Share

Wati, ente kadang-kadang ente!

"E-- eh, Mas, aku mau cari Farhan dulu," tolak Mbak Wati gugup. "Di-- dia belum makan, kasihan!"

"Farhan sudah makan kok, Mbak, kan tadi makan di rumahku. Malah hampir saja anak sekecil Farhan diperintah agar mencuri lauk di meja makan Tantenya sendiri," kata Nita jujur. 

Hadi menoleh menelisik wajah Mbak Wati yang semakin pias. "Kamu suruh Farhan mencuri?"

"Eng-- enggak lah, Mas, mana mungkin aku begitu!" sentak Mbak Wati, "Kamu kalau bicara jangan ngasal ya, Nit! Jangan jadi duri di rumah tangga kami, jadi jaga bicaramu itu!"

Nita mengedikkan bahu. Hampir saja Adam kembali meledak-ledak mendengar hardikan Mbak Wati pada Nita, namun istrinya dengan sigap menggelengkan kepala dan mengurungkan niat marah Adam.

"Ayo, Mas! Masuk!"

Hadi menghembuskan napas kasar dan melangkah mengikuti Adam juga Nita masuk ke dalam rumah sementara lengan Mbak Wati dicekal kuat oleh suaminya agar tidak pergi dengan alasan mencari Farhan.

"Eh, Bulek mau kemana?"

Suara Nita mengagetkan Bulek Murni hingga wanita paruh baya itu berjingkat kaget dan menoleh ragu. "Y-- ya, pulang lah! Ini kan urusan kalian, sesama ipar dan saudara," sahutnya sinis. "Untuk apa Bulek ikut-ikut urusan kalian, Bulek mau pulang!"

"Masuk saja, Bulek, sekalian kita bicarakan masalah sawah yang Bulek kelola," pinta Hadi membuat senyum tipis terbit di bibir Nita. "Tadi mau memperjelas urusan sawah kan, ya kan, Dam?"

Adam mengangguk membenarkan. "Mari masuk, Bulek!" 

"Dam, itu ... nanti kita berunding berdua saja masalah sawah. Bulek ... anu ... itu ... Bulek ada urusan ...."

"Urusan apa sih, Bulek? Dari tadi pagi sampai sekarang yang Bulek urusin cuma aku loh. Memang Bulek punya urusan lain selain bikin aku dongkol?"

Bulek Murni mendelik. Dadanya naik turun mendengar sindiran yang Nita lontarkan. Ingin membalas semua ucapan istri keponakannya itu, namun nyalinya menciut ketika melihat wajah garang Adam dan Hadi yang berdiri di depannya.

"Jangan bicara seperti itu, Nit. Kamu sengaja mau bikin Adam sama Hadi benci sama Bulek?" tanya Bulek Murni sedih, "Gini-gini Bulek itu orang paling tua diantara kalian. Jangan lah kamu rusak hubungan dekat kami semua dengan aduan kamu yang gak benar itu!"

"Ah, ya. Maafkan aduanku yang gak benar ini ya, Bulek. Ayo masuk!" ucap Nita mengalah. 

Bulek Murni menyentak kasar napasnya yang memburu. Wanita paruh baya itu menghentak-hentakkan kaki ketika melihat Adam dan Hadi mulai masuk ke dalam rumah diikuti Mbak Wati di belakang mereka.

"Kamu memang kurang ajar, Nit!" hardik Bulek Murni lirih. Nita menoleh, dia naikkan kedua alis dan terkekeh pelan melihat air muka Bulek Murni yang kentara sekali tengah menahan geram. "Lihat saja, Bulek gak akan tinggal diam kalau kamu berani mengambil lagi sawah yang sudah Bulek kelola. Kamu pikir kamu itu siapa, hah?"

"Harusnya Bulek berkaca," sahut Nita santai. "Bulek pikir Bulek itu siapa? Orang paling berjasa di hidup Mas Adam, iya?"

Nita berbalik dan meninggalkan Bulek Murni dengan segumpal kekesalan di dalam hati. "Anak muda jaman sekarang memang sudah minus akhlak!" gerutunya makin kesal. 

Di ruang tamu, semua keluarga duduk di sofa empuk yang baru Nita beli beberapa bulan yang lalu. Masih ingat jelas bagaimana marahnya Mbak Wati kala itu. Bahkan iparnya itu sampai sakit gara-gara sofa baru Nita yang ia ketahui harganya mencapai dua juta rupiah.

"Ck, mahal-mahal beli sofa gak taunya cuma buat tempat bokong," cibir Mbak Wati kelepasan. Hadi menatap tajam Sang Istri membuat bibir Mbak Wati mengatup seketika.

"Langsung saja, Dam, sejak kapan kamu bantu biaya sekolah Farhan?" tanya Hadi tanpa basa-basi, "Jujur, Abang gak suka, Dam, kamu anggap Abang gak bisa mengurus Farhan, begitu?"

"Maaf, Bang," cicit Adam, "Bukannya kami meragukan kemampuan Abang, bahkan aku sama Nita tau kalau gaji Abang jauh lebih besar dariku. Kami berdua hanya ingin membantu sebisanya selagi kami belum ada momongan," imbuhnya.

