Sampai di depan gerbang rumah mewah beraksitektur klasik milik keluarga Pramusito, Alma baru teringat jika ia harus membeli pil kontrasepsi darurat.
“Ayah ...,” panggil Alma dengan suara manjanya sembari melirik takut-takut pada ayahnya.
“Ya?” Pramusito menoleh sejenak lalu kembali fokus pada kemudinya.
“Aku mau beli vitamin ke apotik, puter balik, dong.” Alma memiringkan tubuh menghadap ayahnya.
“Di rumah ada, Alma, Ayah sebentar lagi ada meeting.”
Alma mengerucutkan bibirnya. Sampai keluar mobil pun raut wajahnya masih sama, bahkan ketika ia disambut Andini, Rudi dan kedua kakak iparnya, ia masih memberut manja.
“Alma kenapa sih, Ayah, pulang-pulang cembetut gini?” Andini menanyai ayahnya yang sedang berjalan masuk ke rumah.
“Minta beli vitamin.”
“Nanti Mas anter ke apotek, sekarang istirahat dulu.” Rudi mengambil alih koper dari genggaman Alma dan menggiring adiknya masuk.
Sampai di depan kamar Alma, “kaya anak kecil aja dianter sampe depan kamar,” rajuknya.
Rudi menyentil daun telinga Alma, “huu, gak inget waktu kecil bobo selalu minta ditemenin, Mas.”
Alma nyengir, seraya melepas rangkulan Andini, “udah sampe, aku berani masuk kamar sendiri, dadah!” Tangannya merebut koper dalam genggaman Rudi.
Begitu pintu kamar tertutup ia meletakkan koper di sembarang tempat dan merebahkan dirinya di kasur masa kecilnya. Sejak pertama ia menempati kamar ini, isi kamar tak pernah ada yang berubah, ia pikir semua barang-barang ini menyimpan sisa belaian mendiang sang mama, membuatnya tak mau berganti dengan yang baru.
Alma menggulingkan badan menjadi tengkurap, sekejap halusinasinya membayangkan, jikalau ia menikah dengan damar otomatis kasur ini harus diganti bukan? Alma tersenyum makin lebar, mana muat kasur ukuran satu orang ini digunakan untuk bercinta? Alma senyum-senyum sendiri sembari memeluk gulingnya bagai memeluk Damar.
Sepintas bayangan di flat Damar malam itu terngiang, Damar yang tak terlalu agresif membuat aktivitas bercinta mereka tak butuh banyak tempat. Jauh lagi Alma membayang dan seketika teringat bahwa benih Damar tertanam di rahimnya. Ia mengubah posisi tidur menjadi telentang. Ia elus perlahan perut bagian bawahnya beriring senyum bahagia. Harapannya jika sampai benih tersebut menjelma janin pasti damar akan segera menikahinya, mana mungkin damar lari dari tanggung jawab, pikirnya.
Dering ponsel menyela angan-angan Alma, di layar screen tertera nama Damar membuatnya semangat dan langsung duduk.
“Hai sayang!” seru Alma penuh kerinduan.
“Sudah beli pil kontrasepsi daruratnya?” Damar bertanya dingin.
“Kamu gak menginginkan anak kita, ya?” bahunya melorot lemah. Merajuk.
“Bukan begitu, tapi belum waktunya aja.”
“Kalau begitu izinkan aku merawat bayi kita, kalau kamu memang belum siap menikahiku.”
“Tak semudah itu Alma, merawat membesarkan apalagi mengandung dan melahirkan bayi tanpa pendamping itu beban mentalnya begitu besar.”
“Aku mampu, kok.” Alma mengerucutkan bibir.
Damar ber-hah kesal, “kamu itu gak ngerti posisiku.”
“Kamu yang gak ngerti perasaanku Damar, aku cuma pengen anak kita mendapatkan hak kehidupannya, aku sayang dia seperti aku sayang ke kamu.” Alma mulai terisak. Atmosfer komunikasi mereka berubah menjadi perdebatan kecil yang sengit.
Damar pun melunak, “ma—maaf Alma, jangan nangis, maaf.”
“Lagian benihmu belum tentu berhasil membuahi kenapa rusuh banget, sih? Toh, aku lagi gak masa subur kemarin,” kilah Alma dengan nada sedikit tinggi.
