Share

Kontrasepsi Darurat

Sampai di depan mobil, sopir bergaya eksekutif muda itu meletakkan koper di bagasi sedangkan Alma menunggunya membukakan pintu. Namun lelaki itu justru langsung masuk ke mobil di belakang kemudi. 

Alma dibuat melongo keheranan, dengan kesal ia mengetuk keras-keras pintu kaca mobil. “Majikan itu dibukain pintu!” 

Sopir itu justru menautkan kedua alisnya yang tebal dan dengan tak acuhnya ia menyalakan mesin mobil. 

Alma sudah tidak sabar lagi, ia pun membuka pintu, masuk, lalu membanting pintunya hingga berdebam. 

“Nama kamu siapa, sih?” 

“Yogi,” jawab sopir itu sambil sibuk mengenakan sabuk pengaman, sama sekali tidak menunjukkan keramahan.

 “Sopir gak ada akhlak ya, memperkenalkan diri enggak, ngaku-ngaku jadi calon suami, gak bukain pintu, iishhh aww!” 

Mobil melaju tanpa Alma sempat memasang seatbelt, mengakibatkan dirinya hampir terpental dari tempat duduk. 

Kali ini Alma benar-benar marah, hingga kehilangan nafsu mengomelnya. Suasana kabin mobil pun hening, hanya deru mesin yang terdengar pelan serta aroma parfum Yogi yang terus menguasai penciuman Alma. Sampai-sampai gadis itu harus memencet hidungnya agar tidak terkontaminasi parfum maskulin dengan aroma leather itu meski lambat laun ia justru mulai nyaman dengan aromanya yang menyegarkan dan menenangkan. 

Mobil yang ditumpangi Alma terus membelah jalanan kota Surabaya yang padat di jam makan siang seperti ini. 

 “Eh, ini bukan jalan ke rumah Pak supir!” seru Alma panik. Setelah menyadari arah jalannya bukan menuju rumahnya. 

Lelaki di sisinya bergeming, tetap fokus pada jalanan di depan. Seolah tidak menganggap kehadiran Alma di sisinya. 

Ia meraih ponsel di tas jinjingnya, menelpon seseorang. “Mas Rudi, kenapa bukan mas aja sih yang jemput aku?” rengeknya kesal.

“Mas sih niatnya gitu tapi kata ayah udah ada yang jemput.”

“Tau gak Mas? Ini sopir baru belagu banget sih, aku mau pulang malah dibawa entah ke mana!” 

 “Ssstt, dia bukan sopir Alma, udah kamu tenang dulu nanti kami bakal tau, ini semua kemauan ayah.” Rudi kakak tertua Alma Pramusito berusaha menenangkan adik bungsunya.

Alma mendengkus kesal, mematikan sambungan telepon, lantas menghempaskan punggungnya ke jok mobil.

Beberapa saat terdiam gadis itu baru teringat belum mengabari Damar. Ia buka kolom chat dan menyapa kekasihnya itu yang segera mendapatkan balasan dari Damar. 

'Jangan lupa minum pil kontrasepsi darurat.’ Sebuah pesan pendek yang seketika mengubah mood Alma yang semula mulai membaik menjadi buruk lagi. 

Gadis bermata almond itu pun menatap nanar ke arah perutnya, refleks tangannya mengelus benih-benih Damar yang tertanam di sana. Ada rasa tak tega meluruhkan calon jabang bayi itu, meskipun ia belum tahu betul apakah terjadi pembuahan atau tidak. 

Notifikasi muncul lagi di ponsel Alma, dari Damar yang begitu memohon-mohon agar Alma menyetujuinya. Meskipun Alma belum menolak ide tersebut tetapi dirinya masih diliputi keraguan. 

“Aku mau mampir ke apotek!” tukas Alma akhirnya, pada Yogi. 

“Nanti,” ujar Yogi serius. 

Alma mendengkus kesal, “Sopir tukang ngatur!” gerutunya. 

*** 

 “Bangun.” Yogi mengguncang pelan bahu Alma. 

