MATAHARI MERAH jingga perlahan merangkak naik di garis laut sana, mengusir embun sisa-sisa tadi malam. Sinar matahari menghangati alam mayapada ini, memberi udara baru bagi setiap mahkluk. Ombak pantai Nusa Kambangan berkejaran bak tangan-tangan maut yang menjulur-julur menampar batu karang, menimbulkan suara bergemuruh.
"Heaaa.... Heaaa...!"
Seiring suara angin kencang yang mendesau, terdengar pula suara garang dari seorang gadis cantik yang tengah berlatih silat di tepi pantai. Gerakannya lincah sekali. Kedua tangannya sesekali menyentak ke depan melontarkan jotosan. Seolah, di hadapannya ada seorang musuh yang tengah kewalahan menghadapi jurusnya. Sementara kedua kakinya sesekali berlompatan ringan dari batu karang yang satu ke batu karang lainnya. Seolah, tubuhnya tak berbobot. Padahal jarak antara batu-batu karang itu cukup jauh, hampir mencapai enam sampai tujuh tombak. Sekali saja gadis itu membuat kesalahan, bukan mustahil tubuhnya akan terbanting keras di batu
"Aku memang sedang gelisah. Kalau tak keberatan, izinkan aku untuk berpetualang. Guru." "Hm...! Jadi, kau sudah tak betah tinggal bersamaku di sini, Yustika?" tanya Ratu Alit, memancing. "Maafkan aku, Guru! Sebenarnya bukan itu maksudku." "Lalu?" "Se... semalam aku bermimpi bertemu kedua orang-tuaku. Kalau saja mimpiku benar, aku ingin sekali bertemu mereka. Maka itulah aku gelisah sekali memikirkannya, Guru." "Hm...! Kau mimpi bertemu kedua orangtuamu, Yustika? Coba ceritakan dengan jelas!" Yustika menghela napasnya sebentar. "Aku bermimpi buruk, Guru. Kulihat, ibuku terjerumus ke dalam lobang yang sangat dalam. Tapi, ayahku malah tertawa-tawa. Te... terus-terang aku jadi ingin sekali bertemu kedua orangtua ku. Apakah Guru dapat membantuku menemukan mereka?" Kini gantian Ratu Alit yang harus menghela napas panjang. Lalu kepalanya menggeleng-geleng. "Ada apa. Guru? Kenapa kau tampak gelisah?" "Aku khawatir kalau
"Nah, sekarang bersiap-siaplah mempelajari pukulan 'Cakar Naga Samudera', Muridku. Pusatkanlah jalan pikiranmu pada satu titik sasaran. Serta, kendurkanlah semua urat saraf dalam tubuhmu?""Baik, Guru."-o0o-SUNGAI ULAR berselimut awan putih. Matahari yang bersinar keemasan berusaha menyibak kabut yang bagaikan tirai putih di lereng sebelah timur. Sementara hawa dingin yang mengungkungi bumi mulai sirna oleh hangatnya sang mentari. Embun-embun pagi di ranting-ranting dahan maupun di bongkahan-bongkahan batu di sepanjang tepian sungai ular tampak berkilauan bagai permata mutu manikam tertimpa sinar matahari.Di atas sebuah bongkahan batu besar, seorang gadis cantik asyik memandang hamparan lereng-lereng terjal nun jauh di sana. Rambutnya yang hitam lebat sebatas punggung bergerak-gerak tertiup angin pagi. Kulitnya putih bersih. Matanya bulat dan tajam ditingkahi bulu mata panjang serta lentik. Hidungnya mancung. Pas sekali dengan bibir merah yang tipis da
Manakala Manggala dan Arum Sari melangkah masuk, Raja Siluman Ular Putih dan Raja Penyihir segera membuka kelopak matanya. Kedua anak muda itu sendiri segera duduk bersimpuh di hadapan mereka."Arum Sari! Mendekatlah! Aku ingin bicara denganmu," ujar Raja Siluman Ular Putih."Baik, Raja Siluman Ular Putih."Arum Sari menggeser duduknya beberapa depa ke depan. Si Buta dari Sungai Ular ikut pula duduk menjejeri. "Muridku sudah bercerita banyak tentang dirimu. Arum Sari. Terus terang, aku turut prihatin. Tak kusangka sobatku Sepasang Pendekar Garuda Emas telah mendahuluiku. Tapi, kuharap kau tak usah terlalu bersedih, Arum. Bukankah orang yang telah membunuh kedua orangtua mu pun telah tewas?""Benar, Raja Siluman Ular Putih. Itu semua tak lepas dari bantuan Manggala dan Raja Penyihir. Cuma terus terang, aku sangat menyayangkan, kenapa aku tak mampu membalaskan sakit hati kedua orangtua ku dengan tanganku sendiri," desah Arum Sari."Aku mengerti. Kepa
Sesekali penunggang kuda yang berada paling depan memberi aba-aba pada beberapa orang-orang di belakangnya, lelaki berusia empat puluh tahun. Itulah yang menjadi pemimpin pasukan ini. Wajahnya bengis dengan sepasang mata garang berwarna merah menyala. Tubuhnya tinggi kekar berbalut pakaian hijau-hijau terbuat dari sutera. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan tergerai di bahu. Sebuah ikat kepala berwarna hijau tampak melingkari kepala. Sekali lihat, lelaki Pimpinan Pasukan Laskar Hijau yang tak lain Setan Haus Darah itu memang gagah. Namun bila menilik perangai dan sepak terjangnya, tentu saja akan membuat orang lari tunggang langgang. Siapa sudi menghadang langkah mereka, kendati bila ingin mati.Ketika memasuki sebuah kampung, Setan Haus Darah memperlambat lari kudanya. Mereka memandang heran, karena sama sekali tak menemukan apa-apa. Penduduk kampung yang biasanya hilir mudik di mulut desa maupun di pematangpematang sawah, tak kelihatan sama sekali. Bahkan anak-anak yang
