Ingatan kata-kata Ega masih terngiang di kepalanya. Mulai dari akad nikah hingga ikrar talak yang diucapkan pria itu bagai komedi kehidupan yang membuatnya tidak ada waktu untuk sekedar bersiap.
"Wake up, Zhia! Tidak ada lagi yang tersisa, cari kebahagiaanmu sendiri." Ucapan penyemangat untuk dirinya sendiri berulang kali Zhia ucapkan untuk mengembalikan mentalnya.
Selesai mengguyur tubuhnya dengan air dingin, ia bersiap untuk sarapan bersama dengan keluarganya. Dan, waktu memang tidak bisa ditunda lagi, ia harus menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya dan Ega di malam pertamanya. Malam yang seharusnya menjadi malam terindah bagi sepasang pengantin baru.
"Sekarang jelaskan pada ayah, apa yang terjadi dengan kalian?" Abdullah bertanya kepada Zhia.
"Hhmm, Yah. Zhia dianggap sudah tidak perawan. Mereka merasa dibohongi sama Zhia." Dengan tenang ia menjawab pertanyaan tersebut.
"Omong kosong! Alasan apa itu?" Abdullah merasa alasan yang disampaikan Zhia mengada-ngada.
"Kenyataannya seperti itu, Yah. Zhia juga gak ngerti kalau mereka punya prinsip sekolot itu. Darah perawan dijadikan satu-satunya tolak ukur," jawabnya berkaca-kaca.
"Siapa, Zhia? Dengan siapa kamu melakukannya?" Pertanyaan Abdullah terdengar sebagai tuduhan jika ia sudah tidur dengan pria lain sebelum Ega.
“Ayah pun tidak percaya dengan anak sendiri?” Zhia berkaca-kaca menatap pria yang menjadi cinta pertamanya itu.
“Lalu, ayah harus menuduh mereka berbohong? Itu sama saja menganggap mereka hanya bermain-main dengan pernikahan kalian, sementara mereka yang membiayai penuh acara megah itu. Paham maksud ayah?” Abdullah menjeda kata-katanya. Memejamkan mata, ia mencoba membulatkan keputusan yang baginya tidak mudah.
“Dengan percaya ucapan mereka, Ayah menuduh Zhia tidur dengan pria lain. Mas Ega sudah dapat mahkota Zhia, Yah! Sepertinya tidak ada yang mengerti perasaan Zhia, disini,” ucapnya hendak berdiri meninggalkan ruangan tersebut untuk kembali ke kamarnya.
“Ayah belum selesai, Zhia. Tetap duduk di tempatmu!” Perintah tegas Abdullah menghentikan langkahnya. Mau tidak mau, Zhia kembali duduk.
“Kamu jujur aja, Nak. Ayah akan cari pria itu, dimanapun dia berada,” ucap Mirna kepada anaknya. Wajah sendu bercampur kecewa menjadi satu. Mirna tidak menyangka jika nasib Zhia seperti ini.
“Gak ada, Bu. Zhia udah jujur,” jawabnya. Tangisnya akhirnya pecah dipelukan sang Ibu. Untuk pertama kalinya, Zhia merasa begitu lemah. Tidak dihargai layaknya sebagai seorang wanita. Ega betul-betul menghancurkan martabatnya hingga ke dasar bumi.
“Jangan mempermainkan orang tuamu, Zhia. Cepat katakan siapa pria itu atau ayah terpaksa bertindak!” Abdullah meninggalkan ruangan tersebut, berjalan menuju ruang kerjanya.
Sementara itu, Mirna mencoba bicara lagi dengan Zhia. “Duh, Nak. Ibu bingung kalau pada keras kepala seperti ini. Kamu bicara dong, biar ayahmu gak nekat, Nak!”
Tak lama kemudian, Abdullah kembali dengan membawa alat tulis dan selembar kertas. Meletakkan di meja lalu duduk di samping Putri, anak keduanya. “Jika kamu tidak mau berbicara dan memilih melindungi pria itu, lebih baik ayah tidak memiliki anak sepertimu. Tanda tangani surat ini dan keluar dari rumah ini.”
“Ayah ngusir Zhia?” Mirna memprotes keputusan suaminya.
“Lebih baik untuk masa depan Putri, jika Zhia tetap disini akan berdampak buruk bagi adiknya.” Jawaban dari Abdullah sungguh membuat Zhia terluka. Ia seperti tidak mendapatkan tempat lagi di keluarganya sendiri.
“Baik, kalau ini yang Ayah mau. Zhia akan tanda tangani dan keluar dari rumah ini.” Buliran air mata mengalir di pipi mulusnya. Hidupnya sudah hancur. Ia tidak ingin menjadi beban bagi Putri, masa depan adiknya terlalu berharga jika diabaikan begitu saja.