Alma mengerjap-ngerjap, merengek sebal, merasa terganggu. Ternyata tanpa sadar ia terlelap selama perjalanan tadi. 

“Turun!” tukas Yogi sambil berjalan meninggalkan Alma. 

Alma seketika membelalak kepada Yogi. “Supir bawel!” Sembari meraih pounch make up-nya, Alma menggerutu, “sana turun duluan, aku mau touch up !” 

Yogi terus berjalan tanpa memedulikan gadis itu. 

 “Awas aja, nanti aku pecat dia di depan ayah!” gerutu Alma sembari menaburkan cusshion di wajah putihnya. 

“Sopir belagu!” Alma melirik Yogi yang telah berdiri di ambang pintu restauran, sebelum membubuhkan maskara. “Ngeselin!” 

Jetlag dan jalanan Surabaya yang padat merayap membuatnya makin kelelahan, dan make up lah penolongnya agar tetap tampil segar. Setelah merasa cukup touch up ia pun turun dari mobil. Berjalan mendahului Yogi yang masih berdiri di ambang pintu menungguinya. 

Pintu kaca gedung megah itu terbuka otomatis, menampakkan isinya yang ternyata adalah meeting room sekaligus restauran bintang lima.

Tak jauh dari pintu masuk Alma langsung mendapati ayahnya sedang duduk bersama seorang perempuan dan seorang lelaki sesuai ayahnya.

 “Ayah! Aku capek—“ protes Alma seketika sampai di dekat ayahnya. 

“Duduk.” Perintah Pramusito memotong protes putri bungsunya yang langsung disambut wajah cemberut Alma. Namun dengan enggan akhirnya Alma duduk diikuti Yogi. 

Alma mengernyit. “Sopir, ngapain duduk di situ!” 

Yogi sedikit tersentak, tapi wajahnya kembali berubah netral dan dingin, seolah-olah gerutuan Alma sedari tadi tidak mempengaruhi emosinya. 

“Haha.” Tawa pecah dari kolega ayahnya Alma, mengalihkan perhatian Alma, membuatnya semakin keheranan. 

“Maafkan putriku Arlan—“ Pramusito menghela napas berat, menahan malu akan ucapan Alma. 

“Tidak apa-apa, justru maafkan anakku Yogi, dia tidak berhasil mengajak Alma kenalan dengan baik, haha, jadi wajar saja putrimu mengira anakku sebagai sopir suruhanmu.” 

Yogi hanya mengusap tengkuknya, salah tingkah.  Namun sesaat kemudian wajahnya kembali tampak kaku seperti sedia kala. 

Sedangkan Alma dengan muka memerah tertunduk malu, “emm, Ayah, Alma pulang, ya? Jatlag, butuh istirahat, nih,” dalihnya agar bisa kabur dari situasi menyebalkan itu. 

Ayahnya hanya melempar tatapan tegas. Tidak memberi izin. 

“Tidak apa-apa wajar pertama kali bertemu memang malu-malu, Pram.” Arlan menengahi.

“Benar Arlan, tapi setidaknya putriku bisa bersikap lebih sopan lagi, aku sungguh merasa bersalah.” 

“Tidak apa-apa Pak Pram, justru ini bisa jadi secuil cerita menggemaskan untuk anak cucu mereka nantinya.” Nyoya Arlan, ibu dari Yogi menyahut dengan begitu ramah. Namun perkataanya barusan bagai petir di siang bolong bagi Alma, ia lantas mendongak, menatap wajah perempuan paruh baya yang masih cantik berkat perawatan di klinik kecantikan mahal itu, meminta penjelasan. “Oh iya, Alma, kenalkan, ini Yogi, putra kami, dia memang kadang sedikit kaku, tapi tadi dia baik kan sama kamu?” 

Alma tersenyum canggung, kemudian membuang pandangan ke sembarang arah, kesal. Baik apanya? Dia pandai bikin orang darah tinggi, tau! Batinnya menghakimi. 

