Rini, dia adalah karyawan bagian marketing di perusahaan Mas Andri. Rini sudah kuanggap sebagai adik seligus sahabatku. Usianya sekitar 10 tahun lebih muda dariku, kami berasal dari daerah yang sama. Rumahnya berjarak 6 rumah dari rumah ibuku. Bahkan aku yang membawanya dari kampung dan mengusulkan kepada Mas Andri untuk menerimanya sebagai karyawan di perusahaan advertising yang dikelola Mas Andri.
Tapi mengapa suamiku tadi menggenggam tangan Rini? Bukankah selama ini kami menjalani hubungan suami istri yang mencontoh sunnah Nabi. Aku dan suamiku sudah beberapa tahun belakangan sepakat untuk tidak bersalaman dengan yang bukan mahrom agar tidak bersentuhan selain kepada mahrom kami. Lalu mengapa tadi Mas Andri begitu gampangnya menyentuh Rini? Kepalaku mendadak pusing. Kuputuskan untuk segera pulang sebelum air mataku kembali jatuh. Buru-buru kuselesaikan transaksi di kasir dan mengambil beberapa bungkus makanan yang kupesan untuk anak – anakku.
“Assalamualaikum …” sapaku sambil membuka pintu rumah.
“Walaikumsalam, Ma ...” sahut Aldy. Dia lagi berbaring di ruang tengah sambil memainkan gawainya. Segera Aldy beranjak dan meraih punggung tanganku seraya menciumnya. Sedetik, dua detik, tiga detik, bahkan sampai sepuluh detik Aldy belum juga melepaskan tanganku. Ini membuatku sedikit heran, kemudian kuusap kepala anak remajaku ini dengan tanganku yang satunya. Sekilas setelah melepaskan punggung tanganku kulihat mata Aldy merah seperti menahan tangisan.
Aldy Habibie, anak sulungku yang kini beranjak remaja. Aldy sekarang duduk di kelas 1 SMP sedangkan adiknya Nanda Zafira baru berusia 5 tahun. Aldy adalah anak yang tidak banyak bicara, namun pembawaannya terlihat lebih dewasa. Hal yang sangat kusyukuri bahwa Mas Andri mendidik anak lelakinya dengan sangat baik, sehingga Aldy di usia remajanya termasuk anak yang kalem. Dia tidak suka keluyuran dan lebih memilih menghabiskan waktunya bersama adiknya ataupun bersama kami pada saat aku dan suamiku lagi libur bekerja.
Kutatap mata Aldy yang masih merah namun aku enggan menanyakan padanya, mungkin karena pengaruh Aldy lagi demam.
“Makanlah dulu, Nak” kataku setelah menyiapkan makanan yang tadi kubawa.
“iya, Ma,” jawabnya singkat.
“Mama nengokin adikmu dulu ya ke kamarnya sekalian pamit sama Bi Ina” ucapku sambil berlalu menuju kamar anak bungsuku.
***
“Maaf bu, sepertinya anak ibu lagi banyak pikiran. Apakah di sekolahnya dibebani tugas sekolah yang berat? Anak ibu seperti lagi depresi, telapak tangannya dingin dan pandangan matanya tidak fokus. Saya menyarankan Ibu membawanya ke Psikiater," kata dokter setelah memeriksa Aldy.
WHAT??? Aku mengerutkan kening, setahuku tidak ada masalah dengan kegiatan sekolah Aldy. Dan psikiater??? Mengapa harus ke psikiater? Apakah kejiwaan Aldy bermasalah? Beribu pertanyaan melintas di benakku mendengar penjelasan dokter tadi.
Kupacu mobilku dengan kecepatan sedang, kuputar musik insrument agar bisa lebih rileks. Sesekali kulirik Aldy yang lagi duduk di sampingku, tatapannya lurus kedepan tanpa ekspresi. Aku memutuskan mampir ke taman kota ada danau kecilnya, Aldy tidak protes ataupun bertanya dia hanya mengikuti langkahku. Aku harus mencari tau ada apa dengan Aldy.
