Share

2. Anak siap itu?

Waktu begitu cepat berlalu. Sudah dua bulan setelah kejadian malam itu, malam yang membuat Risa kehilangan keperawanannya.

Selama dua bulan ini, Rika mencoba menjauh dari teman-temannya. Ia memblokir semua kontak teman semasa kuliahnya. Alasannya, karena ia malu dan takut jika teman-temannya menanyakan kejadian malam itu. Ia akan merasa kebingungan untuk menjelaskan.

Pagi ini seperti biasanya, Rika akan ikut ayahnya untuk bekerja di pabrik konfeksi milik ayahnya. Sebetulnya, Rika tidak bekerja seperti karyawan biasa. Melainkan saat ini Rika tengah belajar untuk mengurus pabrik itu.

Sebagai anak terakhir, Rika diberikan tanggungjawab oleh ayahnya untuk melanjutkan pabrik itu.

"Selamat pagi, ibu," sapa Rika sambil memberikan kecupan hangat pada pipi kiri ibunya yang tengah duduk di kursi meja makan.

"Ibu sudah menunggu kamu sama ayah kamu dari tadi. Kenapa lama banget, sih. Ini juga kemana ayah kamu? Coba aku panggil ayah kamu di kamar!" ucap Mawar, ibu Rika, dengan nada kesal. Bagaimana tidak, ia sudah menunggu anak dan suaminya sejak lima belas menit yang lalu. Ia juga sudah memanggil kedua orang itu namun tak kunjung datang.

"Iya, ibu. Maaf. Aku panggil ayah sekarang," jawab Rika. Belum sempat Rika melangkah, ayahnya sudah menari kursi di meja makan itu.

"Ngapain aja sih, mas? Lama banget!"

"Hoek. Hoek. Ayah pake parfum apa sih? Baunya nggak enak banget," ucap Rika sambil menutup hidungnya. Perempuan itu lantas berlari menunju kamar mandi dekat dapur.

Rika berusaha mengeluarkan semua isi perutnya, namun yang keluar hanyalah cairan berwarna kuning. Lidahnya sudah sangat terasa pahit, tetapi perutnya masih saja merasa ingin muntah.

Keringat sudah bercucuran di wajahnya. Tubuhnya terasa begitu lemas.

Setelah merasa perutnya lebih baik, Rika keluar dari kamar mandi. Ia tidak ingin pingsan di tempat itu.

Ceklek!

"Kamu kenapa sayang?" tanya Mawar khawatir melihat wajah anaknya yang sudah pucat pasi.

"Nggak papa kok, buk. Paling cuma masuk angin aja," jawab Rika dengan nada lemas. Mawar menuntun anaknya untuk kembali duduk di kursi meja makan.

"Ini buk, minyak anginnya." Heri, ayah Rika, muncul dengan membawa sebotol minyak angin.

Rika yang mencium bau aneh dari ayahnya, kembali ingin muntah. "Hoek, hoek. Ayah jangan deket-deket!" Rika kembali berlari ke kamar mandi.

"Emang aku bau ya, yang?" tanya Heri kepada istrinya, sambil mencium kedua keteknya.

Bruk!

"Rika, yah." Sepasang suami-istri itu itu bergegas menuju ke kamar mandi. Dan benar saja, Rika sudah tergeletak di depan pintu kamar mandi.

"Ya Tuhan, Rika!" pekik Mawar melihat anaknya yang tidak sadarkan diri.

"Mas, ayok cepet bawa Rika ke rumah sakit," ucap Mawar panik, apalagi ia melihat setitik darah keluar dari kepala Rika yang terbentur pintu kamar mandi.

***

"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" tanya Mawar sesaat setelah dokter keluar dari ruang pemeriksaan.

Dokter lelaki itu tersenyum, lantas menjawab, "anak ibu keadaannya sudah baik-baik saja. Luka di kepalanya sudah kami berikan jahitan. sedangkan, untuk janin yang ada di dalam kandungan anak ibu, saya akan memberikan rujukan untuk mengeceknya di dokter kandungan," terang dokter itu.

"Janin?" ucap Mawar dan Heri secar bersamaan. Mereka belum bisa mencerna dengan baik apa yang dikatakan dokter itu.

"Maksud dokter, anak saya hamil?" tanya Heri.

"Iya, pak. Betul anak anda sedang mengandung."

"Kalau begitu saya permisi dulu," kata dokter itu sebelum meninggalkan Mawar dan Heri yang masih kaget dengan fakta yang baru saja mereka dengar.

