Share

7. Terimalah Perasaan Saya!

Kaluna sedang asyik bermain ponsel saat sebuah tangan terulur dan mengambil ponsel itu darinya.

"Pak Guru ...?" Kaluna terkejut sedikit.

"Siapa yang suruh kamu main ponsel?" tanya Estefan dingin sambil memandang Kaluna. "Saya suruh kamu berdiri."

"Sudah, Pak." Kaluna mengangguk sambil menegakkan tubuhnya.

"Kamu pakai rok mini lagi?" tanya Estefan menyelidik sambil menyapukan pandangannya ke arah rok Kaluna yang panjangnya hanya sampai di atas lutut. "Kamu tidak bisa memahami instruksi saya dengan baik?"

Kaluna hanya nyengir sendiri, dia justru heran karena Estefan baru menyadarinya sekarang. Padahal dia sudah kembali mengenakan rok mininya lagi sejak beberapa hari yang lalu.

"Masalahnya begini, saya ambil yang tercepat di lemari." Kaluna beralasan. "dapatnya yang ini."

Estefan menarik napas, dia bukan orang yang sabar sebenarnya. Namun, profesinya sebagai seorang guru menuntutnya memiliki kesabaran dalam menghadapi murid-muridnya.

"Ponsel kamu saya sita," kata Estefan datar. "Dan kamu harus tetap berdiri sampai sisa jam pelajaran saya usai. Paham?"

Kaluna menganggukkan kepalanya.

“Baik, Pak.” Dia mengangguk ringan sementara Estefan berlalu pergi sambil membawa ponselnya ke dalam kelas.

Jelas saja Kaluna tampak tenang-tenang saja saat Estefan menyita ponselnya karena dia masih punya stok ponsel nganggur yang lumayan banyak di rumah.

"Ciee, kena hukuman terus!" Yohan menjulurkan kepala dari jendela kelas sebelah dan meledek Kaluna.

"Diam deh, kamu belajar aja sana." Kaluna balik mencibir. "Anak Baik."

Yohan hanya menyeringai dan menarik kepalanya kembali. Selanjutnya Kaluna berdiri sambil sesekali menguap hingga jam pergantian pelajaran berdering nyaring.

Estefan keluar dari kelas dan mendekati Kaluna yang masih kuat berdiri.

"Ini ponsel kamu," kata Estefan datar sembari mengulurkan benda pipih itu kepada Kaluna. "Sekarang masuk kelas, ikuti pelajaran dengan baik dan usahakan jangan bikin masalah lagi."

Kaluna mengangguk sambil menerima ponselnya kembali.

"Terima kasih, Pak!" katanya sambil tersenyum manis dan melenggang pergi dari hadapan sang wali kelas. Bukan Kaluna namanya kalau tiada membuat masalah di sekolah.

Cewek itu bertekat untuk terus berulah sampai SMA Oasis mengambil keputusan untuk mengeluarkannya dari sekolah.

"Lun, nggak capek apa kamu bikin masalah terus sama Pak Stefan?" komentar Clara tak habis pikir. "Seram banget tahu lihat Pak Stefan marah-marah kayak tadi. "

Kaluna meletakkan tasnya di atas meja kemudian duduk dengan santai.

"Pak Estefan itu kalau marah seru," komentar Kaluna ringan sambil bertopang dagu dan memandang ke arah whiteboard.

"Kamu juga jangan banyak tingkah dong Lun," sahut Davi si ketua kelas. "Nanti kita semua yang ikut kena imbasnya."

"Mana ada," bantah Kaluna cuek. "Karena setiap murid akan menanggung dosanya sendiri-sendiri, Dav. Jadi kamu nggak usah khawatir deh."

Davi memilih diam dan tidak menanggapi. Bukannya dia takut melawan Kaluna, tapi membiarkan cewek itu bertindak sesuka hati menurutnya adalah keputusan yang paling bijak.

Kaluna sendiri tetap bersikap santai selama jam pelajaran berlangsung, hingga tiba saat istirahat dan dia langsung pergi ke kantin mendahului teman-temannya.

Kaluna terpaku di kursinya saat Estefan berjalan melewati mejanya. Guru muda itu terlihat memesan sesuatu kepada salah satu pegawai kantin. Setelahnya dia duduk di meja yang berjarak agak jauh dari tempat Kaluna duduk dan menunggu pesanannya sambil bermain ponsel.

Kaluna menyeruput es jeruknya pelan-pelan, sambil sesekali matanya melirik Estefan yang sedang memandang ponselnya dengan serius sementara satu tangannya membetulkan kacamatanya yang melorot di ujung hidungnya.

