Share

Jambak saja, Nit!

"Eh, tunggu, gimana maksudnya, Mbak?" Adam memicingkan mata sambil menatap Mbak Wati keheranan. "Kalau aku belikan Nita kulkas, itu karena dia kesulitan untuk menyetok bahan makanan. Nah, urusannya sama Farhan apa?"

Mbak Wati berdecak sebal. Wanita bertubuh agak berisi itu bersedekap dada sembari menatap Nita yang tersenyum penuh kemenangan.

"Ya jangan begitu lah, Dam. Kamu kan tahu kalau Farhan itu suka banget sama es, Mbak mau beli kulkas juga Masmu belum punya uang. Lagian gak ada salahnya kan kamu menyenangkan hati Farhan," seru Mbak Wati tidak mau kalah. "Kamu sama Nita itu belum ada anak, anggap saja Farhan itu anak kalian, jadi kalau Nita beli apa-apa, usahakan Farhan juga dapat."

Adam melongo. "Bisa begitu ya, Mbak?" tanya Adam sok lugu. Mbak Wati mengulas senyum penuh kemenangan sambil berkata. "Ya bisa dong! Anggap saja anak Mbak sama Masmu itu juga anak kamu. Jangan sungkan, Dam," ucap Wati legowo. "Mbak tau gimana rasanya nikah bertahun-tahun tapi belum dikaruniai anak, mungkin kamu sama Nita kurang bersedekah. Dan ... bersedekah yang baik itu kepada saudara juga orang-orang terdekat, pada Mbak misalnya, atau ... pada Farhan."

Adam manggut-manggut mendengar penjelasan Mbak Wati yang mulai menjalar kemana-mana sementara Nita menguap lebar melihat iparnya berbicara.

"Kalau begitu pesan saja kulkasnya, Mbak," ucap Adam. 

Nita mendelik, sementara Mbak Wati tersenyum senang dan berkata. "Kamu serius, Dam?"

"Lah, ngapain bohong, Mbak? Kalau Mbak mau kulkas baru, ya pesan saja."

"Mas!" desis Nita menahan geram.

Adam menoleh ke arah dimana Nita berada. "Kenapa, Dek?"

"Kamu sadar kan lagi ngomong apa?"

"Heh, Nit, jangan mengompori Adam agar pelit pada keponakannya sendiri dong!" sela Mbak Wati lantang. "Ini nih yang bikin kamu nggak bisa hamil, sama anak kecil saja pelit!"

Adam menarik bahu Nita dan merengkuh istrinya itu di depan iparnya yang terlihat bahagia sekali.

"Kamu beneran kan mau beliin Mbak kulkas, Dam? Gitu dong, kamu jarang berat sebelah, jangan sampai Nita mempengaruhi kamu supaya pelit sama Farhan. Ingat ya, Farhan itu keponakan kamu ...."

"Stop, Mbak. Stop!" sela Adam jengah. "Ada aku bilang mau beliin Mbak Wati kulkas?"

Mbak Wati tercengang. Bagai terjun bebas dari lantai paling atas. Harapan yang sudah ia bumbung tinggi ternyata dihempas begitu saja oleh Adam.

"Tadi ... tadi kamu bilang ... aku boleh pesan kulkas kan, Dam?"

"Boleh pesan bukan berarti aku yang harus membayar kan, Mbak? Mbak Wati gak mendadak lupa kan kalau masih punya suami?" sahut Adam, "Lagipula aku dan Nita sudah berbaik hati menanggung separuh biaya sekolah Farhan. Mbak mau yang gimana lagi?"

"Y-- ya, gak gimana-gimana, ta-- tapi kan, Farhan ...."

"Keponakanku?" tebak Adam membuat kepala Mbak Wati mengangguk membenarkan. "Lalu kalau dia keponakanku, wajib gitu aku menyetarakan dia dengan Nita?"

Mbak Wati cemberut. Bayangan punya kulkas baru tanpa merogoh kocek hancur lah sudah. Ternyata Adam belum bisa dia kuasai penuh meskipun menggunakan dalih Farhan sekalipun. Iming-iming anak tidak lantas membuat posisi Nita bergeser. 

"Sepertinya Mbak salah menilai kebaikanku selama ini," tutur Adam. Kedua matanya menyorot tajam Sang Ipar yang masih terlihat manyun. "Aku membantu biaya sekolah Farhan karena memang ingin. Dan itupun atas ijin dari Nita, Mbak. Andai dia melarang, aku pun tidak akan memaksa, apalagi Farhan masih memiliki Ibu dan Ayah yang masih sehat dan juga bekerja, bukan pengangguran. Jadi tolong, jangan mengambil keuntungan dari kebaikan yang sudah kami berikan, apalagi dengan iming-iming mengijinkan menganggap Farhan sebagai anak kami sendiri. Aku tidak minat, Mbak. Kami mungkin menyayangi Farhan, tapi hanya sebatas keponakan, tidak lebih!"

