Nola adalah orang terakhir yang Ega cari. Karena hampir semua teman-teman Zhia kompak menjawab ketidaktahuan mereka tentang keberadaan Zhia. Wanita itu bekerja di salah satu perusahaan kosmetik ternama di ibukota. Menunggu sampai jam pulang kantor, Nola berjanji untuk menemui Ega di salah satu coffeeshop tak jauh dari kantornya.
"Lo ngapain sih masih nyariin Zhia. Lo udah talak dia, udahlah." Nola duduk di kursinya lalu mengomel kesal kepada Ega yang terus menerornya sejak tadi pagi."Gue, gue butuh ketemu Zhia. Setidaknya untuk membahas rumah tangga kami," jawab Ega dengan tidak tahu malunya."Hahaha, Lo beneran lawak! Temen gue Lo talak di malam pertamanya. Dia udah gak perawan sama Lo, bego! Terus sekate-kate Lo nyariin dia buat bahas urusan rumah tangga? Rumah tangga macam apalagi yang bakal Lo bahas sama temen gue?""Ayolah, La. Gue butuh tahu dimana Zhia. Dia udah matiin ponselnya, gak mungkin juga gue nyariin dengan tangan kosong. Dimana dia, La? GPS gue terakhir di bandara, Lo pasti tahu dia dimana?""Lo selain menyebalkan juga mengerikan! Beruntung temen gue udah Lo cerein! Gak habis pikir gue, lagian mau gue tahu apa kagak udah bukan urusan Lo!""Ada, La. Ada, gue belum bahas hal penting sama Zhia?""Kayaknya gak ada, gono-gini juga gak mungkin. Kecuali Lo nikah udah hitungan tahun sama Zhia. Lo ajak jadi suaminya gak lebih dari dua puluh empat jam! Lo konyol!"Ega terdiam setelah mendengar ucapan Nola. Ada benarnya juga ucapan sahabat dari mantan istrinya itu."Ape Lo diem kayak gitu? Merasa bersalah? Sayangnya udah terlambat, lebih baik Lo pulang deh. Gue lagi nungguin pacar gue datang." Nola mengusir Ega secara terang-terangan. Bagaimana tidak, cara Ega menceraikan Zhia benar-benar menyakitkan bagi sahabatnya itu."Gue masih berharap Lo ngasih tahu dimana Zhia." Ega meletakkan dua lembar uang seratus ribu untuk membayar minuman mereka."Sayangnya tidak akan pernah!"Nola uring-uringan memaki Ega hingga pria itu menghilang dari pandangannya. Sementara Ega, memilih untuk pulang, rasanya tidak ada gunanya berdebat seperti tadi dengan Nola. Wanita itu tidak akan memberitahu dirinya."Iya, Yah. Surabaya? Bukankah Ayah ada seminar di Malang?" tanya Ega balik. Ia penasaran, mengapa Ayahnya pergi ke Surabaya."Sudah selesai, ke Surabaya hanya menemani teman-teman saja, sebelum kembali ke Jakarta. Besok pagi, tolong jemput ayah. Kita harus bicara," kata Danu dengan nada serius.Ega mengerti arah pembicaraan sang ayah. Sudah pasti mengenai Zhia dan perjanjian bisnis dengan keluarga mantan istrinya itu. Dan, disinilah Ega berada, pintu kedatangan dalam negeri bandara internasional Soekarno-Hatta."Sini, Yah. Biar Ega yang bawa," ucapnya meraih koper milik Danu."Kamu tidur di bandara sepertinya, hasil pertemuan dengan Nola bagaimana?" Danu mempertanyakan usaha Ega mencari keberadaan Zhia."Nihil, Yah. Ega malah dimaki-maki sama Nola. Gak ada yang tau juga dimana Zhia," jawab Ega putus asa."Kita bicara di kamar kamu saja. Yang pertama, pesankan ayahmu ini sarapan. Aku sudah lapar dan letih," kata Danu mengikuti anaknya masuk ke dalam mobil."Iya, ayah mau sarapan apa?""Apa saja yang cepat dan bikin kenyang. Rasanya sudah mau nelen pesawat. Emosi ayahmu ini tidak stabil!"Danu banyak mengomel ini dan itu, apalagi kondisi jalanan ibukota yang padat merayap membuat mood nya semakin buruk."Kita ke Aeropolis aja, Yah. Kemaren Ega pinjem room temen. Kebetulan hari ini dia terbang keluar kota.""Boleh, apa saja. Asalkan kita bisa leluasa berbicara. Itu yang terpenting."Dan di dalam unit milik rekan Ega itulah Danu berbicara jujur kepada anaknya."Ayahmu ini tidak tahu jika Zhia ada disana. Menurut teman-teman sih memang bekerja di tempat itu. Kamu lebih baik tidak mendekat untuk saat ini.""Tunggu, Zhia bekerja di tempat