Angin berembus lumayan kencang di luar sana, dari balik jendela kaca, Damar mengamati ranting-ranting pohon saling bergesekan dan menggugurkan bebungaannya.
Lelaki bercambang yang selalu dicukur bersih itu menoleh ke belakang, mengamati Alma yang sejak kepulangan mereka dari jalan-jalan sore tadi tertidur pulas di ranjangnya.
Alma berjanji hanya akan tidur 30 menit saja, tetapi sampai jam 10 malam begini Alma masih susah dibangunkan. Damar mulai gelisah, ia tak ingin Alma menginap di flatnya jika hanya berduaan saja seperti ini.
Perlahan Damar menuju ranjangnya, ia menyugar rambutnya dengan resah, lalu mencoba membangunkan Alma sekali lagi. “Al, pulang udah malem.” Damar mengusap-usap pelan pundak Alma yang tersembunyi di balik selimut.
“Gak mau….” Alma menggulung dirinya di dalam selimut, masih dengan mata terpejam.
“Al—“
“Kenapa sih, gak akan ada tetangga yang negur aku tidur bareng kamu kok….” Satu tangan Alma terjulur dari balik selimut, meraih tengkuk kekasihnya hingga mendekat ke wajahnya.
Beberapa saat Damar menatap mata sayu kekasihnya yang selalu membuatnya merindu, sembari menahan desiran aneh dalam dadanya.
Sedangkan Alma pura-pura tak acuh dengan kembali tertidur padahal hatinya tersenyum penuh kemenangan, mengetahui kekasihnya cemas dengan wajah merona kemerahan saat digoda seperti ini.
“Diri aku sendiri yang akan negur, Al.” Suara Damar terdengar tegang, sembari menarik diri untuk menjauh.
“Cuma tidur bareng gak ngapa-ngapain kok. Janji, aku gak bakal nakal sama kamu,” rajuk Alma dengan suara parau. Akhirnya ia memunggungi Damar.
“Alma….”
Alma tak menyahut justru dengkuran halus yang terdengar dari Alma. Gadis itu terlelap kembali.
Damar mengurut keningnya, Alma memang sudah tidur sejak tadi jam sembilan, ia membiarkan agar lelah sang kekasih sedikit hilang baru nanti diantar pulang, tetapi nyatanya Alma sudah terlanjur lengket di kasur dan selimut milik Damar.
Damar pun beralih ke meja belajar, melanjutkan laporan makalahnya. Hingga tak terasa saat ia melirik jam dinding, tiba tengah malam. Dirinya pun sudah merasa lelah dan mengantuk, tapi sungkan untuk tidur di sisi Alma.
Satu jam lagi ia bertahan duduk di meja belajar, mengerjakan sisa tugas kuliahnya.
Namun tiba-tiba Alma yang tengah terpejam menjerit histeris, membutanya terperanjat kaget.
“Aaa!”
Damar melompat kaget menuju ranjang, merengkuh kekasihnya yang bercucuran keringat dingin, “Alma.” Damar mengguncang bahu kekasihnnya.
“Argh…” Suara lirih Alam terdengar lebih seperti erangan kesakitan.
"Alma, wake up!"
“Alma, bangun.” Panik Damar mengguncang bahu dan menepuk-nepuk pelan pipi perempuannya.
Alma berhasil membuka matanya, seolah baru saja menyibak tirai mimpi buruk lantas terperanjat bangun merengkuh Damar. Napasnya tersengal dan tersedu-sedu tanpa air mata. “Aku takut, takut, ayo lari!” Ternyata Alma masih belum tersadar sepenuhnya.
Melihat kondisi Alma yang kacau membuat pendirian Damar runtuh, ia pun akhirnya membalas pelukan Alma dengan lebih erat. “Tenang, kamu aman sama aku, aku Damarmu, penerangmu Alma.”
Alma pun perlahan tersadar, sedu sedannya berangsur hilang. Ia melepas pelukannya dari tubuh kekar sang kekasih. Sepintas ia menatap wajah oval berkulit sawo matang milik Damar dengan mata sayu.
Jengah di pandangi Alma cukup lama, Damar mengalihkan perhatian dengan mengambil segelas air minum yang biasa ia sediakan di sisi tempat tidur.
“Minum.” Damar mengangsurkan segelas air minum kepada Alma.
Alma meminum air itu, tapi ekor matanya melirik Damar yang masih merangkul bahunya. Dalam hati ia bersorak senang, rencananya sebentar lagi berhasil.