"Tapi tetap saja Abang gak suka. Dengan cara kalian yang seperti ini malah menimbulkan keretakan dalam hubungan persaudaraan kita. Lihat, istri Abang sendiri justru mengambil kesempatan dari kebaikan kamu, Dam!"

"Mas, bukan mengambil kesempatan, aku hanya menerima dengan senang hati pemberian adik kamu!" bela Mbak Wati. "Lagipula Adam kan niatnya sedekah, kenapa harus ditolak, iya kan?"

"Tapi aku sudah menolaknya, kenapa kamu justru memintanya pada mereka, kamu mau mempermalukan Mas, begitu?"

"Bu-- bukan begitu, Mas. Tapi ... tapi kan Adam sama istrinya belum punya anak, otomatis pengeluaran mereka kan gak banyak kayak kita," elak Mbak Wati. "Daripada uang Adam dihambur-hamburkan sama Nita buat bebelian barang yang gak penting, ya apa salahnya aku minta lagi biaya sekolah Farhan. Dia itu keponakan Adam loh, Mas!"

"Wati!" Suara Hadi meninggi. Napas pria itu memburu serta kedua tangannya mengepal bertumpu di atas paha. 

"Eh, copot ... eh, copot!" Bulek Murni latah. Tangannya tiba-tiba gemetar melihat Hadi membentak istrinya dengan cukup lantang. 

"Dengarkan aku baik-baik! Adam memang adikku dan itu artinya Farhan adalah keponakannya. Tapi meskipun begitu, tidak berhak kamu mencampuri keuangan mereka apalagi Adam sudah punya istri. Harus berapa kali Mas katakan padamu, mau Nita bebelian barang mahal, bebelian emas, bebelian apapun lah itu, itu urusan mereka berdua!" tutur Hadi, "Alasan macam apa itu, kamu marah melihat Nita menghabiskan uang suaminya dan kamu justru meminta bantuan Adam untuk biaya sekolah Farhan. Kau anggap Mas ini apa, hah?"

"Ehm, Bang ... maafkan kami, seharusnya kami rundingan masalah ini sama Abang," sesal Adam. "Maaf kalau Abang tersinggung dengan bantuan yang aku dan Nita berikan. Maaf, Bang ...."

"Bukan itu poin yang ingin Abang bahas, Dam," sela Hadi, "Abang tau dan paham sekali apa niat kamu dan Nita. Hanya saja ... Abang gak habis pikir kalau Mbakmu justru punya pikiran selicik itu!"

Mbak Wati menunduk dalam tanpa berani mengangkat kepalanya.

"Untuk kedepannya, jangan berikan bantuan apapun jika bukan Abang yang meminta. Paham kalian berdua?"

Adam dan Nita mengangguk sungkan. "Maafkan kami, Bang."

"Bukan kalian yang seharusnya minta maaf. Kamu sadar gak kalau tindakan kamu ini sudah mempermalukan Mas, hah?" Wati mengangguk samar, "Maafkan aku, Mas," ucapnya lirih.

"Adam dan Nita memang belum punya anak, tapi bukan berarti mereka tidak punya kebutuhan lain, Wat! Kurang-kurangi dengki kamu itu, Mas lama-lama muak kalau kamu belum juga berubah."

"Astaghfirullah ... sungguh, Wati ... Mas gak habis pikir bagaimana bisa kamu tega memeras iparmu sendiri," gerutu Hadi menyesalkan tindakan istrinya.

"Bang, tapi dari awal aku dan Nita memang berniat membantu." Adam menimpali. Bagaimanapun ia tidak tega melihat Mbak Wati dihardik sedemikian sarkas oleh kakaknya sendiri.

"Ya, Abang tau," sahut Hadi, "Tapi akhirnya malah bantuan kamu dijadikan kesempatan sama istri Abang sendiri. Abang gak suka!"

"Minta maaf sama Nita, kalau sampai masalah ini terulang lagi, Mas gak segan-segan buat potong jatah bulanan kamu!"

Mbak Wati menggeleng cepat, "Ja-- jangan dong, Mas!" 

"Kalau begitu minta maaf!"

Mbak Wati melirik malas ke arah Nita, belum sempat bibirnya terbuka, sosok Farhan masuk ke dalam dan berkata. "Tante, ayamnya masih ada gak? Farhan lapar lagi." Bocah kecil itu merengek manja di pangkuan Nita.

"Farhan, makan di rumah!" pinta Hadi tegas. 

Farhan menggeleng lemah. "Kalau makan di rumah, cuma ada nasi anget sama kecap, Papa. Farhan gak mau!"

Mbak Wati menepuk jidatnya mendengar kejujuran yang Farhan lontarkan.

"Kok nasi anget sama kecap, bukannya Mama setiap hari masak ayam?"

Farhan lagi-lagi menggeleng, "Mama gak pernah masak ayam, Papa," ucapnya gemas. "Kalau pagi, Farhan dikasih telur sama kecap buat sarapan, kalau siang malah Farhan jarang makan soalnya ketiduran, terus sorenya Farhan ke rumah Tante Nita minta makan. Nah, Tante Nita yang sering masak ayam, makanya Farhan suka. Gak kayak Mama, pelit!"

Hadi lagi-lagi menoleh dan mendapati Mbak Wati menunduk sambil meremas jemarinya gugup.

Bersambung 

   

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status