Share

7 ; Percakapan di Bawah Pohon

Bel istirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu, Bu Nana yang sedang mengajar di kelas Shera barusan keluar membuat hampir seisi kelas berbondong-bondong ke kantin. Terkecuali Shera, cewek itu duduk di bangkunya sambil melihat grafik nilai yang tadi diberikan oleh Bu Nana.

“Ikut ke kantin nggak?” tanya Anissa sambil mengeluarkan dompet dari tasnya sedangkan Julia dan Raisha sudah menunggu di depan kelas.

Shera menggeleng, sedang tidak ingin makan siang di kantin. “Nggak, deh. Males.”

Anissa mendecakkan lidah, sudah biasa dengan tolakan Shera jika diajak ke kantin. “Yaudah hati-hati di kelas, gue cabut dulu yak.”

Setelah dapat anggukan dari Shera, Anissa bersama Julia dan Raisha bergegas ke kantin untuk mengisi perut mereka. Shera masih diam menatap kertas di hadapannya tanpa minat. Susu cokelat pemberian dari Jevan kemarin tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Ada rasa ingin berbalas budi.

Dilihatnya bangku Jevan, dimana cowok tinggi itu sedang menyatat sesuatu yang Shera duga sebagai tugas yang akan dikumpulkan nanti untuk pelajaran setelah bel istirahat. Shera menghela nafasnya, ia segera berjalan menuju bangku Jevan.

“Van.”                                               

Jevan menoleh, mengangkat kedua alisnya saat melihat Shera berdiri di depan mejanya.

“Udah siap nyalinnya?”

“Dikit lagi, kenapa?”

“Mau keluar sebentar?”

“Ada yang mau diomongin?”

“Iya.”

Jevan mengangguk mengerti, menyalin dengan kecepatan kilat hingga tugas itu selesai dalam 5 menit. “Ke kantin?”

“Nggak usah, itu di bawah pohon lapangan basket aja. Kantin ramai.”

“Okay,” Jevan berdiri, mengajak Shera berjalan bersama keluar kelas.

Saat keduanya berjalan di lapangan basket, tiba-tiba saja Shera menghentikan langkahnya, membuat Jevan yang sudah di depannya terpaksa berhenti. “Lo duduk duluan aja, Van. Gue mau beli cemilan dulu di kantin. Tunggu, ya?”

Setelah itu Shera mengambil langkah besar menuju kantin, meninggalkan Jevan yang berdiri canggung di tengah lapangan basket. Cowok itu terkekeh sambil menggelengkan kepalanya kemudian duduk di kursi yang berada di pinggir lapangan basket. Spot yang sangat disukai semua siswa sekolah mereka karena terletak di bawah pohon yang sangat rindang.

Selang berapa menit, Shera datang sambil membawa dua kotak susu, dengan varian rasa yang berbeda. Ia memberi Jevan susu varian cokelat setelah duduk, lalu meminum varian full cream untuk dirinya sendiri. “Makasih ya, susunya kemarin. Tapi gue lebih suka yang full cream.”

“Bukannya nggak enak?”

Shera melototkan matanya, tidak setuju varian kesukaannya dibilang tidak enak. “Enak kok, jahat banget yang bilang full cream nggak enak. Sama kaya yang bilang matcha rasanya kaya rumput, padahal enak.”

“Selera lo aneh-aneh, ya,” Jevan mengangguk-angguk takjub sambil menepuk tangannya. “Samyang yang kemarin gimana? Pedes?”

Shera terkekeh pelan, “Pas yang dimakan berdua sama lo nggak pedes. Besoknya pas dimakan bareng-bareng baru kerasa.”

Jevan mengangguk setuju, saat melihat Shera menangis dengan tersedu-tersedu, sensasi pedas yang sebelumnya dapat ia rasakan itu pun hilang entah kemana. “Mungkin karena perasaan lo campur aduk, jadinya nggak kerasa.”

Shera menyeruput susunya, menikmati rasa asin campur plain tersebut mengecap indra perasanya. “Lo udah tau mau lanjut kemana?”

“Kalau kampus belum, kota udah.”

“Yogya, ya?”

Jevan melebarkan matanya, melihat Shera takjub. “Lo tau dari Hayden?”

“Nggak, gue nebak aja, sih. Soalnya Yogya yang paling sering jadi wishlist anak laki-laki.”

“Perempuan juga, kok.”

“Okay, semua pelajar.”

“Lo sendiri gimana? Yogya juga?”

Shera menggeleng lemah, dengan senyumannya. “Nggak, di sini aja. Bahaya Yogya mah biaya hidupnya bisa bikin gue nggak mau pulang.”

