Rudi ngeloyor masuk, baru beberapa langkah Alma mencegatnya. "Stop, stop, sini gaunnya!" Jemari Alma merebut dress dari genggaman Rudi. Membuat Rudi mendesis kesal lalu balik kanan. Keluar kamar.
Alma pun mengembuskan napas lega. Namun ia kembali cemas kala melihat bercak darah di roknya, lalu beralih melihat dress berwarna pink salem pemberian sang ayah. Kecemasannya semakin meningkat, takut kalau-kalau perdarahannya menodai dress itu saat dikenakan.
Tak mau berlama-lama overthinking Alma segera berlari ke kamar mandi. Disela-sela ia mengganti pakaian baru terpikirkan. calon mertua? itu artinya ayah sungguhan menjodohkanku? Alma menghentak-hentakkan kakinya dengan perasaan kesal, ayah egois, aku harus batalkan perjodohan ini, tapi gimana caranya? Batinnya resah.
Selain soal perjodohan, bertumpuk-tumpuk pula pertanyaan dalam pikirannya. Ini pendarahan karena menstruasi atau keguguran?
Selesai membersihkan diri dan mengenakan dr
Bibi Wiji datang, mengabarkan bahwa menu sarapan telah selesai dihidangkan. Pramusito pun mempersilakan ketiga tamunya turut sarapan bersama.Ayam lada, udang pedas manis, sayur capcai dan berbagai lauk pauk terhidang. Tampak liukan uap hangat dari piring-piring saji. Aroma lezat menggoda tiap hidung di tepian meja. Alma yang paling semangat menyambut prosesi sarapan, ia ambil semua lauk-pauk di meja, memicu senyum jenaka Yogi."Alma, santai dong, diliat calon suami tuh." Andini menyikut siku Alma. suaranya yang cukup keras mengalihkan perhatian semua orang di meja makan, membuat Alma salah tingkah. Muncul semburat kemerahan di wajahnya, malu.Yogi pun begitu, tampak salah tingkah lalu buru-buru tertunduk. Dalam hatinya memang mengakui, Alma tampak lebih kalem dengan tampilan lebih flawles dari tempo hari membuatnya begitu menarik."Selamat menikmati." Pramusito menyuap makanan pertamanya, mengalihkan suasana.Satu per satu
"Kamu cantik banget Alma malam ini." Damar tersenyum tipis mengisyaratkan sesuatu yang tak Alma mengerti.Alma mengeryit, menelisik tiap inchi wajah kekasihnya. Ia mendapati mata lelaki itu sesekali curi pandang ke arah dadanya yang terekspos. Memang ia baru pulang dari kantor dan seketika Damar mengajaknya melakukan panggilan Video, tanpa sempat Alma mengganti baju tanpa lengannya yang bekerung leher V yang tadi ia balut dengan blezer nude."Aku kangen kamu, kangen kita...." Suara damar menghilang seraya tangannya mengusap-usap wajahnya frustasi."Kangen?" Alma merasa ada hal lebih yang Damar rindukan, terlihat dari tatapannya yang begitu dalam. Bahkan ia merasa ganjil mendengar Damar mengatakan 'kangen' karena itu bukan kebiasaannya.Lagi, Damar mengusap-usap wajahnya dengan kasar. “Aku lagi banyak pikiran aja, jadi ngawur ngomongnya, sorry.”"Oke besok aku terbang ke Jerman, ya?""Ga perlu, mending kamu
"Sebentar aku beli tespeck." Damar bergegas pergi. “Sama obat masuk angin, tunggu.” “Gak perlu Damar. Nanti aku bakal sembuh dengan sendirinya....” Alma tak dapat mencegah Damar yang telah bergegas keluar dari flatnya. Akhirnya ia hanya bisa pasrah sekaligus cemas menunggu Damar pulang. Seperempat jam menunggu, akhirnya pintu flat terdorong dari luar. Suara deritnya mengagetkan Alma. Ia langsung menghampiri Damar seraya memohon dengan bergelayut di lengan Damar, “gak usah tes ya, aku yakin gak hamil, kok.” Damar tetap pada pendiriannya, “Cuma tes Alma, untuk meyakinkan aja.” Lalu menuntun Alma menuju kamar mandi. Mau tak mau Alma pun masuk ke kamar mandi. Hingga Detik-detik mendebarkan tiba, Alma menatap lurus tespeck yang baru saja ia angkat dari pump berisi air seni. Hormon HCL mulai terdeteksi, dengan adanya warna merah yang muncul dari bagian steril tespeck. Awalnya membentuk satu garis merah, Alma menghela napas lega, tetapi b
“Selamat tidur, Sayang.” Alma bergelayut manja. Keduanya mendinginkan kepala di atas ranjang ini. Bertukar cumbu. Damar tersenyum seraya mengatupkan kelopak matanya. Tak butuh waktu lama, dengan hati lega dan fisik yang memang lelah, ia tertidur pulas. Berbeda dengan Alma yang merasakan kembali serangan kram di perutnya. Sakitnya memang tak seberapa tetapi betah hingga berjam-jam kemudian. Ia hanya meringis menahan lara, resah tidur berguling ke sana kemari. Sampai ponselnya yang diletakkan di nakas berdering. Membuat Alma berdecih kesal, dini hari sudah ada yang berani menelponnya. Alma merayap, meraih benda pipih itu. Dengan duduk selonjor di lantai ia melihat siapa si penelepon. “Yogi?” Lirihnya heran. Maka dengan sekuat tenaga ia bangkit, mencari tempat aman agar tak mengganggu tidurnya Damar, terlebih ini adalah Yogi, ia tak mau membuat kekasihnya itu cemburu, apalagi sampai tahu bahwa ia tengah di jodohkan dengan orang lain. 
