Share

BAB 2

Rini, dia adalah karyawan bagian marketing di perusahaan Mas Andri. Rini sudah kuanggap sebagai adik seligus sahabatku. Usianya sekitar 10 tahun lebih muda dariku, kami berasal dari daerah yang sama. Rumahnya berjarak 6 rumah dari rumah ibuku. Bahkan aku yang membawanya dari kampung dan mengusulkan kepada Mas Andri untuk menerimanya sebagai karyawan di perusahaan advertising yang dikelola Mas Andri.

Tapi mengapa suamiku tadi menggenggam tangan Rini? Bukankah selama ini kami menjalani hubungan suami istri yang mencontoh sunnah Nabi. Aku dan suamiku sudah beberapa tahun belakangan sepakat untuk tidak bersalaman dengan yang bukan mahrom agar tidak bersentuhan selain kepada mahrom kami. Lalu mengapa tadi Mas Andri begitu gampangnya menyentuh Rini? Kepalaku mendadak pusing. Kuputuskan untuk segera pulang sebelum air mataku kembali jatuh. Buru-buru kuselesaikan transaksi di kasir dan mengambil beberapa bungkus makanan yang kupesan untuk anak – anakku.

“Assalamualaikum …” sapaku sambil membuka pintu rumah.

“Walaikumsalam, Ma ...” sahut Aldy. Dia lagi berbaring di ruang tengah sambil memainkan gawainya. Segera Aldy beranjak dan meraih punggung tanganku seraya menciumnya. Sedetik, dua detik, tiga detik, bahkan sampai sepuluh detik Aldy belum juga melepaskan tanganku. Ini membuatku sedikit heran, kemudian kuusap kepala anak remajaku ini dengan tanganku yang satunya. Sekilas setelah melepaskan punggung tanganku kulihat mata Aldy merah seperti menahan tangisan.

Aldy Habibie, anak sulungku yang kini beranjak remaja. Aldy sekarang duduk di kelas 1 SMP sedangkan adiknya Nanda Zafira baru berusia 5 tahun. Aldy adalah anak yang tidak banyak bicara, namun pembawaannya terlihat lebih dewasa. Hal yang sangat kusyukuri bahwa Mas Andri mendidik anak lelakinya dengan sangat baik, sehingga Aldy di usia remajanya termasuk anak yang kalem. Dia tidak suka keluyuran dan lebih memilih menghabiskan waktunya bersama adiknya ataupun bersama kami pada saat aku dan suamiku lagi libur bekerja.

Kutatap mata Aldy yang masih merah  namun aku enggan menanyakan padanya, mungkin karena pengaruh Aldy lagi demam.

“Makanlah dulu, Nak” kataku setelah menyiapkan makanan yang tadi kubawa.

“iya, Ma,” jawabnya singkat.

“Mama nengokin adikmu dulu ya ke kamarnya sekalian pamit sama Bi Ina” ucapku sambil berlalu menuju kamar anak bungsuku.

*** 

“Maaf bu, sepertinya anak ibu lagi banyak pikiran. Apakah di sekolahnya dibebani tugas sekolah yang berat? Anak ibu seperti lagi depresi, telapak tangannya dingin dan pandangan matanya tidak fokus. Saya menyarankan Ibu membawanya ke Psikiater," kata dokter setelah memeriksa Aldy. 

WHAT??? Aku mengerutkan kening, setahuku tidak ada masalah dengan kegiatan sekolah Aldy. Dan psikiater??? Mengapa harus ke psikiater? Apakah kejiwaan Aldy bermasalah? Beribu pertanyaan melintas di benakku mendengar penjelasan dokter tadi.

Kupacu mobilku dengan kecepatan sedang, kuputar musik insrument agar bisa lebih rileks. Sesekali kulirik Aldy yang lagi duduk di sampingku, tatapannya lurus kedepan tanpa ekspresi. Aku memutuskan mampir ke taman kota ada danau kecilnya, Aldy tidak protes ataupun bertanya dia hanya mengikuti langkahku. Aku harus mencari tau ada apa dengan Aldy.

“Duduk di sini dulu yuk, Nak. Mama agak capek hari ini, di kantor tadi banyak pekerjaan. Boleh kan mama rileks sebentar di taman ini,” kataku sambil mengajak Aldy duduk di kursi taman yang menghadap ke danau buatan. Aldy hanya tersenyum dan duduk. Dia belum bicara satu kata pun sejak pulang dari doker tadi.

Hening

Hening

“Ma ... Apa mama dan papa baik-baik saja?” katanya lirih membuka percakapan.

DEGGG!!! Aku terkejut dan melirik cepat kedalam matanya. Tiba-tiba Aldy memelukku erat sambil menangis sesegukan. Oh My God,  ada apa ini? Baru beberapa jam yang lalu aku melihat suamiku menggandeng tangan wanita lain dan sekarang anak lelakiku bertanya dan menangis seperti ini. Sungguh aku benar-benar tidak mengerti, aku menerka – nerka apa yang terjadi. Kepalaku pusing, aku seperti mengurai benang kusut. Aku tak tau dimana ujung pangkalnya. Aldy melepaskan pelukannya padaku dan kembali duduk dengan tegak di sampingku.

“Ma, Aldy tau Mama dan Papa lagi ada masalah. Aldy beberapa kali melihat papa jalan dengan Tante Rini tanpa Mama. Aldy takut ....” Dia tak sanggup melanjutkan kalimatnya dan air matanya sudah membanjiri pelupuk matanya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status