“Oke, aku percayakan ini sama kamu, tapi setidaknya sempatkan beli kontrasepsi darurat mumpung kita masih punya waktu mencegah kehamilan sekalipun menurutmu kamu sedang tidak masa subur.”
“Iya iya, aku tuh kangen sama kamu tapi kamu malah kaya gini.” Alma mengalihkan pembicaraan.
“Maaf, maaf, mungkin aku terlalu fokus mikirin diri sendiri, aku berharap apapun yang terbaik untuk kita.”
“Hem.” Alma hanya bergumam, kesal.
“Aku kangen sama kamu,” ungkap Damar akhirnya dan berhasil menerbitkan senyum di bibir kekasihnya.
***
“Non Alma, permisi, ini pesanan non sudah sampai.”
“Masuk, Bi.” Alma yang masih berbaring di ranjang sambil mengurut-urut keningnya, mempersilahkan bibi Wiji masuk.
Membuat bibi Wiji tergopoh-gopoh mendekatinya, sekaligus meletakkan pesanan Alma yang diantar ojek online di atas nakas, kemudian berlari ke dapur, mengambilkan obat pereda nyeri kepala sesuai permintaan Alma.
Dan Alma pun bergegas menyembunyikan isi pesanannya yang terbungkus godybag kertas dengan rapi ke balik bantalnya. Yang ternyata berisi pil kontrasepsi darurat.
Tidak lama kemudian bibi kembali membawakan coklat panas dan obat pereda nyeri.
“Non Alma sudah makan? Bibi ambilkan makan, ya?”
“Nanti aja, Bi, aku minum coklat panasnya setelah itu minum obat, terus tidur aja.”
“Baik Non, nanti kalau butuh apa-apa panggil Bibi, ya?”
Alma mengangguk lemah, masih bersandar pada kepala dipan. Selain pusing yang hebat Alma sedikit merasakan nyeri di bagian bawah perutnya. Ia elus sebentar kemudian tangannya beralih meraih gelas berisi coklat panas di nakas.
Manisnya coklat seketika menaikkan mood-nya dan rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat rileks.
Setelah menandaskan segelas coklat panas, Alma meminum obat pereda nyeri itu. Ia pun memutuskan untuk beranjak tidur, berharap saat bangun nanti sakitnya telah reda.
Baru pukul 19:00, Alma sudah terlelap didukung rasa lelah membuatnya baru terbangun keesokan pagi.
Ketika sinar hangat mentari menerobos celah-celah tirai, Alma terbangun, menggeliat ke kanan dan kiri, meregangkan otot-ototnya. Ia pun beranjak dari pembaringan, dengan kondisi lebih segar. Lalu bergegas mandi.
Usai bersiap dengan pakaian santai ia menuju ruang makan yang sudah diisi oleh kedua kakaknya berserta para ipar dan tentunya ayah. Mereka menatap kehadiran Alma dengan sedikit heran.
“Alma, hari ini Mba mau ajak kamu ke perusahaan cabang, lho,” kata Andini.
“Kenapa gak ngomong dari semalem, sih?” sungut Alma.
“Kamu aja ngebo dari sore, gimana mau ngasih tau?” seloroh Rudi yang selalu suka memojokkan adiknya sebagai candaan.
“Rudi, inget anak istri, masih hobi aja ngeledek adik kamu,” bela ayah.
Alma sekonyong-konyong menjulurkan lidah, meledek atas kemenangannya. Hal itu disambut dengan cebikan Rudi dan derai tawa semua anggota keluarga di sana.
Sarapan pun berlanjut hingga masing-masing dari mereka merasa kenyang, tetapi Alma baru makan beberapa sendok tiba-tiba rasa mual menyerang. Demi sopan santun ia berpamitan ke kamar dengan dalih ingin mengganti baju dan bersiap-siap ke kantor.
Di kamar, Alma berusaha memuntahkan isi perutnya. Hanya air yang keluar dari perutnya. Ia mendekus kesal, merasa sangat terganggu dengan kondisi tersebut.
“Apa semalem gak makan jadi maag, ya? Mual gini.” Alma mengurut-urut perutnya lantas duduk di tepian dipan dan meminum segelas air yang selalu tersedia di atas nakas.