Damar balas menatap ketika merasa Alma mengamatinya, “sudah minumnya?”
Alma sedikit tergagap saat pandangan mereka bertemu dan buru-buru menyerahkan gelas dari tangannya ke Damar.
“Ayo tidur,” ujar Alma sembari menarik tangan Damar, tatapannya yang lemah begitu merayu dan memelas. “Aku takut mimpi buruk lagi.” Membuat Damar tak tega untuk menepis dengan halus seperti biasanya, apalagi menyuruhnya pulang tengah malam begini dan membiarkannya tidur sendirian di flat.
Awalnya dengan perasaan ragu Damar ikut berbaring di sisi Alma. Genggaman gadis itu masih erat meski matanya telah terpejam, sesaaat Damar masih terjaga. Ia teliti setiap inchi wajah perempuan berambut separuh pirang itu. Penampilannya memang suka nyentrik, tetapi ketika melihatnya bermimpi buruk dan ketakutan membuatnya terlihat seperti anak kecil yang amat haus kasih sayang. Damar perlahan mengusap-usap kepala Alma dengan lembut. Penuh kasih.
Setelah yakin Alma tertidur pulas, Damar memutuskan untuk tidur membelakanginya.
Alma yang merasakan pergerakan Damar pun ikut menggeser tubuhnya semakin dekat dengan Damar dan memeluk dari belakang.
Seketika Damar tercekat, desiran aneh itu datang lagi, saat jemari halus nan lentik kekasihnya menyentuh pinggang kekarnya. Ia berusaha memindahkan tangan itu, tetapi Alma kembali merintih, membuat Damar urung melakukannya dan merasa iba.
Malam terus beranjak semakin matang. Namun bagai menghitung detik, malam terasa lebih panjang dan Damar tak kunjung bisa terpejam. Rasa gelisah yang tak ia pahami menyelimuti dirinya akibat terpaan hangat napas Alma yang mengenai punggungnya yang hanya terbalut kaus tipis.
Merasa furstasi Damar memaksa untuk terpejam, meski telinganya masih bisa menyimak suara detik jarum jam dan tiba-tiba indra perasa di kulit bibirnya merasakan ada sesuatu yang mendarat. Hangat, lembut dan manis.
Sejenak Damar mengerutkan dahinya, menebak-nebak apa yang terjadi. Sampai hal itu ia rasakan kedua kalinya, dengan sensasi lebih hangat dan lebih intim. Ia kira itu mimpi.
Dan awalnya ia berusaha menolak, tetapi lama-lama berubah pasif mendapat perlakuan itu hingga akhirnya ia berusaha membalas balutan kehangatan di bibirnya dengan sebuah isapan.
Tidak, Damar yang belum terlelap sepenuhnya berusaha untuk sadar.
Ia terbelalak mendapati Alma dengan terpejam tengah melumat indra pengecapnya, spontan ia mendorong Alma menjuah.
“Kamu menikmatinya, Damar.” Alma berkata lirih. Menatap lembut. Bibirnya yang ranum tampak basah, sepintas mampu memperdaya Damar.
Damar mengerjap-ngerjap, berusaha berpikir jernih. “Stop sampai di sini Alma, dan tidurlah.”
“Damar, aku butuh merasa benar-benar ditemani.”
“Bukankah aku sudah benar-benar menemanimu Alma?” Elaknya yang mulai merasa jatuh ke jurang yang Alma ciptakan.
“Belum, jika tidak ada kehangatan diantara kita.”
“Gak Alma, aku gak mau terlalu jauh. Aku gak mau kamu hamil!”
“Gak akan hanil. Ayolah Damar, bantu aku menepis mimpi buruk itu malam ini saja, kehangantanmu membuatku merasa lebih baik dan mampu menghalau bayang-bayang buruk itu.” Alma berusaha kembali meraih pinggang sang kekasih.
“Tolong lepaskan Alma.” Lirih Damar memohon, lebih memohon kepada dirinya sendiri yang semakin terhanyut belain kekasihnya.
Alma tak banyak bicara terus berusaha menawarkan pelukannya. Damar masih terlalu canggung untuk itu berusaha menolak, meski penolakannya kalah akan usaha Alma meluluhkannya.
Hingga hal yang paling intim terjadi. Pertama seumur hidup bagi keduanya, membuat isi kepala Damar berantakan tak keruan sampai ia lupa telah mengeluarkan benihnya di rahim Alma tanpa kontrasepsi apapun.
