"Katakan Zhia, siapa yang sudah mendapatkan mahkotamu sebelum aku?" Pertanyaan Ega membuat Zhia sedih. Tidak hanya melukai harga dirinya sebagai seorang wanita, tapi juga melukai harga dirinya sebagai istri.
"Mas yang pertama, apa yang salah?" Zhia mengusap pipinya yang basah berulang kali. Tidak ada satupun dari mereka yang berinisiatif untuk sekedar memberi tisu untuknya.
"Omong kosong! Jangan mencoba menipu kami, Zhia!" Ibu mertua Zhia menghardiknya, Yanti tidak percaya dengan ucapan menantunya. Wanita yang dinikahi anaknya beberapa jam yang lalu.
"Zhia gak bohong, Bu. Mas Ega yang pertama buat Zhia." Menjawab pertanyaan ibu mertuanya, Zhia lalu menundukkan kepalanya. Suaranya bergetar menahan tangis yang menyesakkan dada.
Malu, kecewa dan perasaan campur aduk tidak dapat ia jelaskan dengan kata-kata. Tidak pernah terpikirkan oleh Zhia jika hal seperti ini menjadi masalah besar di keluarga suaminya.
"Semua maling juga gak ada yang bilang dirinya maling, Zhia. Jadi, lebih baik kamu jujur saja. Siapa laki-laki itu?" Lagi-lagi pertanyaan dari ayah mertuanya semakin memojokkan dirinya.
"Gak ada yang percaya Zhia, lebih baik kita ke dokter saja. Dokter pasti tahu, Bu." Ide Zhia ditolak mentah-mentah oleh Yanti dan suaminya karena menganggap ini sudah jelas dan tidak perlu ada pembuktian apapun.
"Ega, bantu Zhia berkemas dan antar dia pulang ke rumahnya." Perintah dari Yanti menghujam jantungnya, semudah itukah mereka mengambil keputusan tanpa bertanya dan mencari sebab.
Di ruang keluarga, waktu menunjukkan pukul dua pagi, Zhia dihakimi sedemikian kejam oleh suami dan keluarganya. Tidak ada kesempatan membela diri, atau sekedar mengungkapkan apa yang dia rasakan.
"Maksud ibu apa?" Zhia menaikkan suaranya satu oktaf karena kesal dan merasa disudutkan.
Plak!
"Jaga bicaramu, Zhia! Beraninya kau meninggikan suaramu di depan Ibuku!" Ega menamparnya keras. Buliran air matanya tidak terbendung lagi. Hancur sudah pertahanan seorang Zhia.
Beranjak dari tempat duduknya, ia kembali ke kamarnya sedikit berlari. Tidak ada yang peduli keadaan Zhia. Bahkan badannya yang terasa remuk setelah seharian melewati rangakaian acara adat pun tidak mereka hiraukan. Ditambah, sakit di bagian bawah perutnya pun tak tidak ia pedulikan. "Rasanya lebih sakit dari ditampar, Tuhan!" Zhia mengusap pipinya beberapa kali agar tidak terlihat menyedihkan di depan suaminya, walaupun sebenarnya seperti itu.
Ega menyusul Zhia ke kamarnya atas permintaan orang tuanya. Ia mendapati istrinya sedang mengemasi barangnya yang bahkan belum sempat ia keluarkan semua dari koper. "Mas antar kamu pulang, kita selesaikan semuanya baik-baik." Ega meraih koper Zhia yang baru saja ditutupnya.
"Tidak usah, Zhia pulang sendiri aja," jawabnya tanpa melihat wajah sang suami.
"Tidak bisa seperti itu, Mas bawa kamu baik-baik. Mengembalikan ke orang tuamu juga harus baik-baik." Ega tidak peduli dengan penolakan Zhia. Tubuhnya kalah kuat dibandingkan dengan suaminya.
Disaksikan oleh kedua orang tua Evan, ia dipaksa masuk ke dalam mobil sedan hitam itu. Zhia membisu, tidak ada satu katapun yang ia ucapkan kepada suaminya.
"Dengar Zhia, Mas tidak hanya memulangkan kamu. Ikrar itu harus disaksikan orang tuamu biar jelas semuanya." Ucapan Ega belum sepenuhnya dimengerti oleh Zhia. Peristiwa di ruang keluarga tadi saja masih mengguncang jiwanya.
"Apa yang mereka ributkan?" Zhia bertanya dalam hati. Ia hanya tertawa menanggapi ucapan suaminya.
"Kenapa tertawa?" Di dalam perjalanan ke rumahnya, Zhia menertawakan ucapan Ega.