Pagi harinya, di sinilah Damar dan Alma sekarang. Klinik aborsi legal, dengan hati enggan Alma menunggu antrian pemeriksaan. “Mrs Alma.” Seorang perawat memanggil dari ruang periksa. Alma melirik kepada Damar, tatapan keduanya bertemu. Alma langsung membuang muka, menyembunyikan tatapan gelisahnya. “Ga perlu cemas, klinik ini terpercaya.” Damar menyelipkan anak rambut ke balik telinga Alma. “Aku mau aborsi mandiri, boleh?” usulnya. Damar mengernyit. “Kenapa?” “Ada panggilan kerja mendadak, sore ini aku harus pulang, sepertinya lebih efisien jika aborsi mandiri.” Alma menawar dengan tatapan memohon. “Yakin? Aborsi mandiri tidak ada yang mendampingi Alma.” Alma mengangguk mantap. “Aku yakin bisa, toh masih seumur jagung belum membesar janinnya, pasti aman.” Ia telah perhitungkan resiko aborsi mandiri sesuai petunjuk yang ia cari dari lama G****e. Damar tampak ragu-ragu, ia meng
Gaun satin bersulam sutra ditambah taburan swarovski mempercantik pantulan diri Alma di cermin besar dalam kamar yang telah disulap menjadi kamar pengantin. Ia tersenyum hambar pada bayangan di cermin, hari yang disebut hari bahagia itu justru membuatnya jadi manusia paling gusar sedunia. Satu, karena menikah dengan laki-laki yang sama sekali tak diinginkannya. Dua, khawatir kalau-kalau Damar mengetahui pernikahannya. Tiga, ia takut terbiasa hidup dengan Yogi lalu jatuh hati. Alma menggeleng pelan, tidak, itu tidak boleh terjadi, batinnya makin gusar. Hanya beberapa bulan saja, lakukan bercinta sekali dan segera umumkan kehamilan ini, ceraikan Yogi, maka semua sandiwaraku selesai. Ia tegaskan rencana itu pada dirinya sendiri. Namun bayangan Damar justru berkelebat, membuatnya berkeringat dingin. Selain gusar, rasa bersalah yang teramat besar begitu membebaninya. Ia pun merasakan matanya memanas, air matanya hampir tumpah menimpa
Alma benar-benar mabuk oleh kecupan-kecupan kecil dari Yogi. Keduanya pun beralih ke ranjang pengantin, memadu rasa yang dibumbui cinta sandiwara dari Alma. Alma benar-benar terbuai, hati dan pikirannya tersumbat kenikmatan malam pertama. Melupakan ketidak relaannya akan pernikahan mereka. Pagi harinya, Alma terkaget saat bangun tidur melihat Yogi di sisi dengan dada terekspose. Hampir saja ia berteriak histeris, beruntung ia segera teringat bahwa mereka telah sah menjadi suami istri. Seketika dadanya sesak menyadari itu, air matanya mengucur deras tanpa bisa dibendung. Rasa bersalahnya telah mengkhianati Damar kembali datang. Lalu bayangan-bayangan kegiatan bercintanya dengan Yogi semalam muncul, berkelindan tumpang tindih dengan angan-angannya tentang Damar. Saat itu juga ia semakin merasa bersalah, semalam dirinya menikmati hubungan badan itu. Alma menjambak rambutnya, menggeleng pelan seraya menangis tertahan.
Hujan turun begitu derasnya, dari jendela kamar Alma yang terlapisi gorden luxury tampak kilatan-kilatan petir menyambar di luar sana. Suara gemuruhnya pun menggelegar, membuat si empu kamar yang kesepian bergidik ngeri. Alma pun mencoba menghubungi Damar lewat panggilan video untuk mengalihkan rasa takutnya yang tengah sendirian dengan kondisi hujan badai. "Hai, Sayang," sapa Alma antusias ketika panggilannya telah diterima Damar. "Hai, Al,” sapa Damar singkat dengan pipi menggelembung. "Ih, suara kamu kaya orang lagi kumur-kumur! Ngapain, sih?" seru Alma, tawanya menyebur. Damar terkekeh, “aku lagi makan, nih abis masak ayam semur!" "Enak kayanya deh, mau dong...," rengek Alma. "Udah habis, ini suapan terakhir." Damar memasukkan suapan terakhirnya. Alma seketika memberengut, yang ditanggapi tawa oleh Damar. Sesaat hening, Damar menyelesaikan kunyahannya, sedangka