Pukul tujuh malam, Yogi baru saja pulang dari kantor. Alma kebingungan harus memasang sikap bagaimana, marah? Melanjutkan drama queen-ku? Tapi bagaimana jika Damar menceritakan hubungan kami yang belum putus? Bisa-bisa aku yang dituntut balik oleh Yogi. Batin Alma cemas, ia tak henti menggigit-gigit bibirnya frustrasi.
Saking frustrasinya tiba-tiba perutnya terasa kram, bertepatan dengan Yogi masuk kamar dan melihat Alma yang kesakitan bergegas membopong istrinya keluar rumah. Masuk ke mobil dan menuju rumah sakit, sepanjang perjalanan ia mengendarai mobil seperti orang kesetanan.
Alma di sisinya hanya bisa mengerang menahan sakit.
“Tahan ya Sayang, kamu dan anak kita pasti baik-baik aja.” Satu tangan Yogi menggenggam tangan Alma yang berkeringat dingin dan mulai melemah.
Namun, Alma justru membuang muka kesal, sembari terus menggigiti bibirnya, menahan dua sumber rasa sakit sekaligus, hatinya dan kandungannya.
Di
Alma yang masih syok saat hampir terjatuh belum menyadari siapa penolongnya yang kini justru tanpa permisi memeluknya. Alma tertegun. Hampir saja Alma mendorong sosok yang lancang memeluknya, tetapi sosok itu lebih dulu bersuara. “Alma,” ujar sosok itu dengan suara parau. Alma yang tak asing dengan si pemilik suara seketika tercekat. “Da—mar?” “Maaf, aku bukan laki-laki yang bertanggung jawab.” Alma mencelos. Ia justru kebingungan dengan sikap Damar. “Seharusnya kamu bilang secepatnya buat kita putus, biar hubungan ini gak ganggu rumah tangga kamu.” Alma melepas rengkuhan Damar. Menggeleng pelan, tangannya yang ditusuk infus perlahan terangkat, menghapus rintik air mata di wajah Damar. Hangat rasanya tapi menyesakkan. “Gak ada yang perlu diakhiri dari hubungan kita, aku bisa jelasin semuanya,” ucap Alma dengan nanar. Air mata Damar mengalir lebi
Pagi yang kelabu, mendung menghias langit, tampak jelas dari jendela kaca besar di apartemen Damar. Lelaki itu sudah rapi dengan setelan baju kantornya. Berdiri menatap kota kelahiran ditemani secangkir kopi dalam genggaman.Damar menerawang jauh, memikirkan keadaan Alma. Rasa bersalah, kembali muncul dalam benaknya. Menimbulkan pedih yang tak terperi. Belum lagi gejolak cemburu yang diam-diam menguasai hati, panas menyulut dadanya. Semua perasaan itu berkecamuk membuatnya tak keruan pagi ini.Sejenak, lelaki berpotongan rambut curtain haircut itu menarik napas sedalam-dalamnya. “Aku harus jenguk Alma dan mungkin ini yang terakhir kalinya, dia sudah menemukan lelaki baik menurut definisi keluarganya, kaya, seorang eksekutif, tampan dan kelihatannya baik. Tidak ada lagi alasan untuk kami melanjutkan hubungan.” Damar berusaha meneguhkan hatinya.Damar pun bergegas keluar apartemen menuju rumah sakit dengan mobil yang dipinjamkan perusahaan tem
Udara musim panas pagi itu cukup bersahabat, angin bertiup lembut mengiringi langkah para wisudawan dan tamu undangan menuju hall tempat acara wisuda akan berlangsung. Tampak seorang tamu undangan muda mengedarkan pandangannya ke sana kemari, meneliti tiap inci halaman universitas Disburg Essen yang luas dengan gedung-gedung perkuliahan yang tinggi nan megah. Mencari seseorang. Tak lama kemudian, dari arah berlawanan, seorang wanita dengan rambut dicepol rendah dan bawahan kain songket dengan desain kekinian berlarian ke arahnya. Membelah kerumunan orang-orang yang sedang berjalan. “Sayang!” seru seorang perempuan cantik yang telah mengenakan pakaian wisuda khas universitas Duisburg Essen. Tubuh semampai nan langsingnya menghambur ke dalam pelukan seorang lelaki gagah berambut legam. Yang dipeluk seketika menegang dan tanpa si perempuan sadar