Pagi musim semi yang hangat dan cerah, sangat kontras dengan raut wajah Damar. Ia bangun lebih awal dari Alma. dengan perasaan tak keruan mengingat kejadian semalam, meski ia tidak dapat mengelak bahwa sensasi semalam begitu memabukkan. Lelaki berusia 26 tahun itu berlalu menuju kamar mandi, berniat mendinginkan kepala yang candu sekaligus merasa bersalah.Di kamar mandi, Damar mengguyur kepalanya yang terus mengulang bayang-bayang pergumulan semalam. Ia tak menyangka dirinya yang selalu berusaha menjaga jarak dengan Alma bisa luluh dalam satu kecupan bibir. Kevmana Damar yang teguh pendirian selama ini? Ataukah memang ia menikmatinya?Damar meremas rambutnya kesal dan frustrasi, kecemasan lain tiba-tiba menyusup, bagaimana jika Alma hamil? Haruskah menikah? Modal apa? Statusnya saja masih pascasarjana dengan beasiswa. Lelaki berhidung bangir itu terus meremehkan dirinya sendiri.Selesai mandi pikirannya masih berantakan, ta
Sampai di depan mobil, sopir bergaya eksekutif muda itu meletakkan koper di bagasi sedangkan Alma menunggunya membukakan pintu. Namun lelaki itu justru langsung masuk ke mobil di belakang kemudi.Alma dibuat melongo keheranan, dengan kesal ia mengetuk keras-keras pintu kaca mobil. “Majikan itu dibukain pintu!”Sopir itu justru menautkan kedua alisnya yang tebal dan dengan tak acuhnya ia menyalakan mesin mobil.Alma sudah tidak sabar lagi, ia pun membuka pintu, masuk, lalu membanting pintunya hingga berdebam.“Nama kamu siapa, sih?”“Yogi,” jawab sopir itu sambil sibuk mengenakan sabuk pengaman, sama sekali tidak menunjukkan keramahan.“Sopir gak ada akhlak ya, memperkenalkan diri enggak, ngaku-ngaku jadi calon suami, gak bukain pintu, iishhh aww!”Mobil melaju tanpa Alma sempat memasang seatbelt, mengakibatkan dirinya hampir terpental dari tempat
Sampai di depan gerbang rumah mewah beraksitektur klasik milik keluarga Pramusito, Alma baru teringat jika ia harus membeli pil kontrasepsi darurat.“Ayah ...,” panggil Alma dengan suara manjanya sembari melirik takut-takut pada ayahnya.“Ya?” Pramusito menoleh sejenak lalu kembali fokus pada kemudinya.“Aku mau beli vitamin ke apotik, puter balik, dong.” Alma memiringkan tubuh menghadap ayahnya.“Di rumah ada, Alma, Ayah sebentar lagi ada meeting.”Alma mengerucutkan bibirnya. Sampai keluar mobil pun raut wajahnya masih sama, bahkan ketika ia disambut Andini, Rudi dan kedua kakak iparnya, ia masih memberut manja.“Alma kenapa sih, Ayah, pulang-pulang cembetut gini?” Andini menanyai ayahnya yang sedang berjalan masuk ke rumah.“Minta beli vitamin.”“Nanti Mas anter ke apotek, se
Sore hari sepulang dari kantor, Alma segera meminum obat maag yang disediakan bibik Wiji di kamarnya. Seharian di kantor dengan seabrek pekerjaan membuat mood dan kondisi fisiknya terasa semakin drop, bahkan ia pun tak sanggup menghabiskan makan siang dan makan malamnya karena mual yang terus mendera.Sejanak ia pun memutuskan untuk berbaring. Namun sebuah panggilan dari Damar masuk ke ponselnya, membuatnya urung berbaring. Ia pun dengan semangat beranjak duduk lalu menekan ikon berwarna hijau, menerima panggilan.Setelah berbasa-basi seperti biasanya, Damar kembali rusuh mengenai pil kontrasepsi itu. Alma menghela napas panjang."Udah...." Alma melirik pil kontrasepsi di tangan, ia berbohong pada Damar bahwa telah meminumnya. Namun, ternyata, sudah lewat 48 jam semenjak mereka bercinta, pil tersebut belum juga menyentuh rahimnya.Seketika Alma terbelalak, ia baru menyadari sedari tadi merasa mual. Benarkah itu akibat maag at
