Share

BAB 5

Kulangkahkan kakiku memasuki kantor Mas Andri. Para karyawan menyapaku dengan ramah. Hari ini hari Sabtu, kantorku libur di hari sabtu tapi bukan hari libur untuk Mas Andri, perusahaannya hanya libur di hari Minggu dan tanggal merah. Aku mememcet tombol lift dan menunggu, ruangan Mas Andri ada di lantai 3. Lama menunggu, dari arah sebelah kiriku kulihat Rini yang sedang berjalan membawa beberapa berkas. Dia terlihat begitu senang melihatku kemudian tersenyum dan menghampiriku.

"Mbak Nuri, masya Allah  Rini kangen sama Mbak. Gimana kabarnya Mbak Nuri dan anak-anak soleh solehanya?" sapanya riang sambil menyalamiku kemudian cipika - cipiki.

"Baik Rin, anak-anak juga kabarnya baik. Kamu sendiri apa kabar, Rin? Kamu sekarang terlihat lebih cantik dan lebih segar," jawabku sambil memperhatikan penampilannya. Rini memakai gamis dan jilbabnya terjulur panjang menutupi dadanya. Penampilannya jauh lebih agamis dibanding pertama kali aku mengajaknya ke kota ini. Aku tersenyum padanya.

"Alhamdulillah Rini juga baik, Mbak. Ini semua juga karena kebaikan Mbak Nuri sehingga Rini bisa seperti ini. Bagi Rini, Mbak Nuri itu malaikat yang dikirim Allah untuk mengangkat kehidupan kelam Rini," ujarnya, matanya berkaca-kaca.

"Ah kamu berlebihan Rin. Kamu begini karena memang kamu memang punya kualitas. Kudengar dari Mas Andri divisi kalian sukses besar ya bulan lalu, selamat ya Rin, kamu memang bisa diandalkan tidak salah mbak membawamu ke sini."

"Wah anak marketing bisa ge-er nih Mbak kalo dengar Pak Andri sampai memujinya. Iya Mbak itu semua karena kekompakan anak-anak marketing mbak. Rini senang sekali bekerja di sini dan bekerja sama dengan mereka. Oh iya, ini Rini juga mau ke ruangan Pak Andri. Nggak apa-apa kah Mbak Rini ganggu? Kalau Mbak Nuri keberatan Rini bisa menunda berkas-berkas ini," katanya sambil mengangkat berkas di tangannya.

"Tidak apa-apa, Rin. Justru Mbak yang ganggu, ini kan masih jam kerja ... Hmmm ... Rin, gimana kabar ibu kamu dikampung?"

"Alhamdulillah baik, Mbak. Sejak Rini bekerja, ibu juga sudah mulai sehat kembali dan tidak berurusan lagi dengan para rentenir itu. Sekali lagi terima kasih Mbak atas kebaikan hati Mbak Nuri mau membawa saya kesini dan menerima saya bekerja," ucapnya. 

Kondisi Rini dan ibunya memang sangat memprihatinkan dulunya. Mereka setiap hari diteror oleh rentenir yang menagih hutang almarhum ayah Rini yang semasa hidupnya suka bermain judi. Ibunya sakit-sakitan dan kurus kering memikirkan nasib mereka, bahkan Rini hampir saja dibawa paksa oleh rentenir untuk jaminan hutang ayahnya. 

Beruntung pada saat itu kami sekeluarga kebetulan lagi berkunjung ke rumah ibu. Mas Andri kemudian bernegosiasi dengan rentenir itu meninta waktu pelunasan hutang ayah Rini. Kemudian aku menawarkan Rini untuk ikut denganku ke kota kami mencari pekerjaan yang layak. Dan akhirnya di sinilah dia, setelah aku merengek pada Mas Andri agar mencoba menerima Rini bekerja di perusahaan mas Andri. Walaupun Rini hanya berijazah SMU namun dia gadis yang jujur. Bukankan kejujuran adalah modal utama, ilmu yang lain bisa dicari dan dipelajari. Dan Ternyata dugaanku benar, Rini sukses membawa perubahan pada perusahaan Mas Andri terutama divisi marketing. Ide-ide marketingnya sangat cemerlang dan selalu sukses. Itu yang kudengar dari cerita suamiku.

Tak terasa langkah kami sudah sampai di depan ruangan mas Andri. 

"Rini tunggu di sini aja ya Mbak, nggak enak ganggu," katanya berhenti dan duduk di kursi tunggu di depan ruangan.