Lama ia duduk berperang melawan mual yang belum reda ditambah rasa lemas mulai merayapi tubuhnya. Di sela-sela rasa mualnya, Alma baru teringat bahwa semalam ia lupa meminum pil kontrasepsinya.
Alma pun memaksakan diri untuk meminum pil tersebut meski masih didera rasa mual tak terperi.
“Alma, yuk buruan, udah siap belom?” Andini mengetuk pintu kamar Alma, mengajaknya bergegas pergi ke kantor.
Alma pun menyimpan kembali pil kontrasepsi itu di bawah bantalnya, dalam sekejap Andini sudah masuk kamar.
“Mba tunggu di luar aja, aku belom ganti baju, nih,” dalih Alma.
“Lima menit, ya,” pinta Andini, sembari menutup pintu dan keluar.
Alma mengangguk dan dengan gerakan hati-hati beranjak menuju lemari memilih setelan pakaian formalnya. Kemudian berganti pakaian dan tidak lupa sedikit merias wajahnya yang pagi itu terlihat pucat.
“Bik, tolong siapin obat maag, ya, perutku begah, nih, mual juga,” pinta Alma pada bibik Wiji melalui sambungan telepon karena ukuran rumah yang terlalu luas tidak memungkinkan Alma untuk berteriak-teriak memanggil bibi apalagi harus mencari ke setiap sudut ruangan, sehingga hal paling efektif adalah menelpon. kemudian ia meraih tas jinjingnya dari lemari dan berangkat menuju kantor.
***
“Selamat Pagi.” Seorang karyawan menyapa Andini.
“Pagi.” Andini membalas dengan senyum ramah.
“Good bos.” Alma mengikut Andini di sisinya.
“Mukai besok kamu juga harus kaya gini.”
Alma menghentikan langkahnya, “aku mau jadi manager gitu di sini?” tanyanya tak percaya.
Andini mengangguk kecil.
“Terus Mba ke mana?”
“Ikut ke perusahaan suami.”
Alma termangu, masih takjub akan kemurahan sang ayah menyerahkan salah satu anak perusahaannya begitu mudahnya.
“Besok kamu di sini juga bakal dibantu sama suami kamu.” Lanjut Andini, sembari melanjutkan langkah menuju lift.
Alma mengernyit, “suami?” Ia berusaha menyamai langkah Andini.
“Kamu udah dijodohin kan sama, Ayah?” Pintu lift terbuka, beberapa karyawan keluar dari lift dan menyapa Andini. Lagi-lagi perempuan yang hampir berkepala tiga itu tersenyum ramah.
Alma menghela napas. “Gak mau nikah sama dia, gak mau juga dikasih perusahaan ini,” tukas Alma.
Keduanya tela berada di lift. Andini menekan tombol menuju lantai teratas, ruang CEO. Lalu ia tersenyum lembut memutar tubuh menghadap Alma. “Ma, Ayah gak akan biarin kita punya pilihan alternatif, jalanin aja, ya.”
Alma memberut, melipat tangannya di dada.
Lima menit kemudian, keduanya sampai di lantai teratas. Tanpa buang-buang waktu lagi Andini memperkenalkan Alma pada karyawan-karyawan di sana.
“Perkenalkan saya Alma Pramusito....” Perhatian Alma teralihkan pada seseorang yang baru saja datang, Yogi. Lelaki itu membawakan sebuket bunga lili putih dan berjalan dari pintu masuk ke arahnya, menyibak kerumunan para karyawan bak pangeran. Menyita banyak perhatian seisi ruangan, terlebih lagi para karyawati seolah tersihir wajah proporsionalnya. Namun, Alma justru mendengkus kesal.
.
