Share

3 ; Hilang dan Hadir

Motor Scoopy abu-abu dope Jevan berhenti tepat di depan pagar rumah Shera. Kepalanya menoleh sana sini mencari kehidupan di pekarangan rumah minimalis dengan dua lantai itu. Biasanya sih, kalau Jevan mengantar Shera, ada satu mobil HRV putih di bagasi. Tapi hari ini mobil tersebut tidak terlihat.

"Nyari siapa, Nak?" seorang wanita paruh baya mendekati Jevan dengan perlahan.

"Anak pemilik rumahnya, Bu."

"Ohhh, tapi rumah ini sudah empat hari kosong.”

"Apa nggak ada orang sama sekali, Bu?" Jevan kaget. Pikirannya mengatakan bahwa Shera pindah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Kalau benar begitu, dia harus bilang apa ke Bu Dara dan Bu Sarah—wali kelasnya—? Tidak mungkin kan, berbohong lagi.

"Sepenglihatan saya sih belum ada. Kemarin saya lihat ada mobil putih keluar dari sini malem-malem, setelah malem itu ya, kosong," wanita paruh baya itu berbicara dengan menatap Jevan penuh selidik sambil sesekali matanya menerawang hal-hal yang ia ingat.

"Tapi, kamu mau ngapain ya?"

"Oh, itu... Saya ketua kelasnya Shera. Udah 3 hari Shera alpha, jadi saya mutusin buat kesini nyari kabarnya," jawab Jevan dengan senormal mungkin agar tidak dicurigai lagi. Tidak nyaman ditatap penuh selidik.

"Maaf Bu, tapi apa ibu punya nomor salah satu anggota keluarganya?"

"Punya, Nak. Tapi rumah saya masih jauh di ujung sana. Kalau kamu mau nunggu, saya ambilin," tawar wanita itu yang tentu saja langsung di tolak oleh Jevan. Masa orang tua disuruh bulak-balik, mana jalan kaki.

"Udah Bu, gak apa-apa. Lain kali aja saya kesini lagi."

Wanita itu tersenyum, menggendong anjingnya yang tadi ia pegang melalui kalung di tangannya. "Kalau gitu saya duluan, ya.”

"Hati-hati ya, Bu."

Wanita itu balas dengan tersenyum, lalu beliau dan anjing yang digendongannya pergi dengan langkah santai. Jevan melihat punggung wanita itu yang perlahan menjauh, tersenyum getir. "Kapan kira-kira gue bisa santai kaya Ibu itu?"

Tak lama saku celananya bergetar, tanda ponselnya masuk sebuah notifikasi. Ia merogoh saku celananya dan mengambil ponsel.

Lia          : Gimana, van? Udah dapet kabarnya?

Chaca     : Ada di rumah nggak si Shera?

Mahesa : Nggak ada ya, Van?

Raisha   : Serius beneran nggak ada?!

Haikal   : Cabut aja lah kalau emang gak ada

Jevano : Iya nggak ada, udah empat hari katanya rumahnya kosong

Hayden : Pindah apa gimana lo Ra @Shera

Jevano : Liat aja hari Senin gimana

Regar    : Kita udah mau lulus, yakali pindah

Mahesa : Liburan kali

Haikal   : Liburan mah harusnya izin

Felix      : Van sini nyusul lah, warkopnya Hasung

Felix      : Mabar kita

Jevano : Otw

Jevan mengunci layar ponselnya. Cowok itu kembali memakai helm, mengaitkan kedua kaitan sambil berpikir kemana perginya Shera yang tiba-tiba menghilang. Sebenarnya untuk seorang Shera yang sering bolos sih wajar aja sehari atau dua hari tidak ada kabar, tapi ini sampai tiga hari yang berarti benar-benar ada yang tidak beres. Nggak mungkin beneran pindah, kan?

Setelah diam cukup lama di depan pagar rumah Shera, Jevan akhirnya melajukan motornya menuju warkop Kang Hasung.

...

Hari Senin, hari pertama bekerja, sekolah, dan memulai aktivitas lain sehabis libur selama dua hari. Khusus untuk para siswa, mereka cukup membenci Senin karena harus upacara. Tapi untuk hari ini, Dewi Fortuna sedang berpihak kepada mereka. Hujan turun dari jam 6 pagi dengan sangat deras, bahkan parkiran yang biasanya penuh dengan kendaraan roda dua, hari ini hanya terlihat beberapa.

Shera pagi ini diantar oleh kakaknya, Rosie. Tanpa mengucapkan apa-apa, Syiera langsung keluar dari mobil. Ia hanya berjalan lurus menuju kelasnya, tidak peduli kakaknya itu masih menatapnya sendu dari dalam mobil. Setelah agak jauh, mobil itu meninggalkan lapangan sekolah.

"Kenapa harus hujan lagi, sih. Gue jadi terpaksa minum obat pagi-pagi," Shera menggerutu. Cuaca hari ini sangat dingin dengan hujan yang deras, langit mendung, dan angin yang bertiup kencang.

