Share

4 ; Satu Kelompok

"Semua udah kebagian hasil ujiannya?" tanya Bu Sarah, guru Geografi sekaligus wali kelas IPS 3. Kemarin beliau mengadakan ujian dan hasilnya baru dibagikan hari ini.

"Sudah bu," berbagai macam suaranya menjawab pertanyaan Bu Sarah.

"Yang remed besok ya, hari ini ibu mau kasih tugas kelompok," bersamaan dengan pemberitahuan itu, Bu Sarah menulis banyak kelompok dan nama-nama anggotanya di papan tulis.

Dari tempat duduknya, Shera melihat papan tulis dengan tidak begitu tertarik. Baginya mau sekelompok sama siapa saja tidak masalah, asal mau sama-sama bekerja, bukan hanya menumpang nama dan tugasnya dibebankan ke orang lain.

"Enak banget lo satu kelompok sama Jevan," bisik Chaca sambil menyikut lengan Shera membuat cewek itu mencari namanya di papan. Ada di kelompok 3, di bawah nama Jevan.

"Apa enaknya? Kan sama-sama kerja."

"Enak pokoknya sekelompok sama Jevan. Doi selalu nawarin diri buat jadi ketua, terus ngerjainnya juga di rumahnya. Banyak makanan."

"Dasar manusia kapitalis," sahut Regar dari bangku depan, tak lupa dengan tatapan sinisnya. Shera tersenyum mendengarnya, ia dan Regar melakukan tos ria dengan pelan.

"Ra, lo beneran healing?" tanya Regar penasaran. Kini badannya ia miringkan demi bisa mengobrol dengan Shera. Untung saja ia sekelompok dengan Shera dan Bu Sarah menyuruh mereka untuk bergabung dengan kelompoknya.

"Iya, beneran."

"Banyak gaya lu healing, absen lo tuh apa kabar," Hayden datang dengan tiba-tiba bersama Jevan. Cowok itu langsung menduduki kursi Chaca dan entah sejak kapan Chaca pindah ke tempatnya Felix.

Shera memukul kepala Hayden dengan brutal. Hayden dan Felix benar-benar kombinasi yang sempurna untuk membuat orang kesal, untung saja mereka tidak satu kelompok.

Lia datang sambil menggeret kursinya, mengambil tempat di samping Jevan. Awalnya ia ingin duduk di samping Regar, tapi Mahesa sudah datang duluan. "Ntar kalau lo mau ngilang lagi, sehari sebelumnya jangan lupa bikin surat terus titipin ke gue, ya. Gue kelabakan bikinin absen lo."

Shera membalas dengan senyuman bersalah, cewek itu mengambil snack pemberian Mahesa kepada Lia. "Sorry ya."

Saat itu, ia tidak sengaja menatap Jevan yang tengah menatapnya juga. Tiba-tiba atmosfer canggung menyelimuti mereka berdua di kala yang lainnya sibuk berinteraksi satu sama lain. Sekitar lima detik, Shera memutuskan tatapan itu dengan mengobrol bareng Hayden.

"Semuanya perhatikan papan tulis!" seru Bu Sarah sambil menepuk tangannya membuat seisi kelas menjadi diam. "Materi yang ibu berikan untuk tugas kelompok kali ini adalah, struktur keruangan kota. Di dalam struktur ini dibagi menjadi 5 teori, bisa kalian lihat di masing-masing kelompok sudah ibu berikan teorinya."

"Kita dapet apa?" tanya Mahesa penasaran karena dirinya membelakangi papan tulis. Cowok itu juga tidak tertarik, bisa dilihat dari tangannya yang menggeledah kotak pensil Lia.

"Teori Konsektoral Tipe Amerika Latin," jawab Shera disambut dengan sorakan kagum dari Hayden. Tentu saja dibalas dengan sinisian.

"Tugasnya ibu beri waktu seminggu. Masing-masing teori itu kalian jabarkan dalam bentuk PPT. Ingat ya, ambil intinya saja agar mudah dimengerti, paham?"

"Paham, bu."

Bersamaan dengan jawaban serentak itu, bel pulang akhirnya berbunyi dengan nyaring. Membuat siswa-siswi yang sebelumnya merasa jenuh dengan materi di jam pelajaran terakhir, menjadi semangat lagi. Bahkan ada yang membereskan barang-barangnya saat Bu Sarah masih belum selesai memberikan instruktur. Setelah memberikan salam, kelas dibubarkan dan para murid bergerombolan keluar dari kelas seolah besok adalah hari libur.

"Kerjain dimana, nih?" tanya Lia sebelum keluar dari kelas.

Hayden, Regar, Mahesa, Shera, dan Jevan saling pandang. Tidak tahu ingin menjawab dimana karena mereka belum sempat diskusi sudah didahuluin oleh bel pulang.

"Di rumah Jevan aja, banyak makanan!" seru Haikal dari depan pintu kelas. Mereka berenam saling lihat, ada Evan, Bumi, Haikal, Yuan dan Jendra di depan sana sedang berdiri menunggu anak-anak cowok seperti kumpulan gangster.

Shera bergidik ngeri, padahal mereka bisa saja tidak berdiri bersamaan seperti itu. Tapi untunglah ada Bumi. Manusia kalem setelah Mahesa ditambah visual yang menenangkan.

"Gimana, Van?" senggol Regar membuat Jevan mengangguk.