Rudi ngeloyor masuk, baru beberapa langkah Alma mencegatnya. "Stop, stop, sini gaunnya!" Jemari Alma merebut dress dari genggaman Rudi. Membuat Rudi mendesis kesal lalu balik kanan. Keluar kamar. Alma pun mengembuskan napas lega. Namun ia kembali cemas kala melihat bercak darah di roknya, lalu beralih melihat dress berwarna pink salem pemberian sang ayah. Kecemasannya semakin meningkat, takut kalau-kalau perdarahannya menodai dress itu saat dikenakan. Tak mau berlama-lama overthinking Alma segera berlari ke kamar mandi. Disela-sela ia mengganti pakaian baru terpikirkan. calon mertua? itu artinya ayah sungguhan menjodohkanku? Alma menghentak-hentakkan kakinya dengan perasaan kesal, ayah egois, aku harus batalkan perjodohan ini, tapi gimana caranya? Batinnya resah. Selain soal perjodohan, bertumpuk-tumpuk pula pertanyaan dalam pikirannya. Ini pendarahan karena menstruasi atau keguguran? Selesai membersihkan diri dan mengenakan dr
Bibi Wiji datang, mengabarkan bahwa menu sarapan telah selesai dihidangkan. Pramusito pun mempersilakan ketiga tamunya turut sarapan bersama.Ayam lada, udang pedas manis, sayur capcai dan berbagai lauk pauk terhidang. Tampak liukan uap hangat dari piring-piring saji. Aroma lezat menggoda tiap hidung di tepian meja. Alma yang paling semangat menyambut prosesi sarapan, ia ambil semua lauk-pauk di meja, memicu senyum jenaka Yogi."Alma, santai dong, diliat calon suami tuh." Andini menyikut siku Alma. suaranya yang cukup keras mengalihkan perhatian semua orang di meja makan, membuat Alma salah tingkah. Muncul semburat kemerahan di wajahnya, malu.Yogi pun begitu, tampak salah tingkah lalu buru-buru tertunduk. Dalam hatinya memang mengakui, Alma tampak lebih kalem dengan tampilan lebih flawles dari tempo hari membuatnya begitu menarik."Selamat menikmati." Pramusito menyuap makanan pertamanya, mengalihkan suasana.Satu per satu
"Kamu cantik banget Alma malam ini." Damar tersenyum tipis mengisyaratkan sesuatu yang tak Alma mengerti.Alma mengeryit, menelisik tiap inchi wajah kekasihnya. Ia mendapati mata lelaki itu sesekali curi pandang ke arah dadanya yang terekspos. Memang ia baru pulang dari kantor dan seketika Damar mengajaknya melakukan panggilan Video, tanpa sempat Alma mengganti baju tanpa lengannya yang bekerung leher V yang tadi ia balut dengan blezer nude."Aku kangen kamu, kangen kita...." Suara damar menghilang seraya tangannya mengusap-usap wajahnya frustasi."Kangen?" Alma merasa ada hal lebih yang Damar rindukan, terlihat dari tatapannya yang begitu dalam. Bahkan ia merasa ganjil mendengar Damar mengatakan 'kangen' karena itu bukan kebiasaannya.Lagi, Damar mengusap-usap wajahnya dengan kasar. “Aku lagi banyak pikiran aja, jadi ngawur ngomongnya, sorry.”"Oke besok aku terbang ke Jerman, ya?""Ga perlu, mending kamu
"Sebentar aku beli tespeck." Damar bergegas pergi. “Sama obat masuk angin, tunggu.” “Gak perlu Damar. Nanti aku bakal sembuh dengan sendirinya....” Alma tak dapat mencegah Damar yang telah bergegas keluar dari flatnya. Akhirnya ia hanya bisa pasrah sekaligus cemas menunggu Damar pulang. Seperempat jam menunggu, akhirnya pintu flat terdorong dari luar. Suara deritnya mengagetkan Alma. Ia langsung menghampiri Damar seraya memohon dengan bergelayut di lengan Damar, “gak usah tes ya, aku yakin gak hamil, kok.” Damar tetap pada pendiriannya, “Cuma tes Alma, untuk meyakinkan aja.” Lalu menuntun Alma menuju kamar mandi. Mau tak mau Alma pun masuk ke kamar mandi. Hingga Detik-detik mendebarkan tiba, Alma menatap lurus tespeck yang baru saja ia angkat dari pump berisi air seni. Hormon HCL mulai terdeteksi, dengan adanya warna merah yang muncul dari bagian steril tespeck. Awalnya membentuk satu garis merah, Alma menghela napas lega, tetapi b