Share

Senandika
Senandika
Penulis: dyin

1 ; Luka

Malam telah tiba. Waktu bagi semua orang untuk beristirahat entah itu untuk menonton film favorite, bersenda gurau bersama keluarga, makan bersama kerabat, atau memejamkan mata melepaskan penat dari hari panjang yang telah dilalui.

Begitu juga dengan Shera, seharusnya gadis itu tengah menonton drama dan series kesukaannya. Tetapi karena paksaan dan tekanan yang tidak kunjung berhenti, gadis itu terpaksa meninggalkan hal kesukaannya demi berkutat di depan buku-buku serta kumpulan soal dan pembahasan UTBK yang akan diadakan 5 bulan lagi. 

Sejak dirinya dipaksa secara mati-matian oleh kedua orangtuanya untuk mengikuti jejak kakaknya yang lulusan universitas negeri nomor satu di Indonesia, Shera kehilangan semua mimpi, cita-cita, dan angan-angannya yang sudah ia rangkai sedemikian rupa saat masih duduk di Sekolah Dasar.

Ia tidak punya lagi mimpi, tidak lagi punya tujuan, semua yang ia lakukan hanyalah mengikuti paksaan ayah dan ibunya —seolah-olah ia adalah boneka, demi berhenti mendengar omongan yang keluar dari mulut-mulut jahat para sanak saudara, tetangga, kerabat orangtua, maupun ayah ibunya sendiri yang selalu saja mengatakan betapa ia sangat berbeda dari kakaknya.

Shera tau maksudnya, ia tau bahwa mereka secara tersirat mengatainya bodoh. Setidaknya cukup sopan untuk tidak berterus terang mengatai seseorang bodoh di depan orangnya.

Dan yang bisa dilakukan Shera hanyalah mengulas senyum pahit dengan berbagai macam emosi yang terpendam, emosi yang kapan saja bisa meledak saat sudah tidak lagi mampu untuk menampungnya. 

Shera menghela napasnya kasar. Dipandanginya buku-buku tebal dan berlembar-lembar kertas soal di meja belajarnya dengan emosi yang campur aduk. Sudah. Ia tidak sanggup lagi untuk melanjutkan belajar sampai waktu yang ditentukan oleh orangtuanya yaitu jam 10.

Shera melihat jam dinding, masih pukul 8 yang berarti masih tersisa 2 jam lagi sampai ia dapat menutup buku-buku sialan itu. 'Di sekolah belajar, di bimbel belajar, sekarang di rumah juga disuruh belajar?! Damn, gue bukan Yehsuh yang maniak belajar demi bisa masuk kampus top,' ujarnya dalam hati.

"Sialan," umpat Shera dengan nada lemah sembari menyandarkan punggungnya di penyanggah kursi. Cewek itu menggunakan lengan kanannya untuk menutupi mata —meredakan emosi dan menjernihkan pikiran—agar bisa belajar lagi.

Nihil, pikirannya terlalu kalut untuk sekadar membaca materi. Ia meninggalkan meja belajar menuju jendela kamarnya, memandangi langit gelap berkabut memberi tanda bahwa hujan akan segera turun untuk membasahi bumi. 'Lagi-lagi hujan,' batinnya.

Shera tidak membenci hujan, ia hanya tidak suka hujan yang memunculkan memori-memori pahit nan kelam yang sudah ia kubur dalam-dalam jauh di dasar ingatannya agar tidak timbul kembali selamanya.

'Kayanya gue sama hujan musuhan, doi gak suka ngeliat gue tenang dikit di waktu hujan like other people do. Kalau hujan bisa bikin orang-orang nikmatin indomie rebus atau tidur nyenyak, gue sama hujan dibikin nikmatin sakit kepala yang gak bisa gue definisikan rasa sakitnya.'

Tanpa Shera sadari, Ibunya telah berdiri cukup lama di depan pintu dengan murka melihat anaknya —bonekanya— yang telah meninggalkan meja belajar. Wanita itu mengepalkan tangannya dengan keras, diambilnya sebuah buku kecil namun tebal bertuliskan Bank Soal TKA. "Dasar anak bodoh!"

Bersamaan dengan makian itu, buku kecil tersebut melayang dengan cepat dan mendarat mulus di kepala Shera dengan ujung buku yang keras.

TUKK!!

Dapat Shera rasakan sebuah benda tebal menghantam tengkorak kepalanya dengan keras dan itu cukup membuat pandangannya menghitam beberapa detik dengan rasa sakit yang luar biasa.

“Beraninya kamu ninggalin meja belajar sebelum waktunya selesai?! Sudah pandai melawan?! Sudah pandai membangkang?! Mau jadi apa kamu kalau hidup seperti itu anak bodoh?!” teriak Ibunya tanpa perduli akibat perbuatannya melempar buku tebal itu tadi.

"Jawab!!"

Shera memegang kepalanya, menatap Ibunya marah. "Yang jelas gak jadi orangtua gagal kaya Mama!"

PLAKK!!