"Hari Sabtu sama Minggu, ya. Pagi," tawar Jevan yang diangguki oleh Regar, Mahesa, dan Shera.

"Kalau Minggu pagi, gue sama Lia datengnya telat," mereka berempat melihat Lia dan Hayden, menyadari bahwa runitas keduanya di Minggu pagi adalah ke Gereja.

"Kelarnya jam berapa?" tanya Shera.

"12 kalau gak ada kegiatan tambahan," jawab Lia diangguki Hayden. Setelah itu ia pamit duluan karena Yuan di depan pintu sana sudah melambaikan tangannya. Ah, mereka berdua berpacaran.

"Sepakat, ya? Gue cabut dulu kalau gitu," pamit Regar sambil menarik Jevan meninggalkan kelas bersama Evan, Haikal, dan Jendra. Disusul dengan yang lainnya.

...

Sore ini, sepulangnya dari sekolah, Jevan beserta teman-temannya memutuskan untuk singgah menikmati kopi, semangkuk Indomie, atau bermain game di warung kopi Kang Hasung, tempat langganan mereka yang terletak di jalan belakang sekolah. Warung kopi ini benar-benar setiap Senin-Jumat selalu dikunjungi Jevan dan teman-temannya ketika pulang sekolah.

"Oi, Jen. Siapa cewe lo sekarang?" Jendra yang lagi menyeruput kopi hitam pahitnya tersedak mendengar pertanyaan tiba-tiba Chandra serta kehadiran cowok dengan suara rendah itu.

"Rahasia," jawab Jendra sambil menyeruput kopinya. Cowok itu benar ada pacar, tapi tidak ingin orang-orang tahu tentang hubungannya.

"Dih, jangan-jangan pacar lo si Jevan," celetuk Felix iseng. Cowok itu hanya mengangkat kedua alisnya kala mendapat tatapan sinis dari Jevan.

"Sinting, gue masih normal," Jendra menjawab dengan sedikit kesal.

Sedangkan Jevan hanya menghisap rokoknya dengan tenang. Tidak tertarik mengobrol dengan yang lainnya, pikirannya sekarang dipenuhi dengan tanda tanya mengenai UTBK, penentangan orang tuanya, dan kondisi Shera. 'Sial, bisa-bisanya,' gumam Jevan.

"Woi, Jevan!" teriak Regar tepat di depan wajahnya.

Jevan melemparkan tatapan sinisnya pada Regar, cowok bergingsul itu justru tidak peduli. Hayden kembali bertanya, "Futsal kaga, malem ini? Gue booking kalau iya."

"Gas, lah. Udah lama nih kaki gue nganggur gak nendang bola," Evan menggerakkan kakinya seolah-olah ada bola di depannya. Sekadar info, Evan adalah anak yang ambis, bahkan jika ada yang bilang bahwa Jevan sudah paling ambis, Evan lebih daripada itu. Makanya Evan sulit untuk diajak ngumpul.

"Fix nih?" Hayden memastikan jawaban sebelum menghubungi lapangan futsal langganan mereka. Haikal, Felix, Regar, Jendra, Evan, Chandra, dan Bumi—yang sedari tadi diam, menganggukkan kepala tanda setuju.

"Lo gimana, Van?" tanya Bumi. Cowok itu menyikut lengan Jevan, membawanya kembali ke alam sadar.

Jevan menekan ujung rokoknya pada asbak, ia menggeleng lemah. "Gak dulu. Nyokap gue malam ini sendiri di rumah."

Atas penolakan yang tiba-tiba disertai alasan itu, Jevan mendapat tatapan mencurigakan dari teman-temannya.

"Ngedate sama cewe lo?" Felix memicingkan matanya curiga.

"Jevan jomblo," ujar Regar santai.

"Bukannya sama Jendra?" tanya Chandra yang detik itu juga dilempari Jevan sebungkus rokok yang isinya masih banyak, mengenai tepat kepalanya.

"Gue masih suka sama cewe ya, anjing," Jevan menggeram tidak suka.

"Jadi lo ikut kaga, Van?" tanya Hayden sekali lagi, memastikan orang-orang yang sudah pasti ikut.

"Nggak. Next time aja deh gue ikut, bareng gengnya Yuan"

"Sparing?"

"Yoi. Latihan deh malem ini lo semua, biar gak kalah pas sparing," cowok itu mengambil kunci motornya berserta rokok yang tergeletak di atas meja. Jevan memakai jaket dan ranselnya, kemudian membayar minumannya ke Kang Hasung.

"Tumben jam segini maneh udah pulang," ucap Kang Hasung heran sambil memberikan kembalian.

"Keburu maghrib. Udah ya, duluan, Kang."

"Yoi, hati-hati, Van!"

Jevan keluar dari warkop Kang Hasung setelah berpamitan dengan teman-temannya. Ia menaiki motornya lalu memakai helm, dan saat hendak menancap gas, ponselnya bergetar melihatkan pesan seseorang melalui notifikasi yang muncul di layar kunci.

Bunda : Pulang sekarang kalau gak mau buku-buku kamu dibakar Ayahmu.

Jevan buru-buru menyimpan ponselnya di ransel, cowok itu menancap gas dengan kecepatan tinggi demi menyelamatkan buku-buku pedoman menuju masa depan dan universitas impiannya. Jika memang benar dibakar, Jovan tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa terhadap apa yang telah dilakukan Ayahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status