"Miris aja, hanya karena tidak ada bercak darah, Mas dan orang tua Mas menganggap aku tidak perawan," jawab Zhia mengusap pipinya lagi. Air mata yang dibungkus sebuah tawa begitu menyedihkan bagi yang peka keadaan Zhia. Sayangnya, Ega tidak menyadari hal itu.
"Kamu gak pinter biologi ternyata. Hidup gak melulu soal uang, Zhia. Tapi harga diri dan martabat keluarga juga penting!" Tanpa sepengetahuan Ega, ia sudah menghubungi adik kandung Zhia untuk membangunkan orang tuanya, pantas saja, ketika Zhia sudah di teras rumah, lampu ruang tamu susah menyala. Terdengar suara ayah dan ibunya sedang berbincang dengan adiknya.
Mobil orang tua Ega pun ikut terparkir di luar teras rumah Zhia yang memang tidak memiliki lahan parkir. Bergegas mengikuti anak dan menantunya masuk, Yanti dan Danu memasuki rumah besannya itu.
"Ada apa ini, malam-malam datang rame-rame. Tidak bisakah kalian menunggu pagi," ucap Ibu Mirna bingung.
"Lebih baik duduk semua, maaf karena ini tidak bisa kami tahan lagi. Makanya, sengaja kami datang lengkap bersama dengan Ega. Nak, bicaralah," kata Yanti kepada anaknya. Lewat sorot mata seorang Ibu, ia berusaha menguatkan anaknya.
"Sebelumnya mohon maaf. Ibu, Ayah, ini terdengar mengecewakan kita semua. Tapi, saya tidak mau ada kebohongan dalam rumah tangga kami. Terlebih, ini sudah menyangkut prinsip, harkat dan martabat keluarga dipertaruhkan disini," ucap Ega mengawali pembicaraan.
"Ada apa ini Zhia, Ega? Jeng Yanti ada apa sebenarnya?" Mirna yang sudah curiga mulai mendesak anak dan menantunya bicara.
"Ibu, Bapak, sekali lagi Ega minta maaf. Dengarkan aku, Sazhia Nur Attaya binti Abdullah, dengan ini, aku talak tiga kau di depan orang tua kita. Bersama dengan selesai ucapanku, kau bukan istriku lagi. Terima kasih." Ega mengucapkan kata demi kata itu tanpa ragu. Begitu tenang dan tanpa tekanan.
"Ega! Jangan keterlaluan kamu, Nak! Apa yang kamu ucapkan barusan!" Mirna memeluk anak perempuan pertamanya itu. Rasanya belum sampai 24 jam berakhir pesta pernikahan megah Ega dan Zhia digelar. Malapetaka apa yang sedang menimpa anak dan menantunya ini. Keduanya berderai air mata, menahan duka.
"Baiklah, sebagai ayah Zhia, saya terima kembali anak kami. Terima kasih sudah mengantar Zhia sampai ke rumah." Abdullah tidak banyak bicara, setelah menjawab ikrar talak yang diucapkan Ega, ia meminta anak menantu dan besannya meninggalkan kediamannya.
"Zhia, masuk kamarmu dan kita bicara besok pagi. Ayo, kembali ke kamar masing-masing." Perintah Abdullah mereka jalani tanpa protes, termasuk Zhia dan adiknya Putri.
Selama di dalam kamar, Putri pun tidak banyak bertanya kepada kakaknya. Ia sudah cukup mengerti arti dari setiap ucapan Ega tadi. Hampir satu jam tidak ada suara dari Zhia, akhirnya Putri mendengar kakaknya berbicara.
"Mbak dituduh tidak perawan, Put. Hanya karena tidak ada bekas darah, ini tidak adil." Suara parau Zhia menandakan ia sudah terlalu lama menangis.
"Tidak masalah, Mbak. Yang sabar, Putri yakin Mbak bisa lewatin ini," jawab gadis berkacamata itu menenangkan kakaknya.
Sementara itu, di kamar kedua orang tuanya, sayup-sayup Zhia mendengar Mirna dan Abdullah bersitegang.
"Ini akibat kamu terlalu membebaskan Zhia. Sekarang, terima akibatnya!" Abdullah murka kepada Mirna. Menyalahkan wanita yang melahirkannya atas kemalangan yang terjadi padanya.
