Kaluna tidak dapat membantah, meskipun dia sangat ingin melakukannya. Namun, tatapan tajam Estefan seakan mengunci bibir Kaluna rapat-rapat hingga tidak dapat mengucapkan sepatah katapun untuk membantahnya. Padahal melawan kata-kata guru adalah keahlian Kaluna selama ini. Sebaliknya Estefan juga tahu kalau Kaluna mulai terdesak olehnya, dan itu adalah awal yang bagus untuk permulaan. Sebagai seorang guru, mana mau Estefan dikalahkan oleh muridnya sendiri. "Mulai kapan bimbingannya?" tanya Kaluna dengan wajah malas. "Minggu depan," jawab Estefan tegas. "jangan lupa datang tepat waktu."Kaluna menarik napas panjang, sementara Estefan menyuruhnya untuk kembali ke kelas. Lama-lama menyebalkan juga guru satu itu, batin Kaluna dalam hatinya. Guru lain tanpa pikir panjang pasti akan langsung menendangnya dari sekolah dan dia akan dengan senang hati hengkang detik itu juga. Sisa pelajaran di kelas hari itu Kaluna habiskan dengan memikirkan cara supaya Estefan mau langsung menendangnya d
Kaluna sedang asyik bermain ponsel saat sebuah tangan terulur dan mengambil ponsel itu darinya. "Pak Guru ...?" Kaluna terkejut sedikit. "Siapa yang suruh kamu main ponsel?" tanya Estefan dingin sambil memandang Kaluna. "Saya suruh kamu berdiri.""Sudah, Pak." Kaluna mengangguk sambil menegakkan tubuhnya. "Kamu pakai rok mini lagi?" tanya Estefan menyelidik sambil menyapukan pandangannya ke arah rok Kaluna yang panjangnya hanya sampai di atas lutut. "Kamu tidak bisa memahami instruksi saya dengan baik?"Kaluna hanya nyengir sendiri, dia justru heran karena Estefan baru menyadarinya sekarang. Padahal dia sudah kembali mengenakan rok mininya lagi sejak beberapa hari yang lalu. "Masalahnya begini, saya ambil yang tercepat di lemari." Kaluna beralasan. "dapatnya yang ini."Estefan menarik napas, dia bukan orang yang sabar sebenarnya. Namun, profesinya sebagai seorang guru menuntutnya memiliki kesabaran dalam menghadapi murid-muridnya. "Ponsel kamu saya sita," kata Estefan datar. "Dan
Senin itu Kaluna masuk sekolah seperti biasanya, sambil bertanya-tanya dalam hati apakah Estefan sudah tiba di kantor guru dan bersiap mengingatkannya tentang sisa hukuman yang harus dia kerjakan selama seminggu penuh. “Luna!” Terdengar suara Yohan memanggil saat Kaluna sedang berjalan di koridor. “Gimana urusanmu sama Pak Stefan?”Kaluna memandang Yohan sekilas dan tidak yakin jika harus membagikan pengalamannya berurusan dengan Estefan. Sejak pengkhianatan yang dilakukan Rara kepadanya dulu, Kaluna sudah tidak percaya lagi dengan yang namanya teman. Karena itulah dia tidak pernah berminat menjalin pertemanan dengan siapapun di sekolah-sekolah sebelumnya.“Pak Estefan benar-benar konsisten sama ucapannya,” kata Kaluna tanpa menghentikan langkahnya. “Aku heran dia belum juga mengeluarkan aku dari sekolah.”“Kan aku sudah bilang, mendingan kamu mengundurkan diri sendiri,” komentar Yohan sambil menaikkan sebelah alisnya. ”Ngapain harus nunggu Pak Stefan yang mengeluarkan kamu?"“Aku ka
"Luna di dalam Pak, saya tidak macam-macam kok!” ucap Dewangga cepat-cepat. “Saya mengajak Luna reuni tadi ... Kami teman lama di sekolahnya yang dulu ....”“Reuni yang berakhir di apartemen?” tukas Estefan. “Kamu pikir saya bodoh? Kaluna tidak mungkin ke sini tanpa kamu paksa, kan?"Dewangga menelan ludah.“Maafkan saya Pak,” katanya. “Saya menyesal ....”“Keluar sekarang, saya mau cari Kaluna.” Estefan mengusir sambil menerobos masuk ke kamar untuk menjemput muridnya. Dilihatnya Kaluna sedang berbaring tidak sadarkan diri di tempat tidur, dengan seragam sekolah lengkap, sementara rambut panjangnya tergerai menutupi sebagian bantalnya. Bibir mungil dan sebagian wajah Kaluna juga memerah, dengan dua kancing seragam bagian atasnya sudah terbuka. Estefan mengaitkan kancing seragam Kaluna hingga menutup, kemudian berusaha membangunkannya. "Kaluna?” panggil Estefan. “Kaluna, bangun!”Kaluna hanya mengerang sebentar tanpa merespons panggilan gurunya. "Kaluna, apa pantas kamu berada di k
