Share

5 ; Semangkuk Samyang dan Tangisan

Dari lantai atas terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terlihat Shera turun dengan pakaian rapi Sabtu pagi ini. Cewek itu mengenakan light loose jeans dengan atasan kaos putih dibalut outer rajut berwarna cream, tak lupa dengan totebag putih dan rambut yang masih setengah kering.

"Mau kemana?" tanya ayahnya tajam dari meja makan, pria paruh baya itu menikmati sarapannya.

"Keluar sebentar," jawab Shera gugup.

"Habis bunuh diri kamu mau main?"

Shera diam. Tidak berani menjawab, nada ayahnya saat ini benar-benar bisa membunuhnya langsung jika ia mengeluarkan suara.

"Kenapa tidak dijawab?!" Sebuah garpu dilemparkan bersamaan dengan bentakan itu dan memecahkan vas bunga yang ada di samping Shera.

"Enggak main..." nada Shera bergetar menjawab bentakan itu. Ia benar-benar takut, ingin sekali langsung pergi tanpa diinterogasi seperti ini. Bahkan ibunya pun hanya diam saja sambil menikmati sarapan.

"Anak bodoh kaya kamu harusnya diam saja di kamar. Belajar sampai pintar biar bisa sama kaya kakakmu!" Setelah mengatakan hal jahat itu, ayahnya pergi ke halaman belakang tanpa menghabiskan makanannya.

Wanita itu mengelap mulutnya menggunakan tisu, ia juga menyudahi sarapannya. Diambilnya sapu dan serokan serta kain basah untuk membersihkan vas bunga yang pecah.

"Maaf," ucap Shera pelan saat melihat ibunya membersihkan lantai.

Ibunya menjawab dengan tenang. "Mama yang salah, kamu gak usah minta maaf."

"Tapi gara-gara aku mau pergi, Ayah—"

"Mama yang salah dari awal."

"Ma?"

"Mama yang salah karena ngelahirin kamu. Harusnya mama berhenti punya anak sejak kakakmu lahir."

Bagai terkena petir di siang bolong, Shera membeku mendengar ucapan ibunya. Benar, Siyeon adalah anak yang tidak diinginkan. Ia sudah sadar hal itu dari dulu, tapi tidak pernah menyangka bahwa ibunya akan benar-benar mengatakannya di depannya sendiri. Parahnya lagi, ucapan itu terdengar sangat tenang.

Tanpa mengucapkan sepatah kata ataupun pamit, Shera bergegas memakai sepatunya dan keluar dari rumah saat itu juga. Di luar ia menetralkan nafasnya yang sejak tadi tercekat. Matanya perih, ia sungguh ingin menangis tapi pagi ini komplek rumahnya banyak sekali orang yang lalu lalang. Tak lama ojol yang dipesannya datang, sepanjang perjalanan Siyeon hanya diam.

Diam saat ini adalah cara yang paling terbaik untuk menghilangkan rasa ingin menangisnya.

...

Shera : Jevan, gua udah di depan

Jevan menghetikan aktifitasnya mengescroll laman Instagramnya kala notifikasi chat dari Shera muncul di atas layarnya. Dengan segera ia bangkit, menuju ruang tamu dan membukakan pintu. Dilihatnya Shera berdiri di depan pintu dengan kepala yang menunduk.

"Ra?" Jevan menyentuh pelan pundak Shera.

Shera mengangkat kepalanya tersadar. Dapat dilihat Jevan bahwa matanya seperti kemarin saat ia menanyakan keadaan cewek itu, merah seperti hendak menangis.

Menyadari tatapan Jevan, Shera tersenyum sembari melambaikan tangannya. "Hai? Gue gak disuruh masuk?"

"Ayo, masuk," Jevan melebarkan pintu dan menahannya sampai Shera masuk. "Duduk di depan tv aja."

Shera duduk di sofa depan televisi sambil menatap layar benda persegi panjang itu yang menampilkan beranda Netflix tanpa minat.

Hari ini orangtua Jevan pergi menjenguk neneknya dan baru akan kembali nanti malam. Keadaan saat ini sedikit canggung ditambah hening karena sejak memasuki rumah dan duduk, Shera tidak berbicara lagi. Ia hanya diam, menatap layar tv dengan tatapan kosong. Mungkin jika ada tetangga yang melihat Shera memasuki rumahnya, Jevan akan dicurigai berbuat sesuatu yang tidak lazim.

"Sendiri? Gak bareng Julia dan yang lain?" tanya Jevan dari meja bar

berusaha memecah keheningan.

Shera menggeleng pelan, berbohong. "Nggak. Belum pada bangun mereka."

Jevan hanya menanggapinya dengan mengangguk berpura-pura mengerti. Jevan tahu bahwa Shera berbohong, toh, sudah sejak pagi Julia heboh di grup menanyakan Shera akan pergi dengan siapa tapi tidak dijawab. Bahkan cewek itu tidak ada muncul, ia hanya muncul malamnya ketika membahas materi presentasi.

