berkurang. Banyak protes. Aku jadi jengah.”

Aku tertawa. “Mungkin kau benar.” Aku teringat seseorang. Si cantik yang manja itu. Yang susah benar untuk kujauhkan dari hari-hariku. Bukan karena aku tak mau, tapi aku tak tega menyakiti hatinya. Aku menghela nafas. Cewek memang merepotkan!

“Kau bawa The Witcher 3-nya?” suara Evan menghardik lamunanku.

Aku melambaikan dvd game itu di hadapannya. “Tentu saja. Aku tahu kau sudah berminggu-minggu menginginkan ini. Pantas saja kau selalu menungguku datang.”

Ia tertawa. “Kau memang yang paling mengerti aku.”

Aku tertawa. “Coba katakan itu pada Ruby sekarang!”

“Sudah pasti ia akan meledak!” sahutnya.

Kami tertawa bersama.

“Hei, tahu tidak?” katanya tiba-tiba sembari membaca sesuatu di layar komputer, “Musim gugur tahun ini akan dirilis Assassin’s Creed Syndicate!” katanya bersemangat.

“Serius? Assasin’s Creed Unity saja aku belum menyentuhnya!”

“Pasti bakal lebih menarik. Settingnya saja London abad 19!”

Setelahnya kami membahas game tentang Assasin melawan Knight Templar itu, kami mulai bermain The Witch 3 Wild Hunt. Permainan tentang penyihir melawan monster.

“Malam ini kenapa gerah sekali sih?” keluh Evan, “Apa karena kita terlalu banyak buang kalori untuk menyelesaikan tantangan ini?”

Tawaku meledak. “Tidak, idiot! Kau lupa ya, ini sudah masuk musim panas?”

Ia tertawa selayaknya orang bodoh. “Aku baru ingat ini sudah musim panas.”

Summer. Musim panas.

Kutepuk dahiku. Lupa. “Ya ampun! Aku lupa. Aku harus pergi sekarang.”

Evan terkejut. Protes. “Hei! Selesaikan dulu yang satu ini… ada apa sih?”

“Aku ada makan malam dengan keluargaku dan Summer.”

“Summer? Summer siapa? Gadis baru? Ya ampun! Roxie bagaimana?”

“Tidak sekarang, dude! Besok. Aku pergi dulu.”

Aku pun bergegas keluar dari sana. Tak ingin kena omelan bibiku. Kuinjak pedal kuat-kuat. Menuju rumah. Dan mendadak menjadi sangat penasaran dengan si mata bulat itu. Summer. Si dingin di musim panas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status