"Jangan, Tuan! Jangan bawa anakku!" jerit seorang perempuan penduduk kampung memelas saat melihat anak gadisnya diseret paksa oleh Setan Haus Darah."Setan! Tua bangka macam kau mana pantas menghiba padaku! Menghibalah pada Raja Akhirat!"Desss!Tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun, kaki Setan Haus Darah telah mendarat elak di dada perempuan itu hingga kontan mencelat jauh ke belakang. Tubuhnya terbanting keras dengan darah keluar dari mulut dan lobang hidung."Ibuuu...!" teriak gadis yang paling cantik dari gadis-gadis rampasan itu kalap.Namun ketika tangannya ditekuk gadis cantik itu kembali terkulai dalam pelukan pimpinan rombongan Pasukan Laskar Hijau ini, "Dengar! Buka telinga kalian lebar-lebar! Siapa pun yang berani menentang Setan Haus Darah dan pasukannya, berarti kematianlah yang akan diterima. Jangan sekali-kali berani mempermainkan kami kalau tak ingin mati! Kalian dengar!"Tak ada sahutan dari penduduk Kampung Karangkates y
Tak jauh di belakang si pemuda tampak beberapa orang penduduk Kampung Karangkates berduyun-duyun mendekati dengan berbagai macam senjata tajam di tangan kanan. Sambil berteriak-teriak penuh kemarahan, para penduduk yang marah akibat sepak terjang Pasukan Laskar Hijau yang tadi mengobrak-abrik tempat ini kini mulai mendekati Si Buta dari Sungai Ular dan Arum Sari."Jangan sembarangan pentang suara, Kawan! Siapa yang perampok? Enak saja menuduh orang sembarangan!" dengus Arum Sari melampiaskan kejengkelan hatinya pada pemuda tampan di hadapannya."Harap jangan sembarangan menuduh, Sobat. Aku dan temanku ini sama sekali bukan perampok. Kami hanya ingin mampir ke desa ini, barangkali ada kedai makan yang buka," jelas Si Buta dari Sungai Ular kemudian."Kalian bukan perampok?" tukas pemuda berjubah biru seraya mengangkat alisnya yang tebal. Nada suaranya terdengar kurang percaya. Untuk meyakinkan hatinya, kepalanya menoleh ke arah beberapa orang penduduk kampung yang
Tentu saja si pemuda berjubah biru tak ingin kalah gertak. Begitu melihat datangnya serangan, segera tubuhnya sedikit dimiringkan ke samping. Sehingga serangan-serangan hanya menemui angin kosong.Bed!Pada saat bogem mentah Arum Sari melayang ke belakang, mendadak jari-jari tangan si pemuda berjubah biru itu telah berkelebat ke arah punggung Arum Sari."Ah...!" terperangah kaget, tak menyangka si pemuda berjubah biru itu dapat menghindari serangannya demikian mudah. Malah kini punggungnya terancam totokan-totokan jari-jari tangan pemuda itu."Hihh...!" Arum Sari mendengus penuh kemarahan.Tentu saja ia tidak ingin dirobohkan hanya dalam sekali gebrakan. Melihat punggungnya terancam, segera tubuhnya dibuang ke samping.Sementara itu Si Buta dari Sungai Ular yang tengah menghadapi kemarahan penduduk kampung tampak tak bergairah menghadapi serangan-serangan mereka. Namun saat melihat serangan-serangan kian menjadi liar, pemuda ini
"Sudahlah! Jangan terlalu banyak berbasa-basi! Asal kau dan penduduk kampung tak lagi menuduh kami perampok, aku sudah cukup berterima kasih," tukas Si Buta dari Sungai Ular. Diam-diam Manggala mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengirimkan totokan jarak jauh ke arah beberapa orang penduduk kampung yang tubuhnya masih kaku tak dapat digerakkan."Mendengar sepak terjang Setan Haus Darah dan pasukannya aku pun jadi tak tahan lagi untuk menyelidikinya. Percayalah, aku akan menggempur habis mereka bila bertemu nanti. Selamat tinggal, Kawan!"Habis berkata demikian, tanpa banyak cakap Si Buta dari Sungai Ular segera menyambar lengan Arum Sari. Mereka langsung berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Teguh Sayekti yang baru saja menegakkan tubuhnya kembali sejenak menggeleng-gelengkan kepala penuh kagum. Hanya dalam beberapa kelebatan saja, sosok Si Buta dari Sungai Ular dan telah di kejauhan sana. Lebih heran lagi, manakala melihat penduduk kampung yang tubuhnya tadi