Share

Duh, Wati!

"Astaghfirullah, Bulek Murni, sudah benar tindakan Adam membela Nita. Jangan jadi orang tua yang hasad," tegur Mpok Faridah-- tetangga samping rumah Mbak Wati. "Seharusnya 'sampean' itu bangga punya keponakan yang sayang istri, tidak mudah terpengaruh omongan orang lain. Kalau Adam jadi menantuku, sudah kubangga-banggakan seantero kampung."

Bulek Murni mencebik. "Jangan ikut campur kamu, Dah! Ini urusan keponakan sama Buleknya!" hardik Bulek Murni kesal.

"Tau nih, pulang sana, Mpok! Kenapa para pendatang di kampung ini suka sekali mencampuri urusan orang lain sih, hah?"

"Lah, kalau gak mau tetangga tau masalah kalian, gak mau dapat komentar dari tetangga, ya jangan ribut di depan rumah dong. Gak tau malu!"

Mpok Faridah menggerutu sambil berlalu meninggalkan halaman rumah Nita yang masih memanas. 

"Tuh kan, Dam, gara-gara tindakan kamu yang berat sebelah ini jadinya para tetangga sudah gak menghargai Bulek lagi!" 

"Bulek, dengarkan aku!" pinta Adam, "Nita adalah istriku, aku memintanya di depan pusara Ibu dan Bapaknya dengan berjanji akan membahagiakan putri mereka. Semua yang berkaitan denganku, tentu juga berkaitan dengan Nita. Kalau istriku sudah memutuskan untuk menghentikan membantu biaya sekolah Farhan, ya sudah aku ikuti. Dia punya hak penuh atas semua uangku!"

"Mana ada seperti itu, Dam," sela Mbak Wati, "Farhan juga punya hak atas uang Omnya, lagipula kalian belum punya anak ...."

"Berhenti mengatakan hal itu, Mbak Wati!" bentak Adam lantang. Mbak Wati dan Bulek Murni berjingkat kaget. "Aku mencoba meredam marah ketika melihat istriku terluka dengan ucapan pedas kamu, Mbak. Tapi hari ini ... kamu sudah melewati batas!"

"Selama ini aku dan Nita menghargai kalian dengan sangat baik. Tidak peduli apakah penghasilan Mas Hadi lebih banyak dariku, aku dan Nita tetap membantu sekolah Farhan karena memang kami ingin. Memang kenapa kalau kami belum punya anak? Apa Mbak Wati pikir kami tidak memiliki pengeluaran lain karena hidup kami hanya berdua, begitu?"

Mbak Wati menggeleng ragu. Melihat kemarahan di wajah Adam seketika membuat nyalinya menciut. Apalagi Bulek Murni yang tiba-tiba bungkam dan tidak lagi berani menyanggah semua ucapan Adam.

"Tentang sawah peninggalan Ibu yang Bulek kelola, aku dan Nita mengalah karena kami pikir tidak ada salahnya memberi kesempatan Bulek untuk mengelola sawah itu. Tapi apa selama ini Bulek pernah memberi kami uang sewa padahal dulu Bulek berjanji setiap panen akan membayar pada kami? Tidak kan? Lalu kenapa harus marah kalau Nita meminta sawah itu? Itu sawahku, hak istriku juga!'

"Ta-- tapi, Dam ...." 

"Kalian berdua yang memilih keributan di depan rumah. Aku tidak peduli bagaimana tanggapan tetangga padaku yang jelas ... mulai sekarang semua keputusan aku serahkan pada Nita. Bulek dan Mbak Wati harus ingat, dia istriku ... pemegang tahta tertinggi dalam hidupku selagi dia berada di jalan yang tidak salah. Paham?"

Nita hampir tertawa melihat wajah Bulek Murni dan Mbak Wati yang tak ubahnya seorang anak kecil yang tengah ketahuan mencuri. Keduanya menunduk dan saling sikut. 

"Ehm, Dam, bagaimana kalau kita bicarakan ini baik-baik di dalam rumah. Malu kalau didengar tetangga ...." 

"Sejak tadi aku menawarkan hal itu pada Bulek, tapi kalian memaksaku untuk bertindak tegas di depan semua tetangga. Nasib baik semua tetangga sudah pulang, kalian berdua tidak terlalu malu untuk ini. Tapi istriku ... sudah berapa banyak cibiran dan cacian yang kalian lontarkan pada Nita?"