karaoke? Apa Ayah gak salah orang?" Ega bukan tidak percaya ucapan Danu, tapi tempat karaoke rasanya bukan tempat yang cocok untuk seorang Zhia bekerja."Dia tidak bisa bekerja di tempat bagus, semua ijazahnya ditahan sama Abdullah. Aku tidak tahu, apakah pengakuan Zhia benar atau tidak, menurutnya semua ijazahnya dibakar oleh ayahnya sendiri. Huft, kita harus bagaimana?""Astaga! Apalagi ini, Tuhan!" Ega meraup wajahnya tidak percaya. Seorang Zhia yang merupakan wanita mahal dan elegan terjebak dalam lingkup pekerjaan malam."Ayah tidak sarankan kamu ke Surabaya, untuk saat ini sebaiknya kita urus kesepakatan kita dengan Abdullah. Kita harus benar-benar protect. Perusahaan dia sudah dalam genggaman kita, Ega. Jangan sampai terlepas hanya karena kau lebih memilih untuk membela Zhia.""Zhia istri Ega, Yah!""Jangan lupa, kau sudah jatuhkan talak kepada istrimu itu. Eh, sudah mantan istri malah. Selesaikan legalitas perceraian kalian. Setelah itu selesai, kau boleh antar sendiri akta cerai itu kepada Zhia.""Ibu, bagaimana dengan Ibu?""Astaga, jangan sampai dia tahu. Simpan untuk kamu sendiri. Jangan bahas hal ini dengan atau tanpa Ayahmu. Kepada siapapun!""Iya yah, sepertinya itu yang antar makanan kita." Ega beranjak dari duduknya dan membukakan pintu kamar untuk resepsionis yang mengantar makanan pesanannya."Kamu pesan online?""Iya, Yah. Biar cepat, dan ini enak kok. Langganan Ega juga," jawabnya sambil membuka bungkus makanannya."Boleh juga, nasi uduk yah. Kapan-kapan ajak ayah ke warung aslinya.""Boleh, tempatnya nyaman kok."Ega dan ayahnya menikmati sarapan paginya dengan menu sederhana. Setelah meminum air mineral dalam kemasan yang tersedia di meja, Danu mulai berbicara serius kepada anaknya."Bagaimana ini, kamu yang datang ke Abdullah atau ayahmu yang memberitahu kondisinya. Setidaknya, jangan sampai Zhia membuat malu keluarganya.""Kita berdua saja, Yah. Paling tidak, Pak Abdullah tidak salah paham dengan permintaan kita." Ega merasa, sudah pasti Abdullah marah besar kepada Zhia. Pria itu, ia pastikan tidak akan bersikap sedemikian keras kepada Zhia tanpa alasan yang jelas."Ya udah, kamu coba hubungi dia. Kalau bisa, cari tempat bertemu yang tidak terlihat banyak orang. Kita harus jaga privasi karena masih menyangkut keluarga besar kita, Nak.""Baik Yah, Ega paham maksud Ayah.""Bersikap seperti biasanya saja. Jangan membuat ibumu curiga. Itu pesan ayah.""Apa Zhia baik-baik saja, Yah?" Pertanyaan Ega membuat Danu tertegun, putranya itu terlihat masih memiliki rasa cinta kepada Zhia."Secara fisik, dia terlihat baik-baik saja, tapi setelah ayah melihat sendiri dia menangis lalu tertawa terbahak-bahak, pandangan ayah berubah. Perceraiannya denganmu agaknya membuat mentalnya terguncang.""Jadi, ada baiknya Ega tidak muncul dulu di depan Zhia?""Itu lebih baik, seperti yang ayah katakan di awal tadi. Ada baiknya jaga jarak terlebih dahulu. Dia meracau tidak jelas ketika ayahmu memarahinya. Untuk menjadikannya menantu lagi, meman tidak mungkin. Tapi, demi kemanusiaan ada baiknya kita biarkan Zhia berdamai dengan keadaannya."Ega menghela nafasnya perlahan, bukan seperti ini yang ia mau. Kehilangan Zhia dengan cara konyol seperti ini, sungguh membuat hatinya terluka. "Ega masih cinta sama Zhia, Yah. Andai masih ada cara untuk membawa Zhia kembali ke Jakarta."Satu minggu sudah Zhia bekerja di karaoke tersebut. Walaupun belum menjadi bintang utama di tempat tersebut, bagi Zhia tidaklah penting."Aya, setelah menyelesaikan pekerjaanmu dengan tamu di room. Lo diminta datang ke rumah Mami. Malam ini juga," kata salah satu rekan Zhia di tempat karaoke tersebut."Oh, oke Mbak. Makasih," jawab Zhia dengan menunjukkan senyum terbaiknya.Satu jam lagi pekerjaannya selesai, ia mendapatkan tamu beberapa orang tim marketing sebuah perusahaan rokok yang menyewa jasanya untuk menemani berkaraoke. Walaupun hanya menemani bernyanyi selama empat jam, tips yang didapatkan dari para pria tersebut lumayan untuk menambah saldo rekeningnya."Terima kasih, Mas. Lain kali, panggil Aya lagi yah. Kalau perlu call untuk konfirmasi," jawab Zhia kepada salah satu dari mereka setelah ia mendapatkan transferan tips."Oke, bye cantik!"Zhia langsung menuju ruang ganti, permintaan untuk bertemu dengan Fia malam ini, sepertinya penting. Apalagi, sampai Fia yang memintanya
