Share

Bab 4

“Saya terima lamaran Juragan Burhan." ucap Aisyah yang tiba-tiba sudah berdiri di ruang tamu.  

"Nah … jawaban ini yang saya mau, baik saya akan segera tentukan tanggal pernikahan antara kamu dan Akbar." jawab Burhan sambil tersenyum bahagia 

"Aisyah apa yang kamu katakan, Nak?" tanya Sari sambil menarik tangan Aisyah agar masuk ke dalam rumah.  

"Tidak apa-apa, Bu. Insya Allah Aisyah siap mendampingi Mas Akbar sampai kapanpun." jawab Aisyah sambil menoleh ke arah Sari. 

"Kalian lihat Putri kalian saja setuju dengan pernikahan ini, baik kalian tidak perlu menyiapkan apapun biar saya yang mempersiapkan segalanya." ucap Burhan sambil berjalan mendekati Aisyah. 

Setelah mendapat jawaban dari Aisyah, Burhan pun langsung pulang dengan penuh kebahagiaan. Sari dan Darso yang masih tidak percaya dengan jawaban Aisyah segera meminta sang putri untuk duduk di hadapannya. Darso paham betul apa yang dilakukan Aisyah semata untuk membebaskan kedua orang tuanya dari jeratan hutang yang selama ini melilitnya. 

"Aisyah, kenapa kamu menyetujui pernikahan ini? Bukankah Bapak sudah bilang akan meminta waktu kepada Pak Burhan untuk menyelesaikan semua hutang kita." tanya Darso yang duduk di hadapan sang putri.  

"Maafkan Aisyah, Pak." jawab Aisyah sambil menunduk dan mulai meneteskan air matanya.  

"Harusnya kamu biarkan dulu Bapak bicara dengan Pak Burhan. Sekarang apa yang harus kita lakukan, Pak?" tanya Sari kepada Darso yang terlihat lemas dengan jawaban yang diberikan Aisyah.  

"Sudah tidak ada lagi yang bisa kita lakukan, Aisyah sudah memberi jawaban. Lagipula Juragan Burhan juga tidak mau memberi kelonggaran waktu kepada kita." Jawab Darso sambil memandang Aisyah yang terlihat menangis. 

Waktu terus berlalu dengan cepat kini tiba saatnya Aisyah dan Akbar melangsungkan pernikahan. Pesta yang meriah telah disiapkan Burhan, pasar malam, berbagai pesta kesenian pun telah dipersiapkan dengan baik. Kedua mempelai yang duduk di pelaminan terlihat bahagia di hadapan para tamu. 

“Aisyah sekarang kamu sudah menjadi Istri dan menantu di keluarga kami, jadi mulai sekarang batasi dirimu untuk keluar rumah apalagi berkunjung ke rumah orang tuamu.” perintah Burhan sesaat setelah semua acara telah selesai. 

“Tapi, Juragan ….” belum juga Aisyah menyelesaikan perkataannya Ani langsung menimpali. 

“Eh, Perempuan penebus hutang! baru juga jadi menantu sudah mau melawan.” bentak Ani sambil bertolak pinggang. 

“Maaf, bukan begitu, Bu. Tapi saya ada kegiatan mengajar ngaji di mushola, jadi tidak mungkin bisa ditinggalkan begitu saja." jelas Aisyah sambil menunduk.  

"Kamu pikir saya peduli dengan alasanmu, kalau kami bilang tidak boleh ya tidak boleh!" bentak Burhan hingga membuat Aisyah tertunduk ketakutan. 

"Sudah sekarang kamu masuk ke kamar dan temui suamimu." perintah Ani sambil menarik tangan sang menantu dengan kasar.  

Perlahan Aisyah mulai masuk ke kamar sang suami, sebuah kamar yang terlihat remang-remang dengan aroma asap rokok yang begitu menyengat. Akbar memang tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalam kamarnya, walaupun itu para perias pengantin yang ingin menghias kamarnya. Aisyah yang masih berdiri di depan pintu terlihat gugup saat melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berdiri di hadapannya. 

"Masuk saja, kamu tidak perlu takut." terdengar suara serak dan berat keluar dari mulut Akbar.  

"Aku paling tidak suka dibantah, diatur, atau pun diperintah oleh siapapun termasuk kamu. Jadi jangan pernah berpikir kamu bisa melakukan segalanya setelah menjadi istriku." ucap Akbar sambil menoleh ke arah Aisyah.  