"Orangtua gagal kata kamu?! Justru kamu yang gagal karena gak bisa nyeimbangi kemampuan kamu sama kepintaran kakak kamu!"

"Kalau aku yang dibilang gagal, terus Mama sama Papa apa?"

"Shera Zefanya!!"

"Apa?! Mau pukul aku? Ayo cepat lakuin aja! Pukul aku! Tampar aku! Pukul aku sampai aku mati!"

"Dasar anak kurang ajar!" Kali ini bukan Ibunya, melainkan Ayahnya dengan setelan kantor yang lengkap menandakan bahwa laki-laki itu baru saja pulang.

Satu tamparan membelai kulit wajah Shera lagi. Anehnya tidak sakit sama sekali. Tidak ada yang Shera rasakan selain kepalanya yang terus berdenyut hebat dan emosi yang tercampur aduk menjadi satu.

Wajah dan tubuhnya sudah kebal dengan tamparan, pukulan, bantingan, serta bentuk kekerasan apapun yang dilakukan oleh Ayah dan Ibunya hingga ia tidak merasakan apa-apa lagi.

"Papa sama Mama mati-matian kerja buat bayarin semua biaya pendidikan kamu yang nggak murah, tapi kamu membangkang seperti ini. Kamu mau jadi anak liar? Kalau kamu mau, sudah pergi sana dari rumah ini! Kami tidak butuh anak tidak berguna kaya kamu!"

"Pa, udah. Ayo keluar!," Ibunya menarik lengan Sang Suami, mengajak suaminya itu untuk segera keluar sebelum mengamuk.

"I told you Shera, you are the worst child ever," Jari telunjuk laki-laki tua itu menunjuk-nunjuk wajah Shera seolah memperjelas objek yang dibicarakan. "Kerjaannya cuma bisa bikin kami malu di depan orang-orang. Nggak punya bakat, nggak punya prestasi, nggak punya kemampuan, dan nggak pintar. Satu pun gak ada dari kamu yang bisa dibanggain."

Ibu Shera semakin menarik lengan suaminya itu untuk keluar. "Sudah, Pa!"

Lelaki itu menarik lengannya yang ditarik Sang Istri, menatap istrinya dengan marah. "Seharusnya kamu gugurin saja dia kalau besarnya seperti ini."

"Keluar!" teriak Shera pada akhirnya. Cukup jangan menambahi luka dan beban yang tidak perlu, kepalanya sudah berdenyut sangat hebat, ditambah lagi ayah dan ibunya yang kini malah bertengkar. Tidak ada yang sadar dari keduanya bagaimana kondisinya sekarang dengan rasa sakit yang sangat hebat di kepala, pipi yang merah, dan tubuh yang mulai lemas karena menahan sakit.

"Tolong keluar..." pintanya lirih hampir seperti tidak terdengar.

Orangtuanya saling pandang, lalu benar-benar meninggalkan kamar Shera tanpa peduli, tanpa sepatah kata seolah-olah kejadian yang tadi tidak pernah terjadi. Selalu seperti itu, setiap waktu. Benar-benar dibuang.

'Mati! Gue harus mati malam ini juga'. Shera berjalan dengan sempoyongan menuju laci meja belajarnya. Ia mengambil cutter yang dibungkus dengan tisu agar tidak ketahuan oleh siapapun di rumah ini.

"Haaaa sial... akhirnya gue bener-bener bisa mati..." ucapnya setelah menggores lengan kanannya cukup dalam tepat di venanya sebanyak 3 goresan. Tidak butuh waktu lama, cairan kental berwarna merah menembus keluar dengan volume yang sangat banyak. Shera benar-benar ingin mengakhiri hidupnya.

Pandangannya perlahan mulai kabur, kemudian sekelebat kenangan bersama teman-temannya muncul begitu saja tanpa diperintah seolah menunjukkan ia akan segera meninggalkan orang-orang yang menjadi alasannya untuk tetap hidup sampai beberapa menit yang lalu.

Shera tersenyum, senyuman yang tidak seharusnya ia keluarkan di detik-detik ajal menjemput dan entah bagaimana setetes air mata jatuh dari kelopak matanya. Setetes demi tetes akhirnya membasahi wajah Shera, tersenyum sambil menangis menikmati saat-saat terakhir.

'Gue masih mempertanyakan sebenarnya di kehidupan sebelumnya gue pernah ngelakuin dosa sebesar apa sampai harus ngalamin hal-hal buruk kaya gini bahkan ngebunuh diri sendiri? Apa gue emang pantas mati untuk nebus kesalahan fatal gue di masa lalu? Kalau emang iya, gue mohon sama Tuhan untuk maafin diri gue yang hina di masa lalu demi kehidupan gue di masa sekarang. Gue mohon...'

“Shera!!”

Yang terdengar terakhir kali sebelum dirinya jatuh ke lantai yang penuh darah dan menutup mata adalah langkah kaki dan teriakan Kakaknya yang berlari masuk menerobos kamarnya. Setelah itu, semuanya menjadi gelap.

'Tolong....'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status