Angin berembus lumayan kencang di luar sana, dari balik jendela kaca, Damar mengamati ranting-ranting pohon saling bergesekan dan menggugurkan bebungaannya. Lelaki bercambang yang selalu dicukur bersih itu menoleh ke belakang, mengamati Alma yang sejak kepulangan mereka dari jalan-jalan sore tadi tertidur pulas di ranjangnya. Alma berjanji hanya akan tidur 30 menit saja, tetapi sampai jam 10 malam begini Alma masih susah dibangunkan. Damar mulai gelisah, ia tak ingin Alma menginap di flatnya jika hanya berduaan saja seperti ini. Perlahan Damar menuju ranjangnya, ia menyugar rambutnya dengan resah, lalu mencoba membangunkan Alma sekali lagi. “Al, pulang udah malem.” Damar mengusap-usap pelan pundak Alma yang tersembunyi di balik selimut. “Gak mau….” Alma menggulung dirinya di dalam selimut, masih dengan mata terpejam. “Al—“ “Kenapa sih, gak akan ada tetangga yang negur aku tidur bareng kamu kok….” Satu tang
Pagi musim semi yang hangat dan cerah, sangat kontras dengan raut wajah Damar. Ia bangun lebih awal dari Alma. dengan perasaan tak keruan mengingat kejadian semalam, meski ia tidak dapat mengelak bahwa sensasi semalam begitu memabukkan. Lelaki berusia 26 tahun itu berlalu menuju kamar mandi, berniat mendinginkan kepala yang candu sekaligus merasa bersalah.Di kamar mandi, Damar mengguyur kepalanya yang terus mengulang bayang-bayang pergumulan semalam. Ia tak menyangka dirinya yang selalu berusaha menjaga jarak dengan Alma bisa luluh dalam satu kecupan bibir. Kevmana Damar yang teguh pendirian selama ini? Ataukah memang ia menikmatinya?Damar meremas rambutnya kesal dan frustrasi, kecemasan lain tiba-tiba menyusup, bagaimana jika Alma hamil? Haruskah menikah? Modal apa? Statusnya saja masih pascasarjana dengan beasiswa. Lelaki berhidung bangir itu terus meremehkan dirinya sendiri.Selesai mandi pikirannya masih berantakan, ta
Sampai di depan mobil, sopir bergaya eksekutif muda itu meletakkan koper di bagasi sedangkan Alma menunggunya membukakan pintu. Namun lelaki itu justru langsung masuk ke mobil di belakang kemudi.Alma dibuat melongo keheranan, dengan kesal ia mengetuk keras-keras pintu kaca mobil. “Majikan itu dibukain pintu!”Sopir itu justru menautkan kedua alisnya yang tebal dan dengan tak acuhnya ia menyalakan mesin mobil.Alma sudah tidak sabar lagi, ia pun membuka pintu, masuk, lalu membanting pintunya hingga berdebam.“Nama kamu siapa, sih?”“Yogi,” jawab sopir itu sambil sibuk mengenakan sabuk pengaman, sama sekali tidak menunjukkan keramahan.“Sopir gak ada akhlak ya, memperkenalkan diri enggak, ngaku-ngaku jadi calon suami, gak bukain pintu, iishhh aww!”Mobil melaju tanpa Alma sempat memasang seatbelt, mengakibatkan dirinya hampir terpental dari tempat
Sampai di depan gerbang rumah mewah beraksitektur klasik milik keluarga Pramusito, Alma baru teringat jika ia harus membeli pil kontrasepsi darurat.“Ayah ...,” panggil Alma dengan suara manjanya sembari melirik takut-takut pada ayahnya.“Ya?” Pramusito menoleh sejenak lalu kembali fokus pada kemudinya.“Aku mau beli vitamin ke apotik, puter balik, dong.” Alma memiringkan tubuh menghadap ayahnya.“Di rumah ada, Alma, Ayah sebentar lagi ada meeting.”Alma mengerucutkan bibirnya. Sampai keluar mobil pun raut wajahnya masih sama, bahkan ketika ia disambut Andini, Rudi dan kedua kakak iparnya, ia masih memberut manja.“Alma kenapa sih, Ayah, pulang-pulang cembetut gini?” Andini menanyai ayahnya yang sedang berjalan masuk ke rumah.“Minta beli vitamin.”“Nanti Mas anter ke apotek, se
Sore hari sepulang dari kantor, Alma segera meminum obat maag yang disediakan bibik Wiji di kamarnya. Seharian di kantor dengan seabrek pekerjaan membuat mood dan kondisi fisiknya terasa semakin drop, bahkan ia pun tak sanggup menghabiskan makan siang dan makan malamnya karena mual yang terus mendera.Sejanak ia pun memutuskan untuk berbaring. Namun sebuah panggilan dari Damar masuk ke ponselnya, membuatnya urung berbaring. Ia pun dengan semangat beranjak duduk lalu menekan ikon berwarna hijau, menerima panggilan.Setelah berbasa-basi seperti biasanya, Damar kembali rusuh mengenai pil kontrasepsi itu. Alma menghela napas panjang."Udah...." Alma melirik pil kontrasepsi di tangan, ia berbohong pada Damar bahwa telah meminumnya. Namun, ternyata, sudah lewat 48 jam semenjak mereka bercinta, pil tersebut belum juga menyentuh rahimnya.Seketika Alma terbelalak, ia baru menyadari sedari tadi merasa mual. Benarkah itu akibat maag at