Share

2. Pangeran VS Preman Sekolah

Kaluna langsung meminta Tante Ola untuk mengurus kepindahannya ke sekolah karena dia tidak sudi lagi untuk bersekolah di tempat yang sama dengan Dewa dan Rara.

Di sekolahnya yang baru, Kaluna yang sudah hilang kepercayaan terhadap orang-orang cenderung antisosial dan akan bereaksi berlebihan jika ada murid yang sengaja menyenggolnya. Sudah tak terhitung berapa kali Kaluna bermasalah dengan murid laki-laki baik senior maupun junior, membolos, tidak menyelesaikan tugas, dan mengerjakan soal ulangan dengan asal-asalan.

Hebatnya, Kaluna selalu serius saat ujian tengah semester atau kenaikan kelas, meskipun dalam satu semester dia bisa pindah sekolah sedikitnya dua kali jika dia bosan.

Bagaimana bisa segampang itu? Tante Ola adalah tipe orang yang tidak mau repot dan dia tinggal mendonorkan sekian juta ke sekolah baru Kaluna menggunakan uang peninggalan orang tua Kaluna yang sudah tiada.

“Kaluna, saya sedang bicara sama kamu.” Suara Estefan terdengar lagi, membuat Kaluna tersentak dari lamunannya.

“Iya Pak,” angguk Kaluna sambil terduduk tegak di tempatnya.

“Apa kamu mau mengulang kepindahan kamu lagi ke sekolah lain?” tanya Estefan ingin tahu. “Dari beberapa catatan yang ditulis guru sekolah kamu yang lama, kelihatannya kamu memang hobi pindah sekolah atau bagaimana?”

Kaluna menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal.

“Kalau sudah tidak betah, mau bagaimana lagi Pak?” sahut Kaluna ringan.

Estefan tidak yakin jika jawaban yang dilontarkan Kaluna adalah jawaban yang seratus persen jujur. Jika dilihat dari nilai-nilai akademiknya, Kaluna bukan termasuk murid yang bodoh. Hanya saja dia sangat pemalas berdasarkan jumlah bolos dan nilai-nilai tugas sekolah yang sering dia kesampingkan.

“Apa kamu masih niat sekolah?” tanya Estefan akhirnya.

Biasanya Kaluna akan segera menjawab dengan gelengan kepala setiap wali kelasnya yang terdahulu sudah sangat mentok menghadapi semua kenakalannya. Namun, kali ini dia terdiam bisu seolah sedang berpikir untuk melanjutkan sekolah atau tidak.

“Entahlah Pak, saya belum tahu.” Kaluna mengangkat bahunya. “Kalau ada sekolah yang masih mau menerima saya, mungkin saja saya pindah.”

Estefan tertegun, seumur-umur dia belum pernah menghadapi murid perempuan seperti Kaluna yang bersikap masa bodoh dengan sekelilingnya seperti ini.

“Pikirkan ini baik-baik,” kata Estefan sembari memandang Kaluna dari balik kacamatanya. “Kamu sudah tingkat akhir dan sebentar lagi lulus, apa kamu tidak mau untuk sekali saja dalam hidup kamu, kamu memiliki tanggung jawab terhadap diri kamu sendiri?”

Kaluna balas memandang Estefan dan tidak menjawab. Jika dulu di sekolah-sekolah sebelumnya dia hanya singgah sebentar di kantor guru untuk berpamitan karena enggan memperpanjang masalah, kali ini Kaluna terpaksa bertahan cukup lama untuk berpikir.

Seolah ada suatu magnet di dalam kantor guru yang mengikat Kaluna untuk tetap berada di depan Estefan yang menunggu jawabannya dalam diam.

“Saya tidak khawatir soal pendidikan, karena peninggalan orang tua saya tidak akan habis-habis saya makan.” Kaluna akhirnya berbicara tanpa memandang sang guru.

“Begitu?” tanggap Estefan datar. “Dari nilai ujian kamu, sebenarnya kamu lumayan pintar. Tapi kenapa kamu harus bertingkah seperti ini?”

Kaluna tidak ingin menjawab pertanyaan Estefan karena dia tahu bahwa guru muda itu hanya menjalankan profesi yang tengah disandangnya.

“Saya akan pikirkan lagi,” sahut Kaluna setelah terdiam selama beberapa saat. “Terima kasih atas bimbingan Pak Guru hari ini. Permisi.”

Estefan sengaja tidak menahan Kaluna lebih lama di kantor guru, karena dia tidak ingin terburu-buru menindaknya. Terlebih karena Estefan merasa bahwa Kaluna seperti sengaja berbuat semaunya dengan alasan yang dia sendiri yang tahu.

