Share

Efek Jera

"Farhan! Farhan!"

Nita yang sedang membereskan alat memasak dibuat kaget dengan suara Mbak Wati yang berteriak di depan rumahnya.

"Farhan, keluar kamu, Nak!"

"Farhan!"

Nita segera mengelap tangannya yang basah dan berjalan ke tergesa menghampiri Farhan yang sekarang justru tertidur pulas di depan Televisi yang masih menyala.

"Cepat sekali anak ini tidur," gumam Nita lirih.

"Nita! Buka pintunya, jangan kau culik anakku!" teriak Mbak Wati jauh lebih lantang lagi.

Nita mendelik, baru saja emosinya mereda akibat ulah ipar unik satu itu, kini Mbak Wati sudah datang dan menyulut emosinya untuk yang entah ke berapa kali.

"Farhan, keluar kamu, Nak! Ibu ada di depan!"

Ceklek ....

Beberapa tetangga terlihat berkerumun di depan rumah Nita sementara Mbak Wati pura-pura menangis dalam pelukan Bulek Murni.

"Mana anakku?" bentak Mbak Wati marah. "Kenapa kamu sekap anakku, Nita?"

"Sekap?" Ulang Nita, "Untuk apa aku menyekap Farhan, Mbak?"

"Halah, jangan sok pura-pura lugu kamu, Nit! Kamu sengaja kan mengunci rumah agar Farhan tidak pulang, iya kan?"

Kesabaran Nita lagi-lagi sedang diuji. Di depan semua orang, Mbak Wati sedang memainkan peran dengan apik agar nama Nita menjadi buruk di kampung suaminya.

"Kalau kamu belum bisa punya anak, jangan segala pakai mengunci anak orang biar gak pulang dong! Farhan itu anakku, Nita! Jangan kamu rebut dia dariku!"

"Kamu makin hari makin keterlaluan, Nit! Kemarin saja aku persilahkan kamu dan Adam agar menganggap Farhan sebagai anak sendiri tapi sok-sokan menolak, tapi sekarang lihat ... anakku tidak kamu perbolehkan pulang! Kamu sengaja mau bikin Farhan betah di rumah kamu, iya kan?"

"Singkirkan niat buruk kamu, Nita! Aku ... sampai kapanpun aku tidak akan mau berbagi anak pada ipar jahat sepertimu. Kamu pelit, dzolim dan suka menghasut Adam agar lupa pada keluarganya!"

Mbak Wati berbicara sambil menggebu-gebu di depan para tetangga sementara Nita hanya bersedekap dada sembari mengatur emosinya. Nita paham ... Mbak Wati sedang memancing amarahnya agar para tetangga berpihak pada istri Hadi tersebut. 

"Sekarang mana Farhan, hah? Kamu sembunyikan dimana anakku, katakan!"

"Jangan seperti ini, Nit! Sungguh, Bulek gak menyangka kalau ternyata hati kamu sebusuk ini," seloroh Bulek Marni. "Kasihan Wati, dari tadi dia mencari Farhan sampai menangis, eh gak taunya malah kamu sembunyikan di dalam," imbuhnya menjelma kompor meleduk.

"Bukannya Farhan memang sering main di rumah Mbak Nita ya?" tanya Seila, tetangga samping kanan rumah Nita. 

"Iya, tiap siang sampai menjelang maghrib biasanya memang Farhan ada di rumah Mbak Nita, aku sering lihat kok," timpal Mbak Berta-- tetangga depan rumah Nita. "Kenapa sekarang Mbak Wati justru marah-marah seakan-akan Mbak Nita ini penculik, Farhan kan memang sudah biasa main di sini."

"Halah, tau apa kalian, hah? Aku ini seorang Ibu, aku lebih paham apa yang terjadi pada perubahan sikap Farhan. Asal kalian tau ... sejak sering bermain di rumah Nita, Farhan semakin menjauh dariku! Kalian tau kenapa ... hah? Kalian tau? Itu karena Nita sudah meracuni pikiran anakku! Nita sengaja ingin membuat Farhan lupa dan benci sama aku!" teriak Mbak Wati sambil menangis. Seakan-akan dia adalah Ibu yang paling terzolimi selama ini. "Nita sengaja ingin merebut Farhan dariku karena dia tidak bisa punya anak. Nita ingin mengambil anakku karena dia mandul!"

Plak ...!!!

Plak ...!!!

Tubuh Nita bergetar menahan marah. Kedua matanya menatap nyalang ke arah Mbak Wati yang tengah meringis kesakitan memegang pipi. Telapak tangan Nita terasa kebas, tapi hatinya jauh lebih perih saat ini. 

"Nita!" bentak Bulek Murni marah. "Jaga sikapmu, Nit! Wati ini istri Hadi, kakak ipar kamu!"