Tiba-tiba saja perut Jevan berbunyi. Jevan membuka lemari pantry, mencari mie instan dan menemukan satu ikat samyang yang sengaja ia beli untuk teman begadang di malam hari. Jevan melirik Shera yang masih diam menatap layar dengan tatapan kosong. "Shera, lo udah sarapan?"

"Belum."

"Mau makan mie? Tapi cuma ada samyang."

"Iya, nggak apa-apa."

Setelah disetujui Shera, Jevan mulai memasak dua bungkus mie pedas tersebut. Shera mendekat, cewek itu melihat mie yang tengah dimasak oleh dari meja barSaat Jevan membalikkan badannya untuk mengambil sumpit yang ada di meja,

ia kaget karena Shera sudah duduk di kursi bar. Menunggu mie yang dibuat Jevan matang, sepertinya juga lapar.

Jevan meletakkan mie yang telah matang ke dalam mangkuk besar. Cowok itu duduk di hadapan Shera setelah meletakkan teflon.

Shera menyuapkan mienya ke dalam mulut dengan kepala yang menunduk. Jevan memperhatikannya dan melihat bulir-bulir air mata yang berjatuhan, sepertinya air mata yang sejak tadi ditahannya. Walau tidak bersuara, entah kenapa tangisan Shera terasa sangat pilu

"Pedas?" tanya Jevan pelan. Sebenarnya maksud lain dari pertanyaannya adalah, 'berat?'.

Jevan mengangguk. "Iya..." dijawabnya dengan suara lirih dan tangisan yang tidak kunjung berhenti.

Jevan meletakkan sumpitnya. Ia berjalan menuju kulkas, mengambil susu kotak varian coklat, meletakkannya di sebelah piring Jevan. "You can feel sad all you want. You are allowed to feel however you want to feel. It's okay to cry, gue harap apa yang lagi lo alami sekarang bisa selesai secepatnya." Jevan mengambil sumpitnya, kembali melanjutkan makannya.

Air mata Shera yang awalnya hendak berhenti, kembali mengalir deras akibat kata-kata yang diucapkan Jevan. Shera benar-benar lemah jika ada yang mengucapkan 'tidak apa-apa' saat dirinya sedang hancur atau berbuat kesalahan. Selama masa pertumbuhannya, ia tidak pernah mendapat perlakuan lembut seperti sekarang. Oleh karena itu Shera selalu menangis jika ada yang memberikan nasihat, kalimat penyemangat dengan nada yang lembut.

Sebenarnya, Shera tidak ingin menangis di depan Jevan seperti ini karena ada sisi yang tidak ingin kita tunjukkan kepada orang lain, tidak peduli mau sedekat apa kita dengan mereka. Tapi saat ini, ia benar-benar menunjukkan sisi yang selama ini disembunyikannya. Entah kenapa harus Jevan, padahal mereka tidak begitu dekat.

Setelah merasa lebih tenang, Shera mengelap sisa-sisa air matanya dengan tisu dan melanjutkan menyuap mie yang disisain Jevan —karena itu jatahnya—masuk ke dalam mulutnya. Jevan sudah selesai, sekarang sedang mencuci perabotan makannya dan teflon yang tadi ia pakai untuk memasak.

"Jevan."

"Kenapa?"

Shera menelan kunyahannya. Menatap punggung Jevan yang sedang mencuci piring. "Makasih, ya."

"Makasih, untuk?" tanya Jevan sedikit tidak mengerti.

"Karena gak nanya gue kenapa and allowed me to cry," Shera membersihkan mulutnya, mienya sudah ia habiskan. Kemudian meminum susu yang diberikan Jevan.

Jevan menjawab dengan anggukan. Ia mengambil piring bekas Shera dan mangkuk yang diisi mie tadi untuk dicuci namun, ditahan cewek itu tidak enak karena Jevan harus mencucinya juga. Sempat saling menawarkan diri, akhirnya Jevan mengalah dan membiarkan Shera mencuci perabotan makannya.

Jevan duduk di kursi bar, mengecek ponselnya, melihat chat yang masuk dari Hayden bahwa mereka sebentar lagi akan tiba di rumah Jevan. "Yang lain udah mau nyampe, mata lo masih sembab. Lo nggak apa-apa?"

Shera mengangguk, membersihkan tangannya yang basah dengan tisu. "Bilang aja kepedasan."

"Yakin?"

"Iya. Kalau yang dateng bukan Mahesa gak apa-apa bilang gitu. Mereka gak terlalu peka."

Shera melemparkan senyumnya sembari mengangguk membenarkan. Ia mengambil susu kotak cokelatnya di samping tangan Jevan yang masih ada isi. "Thanks ya susunya."

Shera meninggalkan area dapur, melangkah dengan ringan tidak seperti sejam yang lalu sambil menjawab telepon dari Julia. Takjub, iba, prihatin, dan miris tergambar di tatapan Jevan saat melihat punggung Shera yang menjauh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status