Sore hari sepulang dari kantor, Alma segera meminum obat maag yang disediakan bibik Wiji di kamarnya. Seharian di kantor dengan seabrek pekerjaan membuat mood dan kondisi fisiknya terasa semakin drop, bahkan ia pun tak sanggup menghabiskan makan siang dan makan malamnya karena mual yang terus mendera.Sejanak ia pun memutuskan untuk berbaring. Namun sebuah panggilan dari Damar masuk ke ponselnya, membuatnya urung berbaring. Ia pun dengan semangat beranjak duduk lalu menekan ikon berwarna hijau, menerima panggilan.Setelah berbasa-basi seperti biasanya, Damar kembali rusuh mengenai pil kontrasepsi itu. Alma menghela napas panjang."Udah...." Alma melirik pil kontrasepsi di tangan, ia berbohong pada Damar bahwa telah meminumnya. Namun, ternyata, sudah lewat 48 jam semenjak mereka bercinta, pil tersebut belum juga menyentuh rahimnya.Seketika Alma terbelalak, ia baru menyadari sedari tadi merasa mual. Benarkah itu akibat maag at
Rudi ngeloyor masuk, baru beberapa langkah Alma mencegatnya. "Stop, stop, sini gaunnya!" Jemari Alma merebut dress dari genggaman Rudi. Membuat Rudi mendesis kesal lalu balik kanan. Keluar kamar. Alma pun mengembuskan napas lega. Namun ia kembali cemas kala melihat bercak darah di roknya, lalu beralih melihat dress berwarna pink salem pemberian sang ayah. Kecemasannya semakin meningkat, takut kalau-kalau perdarahannya menodai dress itu saat dikenakan. Tak mau berlama-lama overthinking Alma segera berlari ke kamar mandi. Disela-sela ia mengganti pakaian baru terpikirkan. calon mertua? itu artinya ayah sungguhan menjodohkanku? Alma menghentak-hentakkan kakinya dengan perasaan kesal, ayah egois, aku harus batalkan perjodohan ini, tapi gimana caranya? Batinnya resah. Selain soal perjodohan, bertumpuk-tumpuk pula pertanyaan dalam pikirannya. Ini pendarahan karena menstruasi atau keguguran? Selesai membersihkan diri dan mengenakan dr
Bibi Wiji datang, mengabarkan bahwa menu sarapan telah selesai dihidangkan. Pramusito pun mempersilakan ketiga tamunya turut sarapan bersama.Ayam lada, udang pedas manis, sayur capcai dan berbagai lauk pauk terhidang. Tampak liukan uap hangat dari piring-piring saji. Aroma lezat menggoda tiap hidung di tepian meja. Alma yang paling semangat menyambut prosesi sarapan, ia ambil semua lauk-pauk di meja, memicu senyum jenaka Yogi."Alma, santai dong, diliat calon suami tuh." Andini menyikut siku Alma. suaranya yang cukup keras mengalihkan perhatian semua orang di meja makan, membuat Alma salah tingkah. Muncul semburat kemerahan di wajahnya, malu.Yogi pun begitu, tampak salah tingkah lalu buru-buru tertunduk. Dalam hatinya memang mengakui, Alma tampak lebih kalem dengan tampilan lebih flawles dari tempo hari membuatnya begitu menarik."Selamat menikmati." Pramusito menyuap makanan pertamanya, mengalihkan suasana.Satu per satu
"Kamu cantik banget Alma malam ini." Damar tersenyum tipis mengisyaratkan sesuatu yang tak Alma mengerti.Alma mengeryit, menelisik tiap inchi wajah kekasihnya. Ia mendapati mata lelaki itu sesekali curi pandang ke arah dadanya yang terekspos. Memang ia baru pulang dari kantor dan seketika Damar mengajaknya melakukan panggilan Video, tanpa sempat Alma mengganti baju tanpa lengannya yang bekerung leher V yang tadi ia balut dengan blezer nude."Aku kangen kamu, kangen kita...." Suara damar menghilang seraya tangannya mengusap-usap wajahnya frustasi."Kangen?" Alma merasa ada hal lebih yang Damar rindukan, terlihat dari tatapannya yang begitu dalam. Bahkan ia merasa ganjil mendengar Damar mengatakan 'kangen' karena itu bukan kebiasaannya.Lagi, Damar mengusap-usap wajahnya dengan kasar. “Aku lagi banyak pikiran aja, jadi ngawur ngomongnya, sorry.”"Oke besok aku terbang ke Jerman, ya?""Ga perlu, mending kamu