Jevan menoleh, melihat Shera yang sedang menikmati susu full creamnya sambil melihat siswa yang berlalu lalang. Entah kenapa ia merasa kasihan. “Lo udah nggak apa-apa?”

“Maksud lo?”

“Yang kemarin, udah feel better?”

“Not really, but it’s okay.”

“Lo kenapa ngajak gue keluar gini?”

“Mau balas budi, kan kemarin lo udah ngasih gue susu. Next time samyang lagi.”

Jevan menggeleng dengan cepat, tidak terlalu suka dengan ide itu. “Nggak usah, kemarin pure karena gue laper.”

“Yang kemarin... lo nggak kasih tau siapa-siapa, kan?”

“Nggak, sebegitunya ya lo gak pengen mereka ngeliat lo nangis?”

Shera mengangguk, tersenyum pahit. “Lebih tepatnya, gue gak mau ngeliatin sisi gue yang kemarin ke mereka.”

“Tapi lo ngeliatin ke gue.”

“Yah, itu, terjadi gitu aja.”

Hening, tidak ada percakapan lagi. Keduanya sama-sama diam, dengan pikiran masing-masing di dalam kepala. Tanpa sadar, Jevan menatap Shera dengan tatapan kasihan terkait kondisi cewek itu yang sedang menunduk sambil menggoyangkan kotak susunya.

Sadar sedari tadi ditatap oleh Jevan, Shera mengangkat kepalanya. Ditatapnya wajah Jevan yang selalu tersenyum sampai kedua matanya itu juga ikut tersenyum seolah-olah tidak ada beban. Ia sudah tidak tahan untuk jujur, setelah kejadian samyang kemarin Jevan selalu menatapnya dengan iba.  “Jevan, lo mungkin gak nyadar ini, tapi gue selalu ngeliat lo natap gue dengan ekspresi kasihan dan iba.”

Jevan mengedipkan matanya beberapa kali, menelan salivanya dengan berat. ‘Kentara banget?’ tanyanya dalam hati. Kemudian ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, salah tingkah takut Shera tidak nyaman.

“No need to say sorry but, tolong ngeliat gue seperti lo ngeliat temen-temen yang lain. Gue gak ada bedanya sama mereka, jangan karena gue pernah nunjukin sisi yang gak pernah gue liatin ke siapapun, lo jadi kasihan sama gue,” Shera menyisir rambutnya yang sedang tidak dikuncir itu kebelakang menggunakan jari.

“Gue gak perlu dikasihani,” Shera menatap Jevan lurus ke dalam manik mata hitam tersebut.

Jevan balas menatap Shera, mencari guratan kesedihan cewek itu seperti hari Sabtu kemarin, namun tidak ada. Kemudian matanya tidak sengaja melihat bekas jahitan di lengan Shera, ia tahu persis bekas luka seperti apa itu beserta penyebabnya. Dirogohnya saku celana osisnya, untung masih ada plester penutup luka Regar kemarin.

“Untuk apa plesternya?” tanya Shera, cewek itu mengernyitkan dahinya saat Jevan mengeluarkan plester bermotif kartun hewan.

Jevan membuka plester itu, menarik lengan Shera lalu menempelkannya dengan pelan pada luka jahitan di lengan Shera membuat cewek itu sangat terkejut dan membeku seketika. Lagi-lagi, Jevan yang melihat segala sesuatu yang ditutupinnya serapat mungkin. ‘Kenapa harus Jevan?’ batinnya.

“Ditutupin, ya. Biar gak diliatin sama orang lain,” Jevan berdiri setelah memasang plester, hendak kembali menuju kelas karena tidak enak sudah membuat Shera terkejut.

Satu langkah sebelum ia meninggalkan Shera, badannya berhenti, berbalik arah melihat Shera yang masih menunduk sambil memegang lengannya. “Satu lagi, seberat apapun masalah lo sekarang, tolong jangan menyerah.”

“Makasih untuk susunya.”

Shera mengangkat kepalanya, memandangi punggung Jevan yang semakin menjauh sambil berharap Jevan melupakan apa yang barusan ia lakukan.

"Jevan!"

Dengan suara yang samar itu, Jevan membalikkan badannya. Shera berjalan mendekat, berhenti tepat di hadapannya. Dua orang ini sekarang sedang berada di tengah-tengah lapangan.

Shera menyentuh lengan Jevan, "Gue tau lo lagi mendem sesuatu. Apa pun itu, giliran gue yang nanya."

Jevan tetap memandang Shera lekat-lekat, menanti pertanyaan yang akan keluar.

"Are you... okay?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status