Kedua mata Nita berkaca-kaca menatap Sang Suami yang masih merengkuh bahunya dengan erat. Jantungnya berdegup kencang ketika ia mendengar dengan telinganya langsung bagaimana pria itu membelanya di depan Mbak Wati.

"Kalau Mbak gak berani bilang sama Mas Hadi, nanti aku deh yang ngomong," kata Adam. 

"Gak usah!" bentak Mbak Wati kesal. "Daritadi kek bilang gak mau beliin. Bicara panjang lebar ujung-ujungnya disuruh beli sendiri. Ogah!"

"Ya sudah kalau gak mau," sahut Adam cuek. "Yuk, Dek, masuk! Kita coba kulkas baru kamu."

Mbak Wati melengos sambil menghentakkan kaki. Dia melenggang begitu saja sambil membawa dongkol di hati.

***

"Eh, mau kemana, Mbak?" tanya Nita sedikit berlari mengikuti langkah Mbak Wati yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah tanpa permisi. 

"Loh, itu ...."

Nita melongo. Ucapannya terhenti begitu saja ketika melihat tangan Mbak Wati yang begitu cekatan memindah bahan dapur ke dalam kantong kresek yang dia bawa.

"Apa-apaan ini, Mbak Wati!" Tanpa sadar, suara Nita meninggi. Mbak Wati menoleh dengan mata melotot. Kresek yang berisi bumbu dapur dia banting begitu saja hingga isinya berserakan.

"Apa-apaan gimana maksud kamu, hah?" sahut Mbak Wati tak kalah sengit. "Aku cuma minta sedikit bumbu dapur saja kamu sampai berteriak lantang begitu!"

"Mbak, ini bukan lagi meminta, tapi merampas!" ucap Nita menohok. 

"Memang ada ipar merampas di rumah ipar sendiri, ada? Gak ada! Yang ada itu ipar pelit yang gak mau berbagi!" 

"Keluar dari rumahku, Mbak!" usir Nita dengan suara melemah. 

Mbak Wati berkacak pinggang. Ditatapnya wajah Nita yang semakin hari membuat hatinya semakin panas.

"Berani sekali kamu ngusir aku, hah? Aku ini istri kakak ipar kamu loh, Nit. Kenapa kamu makin gak punya aturan sih?!"

"Keluar!"

"Benar-benar kamu, Nit!" decak Mbak Wati sambil geleng-geleng. "Aku kesini cuma mau minta sedikit bumbu dapur, tapi kamu ...."

"Dari semua bahan dapur yang berserakan di bawah, coba Mbak lihat bagian mana yang sedikit. Katakan!" bentak Nita lepas kendali. Emosinya benar-benar diuji ketika berhadapan dengan Mbak Wati. "Cabe, bawang merah, bawang putih, tomat, semua yang Mbak bawa di dalam kresek itu hanya menyisakan beberapa butir di kulkas. Coba tuang semua yang ada di dalam kresek itu! Aku hapal sekali kalau tadi pagi sudah stok ikan segar dan ayam. Semua Mbak bawa dan hanya menyisakan kulkas yang hampir melompong. Dan Mbak bilang kalau Mbak minta sedikit? Mbak paham benar kan bagaimana takaran sedikit?"

"Kamu jangan keterlaluan ya, Nit!" desis Mbak Wati geram. "Kamu paham gak sih artinya berbagi, hah?!"

"Lalu apa Mbak Wati paham bagaimana cara menghargai pemilik rumah? Aku sedang duduk di teras tapi Mbak nyelonong masuk begitu saja dan ambil semua bahan dapur yang kupunya. Mbak punya tata krama kan?" Nita berteriak lantang. Kepalanya mendadak pening menghadapi Mbak Wati yang semakin dilawan justru semakin menjadi. 

"Hei, kalian ini apa-apaan sih, suara kalian berdua sampai di depan loh!" celetuk Bulek Murni yang langsung masuk begitu saja ke dalam rumah Nita.

"Ini, Bulek ... Nita benar-benar keterlaluan! Aku minta sedikit bahan dapur tapi dia marah-marah sampai ngatain aku gak punya tata krama gara-gara nyelonong masuk ke dalam rumah," adu Mbak Wati. "Coba Bulek bilangin tuh si Nita, gak baik pelit sama saudara sendiri."

"Ini rumah Adam loh, Nit. Aku, Wati, Hadi sekalipun bebas keluar masuk ke rumah ini. Kamu gak ada andil kan dalam pembangunan rumah keponakanku ini?"

Bersambung 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status