“Yah, gak begini cara menyelesaikan masalah,” protes Putri yang sedari tadi hanya menyimak obrolan tersebut.
“Kamu belum paham. Lebih baik diam dan lihat apa yang dilakukan kakakmu!” Abdullah menghardik Putri yang mencoba membela Zhia.
“Sudah, Put. Kamu nurut Ayah saja. Biar kesalahan ini, mbak tanggung sendiri,” kata Zhia meminta adiknya tidak melawan Abdullah.
“Sendiri katamu? Kami juga menanggung, Zhia! Nama baik keluarga tercoreng dengan kelakuan bejatmu. Memalukan!”
“Cukup! Cukup, Yah,” sahut Mirna meminta suaminya untuk berhenti menghujat anaknya.
“Semua keputusan ada pada Zhia, menunjukkan identitas pria itu atau keluar dari rumah ini. Tidak ada negosiasi dan lainnya,” ucap Abdullah sebelum meninggalkan para wanita di ruangan itu.
“Yah!” Mirna menyusul suaminya yang hendak kembali ke kamar.
Sedangkan Zhia, ia berusaha menguatkan hatinya untuk menandatangani surat tersebut. Surat pernyataan bahwa ia keluar dari kartu keluarga atas nama Abdullah, ayah kandungnya sendiri. Zhia tidak menghiraukan protes adiknya yang memintanya tidak pergi. Zhia meletakkan surat tersebut di tempat semula lalu kembali ke kamarnya untuk berkemas. Putri, sang adik terus menangis dan memarahi kakaknya. Tidak bergeming, Zhia pun sama sedihnya. Tidak ada yang mau berada di posisi ini.
“Mbak, ayolah. Aku yakin Ayah hanya emosi sesaat. Kita minta maaf aja dulu. Putri temenin ke kamar Ayah dan Ibu.” Putri menahan Zhia untuk membuka kopernya. Namun, Zhia hanya menggelengkan kepala, menolak ide adiknya. Menurut Zhia, masalahnya tidak sesederhana yang dipikirkan adiknya.
“Tidak Putri, jadilah anak yang baik. Banggakan Ibu dan Ayah. Mbak cuma bisa kasih pesan ini ke kamu. Jangan ulangi kesalahan mbak dalam memilih pria yang akan menjadi pendampingmu.” Zhia menutup kopernya. Menghampiri adiknya yang terduduk di lantai masih berusaha menahan Zhia.
Mengusap lembut pipi adiknya yang basah, Zhia menunjukkan senyum terbaiknya di depan Putri. “Mbak gak kemana-mana, kita hanya berbeda rumah. Tidak perlu sedih seperti ini, sayang.” Zhia merapikan rambut panjang adiknya yang berantakan.
Zhia tidak berani menatap wajah Putri, ia menyeret kopernya keluar dari kamarnya. Kamar yang hampir dua puluh tiga tahun ia tempati. Tempat bersejarah yang menemani perjalanannya hingga menikah dengan Ega. Melewati ruangan keluarga, suasana lengang membuat Zhia mengelus dadanya, segitu bencinya Abdullah kepadanya. Hingga melepas kepergian anaknya saja tidak sudi. Taksi online yang dipesannya sudah datang, bersamaan dengan mobil Ega yang berada di belakangnya.
“Mas, Mas Ega tolong bilang Mbak Zhia. Jangan boleh pergi,” kata Putri menghampiri Ega yang baru saja turun dari mobilnya.
“Putri! Mbak gak minta kamu mengemis seperti itu!” Zhia geram dengan tindakan adiknya. Namun, kedatangan Ega tidak akan merubah keputusannya untuk pergi.
“Mau kemana, Zhia?” Pertanyaan Ega membuat Zhia tertawa keras.
“Tidak ada urusannya dengan Mas Ega. Semoga kita tidak bertemu lagi kedepannya. Bahkan, jika Tuhan memberiku kesempatan untuk reinkarnasi sekalipun!” Suaranya bergetar, menahan sesuatu yang menyesakkan dada.
Satu kalimat yang Zhia artikan sebagai ucapan maaf, terasa begitu mahal untuk diucapkan pria yang hanya kurang dari dua puluh empat jam menjadi suaminya. Sungguh menyesakkan dada. "Jika bersamaku menjadikan luka di hatimu, pergilah. Carilah apa yang kau sebut bahagia." Ungkapan Ega kepada Zhia membuat wanita itu tertawa lalu menangis.
