Share

6 ; Sore dan Masalah Jevan

Motor Mahesa tiba di depan rumah Shera. Tadi saat selesai kerja kelompok, Jevan sempat menawarkan untuk mengantar Shera pulang. Tetapi langsung ditolak oleh Shera karena ia tidak ingin merepotkan sang pemilik rumah. Untung saja Mahesa pergi sendiri dan jok motornya kosong, tanpa babibu Shera segera merangkul bahu Seungmin sambil mengatakan pada Jevan bahwa ia akan pulang dengan cowok manis itu.

"Lo gak mau turun, nih?" tanya Shera sedikit sewot karena Shera tidak kunjung turun dari motornya. Dilihat dari spion, cewek itu hanya memandang rumahnya tanpa ada niat untuk turun.

"Gak tau," jawab Shera murung. Ia sama sekali tidak ada niat untuk pulang ke rumah jika kondisi rumahnya tidak ada yang berubah. Ayah dan Ibu yang sama-sama gila prestasi serta kehormatan hingga membuat anak yang tidak terlalu pintar di akademis seperti Shera harus menderita.

"Jadi gimana?" Mahesa khawatir sejak Shera menjawab pertanyaannya tadi. Ia tahu bahwa sedang ada yang tidak beres, namun tidak ingin bertanya takut membuat Shera tidak nyaman.

"Lo hari ini senggang?" 

"Setiap waktu, sih, gue senggang."

"Lo gak belajar untuk UTBK?"

"Swasta aja gue, mah. Atau jalur langit."

"Yaudah kalau gitu ayo jalan aja!" ajak Shera sambil menyunggingkan senyumnya, menepuk bahu Mahesa

Mahesa mengernyitkan dahinya bingung. Alisnya bertaut kala mendengar ajakan tak biasa Shera karena selama ia berteman dengan cewek itu, jarang sekali Shera ngajak jalan seperti sekarang. "Lo gak belajar?"

"Capek," jawab Shera cepat. "Udah buru anjir, ntar kemaleman," cewek itu kembali menepuk pundak dan helm Mahesa secara bergantian, menyuruh cowok manis itu untuk cepat sebelum orang tuanya keluar.

"Sakit, jangan dipukul helm gue," ucap Mahesa kesal karena Shera memukul helmnya dengan kuat. Setelah itu ia mulai menghidupkan motornya, melaju meninggalkan area rumah Shera.

Motor Shera melaju di jalanan yang cukup ramai kendaraan dengan semburat warna kuning campur oranye dari langit Jakarta Sabtu sore ini. Lantas motor itu berhenti saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Cowok itu melirik Shera dari kaca spion, "Lo kenapa gak mau dianter sama Jevan tadi?"

"Gue gak begitu deket sama Jevan. Canggung ntar di motor, males gue."

"Yakin lo cuma itu?"

‘Nggak.’  "Iya, kenapa?"

"Lo nangis ya, tadi?"

Shera tidak kaget. Ia tahu cepat atau lambat Mahesa akan menanyainya. Walau ia sudah berteman dengan teman-teman yang lainnya cukup lama, hanya Mahesa yang benar-benar peka terhadap kondisi orang di sekitarnya. "Iya."

"Tumben lo nangis, kenapa?"

"Putus sama pacar gue," jawab Shera tak acuh.

Dari kaca spion, Mahesa mendengus jengkel. "Lo udah lama putus sama Evan. Kaga usah bohongin gue."

"Iya bohong," Shera tersenyum puas mengejek Mahesa yang sudah kesal. Kemudian motor kembali melaju.

“Shera.”

“Hmm?” Shera menjawab sambil memejamkan matanya menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.

"Kalau lo ada masalah, jangan sungkan buat cerita ke gue, ya. I’ll put all my efforts to give you solutions."

Shera membuka matanya, tersenyum miris.

...

Tok! Tok! Tok!

Jevan mengalihkan pandangannya dari buku-buku berisi soal dan pembahasan untuk UTBK kala pintunya diketuk seseorang. Mungkin saja Ibunya, karena di rumah ini yang mengetuk pintu meminta izin ke kamarnya hanya Ibunya saja. Ayahnya tidak seperti itu, selalu membuka pintu tanpa ketuk dan bertanya. Jevan juga butuh privasi, padahal hal kecil seperti mengetuk pintu sebelum memasuki kamar atau rumah adalah basic manner.

"Jevan, Bunda masuk, ya?" tanya Ibu Jevan dari luar pintu.

"Iya, masuk aja gak dikunci!" Jevan meninggikan sedikit suaranya agar terdengar dari luar.

Tak lama Ibunya masuk ke dalam kamarnya setelah menutup pintu, duduk di tepi ranjang sambil menatap anak satu-satunya itu yang sedang belajar.

"Bad news or good news?" tanya Jevan penasaran karena jarang sekali Ibunya mengganggu ia belajar.

Ibunya menghela nafas. Wanita 40 tahun itu menggenggam tangannya gugup. "Ayah kamu tetap gak mau kamu lanjut ke Yogya, Nak."

Pensil yang Jevan gunakan untuk menjawab soal berhenti di satu opsi. Cowok dengan mata yang ikut senyum saat ia tersenyum itu menghentikan kegiatannya. Hatinya mencelos saat mendengar kabar tersebut.

"Even UGM?"

Ibunya mengangguk, menatap nanar anak semata wayangnya.