Saat di posisi itulah, Kaluna merasa maklum jika sosok Estefan begitu dikagumi oleh sebagian besar murid perempuan di SMA Oasis.

Estefan yang sedang sibuk berkirim pesan dengan ibunya, sesekali melirik Kaluna yang langsung menyibukkan diri dengan mengaduk-aduk es jeruknya menggunakan sedotan.

Ada hal mendesak lainnya yang begitu mengganggu pikiran Estefan selain urusan pelanggaran peraturan yang dilakukan muridnya. Beberapa waktu belakangan ini sang ibu terus mendesaknya untuk mau dipertemukan dengan cewek yang rencananya akan dijodohkan kepadanya.

Otak Estefan berpikir sangat keras, dia harus mencari alasan yang bagus untuk bisa menolak rencana ibunya terkait soal perjodohan.

***

Kaluna berjalan melewati kantor guru dengan begitu ceria. Meskipun dia datang pagi demi memenuhi kewajibannya menjalani hukuman yang diberkan Estefan kepadanya, tapi cewek itu tidak keberatan karena tiba di sekolah saat suasana masih sepi merupakan pengalaman langka baginya selama menjadi seorang murid.

“Tolong, terimalah perasaan saya!”

Kaluna memperlambat langkah kakinya ketika mendengar suara perempuan dari kantor guru yang pintunya terbuka.

“Maaf, saya tidak bisa.”

Mata Kaluna membelalak ketika dia mendengar suara Estefan yang menyahut dengan nada datar khas miliknya.

“Tapi Pak, saya benar-benar menyukai Pak Guru ... Tidak bisakah Bapak menerima perasaan ....”

“Kamu harus sadar status antara kamu dan saya, karena guru dan murid sejatinya tidak berhak memiliki hubungan istimewa melebihi apa pun.” Estefan memotong dengan dingin dan begitu tegas.

Kaluna melirik sedikit melalui celah pintu dan melihat murid perempuan itu memaksakan diri tersenyum tapi tidak cukup kuat untuk membalas ucapan Estefan.

“Di luar sekolah, kita bukan lagi guru dan muridnya.” Murid perempuan itu berkata setelah terdiam selama beberapa saat, kemudian dia berbalik dan berjalan cepat meninggalkan kantor guru detik itu juga.

Kaluna sempat termangu memandangi kepergian si murid perempuan yang berlari menjauh, sampai dia terlambat menyadari sesuatu dan ....

“Apa yang kamu lihat?” tanya sebuah suara dengan nada sedingin es yang sudah mulai Kaluna hapal di luar kepala.

“Eh, Pak Guru ...” Kaluna meringis dan agak merepet juga saat menyadari tatapan tajam Estefan yang rasanya seribu kali lebih tajam daripada pedang ketika menangkap basah dirinya yang ketahuan menguping.

“Cepat lakukan hukuman kamu,” perintah Estefan dingin. “Bersihkan kantor guru sebelum staf pengajar yang lain berdatangan.”

“Baik Pak,” angguk Kaluna ketika Estefan berjalan pergi melewatinya tanpa senyum sedikitpun.

Kaluna bergidik dan cepat-cepat melaksanakan hukuman yang diberikan wali kelasnya.

Sebelum bel masuk berbunyi, Estefan mengecek ponselnya di toilet khusus guru. Ternyata Vivian berkali-kali menghubunginya sejak tadi, tapi tentu saja Estefan tidak memedulikannya.

Selain panggilan tak terjawab dari Vivian, ada pesan dari sang ayah yang sangat mengganggu pikiran Estefan pagi itu. Ayahnya mengirimi Estefan pesan yang mengingatkannya untuk ikut pertemuan dengan calon yang rencananya akan dijodohkan dalam waktu dekat ini.

“Bu, aku sudah capek dengan kegiatan mengajarku di sekolah.” Estefan melayangkan protes ketika sore harinya dia menelepon Vivian saat dia selesai mengajar. “Jadi jangan paksa aku untuk ikut pertemuan seperti itu.”

“Ini pertemuan penting, Rey.” Vivian menukas. “Ibu cuma minta kamu sama cewek itu bertemu dulu, atau ibu akan memecat kamu sebagai anak.”

“Bu, itu terlalu berlebihan!” protes Estefan, membuat sang ibu tertawa pelan dari seberang sana.

“Ibu tidak mau tahu, Rey. Awal bulan depan ibu akan urus semuanya,” sambung Vivian tegas, yang jelas tidak bisa dibantah oleh Estefan sedikitpun lagi.

Bersambung –

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status