“Baiklah, silahkan Yogi, Alma, pesan makanan, kalian pasti lelah telah menempuh perjalanan lumayan jauh.” 

“Baik, Om.” Lantas Yogi sigap melambaikan tangan kepada seorang pelayan yang tengah lewat di sekitar mereka. 

Mereka memesan makanan, Alma yang kesal dengan lahap menghabiskan isi piringnya. Berkat perasaan dongkol ia butuh pengalihan, entah dengan cara apapun termasuk makan, selalu begitu kebiasaannya. 

Acara makan bersama selesai, Alma berharap ia bisa segera pulang, ternyata pertemuan itu belum sampai pada inti tujuan pertemuan. 

“Alangkah leganya ketika aku bisa menyandingkan Alma dengan Yogi, dengan begitu aku tidak perlu khawatir ketika menyerahkan jatah perusahaan yang diwariskan untuk Alma sebab ada Yogi yang siap membimbing.” 

Alma melotot pada ayahnya, sedangkan alisnya mengkerut seolah jadi satu. Heran dan kesal, bukannya ayah tahu jika aku sudah punya pacar? 

Alma meraih gelasnya, tersisa sedikit orange jus di sana ia pun menyedot semua isinya. Meninggalkan bongkahan es batu yang masih ia sedot saja sehingga menimbulkan bunyi ‘sssrrreeep, ssssrrreepp’ perpaduan udara dari rongga sedotan yang menarik udara dari dalam gelas karena airnya telah tandas. 

“Tentu, Pram, Yogi telah aku didik sebaik mungkin agar ia jadi orang yang bisa diandalkan,” balas Arlan diiringi kekehan pelan. Tampak jelas kalimatnya mengunggul-unggulkan dirinya. 

Sedangkan Yogi hanya tersenyum takzim. 

Alma menatap malas, mencebik. Sejurus kemudian ia mengaduk-aduk es batu dalam gelasnya, menimbulkan bunyi berisik. 

Hal itu langsung disambut delikan galak dari ayahnya. Namun Alma kali ini benar-benar membatu, ia tak perduli terus mengaduk-aduk sisa es batu itu dan sesekali menyeruputnya membuat suara makin berisik. 

Merasa sungkan berlama-lama akhirnya Pramusito mengalah dengan putrinya, ia menyudahi perbincangan itu. “Setidaknya Yogi dan Alma sudah bertemu, mungkin perlu satu dua pertemuan lagi agar mereka lebih akrab, Arlan.” Ia menepuk bahu kolega bisnisnya yang sedari tadi ramah tawa. 

Alma tersenyum tipis saat berpamitan, hanya pada Arlan dan istrinya,  ia mengabaikan Yogi yang juga tak bersimpati padanya.

Alma mengekor ayahnya keluar dari meeting room restauran itu. “Kamu itu calon penerus perusahaan Ayahh, tapi masih saja sikapmu kekanak-kanakan.” 

Alma tak memedulikan nasihat itu justru berjalan mendahului ayahnya. Masuk ke mobil dan menutup pintunya dengan keras hingga berdebam. 

Pramusito hanya bisa menggeleng, mengalah pada sikap putri bungsunya. Perasaannya sebagai single parent sejak Alma usia dini membuatnya menyadari perannya bukan hanya sebagai ayah yang kadang harus tegas tetapi juga perlu sesekali lunak untuk mengerti perasaan putrinya. 

Lelaki usia 50 tahunan itu masuk ke mobil yang tadi digunakan Yogi menjemput Alma. Ia menyalakan mesin mobil, menarik parsneling dan mobil pun melaju keluar halaman restauran. Membelah jalanan kota Surabaya yang disirami cahaya senja. 

Suasana kabin mobil hening, hingga lima belas menit kemudian sampai di rumah tetap tidak ada percakapan antara mereka berdua. 

Namun batin Alma riuh, benarkah Yogi dan aku akan dijodohkan? Aku gak mau! Aku harus cari cara menggagalkannya! Gak ada yang bisa misahin aku sama Damar! 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status