"Bun, ini hidup Jevan. Bukan Ayah," ucap Jevan dengan emosi yang tertahan. Haruskah ia merelakan kampus impiannya demi ego Ayahnya? Tidak mungkin, ini hidupnya yang menyangkut masa depannya.

"Bunda tau, tapi kamu liat sendiri, kan, Ayah kamu bersikeras mau kamu lanjut di sini aja sambil kerja. Ambil yang kelas malam."

Jevan mengernyitkan dahinya. "Swasta?"

"Kenapa? Kamu malu?"

"Bukan masalah malu, tapi selagi ada yang murah kenapa harus milih yang mahal?"

"Kan, kamu kerja, Van. Kamu bisa bayar pake gaji kamu kalau uang dari Bunda sama Ayah kurang."

Jevan mendengus kesal. Ujung-ujungnya ia sendiri yang membiayai pendidikannya padahal itu adalah kewajiban kedua orangtuanya. Tujuan Jevan masuk negeri karena sengaja agar biaya yang dibayar tidak memberatkan. "Jevan udah bilang berkali-kali sama Bunda kalau Jevan gak mau kerja di Pemerintahan."

"Jevan, sekarang Ayahmu itu lagi ada di posisi yang bisa masukin kamu. Kamu juga bisa ikut tes CPNS yang lagi buka sekarang. Kalau kamu kuliah di Yogya sekarang, apa kemungkinan kesempatan kamu buat jadi itu ada?"

Jevan menatap Ibunya speechless. Tidak menyangka Ibunya akan sependapat dengan Ayahnya yang menganggap semua jalan yang ditentukan olehnya sudah pasti benar. "Bunda pikir, semua jurusan yang ada, kerjanya harus jadi Honorer atau PNS?"

"Kurang lebih, ujungnya seperti itu kan?" nada Ibunya juga sama seperti dirinya, emosi tapi harus ditahan. Terlihat dari urat-urat yang muncul di wajah dan mata yang memerah. "Kamu liat sepupu kamu, kuliah berbagai macam jurusan, ujung-ujungnya jadi PNS.”

Jevan mengusap wajahnya gusar, Ibunya ini benar-benar sudah terdoktrin oleh Ayahnya seratus persen. "Bun, itu emang karena jurusannya fleksibel untuk jadi PNS, terutama guru."

"Kamu, gimana?"

"Jevan mau ambil desain. Bunda tau bakat Jevan di menggambar, kan?”

"Iya Bunda tau, tapi ayolah, berapa sih gaji yang dihasilkan dari bakat dan jurusan kamu itu?"

Jevan mengernyitkan dahinya sambil membuka mulutnya tidak percaya. "Bun, yang namanya menggambar dan ngedesain itu perlu ide, kreatifitas, ketelitian, dan kemampuan yang ekstra. Bunda gak bisa mandang suatu pekerjaan dari gajinya aja."

"Setara sama Bunda dan Ayah?"

"Nggak setara karena lebih besar."

"Jevano.”

Jevan memejamkan matanya menahan emosi yang sebentar lagi akan meledak. Tangannya terkepal dengan kuat saat suara Ayahnya di ujung pintu menyambut indra pendengarannya. "Sampai kapan Ayah sama Bunda ikut campur masa depan Jevan?"

"Kamu bisa tidak, turunkan sedikit egomu untuk jalanin apa yang Ayah suruh?"

Jevan menatap Ayahnya tajam, emosinya benar-benar tersulut. "Ayah yang seharusnya nurunin ego Ayah. Sampai kapan Ayah mau aku turutin semua kemauan Ayah?"

"Sampai kamu bisa menghasilkan uang sendiri."

Jevan terdiam, bungkam. Tidak mau menjawab lagi karena perkataan Ayahnya adalah sebuah final.

“Jevano, tolong ikutin kata Ayah sama Bunda selagi kamu masih ditanggung kami berdua. Keperluan kamu, jajan kamu, motor, buku, sekolah semua Ayah sama Bunda yang bayarin. Kalau kamu mau ngatur hidup kamu sendiri, tunggu sudah bisa cari uang. Untuk itu, selagi masih Ayah dan Bunda yang tanggung biaya hidup kamu, diturutin saja tidak usah membangkang!” Ayahnya yang berdiri di ambang pintu, menetralkan nafasnya. Tiga orang di rumah ini sama-sama sedang emosi.

“Ganti jurusanmu dengan hukum atau akuntansi, tidak ada desain-desain. Kamu kan anak IPS, ambil jurusan yang pasti,” setelah mengatakan itu, Ayahnya meninggalkan kamar Jovan. Pria berumur 45 tahun itu membuka kulkas di dapur, mungkin mendinginkan kepalanya.

"Tolong, ya, Nak?" Pundak Jevan yang naik turun dielus Ibunya, mencoba meredakan amarah. Setelah menepuk berapa kali dan tersenyum, wanita itu meninggalkan kamar Jevan dengan menutup pintu kembali.

Tangan Jevan masih terkepal kuat, bahkan sampai terlihat buku-buku putih sangking kuatnya. Kukunya yang tidak terlalu panjang itu bisa saja menembus kulitnya. Nafas Jevan beradu, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, kepalanya pusing, rasanya benar-benar menyakitkan untuk menahan semua emosinya agar tidak disebut sebagai anak durhaka.

"BANGSAT!!"

Jevan meninju cermin yang ia gantung di dinding dengan segenap tenaga dan emosinya, cermin itu hancur bersamaan dengan mimpi dan cita-citanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status