Estefan menoleh dan mendengus melihat Kaluna masih saja mendesaknya.“Pak Guru, saya ... saya tidak tahu apa yang sudah terjadi di antara kita ...” Kaluna melipat kedua tangannya dengan mimik memelas. “Tapi saya mohon jangan ceritakan ini pada siapapun di sekolah, Bapak boleh minta bayaran berapa pun yang Bapak mau, tapi tolong jangan cerita apa-apa.”Estefan mengernyitkan dahinya saat mendengar permohonan Kaluna barusan. Dia harus susah payah menahan tawanya ketika Kaluna berkata akan memberinya bayaran.“Kamu berani bayar saya berapa memangnya?” tanya Estefan sambil memandang Kaluna. “Lebih tinggi dari gaji saya sebagai guru?”“Saya bisa membayar berapapun yang Bapak mau,” janji Kaluna. “Asal Bapak tidak cerita apa-apa tentang kejadian tadi sama teman-teman saya.”Estefan memandang Kaluna lebih serius, dia tidak mengerti kenapa muridnya itu bisa begitu yakin bahwa dirinya akan mau menerima bayaran untuk tutup mulut soal kejadian tadi. “Kita sepakat saja ya Pak,” kata Kaluna akhirnya
“Tante jangan membuatku merasa cuma jadi beban hidup Tante selama ini,” ucap Kaluna. “Lagipula aku nggak mau menikah sama orang asing yang nggak aku cintai.”“Bukan maksud tante menganggap kamu sebagai beban, Lun. Justru tante sedang berusaha merancang masa depan yang baik buat kamu," kata Ola menggebu-gebu. “Percaya sama tante, Luna.”Kaluna memegang keningnya, dia tidak mengerti dengan keinginan tantenya yang tiba-tiba begini.Kaluna tahu bahwa Ola harus merawatnya setelah ayah dan ibunya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil, tapi dia juga tahu bahwa ada setumpuk uang yang ditinggalkan kedua orang tuanya sehingga Ola tidak perlu merasa terlalu terbebani. Jadi, untuk apa Ola mulai mendesaknya untuk menjodohkannya di usia yang sebegini mudanya?Di kediaman orang tuanya, Estefan juga sedang menghadapi desakan yang sama dari Vivian. "Rey, kenalan saja dulu. Menikahnya bisa kapan-kapan," bujuk Vivian. "Bu, aku sibuk mengajar. Aku masih bisa mencari jodoh saat aku benar-benar s
Ola begitu berambisi untuk mengatur pertemuan Kaluna dengan putra dari salah seorang kenalannya, sementara Hendra justru terlihat tidak mau ikut campur dengan rencana yang disusun istrinya untuk sang keponakan. “Apa menurutmu ini tidak terlalu buru-buru? Keponakan kita masih sekolah.” komentar Hendra. “Kamu terlalu berambisi ....”“Shh!” desis Ola. “Kamu lihat, Luna baru bisa mendapatkan semua harta orang tuanya kalau dia sudah menikah. Setidaknya kita harus menemukan calon suami yang mau kita ajak kerja sama.”Hendra mengangguk saja karena dia merasa bahwa itu sudah urusan keluarga sang istri.Jadilah Ola mengatur sendiri pertemuan itu tanpa meminta izin Kaluna terlebih dahulu. Kaluna sendiri begitu heran saat sang tante tiba-tiba mengajaknya ikut arisan yang diadakan di rumah salah seorang teman. "Kok tumben aku diajak, Tante?" tanya Kaluna dengan wajah heran."Biar kamu sekali-kali melihat dunia luar," jawab Ola beralasan. "Tante mau kamu sedikit berbaur dengan orang lain seperti
Estefan hanya tersenyum singkat, tak lebih dari satu detik dan dia segera menarik tangannya sendiri sampai lepas dari genggaman Kaluna. "Ah, maaf ...!" "Kamu boleh pulang sekarang," kata Estefan datar seakan mengusir keberadaan Kaluna dari ruang kesiswaan. Kaluna mengangguk sopan sebelum akhirnya dia berlalu pergi meninggalkan Estefan yang sedang membereskan meja. "Lun, jangan lupa besok kamu harus ikut tante arisan." Ola mengingatkan ketika Kaluna tiba di rumah dengan diantar sopir pribadi. "Besok ...? Aku kira masih minggu depan!" Kaluna pura-pura lupa sambil meringis memandang tantenya. "Nggak ada alasan," sahut Ola sambil mencubit pelan pipi Kaluna. "Dunia luar itu indah, Lun. Jadi nggak ada salahnya kamu ikut tante arisan. Teman-teman tante kadang bawa anak mereka juga." Kaluna hanya diam mendengarkan, dia tahu alasan Ola lebih memilih mengajaknya daripada mengajak anaknya sendiri yang seorang laki-laki. "Malas banget ..." keluh Kaluna sambil menjatuhkan diri di tempat tid