Share

6. Pengakuan

"Rika," lirih Jevan.

Jevan segera berlari mengejar wanita yang mirip Rika itu. Karena, jarak yang belum terlalu jauh, sehingga memudahkan Jevan untuk segera sampai di dekat wanita itu. Jevan berhenti beberapa langkah dari lelaki yang mendorong kursi roda Rika. Lalu, leleki itu mencoba mengatur nafasnya terengah-engah.

"Rika?" sapa Jevan setelah berada di samping kursi roda Rika.

Rika terkejut dengan keberadaan Jevan. "Je-jevan?" Rika tidak menyangka akan bertemu kembali dengan Jevan. Dengan keadaan dirinya yang tengah berbadan dua.

Putra, lelaki yang sedari tadi mendorong kursi roda Rika, menghentikan jalannya.

"Siapa, dek?" tanya Putra penasaran. Pasalnya ia belum sekalipun pernah bertemu dengan Jevan. Dan Putra mengenal hampir semua teman semasa sekolah Rika. Mungkin teman kuliahnya, batin Putra.

"Temen kuliah aku, Kak."

"Hai, apa kabar, Jev?" Rika menyapa Jevan dengan nada canggung. Rika bingung harus bersikap bagaimana kepada temannya itu. Putra yang menatap gelagat aneh dari adiknya memincingkan mata. Lalu, Putra mendekatkan wajahnya ke telingan Rika. "Kenapa lo,dek? Dia mantan lo ya?" bisik Putra tepat di samping telinga Rika.

"Diem dulu deh, Kak." Rika memelototi kakaknya, namun Putra yang mendaptakan pelototan hanya cuek saja.

"Kabar gue baik, Ka. Emm, sebenernya ada yang mau gue omongin sama kamu, Ka." Jevan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia merasa bingung harus menjelaskan mulai dari mana.

"Boleh minta waktunya dulu, Rik?" Rika mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Jevan. 'Mungkin Jevan mau nanyain soal malam itu,' batinnya. Entah mengapa Rika merasakan atmosfer disekelilingnya terasa sangat canggung.

Saat ini mereka berdua sudah ada di taman. Tadi Rika sempat meminta kakaknya untuk pergi ke kantin membeli makanan karena Rika lapar, sebenarnya itu hanyalah alasan Rika agar bisa diberikan ruang untuk mengobrol berdua dengan Jevan. Rika duduk di kursi roda, sedangkan Jevan duduk di kursi taman dengan posisi berhadapan dengan Rika. Suasana taman yang sepi membuat Rika dan Jevan bisa lebih leluasa berbicara.

"Kamu mau ngomong apa, Jev?" Setelah keheningan yang cukup lama, akhirnya Rika membuka suara. Rika penasaran dengan apa yang akan dibicarakan Jevan.

Lelaki didepan Rika sedari tadi tak melepaskan tatapan matanya dari perut buncit Rika. Sejak bertemu Rika tadi, Jevan sangat ingin menyentuk perut itu. Ia ingin merasakan kehidupan yang ada di dalam perut itu.

"Kamu pergi kemana aja, Ka? Aku selama ini nyariin kamu." Jevan mengalihkan pandangannya dan beralih menatap Rika.

Rika mengerutkan alisnya. Untuk apa Jevan mencari dirinya. Apakah ia memiliki salah atau berhutang sesuatu dengan leleki itu?

"Kamu nyariin aku?" tanya Rika sambil menunjuk dirinya sendiri. Ada perlu apa, Jev, kmu nyariin aku? lanjutnya. Siapa yang tidak bingung, jika ada seorang teman yang mencarinya selama berbulan-bulan.

“Rika, aku mau jujur sama kamu. Sebenarnya..."

Jevan menjeda ucapannya.

"Rika, kamu udah nikah? Kenapa kamu hamil?" tanya Jevan tiba-tiba. Pertanyaan Jevan membuat Rika binggung dan kaget. Bahkan, mulut wanita itu terbuka lebar.

"Hah?"

"Aduh, gimana ya." Jevan lantas berdiri sambil menggaruk kepalanya. Inilah reflek milik Jevan ketika ia merasa bingung atau gugup.

"Jadi gini, Ka."

"Sebenarnya aku yang tidur sama kamu malam itu," ucap Jevan mencoba jujur dengan Rika. Mendengar ucapan dari Jevan membuat Rika membeku. Ia tidak bisa mencerna dengan baik ucapan dari lelaki itu.

'Maksud dia apa?' batinnya berkecamuk.

Bugh! Bugh!