"Sebentar aku beli tespeck." Damar bergegas pergi. “Sama obat masuk angin, tunggu.” “Gak perlu Damar. Nanti aku bakal sembuh dengan sendirinya....” Alma tak dapat mencegah Damar yang telah bergegas keluar dari flatnya. Akhirnya ia hanya bisa pasrah sekaligus cemas menunggu Damar pulang. Seperempat jam menunggu, akhirnya pintu flat terdorong dari luar. Suara deritnya mengagetkan Alma. Ia langsung menghampiri Damar seraya memohon dengan bergelayut di lengan Damar, “gak usah tes ya, aku yakin gak hamil, kok.” Damar tetap pada pendiriannya, “Cuma tes Alma, untuk meyakinkan aja.” Lalu menuntun Alma menuju kamar mandi. Mau tak mau Alma pun masuk ke kamar mandi. Hingga Detik-detik mendebarkan tiba, Alma menatap lurus tespeck yang baru saja ia angkat dari pump berisi air seni. Hormon HCL mulai terdeteksi, dengan adanya warna merah yang muncul dari bagian steril tespeck. Awalnya membentuk satu garis merah, Alma menghela napas lega, tetapi b
“Selamat tidur, Sayang.” Alma bergelayut manja. Keduanya mendinginkan kepala di atas ranjang ini. Bertukar cumbu. Damar tersenyum seraya mengatupkan kelopak matanya. Tak butuh waktu lama, dengan hati lega dan fisik yang memang lelah, ia tertidur pulas. Berbeda dengan Alma yang merasakan kembali serangan kram di perutnya. Sakitnya memang tak seberapa tetapi betah hingga berjam-jam kemudian. Ia hanya meringis menahan lara, resah tidur berguling ke sana kemari. Sampai ponselnya yang diletakkan di nakas berdering. Membuat Alma berdecih kesal, dini hari sudah ada yang berani menelponnya. Alma merayap, meraih benda pipih itu. Dengan duduk selonjor di lantai ia melihat siapa si penelepon. “Yogi?” Lirihnya heran. Maka dengan sekuat tenaga ia bangkit, mencari tempat aman agar tak mengganggu tidurnya Damar, terlebih ini adalah Yogi, ia tak mau membuat kekasihnya itu cemburu, apalagi sampai tahu bahwa ia tengah di jodohkan dengan orang lain. 
Pagi harinya, di sinilah Damar dan Alma sekarang. Klinik aborsi legal, dengan hati enggan Alma menunggu antrian pemeriksaan. “Mrs Alma.” Seorang perawat memanggil dari ruang periksa. Alma melirik kepada Damar, tatapan keduanya bertemu. Alma langsung membuang muka, menyembunyikan tatapan gelisahnya. “Ga perlu cemas, klinik ini terpercaya.” Damar menyelipkan anak rambut ke balik telinga Alma. “Aku mau aborsi mandiri, boleh?” usulnya. Damar mengernyit. “Kenapa?” “Ada panggilan kerja mendadak, sore ini aku harus pulang, sepertinya lebih efisien jika aborsi mandiri.” Alma menawar dengan tatapan memohon. “Yakin? Aborsi mandiri tidak ada yang mendampingi Alma.” Alma mengangguk mantap. “Aku yakin bisa, toh masih seumur jagung belum membesar janinnya, pasti aman.” Ia telah perhitungkan resiko aborsi mandiri sesuai petunjuk yang ia cari dari lama G****e. Damar tampak ragu-ragu, ia meng
Gaun satin bersulam sutra ditambah taburan swarovski mempercantik pantulan diri Alma di cermin besar dalam kamar yang telah disulap menjadi kamar pengantin. Ia tersenyum hambar pada bayangan di cermin, hari yang disebut hari bahagia itu justru membuatnya jadi manusia paling gusar sedunia. Satu, karena menikah dengan laki-laki yang sama sekali tak diinginkannya. Dua, khawatir kalau-kalau Damar mengetahui pernikahannya. Tiga, ia takut terbiasa hidup dengan Yogi lalu jatuh hati. Alma menggeleng pelan, tidak, itu tidak boleh terjadi, batinnya makin gusar. Hanya beberapa bulan saja, lakukan bercinta sekali dan segera umumkan kehamilan ini, ceraikan Yogi, maka semua sandiwaraku selesai. Ia tegaskan rencana itu pada dirinya sendiri. Namun bayangan Damar justru berkelebat, membuatnya berkeringat dingin. Selain gusar, rasa bersalah yang teramat besar begitu membebaninya. Ia pun merasakan matanya memanas, air matanya hampir tumpah menimpa