Share

Tidak semudah itu, Marimar!

"Siapa yang ngajarin kamu bicara begitu, hah? Bilang sama Mama, pasti Tante Nita kan yang suruh kamu bilang begini di depan semua orang?" hardik Wati kepalang malu.

Farhan menggaruk pelipisnya sambil memicing. "Mama kenapa marah-marah sih? Ibu Guru bilang, kalau ada orang yang nasehatin kita, harus didengar, gak boleh marah-marah."

"Halah, banyak omong kamu! Ayo pulang, dan jangan datang kesini lagi. Haram kamu menginjakkan kaki di rumah ini, Farhan. Dengar apa kata Mama kan?"

Farhan mengangguk takut sementara beberapa tetangga yang menyaksikan keributan di depan rumah Nita bisa menyimpulkan dengan sendiri siapa yang salah dan benar karena setiap hari mereka pun menjadi saksi betapa kerap Farhan bermain di rumah Nita hingga menjelang malam. Tidak mungkin seorang anak bisa betah berlama-lama dengan orang lain selain kedua orang tuanya kecuali memang Nita yang memperlakukan Farhan dengan sangat baik sehingga membuat bocah kecil itu merasa nyaman.

"Jangan racuni otak anak-anak, Mbak Wati," tegur Seila, "Farhan belum paham apa yang terjadi, dia masih kecil, gak seharusnya kamu membuatnya membenci Mbak Nita. Padahal selama ini aku saksinya kalau Mbak Nita begitu baik pada ...."

"Halah, tau apa kamu, La? Kamu itu cuma menantu yang menumpang di rumah mertua! Kamu itu pendatang, sama seperti ipar tidak tau diri ini!" hardik Wati semakin menggebu-gebu. "Padahal kamu jelas-jelas mendengar sendiri kalau dia tega menghentikan bantuan biaya sekolah Farhan, gitu masih kamu bela kalau dia baik?"

"Ya kalau saya yang jadi Mbak Nita, bahkan rumah suami pun akan saya pagar memutar, Mbak," seloroh Mbak Berta, "Biar saja sekalian dianggap tidak tau diri, daripada tiap hari makan ati!"

"Nah, betul," celetuk Seila sambil tersenyum sinis. 

Nita menarik ujung bibirnya ketika mendapati wajah Mbak Wati yang sudah semakin memerah mirip kepiting rebus.

"Kalian ini cuma tetangga, tau apa tentang masalah yang terjadi diantara kami?" Bulek Murni kembali membuka mulut. "Wajar kalau Wati marah, dia sudah diperlakukan tidak baik oleh iparnya sendiri, bahkan aku ... Bulek dari suaminya pun dipermalukan di muka umum." Bulek Murni menyusut hidungnya yang sebenarnya tidak berair. Suaranya dibuat sedemikian sendu agar orang lain beralih iba padanya.

"Sudah dramanya?" tanya Nita tak acuh, "Kalau sudah selesai menjual kesedihan, aku mau masuk, sebentar lagi suamiku pulang, mending Bulek sama Mbak Wati siap-siap saja memohon-mohon di bawah kakiku." Nita menggoyang-goyangkan kakinya di depan Bulek Murni dan Mbak Wati membuat dua wanita beda generasi itu melotot tajam.

"Simpan makianmu itu, Mbak Wati!" kata Nita. Mbak Wati yang sudah siap membuka mulut pun seketika menutup rapat bibirnya. "Simpan semua ucapan-ucapan pedas kamu sebelum aku bertindak lebih jauh. Tidak mau kan kalau Mas Adam kusuruh untuk mengurus harta peninggalan orang tuanya yang lebih banyak diminta oleh Mas Hadi?"

Lagi-lagi Mbak Wati mati kutu. Selama ini ia pikir jika Nita adalah ipar bodoh yang mudah ia kibuli. Tapi ternyata ... ada banyak hal yang Nita tahu namun memilih untuk diam.

"Aku pastikan kalau Mbak Wati akan menyesal karena sudah bersikap tidak baik padaku. Bukan hanya hari ini, namun hari-hari yang sudah berlalu pun sampai sekarang belum bisa aku lupakan. Semua cacian, semua hinaan, dan semua kata-kata pedas dari mulut Mbak Wati akan aku ingat sampai mati!"

Hampir saja cairan bening Nita meluncur dari pelupuk matanya yang sudah digenangi banyak air mata. Namun, Adam tiba-tiba datang membuat wanita cantik itu segera mengusap sudut matanya yang berair.

"Dek, ada apa ini?"

Nita masih mematung, namun dua wanita beda generasi tadi sudah menangis berlomba-lomba mengeluarkan air mata di depan Adam. 

"Loh, ini pada kenapa sih? Ada apa, Dek?"

"Istrimu, Dam, dia sudah mempermalukan Bulek di depan semua tetangga. Hu ... hu ... hu ...."