“Duduk di sini dulu yuk, Nak. Mama agak capek hari ini, di kantor tadi banyak pekerjaan. Boleh kan mama rileks sebentar di taman ini,” kataku sambil mengajak Aldy duduk di kursi taman yang menghadap ke danau buatan. Aldy hanya tersenyum dan duduk. Dia belum bicara satu kata pun sejak pulang dari doker tadi.
Hening
Hening
“Ma ... Apa mama dan papa baik-baik saja?” katanya lirih membuka percakapan.
DEGGG!!! Aku terkejut dan melirik cepat kedalam matanya. Tiba-tiba Aldy memelukku erat sambil menangis sesegukan. Oh My God, ada apa ini? Baru beberapa jam yang lalu aku melihat suamiku menggandeng tangan wanita lain dan sekarang anak lelakiku bertanya dan menangis seperti ini. Sungguh aku benar-benar tidak mengerti, aku menerka – nerka apa yang terjadi. Kepalaku pusing, aku seperti mengurai benang kusut. Aku tak tau dimana ujung pangkalnya. Aldy melepaskan pelukannya padaku dan kembali duduk dengan tegak di sampingku.
“Ma, Aldy tau Mama dan Papa lagi ada masalah. Aldy beberapa kali melihat papa jalan dengan Tante Rini tanpa Mama. Aldy takut ....” Dia tak sanggup melanjutkan kalimatnya dan air matanya sudah membanjiri pelupuk matanya.
Bersambung.
“Astaghfirullahaladzim ....” Aku berkali-kali mengucapkan istighfar menanggapi cerita Aldy. Aku sungguh tak menyangka dan aku tak tau apa-apa selama ini. Bahkan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang kulihat tadi siang di restoran masih menggantung di benakku. Dan kini anakku mengungkapkan cerita tentang papanya yang selama ini tidak kuketahui. Ya Allah, aku bahkan belum sempat menanyakan hal ini kepada Mas Andri tapi sekarang harus menghadapi pertanyaan Aldy yang aku sendiri pun tak tau harus menjawab apa.“Kita pulang yuk, Nak. Kasian adik kamu menunggu di rumah. Tidak semua apa yang kita lihat itu seperti apa yang kita bayangkan, Nak. Aldy tau papa kan, selama ini papa adalah papa yang sangat baik bagi kalian. Sebaiknya jangan berprasangka buruk dulu sebelum memastikan semuanya. Mama dan papa baik-baik saja Nak, tidak ada yang mama sembunyikan dari kamu dan adik kamu,” ucapku kemudian, walaupun batinku sendiri ragu dengan apa yang kuucapkan.***Aku memarkirkan mobilku di samping m
Namaku Nuri Wulandari. Aku adalah anak tunggal. Ralat, aku memiliki 2 orang saudara kandung beda ibu. Namun sejak kecil aku tidak pernah tau tentang kedua kakakku itu. Mereka hampir tidak pernah berkunjung ke rumah kami. Aku hanya mengetahui keberadaan mereka dari cerita ayah dan ibuku dahulu sewaktu aku kecil. Yang kuingat, pertama dan terakhir kali aku bertemu mereka pada saat pemakaman ayahku, waktu itu usiaku baru 8 tahun. Beberapa bulan yang lalu aku mengambil cuti tahunan yang berbarengan dengan jadwal libur sekolah Aldy anakku dan pulang kerumah ibu di kampung. Kami bertiga aku, Aldy dan Nanda hampir 2 minggu berada dirumah ibu. Suatu hari, aku membersihkan gudang dirumah ibu dan menemukan beberapa catatan ayah serta diary usang milik ibu di masa mudanya. Iseng kubuka buku usang yang berisi catatan pesanan pelanggan konfeksi ayah. Ya, ayah dulunya membuka usaha konfeksi setelah resign dari profesinya sebagai guru, ini cerita yg kudengar dari ibu bahwa sebelum aku lahir ayah ada