***

“Suamiku, bagaimana kalau Luna segera kita carikan jodoh saja?” usul tante Kaluna yang bernama Ola, dia baru saja mengeluhkan tingkah keponakannya yang semakin menjadi kepada sang suami: Hendra.

“Keponakan kita masih di bawah umur, Ola.” Hendra kurang setuju. “Nanti orang-orang curiga kalau kita menginginkan sesuatu dari Luna.”

Ola mengembuskan napas berat, mengasuh Kaluna sejak kematian kakak kandungnya sempat membuat pikirannya stres berat. Namun, hal itu hanya akan sembuh jika dia mengingat seberapa besar harta warisan yang ditinggalkan untuk Kaluna seorang.

Sebagai orang yang bertanggung jawab penuh atas diri Kaluna, tidak salah jika Ola merasa berhak atas sebagian harta warisan itu.

“Apa? Dijodohkan?” Kaluna membelalakkan matanya ketika Ola menyambangi kamarnya begitu dia pulang sekolah. “Tante, aku baru tujuh belas tahun lebih sedikit!”

Ola tersenyum keibuan ketika dia memandang keponakannya.

“Kan kamu nggak harus menikah besok pagi,” sahut Ola kalem. “Yang penting kamu mau kenalan dulu sama calon yang akan tante pilihkan nanti.”

Kaluna bertopang dagu sambil berpikir.

“Tante pasti kerepotan ngurus aku ya, sampai harus menyuruhku nikah cepat?” tanya Kaluna dengan nada tidak enak. “Tante boleh kok ambil sebagian uang bulanan aku kalau Tante butuh ....”

“Sayang, kamu ini kan keponakan tante. Sudah sepantasnya tante merawat kamu tanpa perlu imbalan apa pun.” Ola mulai menunjukkan kehebatannya bersilat lidah. “Tante kepikiran untuk menjodohkan kamu lebih awal supaya kamu nggak kerepotan nantinya cari ke sana ke sini ... bagaimana?”

Kaluna mengerucutkan bibirnya dan tidak segera menjawab.

“Kamu pikir-pikir dulu nggak apa-apa,” kata Ola agar keponakannya tidak curiga. “Sekarang kamu ganti baju dulu, habis itu makan yang banyak.”

“Oke Tante,” angguk Kaluna yang pikirannya seketika teralihkan. Begitu tantenya pergi, dia segera menarik napas panjang dan berat.

Keesokan harinya Kaluna masih masuk sekolah seperti biasa. Dia tidak memedulikan tatapan para murid yang telah menganggapnya sebagai si pembuat onar terlepas dari wajah cantiknya yang mengundang perhatian kaum adam.

Termasuk Yohan, salah satu most wanted di SMA Oasis. Cowok berambut model nanas itu memicingkan matanya saat Kaluna lewat di depan kelasnya.

“Hei, cewek baru!” panggil Yohan sambil bersiul menggoda.

Kaluna yang tidak merasa terpanggil hanya melengos tanpa memandang Yohan sedikitpun, membuat teman-teman Yohan terbahak.

“Pangeran sekolah dicuekin!”

“Nggak ada yang bisa menaklukkan Luna, si preman sekolah!”

Yohan yang telah memendam rasa penasarannya terhadap Kaluna, segera berlari mengejarnya demi menjaga agar nama besarnya di sekolah tidak merosot hanya karena gagal mendapat perhatian sang cewek incarannya.

“Sombong banget, Lun?” komentar Yohan sambil menjajari langkah Kaluna. “Lagi bulanan ya, makanya cepat-cepat mau ke kelas?”

Kaluna menghentikan langkahnya dan menatap tajam Yohan, membuat cowok itu merasa telah berhasil menarik perhatiannya dengan mudah.

“Menyingkir dari pandanganku, atau kamu mau merasakan azab yang pedih?” kata Kaluna tajam.

Yohan justru terbahak-bahak mendengarnya sampai ujung rambut nanasnya bergoyang.

“Santai,” kata Yohan sambil menowel pipi kemerahan Kaluna dengan ujung jarinya.

“Kamu ...?” Kaluna seketika meradang dan segera menyikut wajah Yohan dengan sikunya, membuat Yohan mengaduh ngilu.

“Berengsek,” umpat Yohan sambil mengusap hidungnya. “Kamu pikir aku nggak tega menghajar cewek?”

Kaluna langsung pasang kuda-kuda ketika Yohan melompat menerjangnya.

Bersambung –

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status