"Jadi anak kita hamil bu?" tanya Heri dengan nada dingin. Wajah lelaki itu sudah menampakkan amarah.

"Sabar dulu, yah. Kita cek dulu kebenarannya ke dokter kandungan. Bisa aja dokter tadi salah." Mawar mencoba menenangkan suaminya. Ia masih denial dengan apa yang dikatakan dokter tadi.

***

"Bagaimana dok hasilnya?" tanya Mawar kepada seorang dokter wanita yang tengah menempelkan transduser ke perut Rika yang masih belum sadarkan diri.

"Bisa kita lihat bapak ibu, disini ada dua kantung kehamilan yang bisa diartikan anak ibu tengah mengandung. Usai kandungannya sekitar 8 minggu."

"Keadaannya cukup sehat, bu. Nanti, saya akan resep kan vitamin untuk membuat janinnya semakin sehat," jelas dokter itu sambil tersenyum ke arah Mawar.

"Tolong cetak hasil USG nya, dokter," kata Heri yang akhirnya buka suara. Lelaki itu hanya diam saja sejak mendengar kabar kehamilan Rika.

Saat ini Rika sudah dipindahkan ke ruangan. Wanita itu belum juga sadarkan diri.

Sedangkan, dua orang tua itu tengah duduk di sofa sambil menatap anaknya dengan pandangan kecewa. Mereka merasa telah gagal mendidik anak bungsunya itu. Mereka tidak menyangka anak yang terlihat begitu baik di rumah, ternyata begitu liar di luar rumah.

"Eugh," lenguhan Rika menarik atensi dari kedua orang tuanya.

"Ssst, Aku kenapa bu yah?" tanya Rika sambil mendesis karena merasa sakit di kepalanya. Perempuan itu kemudian mencoba untuk duduk.

Melihat anaknya yang sudah sadar, Heri bergegas berdiri.

"Katakan siapa ayah dari bayi yang ada di perut kamu!"

Heri sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi. Ia melempar hasil USG tadi ke muka Rika. Rika yang di tanya seperti itu merasa kebingungan.

"Ma-maksud ayah apa? Rika nggak tahu."

"Nggak tahu katamu! Kamu hamil anak siapa Rika?! Apa pertanyaan ayah kurang jelas?!" Heri mengulangi pertanyaannya dengan nada marah.

Melihat anaknya yang hanya diam saja membuat amarah Heri semakin memuncak. "Cepat katakan! Siapa ayah dari bayi itu! Katakan Rika sebelum kesabaran ayah habis!"

Rika hanya bisa menundukkan kepalanya, merasa takut dengan ayahnya. "Ma-maafin Rika ayah," ucap Rika yang mulai meneteskan air mata.

"Ayah nggak butuh permintaan maaf kamu. Ayah cuma butuh ayah dari anak itu."

Rika hanya bisa menggeleng. Ia sendiri tidak tahun siapa lelaki yang sudah menanamkan benih pada dirinya.

"Aku nggak tahu, yah," lirih Rika yang semakin memancing amarah Heri.

"Apa katamu?! Tidak tahu? Dasar pelacur! Berapa lelaki yang sudah kamu ajak tidur? Hah?" teriak Heri sambil mencengkeram dagu Rika. Ia sudah tidak bisa mengontrol emosinya.

Mawar yang sedari tadi hanya diam dan menangis, kini mencoba untuk menenangkan Heri. "Sabar, yah. Bagaimanapun juga Rika anak kita. Jangan main tangan ke dia, yah." Mawar memeluk tubuh suaminya dari belakang, sekaligus menarik lelaki itu untuk menjauh dari Rika.

"Dengar Rika! Saya tidak mengijinkan kamu pulang sebelum membawa ayah dari bayi itu!" ujar Heri.

"Ayo kita pulang. Jangan coba-coba untuk bertemu anak itu," ucap Heri kepada istrinya. Heri menarik Mawar untuk pulang.

"Mas kasihan Rika, mas," ucap Mawar sambil terisak. Ia tidak tega meninggalkan anaknya sendirian. Namun ia juga tidak bisa melawan kekuatan sangat suami.

Kini hanya tinggal Rika sendirian. Wanita itu menangis tergugu.

"Kamu anak siapa, sialan?" ucap Rika sambil memukuli perutnya. Ia benci anak itu. Tapi ia lebih membenci dirinya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status