Kulangkahkan kakiku memasuki kantor Mas Andri. Para karyawan menyapaku dengan ramah. Hari ini hari Sabtu, kantorku libur di hari sabtu tapi bukan hari libur untuk Mas Andri, perusahaannya hanya libur di hari Minggu dan tanggal merah. Aku mememcet tombol lift dan menunggu, ruangan Mas Andri ada di lantai 3. Lama menunggu, dari arah sebelah kiriku kulihat Rini yang sedang berjalan membawa beberapa berkas. Dia terlihat begitu senang melihatku kemudian tersenyum dan menghampiriku."Mbak Nuri, masya Allah Rini kangen sama Mbak. Gimana kabarnya Mbak Nuri dan anak-anak soleh solehanya?" sapanya riang sambil menyalamiku kemudian cipika - cipiki."Baik Rin, anak-anak juga kabarnya baik. Kamu sendiri apa kabar, Rin? Kamu sekarang terlihat lebih cantik dan lebih segar," jawabku sambil memperhatikan penampilannya. Rini memakai gamis dan jilbabnya terjulur panjang menutupi dadanya. Penampilannya jauh lebih agamis dibanding pertama kali aku mengajaknya ke kota ini. Aku tersenyum padanya."Alhamdul
Lembaga Pemasyarakatan.Aku duduk dengan gelisah menunggu pertemuan pertamaku dengan kakakku Rizal Arifin yang sedang menjalani hukuman di Lapas ini. "Mas, kita pulang aja yuk.Aku nggak yakin dia mau bertemu denganku," ucapku lirih."Tenang, Dik, jangan berprasangka yang tidak-tidak. Lebih baik memastikan lebih dahulu dari pada menyimpulkan sendiri. Kita tunggu beliau keluar ya." Mas Andri meremas jemariku memberiku kekuatan."Saudara Rizal, Anda diberi waktu 30 menit sebelum kembali ke sel Anda." Suara tegas petugas Lapas membuyarkan lamunanku. Kulihat sesosok laki-laki dengan perawakan tinggi menatap ke arahku. Mataku berkabut, aku teringat ayah. Sungguh penampilan Kak Rizal di depanku mengingatkanku pada ayah. Kembali kurasakan jariku diremas lembut oleh Mas Andri, sepertinya ia memahami jika aku sedang tidak baik-baik saja."Kak Rizal ..." gumamku lirih sambil berdiri."Duduklah, Dek," ucapnya menyuruhku duduk kembali. Dek??? Apa dia memanggilku adek? Apa dia mengingatku yang dul
Kumatikan mesin mobil kemudian menghela nafas untuk menguatkan hatiku. Aku melangkah ke arah rumah Rini. Kulihat Mas Andri duduk di kursi teras depan sedangkan Rini langsung berjalan ke arah pagar menyambutku."Assalamualaikum," sapaku. Aku merasakan suaraku bergetar saat mengucapkan salam."Walaikumsalam Mbak Nuri, ayo masuk mbak. Pak Andri ada di dalam," kata Rini."Walaikumsalam, Dik," sahut mas Andri hampir berbarengan dengan jawaban Rini.Aku berdiri tepat didepan suamiku. "Kok ada di sini mas?" tanyaku menyelidik."Ayo kita masuk dulu, Sayang, tidak enak mengobrol di luar," kata mas Andri.Akupun melangkah memasuki rumah Rini. Rumah yang menurutku lumayan bagus, sangat nyaman walaupun tidak begitu luas. Rumah ini terkesan elegan dengan penataaannya, dan yang pasti rumah ini bersih, rapi dan masih kelihatan baru.Aku duduk di sofa di ruang tamu, empuk sekali, sofanya pun terlihat masih baru. Beruntung sekali Rini dihadiahi rumah senyaman ini oleh perusahaan. Tentu saja pencapaian