Bulek Murni bergerak gusar. Kakinya digesek di atas tanah untuk menghilangkan rasa takutnya akibat suara Adam yang makin meninggi.

"Anu, Dam ... itu, kita masuk ke dalam rumah saja ya, kita bicarakan semuanya baik-baik," nego Mbak Wati gugup. "Tadi ... anu ... tadi Mbak cuma bercanda. Lagipula tidak baik menghentikan sedekah apalagi pada keponakan sendiri. Selama ini Mbak sudah menganggap bantuan kalian sebagai sedekah agar pahala bisa mengalir deras di hidup kalian berdua."

"Bercanda?" tanya Adam sinis. "Mbak Wati bercanda mengatakan kalau istriku itu mandul, iya?"

Mbak Wati mengangguk ragu. Kedua tangannya berkeringat dingin sementara pokok permasalahan yang tak lain adalah Farhan entah sudah pergi kemana anak kecil itu tadi.

"Mbak Wati juga wanita, apa tidak bisa sedikit saja merasa iba atas penantian kami berdua? Mbak pikir Nita tidak terluka dengan semua hinaan mandul yang Mbak lontarkan, begitu? Istriku ini manusia, Mbak, bukan malaikat!" hardik Adam makin dongkol. "Beruntung selama ini Nita bisa menutupi semua sakit hatinya, Mbak, andai saja sejak awal istriku ini bukan wanita baik, dia pasti sudah merampas semua yang sebenarnya adalah haknya! Sawah peninggalan Ibu, biaya sekolah Farhan, Nita bisa saja mengambil kembali semua kebaikannya itu tanpa bicara terlebih dulu padaku!"

"Ka-- kami minta maaf, Dam. Mbak tidak bermaksud membuatmu marah dengan menyinggung soal anak. Mbak paham, pasti kamu sangat tertekan ...."

"Ck! Sungguh banyak kalimat yang aku lontarkan, ternyata otak Mbak Wati masih saja belum paham dengan apa yang aku bicarakan. Bebal!"

Kedua mata Mbak Wati mendelik lebar sedangkan Bulek Murni memilih bungkam karena kini otaknya dipenuhi dengan cara bagaimana agar Adam dan Nita tidak mengambil sawah yang sudah sekian lama ia kelola. 

"Bu-- bukan begitu, Dam ...."

"Wat, pantas dari tadi aku panggil-panggil ternyata malah berkumpul disini. Ada apa ini?" Hadi, kakak Adam datang setelah meletakkan motor di halaman rumahnya. "Ada apa, Dam?"

"Maaf, Bang, aku dan Nita sepakat untuk tidak lagi membantu biaya sekolah Farhan, dan juga mengambil alih sawah yang sudah Bulek kelola."

"Mas, nanti aku jelaskan. Sekarang kita pulang dulu, kamu pasti capek. Iya kan?" Mbak Wati terlihat panik. Lengan suaminya ia tarik cukup kuat agar segera meninggalkan halaman rumah Adam.

"Tunggu! Biaya sekolah Farhan?" tanya Hadi bingung. "Sejak awal Abang menolak kamu membantu biaya sekolah Farhan, Dam. Ini ... gimana maksudnya?"

Hadi menatap istrinya cukup tajam sementara Adam dan Nita saling pandang kebingungan.

"Wat, kamu ....?"

"Tidak, Mas. Anu ... itu ... aku sudah jelaskan sama Adam dan Nita kalau Mas menolak bantuan mereka. Tapi ...."

"Mbak Wati gak pernah bilang kalau Mas Hadi menolak loh," sela Nita, "Malah setiap tanggal lima awal bulan Mbak selalu bilang kalau Mas Hadi minta uang sekolah Farhan segera dibayarkan."

"Hah?!"

"Itu, ehm ... Mas, aku bisa jelaskan ini di rumah. Tolong jangan percaya omongan orang lain, Adam saja sangat percaya sama istrinya, masa Mas gak percaya sama aku istrimu sendiri, Mas," kata Wati semakin panik.

"Tapi istriku bicara yang sebenarnya, Mbak," imbuh Adam. "Bagaimana Mbak bisa mengatakan agar Mas Hadi tidak percaya omongan orang lain sementara ucapan Nita ini benar adanya. Mbak mau bilang kalau istriku membual?"

"Kita bicarakan ini di dalam, Dam," ajak Hadi sambil mencekal lengan Wati dengan cukup kuat.

Bersambung 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status