Share

Si Paling Bisa Mengatur Uang

"Benar itu, Wat?"

Mbak Wati bergeming, menunduk sambil menatap kakinya yang kalah putih dari kaki Nita.

"Jawab, Wati!" bentak Hadi.

"Di meja makan masih ada ayamnya, Farhan langsung makan saja ya, sendiri bisa kan?" tanya Nita lembut.

Farhan mengangguk girang. "Hore!"

"Gak usah!" sentak Mbak Wati, "Jangan sok baik di depan Mas Hadi kamu, Nit!" imbuhnya menuai anggukan setuju dari Bulek Murni. 

"Farhan, balik!" teriak Mbak Wati. "Jangan minta makan disini lagi kalau ujung-ujungnya Mama difitnah di depan Papa kamu!"

Hadi mengusap wajahnya frustrasi. Jujur, kebenaran yang baru ia ketahui membuatnya ragu. Pasalnya, setiap pulang bekerja, di meja makan selalu ada lauk meskipun terbilang bukan lauk mahal karena Wati selalu beralasan bahwa Farhan menghabiskan ayam atau ikan yang sudah ia beli tanpa menyisakan sedikit saja untuk Sang Papa. 

"Ma, Farhan mau ayam," rengek bocah kecil itu memelas. "Farhan bosan makan nasi sama kecap terus, Mama ...."

"Jadi selama ini kamu kasih makan anak kita cuma pakai kecap, Wat? Keterlaluan kamu!" Hadi naik pitam, "Kerja satu bulan penuh dengan gaji empat juga semua aku berikan ke kamu, tapi anakku cuma kamu beri lauk kecap? Otakmu dimana, Wati!" 

Farhan menunduk takut melihat Papa dan Mamanya yang sedang ribut. "Farhan ke dapur saja ya," pinta Nita lagi.

Wati seketika menoleh dan menatap sengit istri Adam yang nampak begitu lembut memperlakukan putranya. 

"Jangan sok baik, Nit! Kamu sadar gak kalau semua keributan ini terjadi karena ulah kamu!" 

"Lah, kok Mbak malah nyalahin aku?"

"Iyalah, kamu! Andai kamu gak membesar-besarkan masalah, aku sama Mas Hadi gak akan berujung ribut seperti sekarang. Kamu puas lihat keluarga iparmu berantakan, iya?!"

"Cukup!" Suara Adam yang tegas membuat suasana ruang tamu seketika hening diliputi atmosfer panas. "Selesaikan urusan Abang di rumah, perihal kemana uang bulanan yang Abang beri pada Mbak Wati, aku dan Nita tidak mau mendengar karena itu urusan kalian. Masalah kita sudah selesai, aku dan Nita sepakat untuk mengikuti saran Abang dan tidak lagi membantu biaya sekolah Farhan. Sekali lagi kami minta maaf, Bang," tutur Adam sungkan. 

"Gak bisa, Dam! Abang bisa kalap kalau membahas masalah ini di rumah. Kamu tau kan, selama ini Abang sudah berbaik sangka kalau Farhan itu doyan makan sampai-sampai kalau Abang pulang tidak ada lauk mewah yang tersisa. Sambal dan tempe, tahu dan sambal kecap, ikan asin, Abang terima semua masakan Wati berharap Farhan mendapat asupan gizi yang cukup," papar Hadi kecewa, "Tapi nyatanya apa ... dia ... kamu habiskan untuk apa uang bulanan kita, Wat?"

"Ck! Aku itu menabung, Mas," sahut Mbak Wati pada akhirnya. "Mas mana tau kalau aku itu ingin beli ...."

"Beli apa?" sela Hadi sengit. "Apa lagi yang mau kamu beli, hah? Sofa seperti punya Nita, sudah Mas belikan! Apalagi? Barang apalagi yang Nita miliki, Wati?"

Mbak Wati melengos. "Mas memang gak pernah paham kemauan wanita!"

Hadi menghela napas kasar. Bertengkar di depan Adam dan Nita memang memalukan, namun ribut di rumah sendiri ia khawatir tidak bisa mengendalikan emosi yang sudah memuncak ingin meledak-ledak.

"Kemauan apa lagi, Wat? Apa Mas kurang memanjakan kamu selama ini?"

"Wati benar, Hadi, kamu tidak seharusnya marah-marah, toh istrimu itu menabung." Bulek Murni menimpali. Hadi menoleh, tatapannya yang tajam membuat nyali Bulek Murni menjadi kerdil seketika. 

"Menabung?" Ulang Hadi, "Menabung dengan cara memberi asupan gizi yang buruk untuk anakku, begitu maksud Bulek?"