Zhia tidak menduga akan bertemu dengan salah satu keluarga ayahnya. Mau tidak mau, Zhia pun menyapa adik kandung ayahnya itu. “Eh, Tante Tika. Apa kabar?”“Baik, kamu kok gak bilang kalau ada di Surabaya. Nginep dimana? Suami kamu gak ikut?” Rentetan pertanyaan Tika kepada Zhia membuat Zhia bersedih. Ia melupakan kenyataan bahwa sang ayah memiliki adik kandung yang tinggal di kota pahlawan ini.“Zhia sendiri, Tante. Eh, Zhia duluan yah. Udah ditunggu mau balik,” pamit Zhia itu buru-buru pergi dari hadapan Tika. Setengah berlari, ia keluar dari toilet wanita di tempat tersebut. Bagi Zhia, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk sekedar hahahihi dengan saudara atau rekanan keluarganya. Tidak, waktu adalah uang bagi Zhia. Impiannya untuk mendapatkan kebebasan finansial tidak akan terwujud jika ia tidak rajin bekerja. Selain untuk mengobati rasa sakit hatinya, Zhia berharap tidak akan bertemu dengan Tika lagi.“Astaga, jantungku!” Zhia lega, rangkaian perawatan yang harus ia jalani sudah
“Mas yang gila, harusnya di saat kondisi Zhia yang seperti ini, kita lah yang harus merangkulnya. Dia sendirian dan rapuh, Mas! Keluarga seharusnya menjadi tempat ternyaman Zhia untuk berkeluh kesah. Sayangnya kalian malah mengusirnya! Apa Mas sudah gila?” Tika marah besar begitu mendengar langsung pengakuan Putri jika kakaknya pergi dari rumah karena sudah diusir oleh Abdullah.“Aku pastikan dia akan kembali dan memohon pada ayahnya untuk diterima lagi, kamu gak usah berlebihan. Zhia tidak akan bertahan lama di Surabaya,” kata Abdullah dengan sombongnya.“Gak paham aku dengan cara berpikirmu, Mas! Benar-benar keterlaluan! Tika kesal bukan main kepada kakak kandungnya itu. Ia mematikan sambungan telepon tersebut sepihak.Nafas Tika tersengal, tidak dapat membayangkan hancurnya hati Zhia, keponakan cantiknya itu tadi terlihat sendu dan menyimpan duka yang dalam. “Pantas saja kalau wajahnya terlihat gak bahagia, Mas Abdullah memang sinting! Udah gila harta, sampai anak sendiri tidak diu
Zhia sudah bersiap dengan pakaian santainya, seperti permintaan Irwan kepadanya, ia tidak perlu memakai pakaian resmi seperti semalam. Pilihannya jatuh pada rok jeans dan atasan kaos berwarna putih. Kali ini dengan flat shoes yang lebih feminim namun simple. Dengan langkah anggunnya, Zhia keluar dari kamar kost nya, menemui Irwan yang sudah menunggunya di luar pagar rumah bercat putih itu.“Halo, sudah siap?” Irwan yang pada siang itu mengenakan jeans dan kaos pun terlihat sumringah melihat penampilan manis Zhia yang berbeda dari semalam.“Hai. Kok lihatnya kayak gitu?” Pertanyaan Zhia membuat Irwan terkekeh.“Kamu seperti ada dua versi, Aya yang semalam begitu dewasa dan elegan. Sedangkan yang sekarang lebih terlihat sesuai umur kamu yang saya kira baru dua puluh tahun lebih. Belum lama lulus S1, kan?”“Eh, kok tahu?”“Sekedar informasi umum dari Fia, kita langsung jalan yah. Saya sudah lapar, makan dulu kita,” kata Irwan meminta sopir melajukan kendaraannya menuju salah satu mall ta