Lembaga Pemasyarakatan.Aku duduk dengan gelisah menunggu pertemuan pertamaku dengan kakakku Rizal Arifin yang sedang menjalani hukuman di Lapas ini. "Mas, kita pulang aja yuk. Aku nggak yakin dia mau bertemu denganku," ucapku lirih."Tenang, Dik, jangan berprasangka yang tidak-tidak. Lebih baik memastikan lebih dahulu dari pada menyimpulkan sendiri. Kita tunggu beliau keluar ya." Mas Andri meremas jemariku memberiku kekuatan."Saudara Rizal, Anda diberi waktu 30 menit sebelum kembali ke sel Anda." Suara tegas petugas Lapas membuyarkan lamunanku. Kulihat sesosok laki-laki dengan perawakan tinggi menatap ke arahku. Mataku berkabut, aku teringat ayah. Sungguh penampilan Kak Rizal di depanku mengingatkanku pada ayah. Kembali kurasakan jariku diremas lembut oleh Mas Andri, sepertinya ia memahami jika aku sedang tidak baik-baik saja."Kak Rizal ...," gumamku lirih sambil berdiri."Duduklah, Dek," ucapnya menyuruhku duduk kembali. Dek??? Apa dia memanggilku adek? Apa dia mengingatku yang d
"Dik, kemarin mau bahas apa dengan Rini?" Suara Mas Andri memecah kesunyian di mobil saat kami berdua pulang dari Lapas."Ada sesuatu yang ingin kupastikan padanya, Mas. Kenapa? Tumben mas jadi 'kepo' gini?" Aku menoleh padanya."Hehe gak boleh ngomong gitu, Dik. Bukankah Mas suamimu, Mas harap kamu tidak melakukan hal yang aneh-aneh ya, Dik." Tangan kirinya mengusap pahaku sedang tangan kanannya memegang stir. Aku kembali menoleh."Aneh-aneh gimana maksudnya, Mas? Kenapa juga aku harus aneh? Kurasa Mas deh yang aneh sekarang," sahutku ketus."Ya sudahlah, Dik. Kita nggak usah bahas 'keanehan' lagi," katanya sambil tertawa. Aku terdiam, tidak ada yang lucu menurutku, malah sekarang aku merasa makin tertantang untuk menyelidiki ada apa sebenarnya antara Mas Andri dan Rini.***Drrrtttt... ddrrtttt... Ponselku berbunyi. Kulihat Rini memanggil."Asalamualaikum, Rin.""Walaikumsalam Mbak Nuri. Mbak sibuk kah? Rini mau ketemu Mbak ada yang ingin Rini sampaikan," capnya "Mbak masih di kant
Kumatikan mesin mobil kemudian menghela napas untuk menguatkan hatiku. Aku melangkah ke arah rumah Rini. Kulihat Mas Andri duduk di kursi teras depan sedangkan Rini langsung berjalan ke arah pagar menyambutku."Assalamualaikum," sapaku. Kurasakan suaraku bergetar saat mengucapkan salam."Walaikumsalam Mbak Nuri, ayo masuk, Mbak. Pak Andri ada di dalam," kata Rini."Walaikumsalam, Dik," sahut mas Andri hampir berbarengan dengan jawaban Rini.Aku berdiri tepat di depan suamiku. "Kok ada di sini mas?" tanyaku menyelidik."Ayo kita masuk dulu, Sayang, tidak enak mengobrol di luar," kata mas Andri.Akupun melangkah memasuki rumah Rini. Rumah yang menurutku lumayan bagus, sangat nyaman walaupun tidak begitu luas. Rumah ini terkesan elegan dengan penataaannya, dan yang pasti rumah ini bersih, rapi dan masih kelihatan baru.Aku duduk di sofa di ruang tamu, empuk sekali, sofanya pun terlihat masih baru. Beruntung sekali Rini dihadiahi rumah senyaman ini oleh perusahaan. Tentu saja pencapaianny