Tapi ada untungnya juga karena Shera tidak perlu repot-repot menjelaskan kepada teman-temannya mengapa ia memakai kardigan —jika tidak hujan— demi menutupi perban di tangannya.

"Shera!" Suara teriakan dari arah belakang membuat Shera menghentikan langkahnya. Ia berbalik, mendapati Mahesa tengah berlari ke arahnya dengan senyum lebar di wajahnya. 

Kantong plastik hitam diserahkan cowok itu kepada Shera, saat dilihat isinya berbagai macam snack yang biasa ia beli kalau ke kantin. "Tumben banget lo traktirin gue ginian."

"Btw lo kemana dah, tiga hari gak ada kabar?"

"Healing."

"Dih? Kemana?"

"Gunung."

"Mau jadi anak indie ya lo, pulang-pulang tau segalanya tentang dunia."

"Emang kenapa, sih? Gue kan udah sering gak masuk tanpa kabar."

"Tapi kan nggak pernah lebih dari dua hari. Lia sama Jevan sampe kesusahan nyari alasan buat bikin keterangan lo.”

"Tinggal bikin alpa doang."

"Nah itu, masalahnya hari Jumat si Chaca nipu Bu Dara kalau lo sakit."

“Seriusan lo? Terus gimana?”

"Diinterogasi dah tuh si Jevan, Lia, ama Chaca. Bahkan Jevan sampe datengin rumah lo."

Langkah Shera berhenti tepat di depan kelasnya, 12 IPS 3. Mahesa juga terpaksa berhenti ka. "Jevan?"

"Iya. Hari Sabtu doi ke rumah lo. Kata tetangga lo, rumah lo kosong berhari-hari."

"Tetangga gue tau gue kemana?" Shera sangat cemas dan takut sekarang. Jangan sampai teman-temannya tahu kalau selama itu ia dirawat di rumah sakit pasca percobaan bunuh diri.

"Kurang tau, coba lo tanyain ke Jevan," Kemudian matanya melihat siluet Jevan dari jauh sedang berjalan sendiri menuju kelas mereka. "Tuh si Jevan. Samperin dah lo. Bye."

"Shera? Lo udah kelar menghilangnya? Lo gak pindah, kan?" Jevan sangat antusias, lega sekaligus jengkel saat melihat Shera berdiri di depannya. Sudah capek-capek datang ke rumahnya, mengira ia pindah, ternyata hari ini malah muncul.

“Pindah kemana? Gue di sini aja, tuh.”

“Syukurlah. Gue kira lo pindah diem-diem."

“Yakali udah mau lulus gini malah pindah."

“Mana tau orangtua lo pindah tugas dinas."

Shera mendecak kesal kemudian menggeleng. "Orangtua gue bukan PNS. Btw, lo ke rumah gue kemarin?"

"Iya. Lo gak ada tapi."

"Lo tau gue kemana?" pertanyaan Shera sekarang membuat Jevan mengerutkan keningnya bingung tidak mengerti. Jelas dong tidak tahu, jika tahu mungkin sudah disusul hari itu juga.

“Maksud lo?”

“Yaa…abis dari rumah gue, lo tau gue kemana? Dapet kabar dari tetangga gue mungkin.”

“Gue gak tau, makanya langsung pulang."

"Beneran?" Shera menatap Jevan serius. Meminta jawaban yang sebenarnya dari cowok itu karena ia sekarang benar-benar takut. Shera benar-benar tidak mau teman-temannya tahu tentang kondisinya.

Jevan mengernyitkan dahinya. Benar-benar tidak mengerti mengapa Shera terlihat cemas begitu. "Iya, gak tau. Tetangga lo juga gak tau lo kemana."

Setelah menjawab dengan yang sebenar-benarnya, Shera menghela nafas dengan lega, ekspresinya kembali tenang seperti biasanya. Benar-benar perubahan yang sangat cepat.

Shera mengambil salah satu snack dari kantong pemberian Mahesa, memberi Jevan sebungkus Bengbeng. "Makasih, Van. Gue harap lo beneran jujur jawabnya."

Jevan hanya mengangguk. Tapi ia menangkap ada yang aneh dari Shera. Kenapa cewek itu terlihat sangat takut saat Jevan mengatakan bahwa ia mendatangi rumahnya.

"Ra," panggil Jevan.

"Kenapa?"

"Are you... okay?"

Lontaran pertanyaan itu, pertanyaan yang paling dihindari Shera saat ia sedang tertekan seperti ini. Cukup lama Shera dan Jevan saling bertatapan sebelum akhirnya Anissa memanggil, membuat kontak mata itu terputus. Shera hanya tersenyum sebagai balasan, tidak sanggup menjawab. 

Satu yang dapat Jevan sadari dari senyuman Shera, bahwa garis mata bawahnya yang tiba-tiba menjadi merah. Menahan tangis, tanda bahwa Shera tidak baik-baik saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status