"Y-- ya, kan kecap juga ada gizinya, Hadi, kamu jangan berpatok kalau ayam dan ikan itu asupan paling baik, mungkin memang Nita yang terlalu mencekoki Farhan dengan lauk-pauk mewah."

Nita mendelik sempurna mendengar penuturan Bulek Murni. Entah dendam apa yang dimiliki wanita tua tanpa anak itu sehingga kerap kali menyangkut pautkan semua yang terjadi sebagai kesalahan Nita.

"Kok aku lagi?" seru Nita tidak terima. "Aku bahkan gak pernah panggil Farhan buat selalu makan disini loh, bukannya Mbak Wati sendiri yang nyuruh Farhan ke rumahku untuk minta makan, bahkan tadi sore sebelum Mas Adam pulang, Farhan dipinta agar mencuri lauk di meja makan kami, Mas," adu Nita. "Demi Allah, Farhan sendiri yang bilang, apa mungkin anak sekecil dia bisa berbohong?"

Mbak Wati meradang. Kebenciannya terhadap Nita semakin terpupuk subur. 

"Abang menyerah, Dam ...."

"Eh, apa maksud kamu, Mas?" sela Mbak Wati panik. "Menyerah apa?"

"Beberapa bulan belakangan Mas sudah berusaha sangat sabar menghadapi sikap kamu yang tiap hari makin gak jelas, Wat," ungkap Hadi jujur. "Sejak Adam dan Nita terlihat bebelian mengisi perabotan rumah, kamu seperti cacing kepanasan yang tiap hari merengek inginkan hal yang sama. Bukankah semua yang Nita miliki juga sama dengan apa yang kita punya di rumah?" 

"Dari mulai ranjang baru, gamis baru, sandal baru, dan yang terakhir sofa dengan harga yang lumayan mahal padahal di rumah juga ada kursi untuk tamu, tapi apa ... kamu kekeuh ingin punya sofa yang sama seperti milik Nita. Sebenarnya ada apa dengan kamu, Wati?" 

"Mas mencoba maklum, mungkin memang beginilah sifat wanita yang sebenarnya. Tergoda dengan barang milik orang lain karena memang mereka hobi mengumpulkan perabotan rumah tangga, tapi untuk kesalahan terakhir kamu, maaf ... Mas tidak bisa mentolerir. Semua yang berkaitan dengan Farhan tidak bisa Mas sepelekan."

"M-- mas, aku punya alasan yang logis," ucap Mbak Wati terbata. "A-- aku melakukan ini ka-- karena ...."

"Alasan logis apa yang kamu miliki sampai-sampai tega memberi putra kita makanan paling sederhana padahal kita mampu mencukupi kebutuhan gizinya?" sahut Hadi menyela ucapan Mbak Wati. "Kalau masih ada telur, tempe atau lauk apapun itu Mas bisa terima, Wat, tapi kalau hanya nasi hangat dan kecap, Mas bisa membayangkan betapa sedihnya Farhan! Tidak salah jika dia selalu datang ke rumah Nita dan minta makan disini karena istri Adam memang pandai mengolah keuangan."

"Kok Mas jadi banding-bandingin aku sama Nita sih?" gerutu Mbak Wati marah. "Ya wajarlah kalau mereka pandai menabung, mereka kan belum punya ...."

"Sekalipun mereka belum punya anak, apa kamu lupa kalau biaya sekolah Farhan sempat mereka tanggung? Menabung bukan tentang makan yang harus irit sampai-sampai anak kamu hanya kamu kasih nasi sama kecap, Wat! Tapi menabung adalah meminimalisir pembelian sesuatu yang tidak benar-benar kita butuhkan!"

"Pokoknya gak ada maaf atas kesalahan kamu yang satu ini, Mas kecewa, Wati ...."

Mbak Wati terpaku di tempatnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak ketika Hadi meluapkan semua rasa kecewanya di depan semua tetangga.

"Mas ... aku sudah bilang aku punya alasan melakukan ini," kata Mbak Wati lirih. Suaranya bergetar melihat Hadi yang nampak acuh kepadanya. 

"Apa alasan kamu?"

"A-- aku ... aku ... mau beli kulkas, Mas."

Hadi menoleh dengan cepat sembari mengatur napasnya yang memburu. Nita dan Adam saling pandang sementara Bulek Wati hanya manggut-manggut seolah tengah membenarkan keinginan Mbak Wati yang lagi-lagi ingin membeli barang-barang baru seperti yang Nita miliki.

"Aku ... juga menabung untuk ... membeli mobil. Hanya mobil yang belum Nita miliki, pokoknya aku harus punya sebelum Nita membeli mobil baru dan memamerkan di depan semua tetangga kalau aku adalah istri yang paling pandai mengolah uang."

Bersambung 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status