"Diam!" bentak Nita lantang. "Bulek tidak punya urusan denganku dan Mbak Wati, tolong diam atau aku ambil paksa sawah Ibu Mertua yang Bulek garap tanpa memberi uang sewa!" 

Wajah Bulek Murni memerah. Namun bibirnya menuruti apa perintah Nita sementara Mbak Wati sontak saja menoleh dan memicingkan mata. "Jadi Bulek bohong? Bulek bilang sawah itu sudah Bulek sewa?" cecar Mbak Wati.

"Baru tau kalau ternyata Bulek yang kamu agung-agungkan ini adalah pembohong, hah? Mbak Wati mau tau seberapa banyak kebohongan yang Bulek Murni tutupi darimu, Mbak?"

"Tapi untuk saat ini pembahasan itu tidak penting bagiku!" kata Nita, "Sekarang bawa anakmu pulang! Dia sedang tidur di depan televisi rumahku. Oh ya ... aku tidak pernah mau mengambil anak orang meskipun Allah belum memberiku keturunan, apalagi anak dari wanita licik dan culas seperti Mbak Wati. Tidak akan pernah!" teriak Nita. "Bawa Farhan pulang dan pastikan dia tidak datang hanya untuk meminta makan karena Ibunya yang gemar memberi asupan nasi hangat dicampur kecap manis. Pastikan anakmu tidak merengek meminta makan di rumahku, Mbak! Apalagi sampai meracuni otak anak sendiri agar mencuri lauk di rumah orang lain. Memalukan!"

Wajah Mbak Wati memerah. Dadanya naik turun mendengar Nita yang membeberkan semua kebenaran tentang dirinya di depan semua orang. 

"Mulai hari ini, detik ini juga, Mbak Wati ... dengarkan aku baik-baik, aku dan Mas Adam menghentikan semua bantuan biaya pendidikan Farhan, dan ... kembalikan utang Mbak yang sudah menjamur itu secepatnya! Secepatnya!"

Mbak Wati mematung di tempat. "Ka-- kamu keterlaluan, Nita!"

"Aku tidak peduli!" sela Nita cepat, "Terlalu lama aku mengalah sampai-sampai tindakan kamu dan Bulek Murni sungguh keterlaluan! Mulai detik ini juga, jangan mengusik kehidupanku, Mbak Wati! Jangan merengek pada suamiku tentang biaya pendidikan anakmu!"

"Dan ya ... setelah masa panen, sawah mendiang Ibu Mertua, aku yang urus! Bulek tidak punya hak atas sawah itu karena sertifikat sawah atas nama suamiku!"

"Kamu ... kamu serakah, Nit!"

"Oh ya?" sahut Nita sambil tersenyum sinis. "Selama dua tahun aku menjadi istri Mas Adam, bisa Bulek jelaskan bagian mana yang menjadi acuan betapa serakahnya aku? Bisa Bulek katakan?

Sawah yang jelas-jelas atas nama suamiku, Bulek minta paksa dengan dalih sewa. Selama bertahun-tahun aku dan Mas Adam diam karena apa ... itu karena kami menghargai Bulek sebagai orang tua di sisi kami. Tapi untuk sekarang ... maaf, aku akan bersikap sebagaimana kalian semua bersikap di depanku!"

Napas Nita masih tersengal. Saat ini, dia tidak peduli dengan bagaimana anggapan tetangga terhadapnya. Entah mereka akan berpihak pada Mbak Wati dan Bulek Marni, atau justru mengasihani dirinya yang semakin hari semakin diusik oleh keluarga Adam.

"Farhan!" Mbak Wati memekik ketika putranya keluar dari dalam rumah Nita. "Ayo pulang, Nak! Jangan datang ke rumah Om Adam lagi karena ... karena Tante Nita sudah melarang. Hu ... hu ... hu ...."

Lagi. Mbak Wati memutar balikkan fakta di depan Sang Anak. Belum ada satu jam dia mengatakan agar tidak menganggap Farhan sebagai putra di depan Nita, dan sekarang ... dia berkata lain di depan Farhan yang masih belum bisa mencerna semua ucapan orang dewasa.

"Pulang ya, Nak! Jangan datang ke rumah ini lagi, apalagi Mama difitnah, Farhan! Mama difitnah sudah meracuni otak kamu supaya mencuri lauk di rumah Tante Nita. Keterlaluan!" Mbak Wati menangis sambil menatap Farhan. 

Farhan mengerjap. Dia mengucek dua matanya yang masih terasa cukup lengket karena tidurnya terganggu oleh keributan di depan rumah Nita.

"Tapi Tante Nita benar, Ma. Farhan sudah minta maaf kok tadi, kan Mama sendiri yang bilang kalau Farhan suruh ambil lauk di meja makan Tante Nita. Untung aja Tante Nita bilang kalau mencuri itu dosa, hih, Farhan takut kalau Allah marah, Ma ...."

Bersambung 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status