Zhia tidak menyangka jika pria yang baru saja mengenal dirinya menawarkan sebuah pernikahan."Tidak apa, tidak usah terburu-buru. Saya tidak minta jawaban kamu sekarang. Pelan-pelan saja, saya akan menunggu sampai kamu siap.""Saya, saya tidak enak kalau begini, Pak. Irwan."“Kamu bilang, ingin menyembuhkan luka dengan bekerja, silahkan saja. Lakukan apapun yang membuatmu bahagia, Aya. Wanita baik sepertimu, tidak pantas menangis. Kau tahu, dari pertemuan pertama kita ini, saya belajar dari kamu.” “Belajar apa, Pak? Tidak ada yang bisa dibanggakan dari hidup saya yang berantakan ini,” ucap Zhia terkekeh.“Ada Aya, kamu membungkus sebuah kesedihan dengan sebuah senyum yang tulus, pasrah kepada Tuhan namun tetap optimis. Saya belum bisa berbesar hati seperti kamu. Menerima ketetapan Tuhan untuk saya,” ungkap Irwan.“Sejujurnya, kalau dibilang tidak ikhlas ya memang. Saya hanya manusia biasa, kecewa, pasti. Tapi, saya kembalikan lagi, jika saya membiarkan diri saya terkungkung dengan pe
Zhia tengah bercermin di depan kaca, memakai wewangian yang diberikan Irwan kepadanya. Dengan mengenakan pakaian yang dikirim oleh anak buah Fia, ia berjalan dengan anggun keluar dari ruang ganti untuk menemui Tyas, rekan kerjanya malam ini.“Wow, ayu tenan. Aya, beneran ini Aya?” Tyas, partner kerjanya malam ini terkagum-kagum melihat penampilan seksi dan mempesona Zhia.“Apa sih, Mbak! Udah yuk, kasian sopir udah tunggu kita di luar,” ucap Zhia menarik lengannya berjalan keluar dari ruangan khusu LC.“Hehehe, ayu dan wangi. Kamu beda dengan senior kita yang sombong itu, memang sih dia udah kaya dan mainannya bos-bos. Tapi, itu kan bukan jadi alasan dia merendahkan juniornya,” ucap Tyas masih tidak terima perlakuan senior Zhia beberapa waktu yang lalu.“Udah, gak usah diingat-ingat. Kita mau kerja, to? Lumayan, sekalian healing ke Malang. Aku dengar villa nya bagus, dekat pegunungan gitu, Mbak.”“Ah, kowe jangan baik-baik sama mak lampir macam itu. Ndak cocok dia terima kebaikanmu,”
Abdullah tidak mampu berkata-kata lagi, ia tidak ingin menahan Zhia untuk saat ini. Ia tahu jika anaknya akan pergi lebih jauh dan tidak dalam jangkauannya.“Biarkan saja, kamu beritahu anak-anak untuk bersikap sopan dengan dia,” ucap Abdullah kepada pria berbaju batik itu.Selagi Zhia dan Tyas menemenai anak buah Abdullah, pria itu sejujurnya ingin bertemu Fia. Sayangnya, Fia sendiri tengah berada di Jakarta untuk urusan pekerjaan. Abdullah hanya ditemui oleh wakil Fia yang kebetulan berada di Surabaya.“Tidak masalah, saya titip Zhia, maksud saya Aya. Bagaimanapun hubungan kami, dia tetaplah anak saya,” ucap Abdullah sebelum mengakhiri sambungan teleponnya dengan wakil Fia itu.“Baik Pak Abdullah, saya akan sampaikan kepada Bu Fia. Sejauh ini, Aya masih dalam koridor Dvia. Dia selalu menolak side job yang ditawarkan klien kami, jadi Anda beruntung memiliki anak seperti dia. Masih memegang teguh harga dirinya.” Ucapan pria tersebut terngiang di kepala Abdullah, apakah ia sudah salah
“Sakit hatinya sudah dalam, Pak Abdullah. Mohon maaf, sudah tidak terselamatkan. Hanya Tuhan dan waktu yang akan membuatnya luluh. Sejujurnya Zhia perlu psikolog, hanya saja itu akan percuma jika dia sendiri tidak mau bangkit dari rasa sakit hatinya. Melunakkan hati wanita yang terlanjur sakit hati, tidak semudah membalikkan telapak tangan.”“Sedalam itu?” Pertanyaan Abdullah sejujurnya membuatnya naik darah. Bagaimana bisa pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut pria yang dengan bangga dipanggil Ayah oleh Zhia.“Bapak bisa bertanya kepada ahlinya, saya hanya seorang Ibu dan karyawan Bapak. Walaupun saya lulusan psikologi sekalipun, tetap saja tidak bisa sembarangan menganalisa,” ucap wanita berkacamata itu kepada Abdullah.“Ya sudah, saya minta ada yang memantau Zhia. Kalau perlu, tinggal di rumah kost dimana anakku berada,” ucap Abdullah mengusap keringat di dahinya. Ia memilih masuk ke dalam mobil dan bergegas ke bandara, karena perwakilan Irwan tidak bersedia bertemu di Surabaya.“