Ingatan kata-kata Ega masih terngiang di kepalanya. Mulai dari akad nikah hingga ikrar talak yang diucapkan pria itu bagai komedi kehidupan yang membuatnya tidak ada waktu untuk sekedar bersiap."Wake up, Zhia! Tidak ada lagi yang tersisa, cari kebahagiaanmu sendiri." Ucapan penyemangat untuk dirinya sendiri berulang kali Zhia ucapkan untuk mengembalikan mentalnya.Selesai mengguyur tubuhnya dengan air dingin, ia bersiap untuk sarapan bersama dengan keluarganya. Dan, waktu memang tidak bisa ditunda lagi, ia harus menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya dan Ega di malam pertamanya. Malam yang seharusnya menjadi malam terindah bagi sepasang pengantin baru."Sekarang jelaskan pada ayah, apa yang terjadi dengan kalian?" Abdullah bertanya kepada Zhia."Hhmm, Yah. Zhia dianggap sudah tidak perawan. Mereka merasa dibohongi sama Zhia." Dengan tenang ia menjawab pertanyaan tersebut."Omong kosong! Alasan apa itu?" Abdullah merasa alasan yang disampaikan Zhia mengada-ngada."Kenyataannya sepe
Zhia menangis sejadinya di dalam mobil, teriakan Putri yang kecewa karena kepergiannya menambah beban di hati. Tidak berani menoleh ke belakang, Zhia meminta driver online tersebut melajukan kendaraannya lebih kencang. “Gue udah dijalan, Lo udah siapin beneran buat gue?” tangan Zhia bergetar mengirimkan pesan singkat dari salah satu teman sekolahnya itu.“Udah, Lo datang aja ke apartemen yang udah gue share alamatnya. Itu punya gue, Lo istirahat aja. Sore gue jemput, Lo pakai pakaian dress yah,” jawab rekan Zhia itu.“Oke. Gue udah mau sampai,” tutup Zhia. Ia memasukkan ponselnya di dalam tas, lalu membayar ongkos taksinya.Menyeret kopernya masuk ke resepsionis, Zhia menanyakan kunci unit yang ditinggalkan rekannya. Hidupnya dimulai dari sini, Zhia yang sekarang bukanlah Zhia yang melankolis lagi. Begitulah pesan dari Nola yang barusan diterimanya. Zhia bergegas membersihkan diri, seperti permintaan Nola. Ia memakai dress yang sekiranya menarik namun tetap sopan dikenakan untuk berte
"Karena keperawanan yang hilang bukan untuk ditangisi seperti sebuah duka yang tiada henti. Sesuatu yang dipastikan akan hilang jika pemiliknya melewati siklus kehidupan." Ucapan kedua Fia ada benarnya, tidak ada gunanya menangisi sesuatu yang tidak akan kembali.“Oke, saya yakin pindah ke Malang. Tapi, dokumen saya bagaimana?” Pertanyaan Zhia sebenarnya bukan masalah besar bagi Fia, ia sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini berulang kali. Dengan berbagai macam karakter wanita.“Tidak masalah, Nola sudah memberitahuku. Yang utama, kau sudah bulatkan keputusanmu. Tidak ada paksaan disini, aku sudah memberimu pilihan, bukan?” Fia menyeruput coffee latte nya hingga tandas.“Baik, Bu. Saya tidak berubah pikiran, kok.” Zhia menjawab keraguan yang tersirat dari ucapan Fia.“Oke, lebih cepat lebih baik. Jika kau siap, berangkatlah ke Malang siang ini juga. Nola akan menyiapkan tiketmu, bagaimana?”“Mau, mau sekali. Bu, terima kasih,” kata Zhia berkaca-kaca.“Sudah, perkara identitasmu
"Kalau aku dianggap menipu, lalu yang dilakukan mereka itu apa?" Zhia bertanya pada dirinya sendiri. Ia sudah menanggalkan pakaiannya, lalu memutuskan untuk membersihkan diri, bersiap bertemu Fia di tempat kerjanya.“Zhia sudah tidak ada. Sekarang, namaku Aya. Diambil dari nama belakangku,” ucap Zhia sambil memakai handuk kimono nya, keluar dari kamar mandi. Mata Zhia tertuju pada sebuah mini dress warna hitam tanpa lengan yang tergantung di dekat lemari. “Cantik dan seksi, aku suka dress itu. Ah, Nola pasti sudah tahu seleraku.”Membutuhkan waktu satu jam untuk Zhia bersiap, dengan make-up natural ia tampil elegan dan mempesona. Bahkan orang kepercayaan Fia pun tidak berkedip mata menyaksikan pemandangan indah di depannya. Hingga tiba cafe milik Fia pun, Zhia menjadi pusat perhatian para tamu yang melihat kedatangannya.“Ruangan Mami ada di dalam, masuk aja.” Salah satu anak buah Fia mengantarkannya sampai di depan ruangan wanita itu.Zhia mengetuk pintu ruangan tersebut, suara Fi
