Sesekali penunggang kuda yang berada paling depan memberi aba-aba pada beberapa orang-orang di belakangnya, lelaki berusia empat puluh tahun. Itulah yang menjadi pemimpin pasukan ini. Wajahnya bengis dengan sepasang mata garang berwarna merah menyala. Tubuhnya tinggi kekar berbalut pakaian hijau-hijau terbuat dari sutera. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan tergerai di bahu. Sebuah ikat kepala berwarna hijau tampak melingkari kepala. Sekali lihat, lelaki Pimpinan Pasukan Laskar Hijau yang tak lain Setan Haus Darah itu memang gagah. Namun bila menilik perangai dan sepak terjangnya, tentu saja akan membuat orang lari tunggang langgang. Siapa sudi menghadang langkah mereka, kendati bila ingin mati.
Ketika memasuki sebuah kampung, Setan Haus Darah memperlambat lari kudanya. Mereka memandang heran, karena sama sekali tak menemukan apa-apa. Penduduk kampung yang biasanya hilir mudik di mulut desa maupun di pematangpematang sawah, tak kelihatan sama sekali. Bahkan anak-anak yang
"Jangan, Tuan! Jangan bawa anakku!" jerit seorang perempuan penduduk kampung memelas saat melihat anak gadisnya diseret paksa oleh Setan Haus Darah."Setan! Tua bangka macam kau mana pantas menghiba padaku! Menghibalah pada Raja Akhirat!"Desss!Tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun, kaki Setan Haus Darah telah mendarat elak di dada perempuan itu hingga kontan mencelat jauh ke belakang. Tubuhnya terbanting keras dengan darah keluar dari mulut dan lobang hidung."Ibuuu...!" teriak gadis yang paling cantik dari gadis-gadis rampasan itu kalap.Namun ketika tangannya ditekuk gadis cantik itu kembali terkulai dalam pelukan pimpinan rombongan Pasukan Laskar Hijau ini, "Dengar! Buka telinga kalian lebar-lebar! Siapa pun yang berani menentang Setan Haus Darah dan pasukannya, berarti kematianlah yang akan diterima. Jangan sekali-kali berani mempermainkan kami kalau tak ingin mati! Kalian dengar!"Tak ada sahutan dari penduduk Kampung Karangkates y
Tak jauh di belakang si pemuda tampak beberapa orang penduduk Kampung Karangkates berduyun-duyun mendekati dengan berbagai macam senjata tajam di tangan kanan. Sambil berteriak-teriak penuh kemarahan, para penduduk yang marah akibat sepak terjang Pasukan Laskar Hijau yang tadi mengobrak-abrik tempat ini kini mulai mendekati Si Buta dari Sungai Ular dan Arum Sari."Jangan sembarangan pentang suara, Kawan! Siapa yang perampok? Enak saja menuduh orang sembarangan!" dengus Arum Sari melampiaskan kejengkelan hatinya pada pemuda tampan di hadapannya."Harap jangan sembarangan menuduh, Sobat. Aku dan temanku ini sama sekali bukan perampok. Kami hanya ingin mampir ke desa ini, barangkali ada kedai makan yang buka," jelas Si Buta dari Sungai Ular kemudian."Kalian bukan perampok?" tukas pemuda berjubah biru seraya mengangkat alisnya yang tebal. Nada suaranya terdengar kurang percaya. Untuk meyakinkan hatinya, kepalanya menoleh ke arah beberapa orang penduduk kampung yang
Tentu saja si pemuda berjubah biru tak ingin kalah gertak. Begitu melihat datangnya serangan, segera tubuhnya sedikit dimiringkan ke samping. Sehingga serangan-serangan hanya menemui angin kosong.Bed!Pada saat bogem mentah Arum Sari melayang ke belakang, mendadak jari-jari tangan si pemuda berjubah biru itu telah berkelebat ke arah punggung Arum Sari."Ah...!" terperangah kaget, tak menyangka si pemuda berjubah biru itu dapat menghindari serangannya demikian mudah. Malah kini punggungnya terancam totokan-totokan jari-jari tangan pemuda itu."Hihh...!" Arum Sari mendengus penuh kemarahan.Tentu saja ia tidak ingin dirobohkan hanya dalam sekali gebrakan. Melihat punggungnya terancam, segera tubuhnya dibuang ke samping.Sementara itu Si Buta dari Sungai Ular yang tengah menghadapi kemarahan penduduk kampung tampak tak bergairah menghadapi serangan-serangan mereka. Namun saat melihat serangan-serangan kian menjadi liar, pemuda ini