Zhia menangis sejadinya di dalam mobil, teriakan Putri yang kecewa karena kepergiannya menambah beban di hati. Tidak berani menoleh ke belakang, Zhia meminta driver online tersebut melajukan kendaraannya lebih kencang. “Gue udah dijalan, Lo udah siapin beneran buat gue?” tangan Zhia bergetar mengirimkan pesan singkat dari salah satu teman sekolahnya itu.“Udah, Lo datang aja ke apartemen yang udah gue share alamatnya. Itu punya gue, Lo istirahat aja. Sore gue jemput, Lo pakai pakaian dress yah,” jawab rekan Zhia itu.“Oke. Gue udah mau sampai,” tutup Zhia. Ia memasukkan ponselnya di dalam tas, lalu membayar ongkos taksinya.Menyeret kopernya masuk ke resepsionis, Zhia menanyakan kunci unit yang ditinggalkan rekannya. Hidupnya dimulai dari sini, Zhia yang sekarang bukanlah Zhia yang melankolis lagi. Begitulah pesan dari Nola yang barusan diterimanya. Zhia bergegas membersihkan diri, seperti permintaan Nola. Ia memakai dress yang sekiranya menarik namun tetap sopan dikenakan untuk berte
"Karena keperawanan yang hilang bukan untuk ditangisi seperti sebuah duka yang tiada henti. Sesuatu yang dipastikan akan hilang jika pemiliknya melewati siklus kehidupan." Ucapan kedua Fia ada benarnya, tidak ada gunanya menangisi sesuatu yang tidak akan kembali.“Oke, saya yakin pindah ke Malang. Tapi, dokumen saya bagaimana?” Pertanyaan Zhia sebenarnya bukan masalah besar bagi Fia, ia sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini berulang kali. Dengan berbagai macam karakter wanita.“Tidak masalah, Nola sudah memberitahuku. Yang utama, kau sudah bulatkan keputusanmu. Tidak ada paksaan disini, aku sudah memberimu pilihan, bukan?” Fia menyeruput coffee latte nya hingga tandas.“Baik, Bu. Saya tidak berubah pikiran, kok.” Zhia menjawab keraguan yang tersirat dari ucapan Fia.“Oke, lebih cepat lebih baik. Jika kau siap, berangkatlah ke Malang siang ini juga. Nola akan menyiapkan tiketmu, bagaimana?”“Mau, mau sekali. Bu, terima kasih,” kata Zhia berkaca-kaca.“Sudah, perkara identitasmu
"Kalau aku dianggap menipu, lalu yang dilakukan mereka itu apa?" Zhia bertanya pada dirinya sendiri. Ia sudah menanggalkan pakaiannya, lalu memutuskan untuk membersihkan diri, bersiap bertemu Fia di tempat kerjanya.“Zhia sudah tidak ada. Sekarang, namaku Aya. Diambil dari nama belakangku,” ucap Zhia sambil memakai handuk kimono nya, keluar dari kamar mandi. Mata Zhia tertuju pada sebuah mini dress warna hitam tanpa lengan yang tergantung di dekat lemari. “Cantik dan seksi, aku suka dress itu. Ah, Nola pasti sudah tahu seleraku.”Membutuhkan waktu satu jam untuk Zhia bersiap, dengan make-up natural ia tampil elegan dan mempesona. Bahkan orang kepercayaan Fia pun tidak berkedip mata menyaksikan pemandangan indah di depannya. Hingga tiba cafe milik Fia pun, Zhia menjadi pusat perhatian para tamu yang melihat kedatangannya.“Ruangan Mami ada di dalam, masuk aja.” Salah satu anak buah Fia mengantarkannya sampai di depan ruangan wanita itu.Zhia mengetuk pintu ruangan tersebut, suara Fi
Danu masih berdiri, terdiam membisu tidak dapat berpikir. Bisa-bisanya, ia bertemu dengan mantan menantunya itu. Ia mematung melihat dua orang gadis seusia Zhia tengah merapikan meja dan menyalakan sound system untuk karaoke."Kau! Kau benar-benar kurang ajar! Kau tidak ingat siapa aku?" Danu menatap tajam Zhia yang terus memprovokasi dirinya."Oh, tentu saja sayang ingat. Saya adalah mantan menantu Anda. Menantu yang ditalak di malam pertamanya." Zhia meraih ponselnya di saku lalu memotret Danu yang tengah duduk diapit oleh kedua temannya yang lain."Hey, untuk apa kau mengambil gambar!""Hahahaha, santai saja. Pak Danu tidak usah emosi. Teman saya hanya menemani saja, kok. Setelah ini, hanya ada kita berdua disini," kata Zhia sambil mengedipkan mata. Memberi kode kepada kedua rekannya untuk keluar dari ruangan tersebut."Eh, mereka mau kemana?" Danu panik karena Zhia menutup pintu ruangan tersebut dan menghampirinya dengan tatapan benci."Tugas mereka sudah selesai, sekarang kita mul