"Bahkan, Nita juga bilang kalau dia tidak mau lagi membantu biaya sekolah Farhan, Dam," sambung Mbak Wati yang tak kalah keras tangisnya. "Hu ... hu ... hu ... apa salahnya sesama saudara saling membantu. Entah kenapa istrimu selalu saja mengungkit pemberian kamu untuk Farhan. Dia keponakan kamu, Dam, tidak salah kan kalau kamu juga membantu biaya sekolahnya?"

Semua tetangga dibuat geleng-geleng oleh tingkah Mbak Wati dan Bulek Murni. Sekarang ... tanpa Nita menjelaskan lebih banyak di depan para tetangga, mereka kembali bisa menilai siapa penjilat dan siapa yang terluka disini.

"Ayo, masuk! Malu dilihat banyak tetangga," ajak Adam pada Mbak Wati dan Bulek Murni.

"Enggak, Dam!" Mbak Wati menolak tegas. "Nita sudah mengharamkan rumahnya diinjak oleh kami ...."

"Iya, Dam. Bulek takut ...."

Nita masih bersedekap dada menatap Mbak Wati dan Bulek Marni yang tengah mencoba menghasut Adam.

"Biar semua tetangga tau kalau kamu itu pria yang tidak lembek, Dam! Kamu harus bisa tegas sama Nita, dia ... dia sudah menyakiti hati Bulek dan Mbak iparmu sendiri. Hu ... hu ... hu ...."

"Coba katakan, aku mau dengar dari mulut Mbak Wati dan Bulek Marni kenapa sampai bikin keributan di depan rumahku, apalagi dilihat banyak tetangga begini, malu!"

"Tadi aku bingung cari-cari Farhan, ternyata dia ada di rumah kamu, sengaja dikunci di dalam sama Nita, Dam. Dia ... dia pasti mau merebut anakku, bahkan Nita sudah meracuni pikiran Farhan agar membenciku, Nita juga memfitnahku di depan banyak tetangga katanya aku menyuruh Farhan mengambil lauk di meja makan kalian, dan parahnya lagi ... Farhan pun ikutan berbohong dengan membenarkan ucapan istrimu. Sakit hatiku, Dam!" 

"Betul apa yang Wati katakan, bahkan tadi Nita menyinggung soal sawah yang Bulek garap, padahal bulan depan Bulek sudah rencana mau kasih uang sewa ke kalian. Istrimu memang tidak sabaran, dia keterlaluan!"

"Mbak Nita, jangan diam saja dong!" desak Seila gemas. 

"Diam kamu, La! Tau apa sih kamu, jangan jadi kompor, mending kamu pulang saja sana!" usir Bulek Murni kasar. "Kamu belain Nita karena dia teman baik kamu, harusnya kamu bela yang benar, jangan dukung yang salah!"

Seila mencebik. Dia ikut merasa geram dengan sikap Mbak Wati dan Bulek Murni yang dianggap sudah kelewat batas. Cacat logika kalau dipikir-pikir. Tapi ini nyata. Kejadian ini ada di depan matanya yang mau tidak mau ia harus percaya kalau ada orang sejahat Mbak Wati dan Bulek Murni.

"Jadi begitu?" tanya Adam singkat.

Bulek Murni dan Mbak Wati saling pandang. "Kok begitu doang, Dam? Kamu itu jadi suami yang tegas! Marahi istri kamu biar semua tetangga tau kalau kamu itu gak lembek!" kata Mbak Wati dongkol sepenuh hati.

"Lah, kenapa harus marah-marah, Mbak? Kalau istriku bilang gak mau bantu biaya sekolah Farhan lagi, ya sudah, aku turuti. Dia istriku loh, dia berhak atas semua uangku. Ada yang salah?" 

Nita menarik ujung bibirnya puas. Sangat puas sekali.

"Oh ya, Bulek bilang kalau bulan depan mau ngasih uang sewa sawah kan? Baiklah, bulan depan aku tunggu, kalau gak ada uang sewa sih mending kita garap sendiri ya, Dek?" Nita mengangguk mantap dan mengulas senyum tipis.

Mbak Wati dan Bulek Murni saling pandang. Wajah keduanya berubah pias seperti tidak berdarah.

Beberapa tetangga menertawakan sikap Mbak Wati dan Bulek Murni yang gagal membuat Adam percaya pada ucapan mereka berdua.

"Sudah, sudah! Lagian kenapa ribut di depan rumah begini sih, itu tetangga jadi punya tontonan gratis," gerutu Adam. "Mending bubar semua sekarang! Sore-sore bukannya mandi malah nongkrong di depan rumah orang!"

"Namanya juga diundang, Mas Adam," teriak Seila sambil berlalu. Dia tertawa puas melihat Mbak Wati dan Bulek Murni mati kutu untuk yang kesekian kalinya.

"Jangan lupa pagar rumahnya, Mbak Nita!" teriak Mbak Berta sambil tertawa.

"Dam, kamu gak lagi pura-pura membela Nita di depan para tetangga kan? Harga diri Bulek sama Mbak iparmu ini dipertaruhkan loh!"

Bersambung 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status