Dua pukulan menghantam pipi Jevan. Membuat lelaki itu terhuyung. Putra, pelaku yang meninju Jevan, tengah mengatur nafasnya. Mata lelaki itu berkabut dengan amarah.

Tadi, setelah mendapatkan makanan pesanan sang adik, Putra buru-buru kembali ke taman dimana Rika berada. Entah megapa ia merasa tidak tenang meninggalkan Rika dengan leleki yang Rika kenalkan sebagai teman begitu saja.

Tetapi, sesampainya disana, ia mendengar ucapan Jevan yang mengaku sudah meniduri adiknya. Mendengar hal itu membuat amarahnya naik seketika. Tubuhnya dengan reflek maju dan melayangkan tinjuan e wajah lelaki itu.

"Bangsat!" umpatnya.

Putra kembali melayangkan pukulannya hingga membuat Jevan terkapar di rumput taman. "Jadi elo lelaki yang udah bikin adik gue hamil!"

"Kak udah, kak! teriak Rika. Ia yang sebelumnya melamun seakan tersadar dengan apa yang dilakukan kakaknya itu." Rika lantas berdiri dari kursi rodanya dan memeluk tubuh Putra dari belakang. Jika Putra dibiarkan begitu saja, bisa-bisa Jevan mati ditangan kakaknya itu.

Untungnya Rika tidak terdorong oleh lelaki itu. Berkat pelukan dari Rika, Putra mengehentikan pukulannya kepada Jevan. Nafas Putra terengah-engah seperti orang yang baru menyelesaikan marathon.

Sedangkan Jevan masih terlentang di atas tanah. Tubuhnya terasa remuk. Ada beberapa bagian wajahnya yang mengeluarkan darah sehingga ia bisa mencium bau anyir.

Jevan berusaha duduk dengan sekuat tenaga yang ia miliki. Dia kemudian merangkak mendekat dua kakak beradik itu. Bersimpuh dihadapan mereka dengan lutut sebagai tumpuannya. Kedua tangan lelaki itu menyatu, sebagai tanda permintaan maaf kepada Rika dan Putra.

"Maafkan aku, Rika. Maafkan aku," ucap Jevan dengan menatap Rika dengan memelas.

Melihat Jevan yang mendekati adiknya, membuat amarah Putra kembali tersulut. Namun, sebelum leleki itu kembali lepas kendali, Rika menggenggam erat tangan kakaknya yang ia genggam.

"Pliss, Kak. Udah. Jangan pukulin Jevan lagi," ucap Rika dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya. Rika tidak tega melihat wajah Jevan yang babak belur. Putra yang mendengar ucapan adiknya hanya bisa menghela nafas. Baiklah aku akan mengalah untuk saat ini, batinnya.

Rika kemudian berjalan kearah Jevan untuk membantunya berdiri. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Rika tidak lagi menyalahkan lelaki yang sudah membuatnya hamil. Karena, ia sadar bahwa semua itu terjadi juga karena campur tangannya yang terlalu ceroboh menerima tantangan dari temannya. Hanya saja ia takut tidak bisa menjadi orang tua yang baik jika sampai anak itu lahir.

"Berdiri, Jev," pinta Rika yang dituruti oleh Jevan. Lelaki itu kemudian berdiri dengan susah payah karena perutnya terasa sedikit sakit. Putra yang masih berdiri dibelakang Rika tengah mengamati gerak-gerik lelaki itu.

"Rika, aku mohon maaf. Aku janji bakalan tanggungjawab atas perbuatanku. Aku bakalan lakuin apapun untuk menebus semua kesalahanku," ucap Jevan dengan sungguh-sungguh.

Putra kembali mendekat kearah Rika. Kemudian, ia berdiri di depan adiknya, seperti membentengi Jevan agar tidak bisa mendekati adiknya itu.

"Nggak perlu! Rika udah punya gue. Gue bisa kasih apapun buat Rika. Dan elo jangan sekalipun coba-coba deketin adik gue ataupun keponakan gue. Lo nggak dibutuhkan di sini!" Putra sudah terlanjur membenci lelaki itu. Ia akan berusaha menjauhkan adiknya dan keponakannya dari Jevan bagaimanapun caranya.

"Kak, jangan mulai lagi," ucap Rika dari belakang punggung Putra. Ia takut kalau sampai Putra mengamuk lagi.

Putra tidak mendengarkan ucapan adiknya itu. Ia lantas membawa pergi adiknya begitu saja. Namun, belum sempat mereka melangkah jauh, Rika terlihat merintik kesakitan. Wanita itu memegang bawah perutnya yang terasa sangat sakit seperti dipelintir dari dalam.

Argh, sakit, Rintihnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status