Nola adalah orang terakhir yang Ega cari. Karena hampir semua teman-teman Zhia kompak menjawab ketidaktahuan mereka tentang keberadaan Zhia. Wanita itu bekerja di salah satu perusahaan kosmetik ternama di ibukota. Menunggu sampai jam pulang kantor, Nola berjanji untuk menemui Ega di salah satu coffeeshop tak jauh dari kantornya."Lo ngapain sih masih nyariin Zhia. Lo udah talak dia, udahlah." Nola duduk di kursinya lalu mengomel kesal kepada Ega yang terus menerornya sejak tadi pagi."Gue, gue butuh ketemu Zhia. Setidaknya untuk membahas rumah tangga kami," jawab Ega dengan tidak tahu malunya."Hahaha, Lo beneran lawak! Temen gue Lo talak di malam pertamanya. Dia udah gak perawan sama Lo, bego! Terus sekate-kate Lo nyariin dia buat bahas urusan rumah tangga? Rumah tangga macam apalagi yang bakal Lo bahas sama temen gue?""Ayolah, La. Gue butuh tahu dimana Zhia. Dia udah matiin ponselnya, gak mungkin juga gue nyariin dengan tangan kosong. Dimana dia, La? GPS gue terakhir di bandara, Lo
Satu minggu sudah Zhia bekerja di karaoke tersebut. Walaupun belum menjadi bintang utama di tempat tersebut, bagi Zhia tidaklah penting."Aya, setelah menyelesaikan pekerjaanmu dengan tamu di room. Lo diminta datang ke rumah Mami. Malam ini juga," kata salah satu rekan Zhia di tempat karaoke tersebut."Oh, oke Mbak. Makasih," jawab Zhia dengan menunjukkan senyum terbaiknya.Satu jam lagi pekerjaannya selesai, ia mendapatkan tamu beberapa orang tim marketing sebuah perusahaan rokok yang menyewa jasanya untuk menemani berkaraoke. Walaupun hanya menemani bernyanyi selama empat jam, tips yang didapatkan dari para pria tersebut lumayan untuk menambah saldo rekeningnya."Terima kasih, Mas. Lain kali, panggil Aya lagi yah. Kalau perlu call untuk konfirmasi," jawab Zhia kepada salah satu dari mereka setelah ia mendapatkan transferan tips."Oke, bye cantik!"Zhia langsung menuju ruang ganti, permintaan untuk bertemu dengan Fia malam ini, sepertinya penting. Apalagi, sampai Fia yang memintanya
Zhia tidak menduga akan bertemu dengan salah satu keluarga ayahnya. Mau tidak mau, Zhia pun menyapa adik kandung ayahnya itu. “Eh, Tante Tika. Apa kabar?”“Baik, kamu kok gak bilang kalau ada di Surabaya. Nginep dimana? Suami kamu gak ikut?” Rentetan pertanyaan Tika kepada Zhia membuat Zhia bersedih. Ia melupakan kenyataan bahwa sang ayah memiliki adik kandung yang tinggal di kota pahlawan ini.“Zhia sendiri, Tante. Eh, Zhia duluan yah. Udah ditunggu mau balik,” pamit Zhia itu buru-buru pergi dari hadapan Tika. Setengah berlari, ia keluar dari toilet wanita di tempat tersebut. Bagi Zhia, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk sekedar hahahihi dengan saudara atau rekanan keluarganya. Tidak, waktu adalah uang bagi Zhia. Impiannya untuk mendapatkan kebebasan finansial tidak akan terwujud jika ia tidak rajin bekerja. Selain untuk mengobati rasa sakit hatinya, Zhia berharap tidak akan bertemu dengan Tika lagi.“Astaga, jantungku!” Zhia lega, rangkaian perawatan yang harus ia jalani sudah
“Mas yang gila, harusnya di saat kondisi Zhia yang seperti ini, kita lah yang harus merangkulnya. Dia sendirian dan rapuh, Mas! Keluarga seharusnya menjadi tempat ternyaman Zhia untuk berkeluh kesah. Sayangnya kalian malah mengusirnya! Apa Mas sudah gila?” Tika marah besar begitu mendengar langsung pengakuan Putri jika kakaknya pergi dari rumah karena sudah diusir oleh Abdullah.“Aku pastikan dia akan kembali dan memohon pada ayahnya untuk diterima lagi, kamu gak usah berlebihan. Zhia tidak akan bertahan lama di Surabaya,” kata Abdullah dengan sombongnya.“Gak paham aku dengan cara berpikirmu, Mas! Benar-benar keterlaluan! Tika kesal bukan main kepada kakak kandungnya itu. Ia mematikan sambungan telepon tersebut sepihak.Nafas Tika tersengal, tidak dapat membayangkan hancurnya hati Zhia, keponakan cantiknya itu tadi terlihat sendu dan menyimpan duka yang dalam. “Pantas saja kalau wajahnya terlihat gak bahagia, Mas Abdullah memang sinting! Udah gila harta, sampai anak sendiri tidak diu