Tatapan tajam mata Akbar ternyata membuat Aisyah ketakutan. Sesaat Aisyah hanya bisa menunduk sambil menyembunyikan rasa ketakutan kepada laki-laki yang ada di hadapannya. Akbar yang memang tidak mencintai dan menganggap kehadiran Aisyah langsung berjalan keluar kamar. 

"Kamu mau kemana, Mas?" tanya Aisyah sambil berbalik ke arah Akbar. 

"Bukan urusanmu, jalani saja tugasmu sebagai seorang istri dan menantu yang baik." jawab Akbar tanpa menoleh ke arah sang istri.  

"Tapi, Mas. Bukankah malam ini adalah malam pengantin kita, bagaimana mungkin kamu meninggalkanku di malam pengantin kita," ucap Aisyah sambil sedikit ketakutan.  

"Aku sudah bilang jika aku tidak mau diatur dan dilarang oleh siapapun termasuk kamu. Asal kamu tahu aku tidak pernah mencintaimu, bagiku kamu hanya asisten rumah tangga dan istri penebus hutang orang tuamu saja." jelas Akbar sambil mendekat ke arah sang istri.  

Mendengar ucapan sang suami, air mata yang sejak tadi ditahan kini tidak mampu lagi dibendungnya. Ada rasa sakit hati atas apa yang didengarnya, harapan untuk mendapatkan malam pertama yang penuh cinta kini hanya menjadi mimpi. Tidak ada rasa belas kasihan dalam diri Akbar saat melihat air mata sang istri mulai jatuh.  

Malam ini Aisyah hanya bisa duduk seorang diri sambil menangisi pernikahan yang begitu menyakitkan baginya. Setelah puas menangis, Aisyah pun mulai menjalankan shalat di sepertiga malam, begitu banyak doa yang dipanjatkannya. Harapan akan perubahan sikap sang suami terus menjadi doa yang paling utama.  

"ya Allah, kenapa begitu banyak tisu bekas darah berserakan disini, sebenarnya apa yang dilakukan Mas Akbar selama ini." ucap Aisyah sambil menyapu beberapa tisu di lantai.  

Kamar Akbar memang tidak sama seperti kamar pada umumnya yang begitu rapi dan bersih. Selain kurangnya penerangan serta udara yang sangat pengap. Dikamar tersebut juga terdapat beberapa botol hisap, alat suntik dan beberapa bubuk obat yang tergeletak di lantai serta beberapa bungkus alat kontrasepsi bekas pakai. Sambil bershalawat Aisyah mulai memasukkan barang-barang itu ke dalam kantong plastik dan membuangnya ke dalam tong sampah yang terletak di sudut kamar.  

Rasa lelah yang begitu hebat telah membuatnya tertidur dengan begitu pulas. Hingga tanpa diketahuinya seseorang masuk ke dalam kamar yang memang sengaja tidak terkunci. Tangan kekar dan besar kini telah memeluk tubuhnya dengan erat cumbuan demi cumbuan pun dilakukan di sekitar leher Aisyah.  

"Siapa kamu!" teriak Aisyah sambil menyalakan lampu yang ada di dekat tempat tidurnya.  

"Bukankah kamu yang memintaku untuk melakukan tugasku sebagai suami? Sekarang lakukan tugasmu sebagai seorang istri untukku." ucap Akbar yang langsung menarik tangan Aisyah dengan kasar.  

Permainan panas dilakukan Akbar dengan kasar tanpa menghiraukan teriakan serta air mata sang istri. Cumbuan demi cumbuan dilakukan Akbar dengan sangat buas. Hingga membuat Aisyah berontak kesakitan, tidak ada kenikmatan dalam adegan ranjang yang dirasakan Aisyah malam itu.  

"Aisyah! Cepat bangun." teriak Ani sambil menggedor kamar Akbar.  

"Iya, Bu." jawab Aisyah dengan ketakutan.  

"Kamu pikir kamu majikan yang bisa bangun semaumu! Cepat siapkan sarapan untuk kami, dan jangan lupa kamu cuci baju yang ada di halaman belakang." bentak Ani sambil menyeret tangan Aisyah ke arah dapur.  

“Hei, Perempuan tolol sini kamu!” bentak seseorang sambil menarik  Aisyah yang sedang sibuk memasak.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status