"Masuk aja Rin, urusan pekerjaan lebih utama dari urusan Mbak. Ayok masuk sama-sama," sahutku sambil menggandeng tangannya.

"Assalamualikum ...." Mas Andry menoleh ke pintu, kulihat dia sedikit terkejut melihat kedatanganku dan Rini.

"Walaikumsalam, kok bisa bareng Rini, Dik?" Senyumnya merekah.

"Iya Mas, tadi ketemu di lift. Aku duduk di sofa. Mas selesaikan saja dulu urusan dengan Rini. Aku nunggu di sini," kataku sambil menunjuk berkas-berkas ditangan Rini.

Rini kemudian duduk berhadapan dengan Mas Andri dan mulai menjelaskan sesuatu. Aku pura-pura melihat ke arah tv namun ekor mataku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mas Andri terlihat bererapa kali mengangguk dan menandatangi berkas. Namun sesekali mereka saling menatap kemudian sama-sama tertunduk kembali. Ingin rasanya aku bertanya tentang kejadian beberapa hari lalu di restoran serta memberitahu pengakuan Aldy pada keduanya. Tapi kutahan semua pertanyaan di benakku. Aku harus menyelidiki lebih jauh, aku tidak mau gegabah ataupun berburuk sangka. Apalagi Rini terlihat sangat menghormatiku.

“Mbak, Rini pamit ya. Sampaikan salamku pada Aldy dan Nanda ya mbak. Rini kangen celotehan mereka,” kata Rini berdiri setelah urusannya dengan Mas Andri selesai.

“Baik Rin, nanti Mbak sampaikan salam dari Tante Rini-nya. Oiya Rin, Mbak mau nanya sesuatu ke kamu, tapi bukan sekarang dan bukan di sini. Kapan-kapan Mbak main kerumahmu ya Rin, masih di alamat yang dulu kan?” tanhaku. 

Rini terlihat terkejut lalu menoleh sekilas ke arah Mas Andri. Mas Andri pun terlihat menatap sekilas pada Rini. Aku terdiam, ada rasa sakit di dadaku melihat interaksi mereka saling menatap sekilas. Mungkin pemandangan ini adalah pemandangan biasa bagiku seandainya tidak melihat kejadian beberapa hari lalu Mas Andri menggandeng tangan Rini.

“Maaf Mbak, Rini lupa mengabari Mbak. Rini sudah pindah sekitar sebulan yang lalu Mbak. Nanti Rini kirim alamat barunya ke W******p Mbak Nuri ya,” jawabnya, suaranya agak pelan dibanding tadi saat berpamitan.

“Oh ya? Kamu pindah kontrakan Rin? Kok nggak bilang-bilang sih, untung aja Mbak belum nongol ke rumah lamamu. Wah kebetulan ini mbak mau sekalian liat kontrakan barumu Rin, lebih dekat dari kantor kah sampai Rini memilih pindah. Padahal kontakanmu yang dulu asik loh Rin, daerahnya aman dan tetangganya juga baik-baik kan."

Sekali lagi Rini menoleh ke arah Mas Andri.

“Rini tidak ngontrak lagi, Dik. Perusahaan memberikan bonus rumah padanya karena Rini berhasil memenangkan proyek besar dua bulan yang lalu. Maaf, Mas juga lupa mengabarkannya padamu. Kapan-kapan kita boleh berkunjung kesana bersama anak-anak." Mas Andri menjelaskan.

Hatiku kembali merasa perih. Banyak yang tidak kuketahui tentang mereka berdua. Aku harus mencari tau, entah mengapa aku merasa mereka berdua seperti salah tingkah dan menyembunyikan sesuatu dariku. Aku menganggukkan kepala, tak sanggup lagi menjawab apapun kepada Rini maupun Mas Andri. Sungguh banyak sekali yang ingin kutanyakan pada Rini, pada Mas Andri, namun aku takut bibirku bergetar dan air mataku mengalir, sekuat tenaga aku mencoba berusaha tenang.

“Yuk Dik, kita berangkat sekarang. Dan Rini tolong kamu handle pertemuan divisi marketing hari ini ya. Aku percayakan padamu," sahut Mas Andri kembali.

Bersambung.

Kemana kah Nuri dan Andry?

Dan apa yang disembunyikan Rini dari Nuri?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Udah ditolongin nikung pula berhijab pula ckckck
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status