Danu masih berdiri, terdiam membisu tidak dapat berpikir. Bisa-bisanya, ia bertemu dengan mantan menantunya itu. Ia mematung melihat dua orang gadis seusia Zhia tengah merapikan meja dan menyalakan sound system untuk karaoke."Kau! Kau benar-benar kurang ajar! Kau tidak ingat siapa aku?" Danu menatap tajam Zhia yang terus memprovokasi dirinya."Oh, tentu saja sayang ingat. Saya adalah mantan menantu Anda. Menantu yang ditalak di malam pertamanya." Zhia meraih ponselnya di saku lalu memotret Danu yang tengah duduk diapit oleh kedua temannya yang lain."Hey, untuk apa kau mengambil gambar!""Hahahaha, santai saja. Pak Danu tidak usah emosi. Teman saya hanya menemani saja, kok. Setelah ini, hanya ada kita berdua disini," kata Zhia sambil mengedipkan mata. Memberi kode kepada kedua rekannya untuk keluar dari ruangan tersebut."Eh, mereka mau kemana?" Danu panik karena Zhia menutup pintu ruangan tersebut dan menghampirinya dengan tatapan benci."Tugas mereka sudah selesai, sekarang kita mul
Nola adalah orang terakhir yang Ega cari. Karena hampir semua teman-teman Zhia kompak menjawab ketidaktahuan mereka tentang keberadaan Zhia. Wanita itu bekerja di salah satu perusahaan kosmetik ternama di ibukota. Menunggu sampai jam pulang kantor, Nola berjanji untuk menemui Ega di salah satu coffeeshop tak jauh dari kantornya."Lo ngapain sih masih nyariin Zhia. Lo udah talak dia, udahlah." Nola duduk di kursinya lalu mengomel kesal kepada Ega yang terus menerornya sejak tadi pagi."Gue, gue butuh ketemu Zhia. Setidaknya untuk membahas rumah tangga kami," jawab Ega dengan tidak tahu malunya."Hahaha, Lo beneran lawak! Temen gue Lo talak di malam pertamanya. Dia udah gak perawan sama Lo, bego! Terus sekate-kate Lo nyariin dia buat bahas urusan rumah tangga? Rumah tangga macam apalagi yang bakal Lo bahas sama temen gue?""Ayolah, La. Gue butuh tahu dimana Zhia. Dia udah matiin ponselnya, gak mungkin juga gue nyariin dengan tangan kosong. Dimana dia, La? GPS gue terakhir di bandara, Lo
Satu minggu sudah Zhia bekerja di karaoke tersebut. Walaupun belum menjadi bintang utama di tempat tersebut, bagi Zhia tidaklah penting."Aya, setelah menyelesaikan pekerjaanmu dengan tamu di room. Lo diminta datang ke rumah Mami. Malam ini juga," kata salah satu rekan Zhia di tempat karaoke tersebut."Oh, oke Mbak. Makasih," jawab Zhia dengan menunjukkan senyum terbaiknya.Satu jam lagi pekerjaannya selesai, ia mendapatkan tamu beberapa orang tim marketing sebuah perusahaan rokok yang menyewa jasanya untuk menemani berkaraoke. Walaupun hanya menemani bernyanyi selama empat jam, tips yang didapatkan dari para pria tersebut lumayan untuk menambah saldo rekeningnya."Terima kasih, Mas. Lain kali, panggil Aya lagi yah. Kalau perlu call untuk konfirmasi," jawab Zhia kepada salah satu dari mereka setelah ia mendapatkan transferan tips."Oke, bye cantik!"Zhia langsung menuju ruang ganti, permintaan untuk bertemu dengan Fia malam ini, sepertinya penting. Apalagi, sampai Fia yang memintanya
Zhia tidak menduga akan bertemu dengan salah satu keluarga ayahnya. Mau tidak mau, Zhia pun menyapa adik kandung ayahnya itu. “Eh, Tante Tika. Apa kabar?”“Baik, kamu kok gak bilang kalau ada di Surabaya. Nginep dimana? Suami kamu gak ikut?” Rentetan pertanyaan Tika kepada Zhia membuat Zhia bersedih. Ia melupakan kenyataan bahwa sang ayah memiliki adik kandung yang tinggal di kota pahlawan ini.“Zhia sendiri, Tante. Eh, Zhia duluan yah. Udah ditunggu mau balik,” pamit Zhia itu buru-buru pergi dari hadapan Tika. Setengah berlari, ia keluar dari toilet wanita di tempat tersebut. Bagi Zhia, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk sekedar hahahihi dengan saudara atau rekanan keluarganya. Tidak, waktu adalah uang bagi Zhia. Impiannya untuk mendapatkan kebebasan finansial tidak akan terwujud jika ia tidak rajin bekerja. Selain untuk mengobati rasa sakit hatinya, Zhia berharap tidak akan bertemu dengan Tika lagi.“Astaga, jantungku!” Zhia lega, rangkaian perawatan yang harus ia jalani sudah