"Sudahlah! Jangan terlalu banyak berbasa-basi! Asal kau dan penduduk kampung tak lagi menuduh kami perampok, aku sudah cukup berterima kasih," tukas Si Buta dari Sungai Ular. Diam-diam Manggala mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengirimkan totokan jarak jauh ke arah beberapa orang penduduk kampung yang tubuhnya masih kaku tak dapat digerakkan."Mendengar sepak terjang Setan Haus Darah dan pasukannya aku pun jadi tak tahan lagi untuk menyelidikinya. Percayalah, aku akan menggempur habis mereka bila bertemu nanti. Selamat tinggal, Kawan!"Habis berkata demikian, tanpa banyak cakap Si Buta dari Sungai Ular segera menyambar lengan Arum Sari. Mereka langsung berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Teguh Sayekti yang baru saja menegakkan tubuhnya kembali sejenak menggeleng-gelengkan kepala penuh kagum. Hanya dalam beberapa kelebatan saja, sosok Si Buta dari Sungai Ular dan telah di kejauhan sana. Lebih heran lagi, manakala melihat penduduk kampung yang tubuhnya tadi
"Silakan, Tuan!" ucap gadis pelayan seraya menggerakkan ibu jarinya.Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis tersenyum sekilas. Gadis pelayan itu pun buru-buru beringsut dari tempatnya."Hey, Pelayan! Cepat kemari!" bentak salah seorang laki-laki kasar itu galak."Baik, Tuan."Dengan tergopoh-gopoh, buru-buru gadis pelayan itu mendekati laki-laki yang memanggilnya barusan. Pembunuh Iblis yang hendak menyuapkan makanan ke mulutnya jadi menahan gerakan ketika melihat tangan kekar laki-laki kasar itu tahu-tahu merengkuh pinggang gadis pelayan ke dalam pelukannya."Jangan, Tuan! Jangan!" ratap gadis pelayan itu seraya menggelengkan kepala kesana kemari menghindari mulut laki-laki berperangai kasar itu yang hendak menciumnya."Sungguh sayang! Kenapa dunia ini selalu diwarnai tindak kekerasan? Kenapa hanya untuk melampiaskan nafsu harus memaksakan diri? Hm...! Aneh. Kalau semua laki-laki di muka bumi ini berlaku sewenang-wenang, bagaimana mungkin dunia
Trang! Trang! Trang! Trang!Empat golok kontan beterbangan manakala pergelangan tangan para pengeroyok terkena totokan tangan Teguh Sayekti. Di saat mereka terperangah kaget, pemuda berjubah biru itu segera bertindak. Jari-jari tangannya yang terkembang kembali bergerak cepat menotok.Tukkk! Tukkk! Tukkk! Tukkk!Keempat orang anggota Pasukan Laskar Hijau itu kontan membelalak lebar dengan tubuh kaku tak dapat digerakkan."Katakan! Di mana pimpinan kalian yang bergelar Setan Haus Darah bersembunyi! Cepat!" bentak Teguh Sayekti, seraya mencengkeram leher laki-laki kasar yang pertama menyerangnya tadi. Mata anggota Pasukan Laskar Hijau itu membelalak ketakutan. Kedua bola matanya mengerling ke arah ketiga orang kawannya di samping. Namun anehnya, mereka diam tak mempedulikannya. Sikap mereka pun sama seperti orang yang tengah ditodong Teguh Sayekti. Takut. Entah takut pada siapa."Kau tak mau mengatakannya, he!" dengus Teguh Sayekti makin memperkeras
Dari dalam kedai orang yang dipanggil Pembunuh Iblis hanya mengangguk-anggukkan kepala."Bagus! Rupanya mereka sudah datang," gumam Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis.Sekilas mata pemuda berjubah biru melirik ke arah dua orang anggota Pasukan Laskar Hijau yang tubuhnya masih kaku tak dapat bergerak. Lalu dengan mantap kakinya melangkah ke luar.Di halaman depan kedai makan Pembunuh Iblis melihat Setan Haus Darah duduk di atas punggung kuda dikawal beberapa orang anak buahnya. Jumlah mereka cukup banyak, tak kurang dari dua puluh lima orang."Kaukah yang bergelar Pembunuh Iblis, Bocah!" bentak Setan Haus Darah, manakala melihat Teguh Sayekti melangkah keluar."Benar! Dan kau tentu ketua perampok yang bergelar Setan Haus Darah!" balas Pembunuh Iblis.Setan Haus Darah tertawa bergelak."Bocah bau kencur macam kau beraninya menantangku! Lekaslah bersujud di hadapanku kalau tak ingin nyawamu lenyap dari raga!" ejek Setan Haus Darah pongah
Si Buta dari Sungai Ular tersenyum getir. Entah kenapa Manggala merasa bersalah melihat kemurungan wajah Arum Sari."Kasihan sekali kau, Arum. Demi Tuhan aku tak bermaksud mempermainkan hatimu. Ini semua gara-gara ucapan guru...," desah Si Buta dari Sungai Ular dalam hati.Arum Sari melirik ke arah Si Buta dari Sungai Ular sejenak. Dilihatnya murid Raja Siluman Ular Putih tengah menatap kosong ke depan. Tapi si gadis membiarkannya. Saat tiba di simpang jalan di pinggiran hutan kecil. Arum Sari mendadak menghentikan langkahnya. Sepasang matanya yang tajam menekuri rumput-rumput kering di bawah dengan seksama."Manggala, lihat! Tampaknya ada bekas beberapa telapak kaki kuda yang baru saja melewati tempat ini," tunjuk tanpa menoleh ke arah Si Buta dari Sungai Ular sedikit pun.Manggala sendiri saat itu tengah berjongkok mengamati bekas-bekas tapak kaki kuda di atas rumput kering sambil sesekali menggumam. Lalu pandang matanya segera dialihkan ke