Share

BAB 7

Kumatikan mesin mobil kemudian menghela nafas untuk menguatkan hatiku. Aku melangkah ke arah rumah Rini. Kulihat Mas Andri duduk di kursi teras depan sedangkan Rini langsung berjalan ke arah pagar menyambutku.

"Assalamualaikum," sapaku. Aku merasakan suaraku bergetar saat mengucapkan salam.

"Walaikumsalam Mbak Nuri, ayo masuk mbak. Pak Andri ada di dalam," kata Rini.

"Walaikumsalam, Dik," sahut mas Andri hampir berbarengan dengan jawaban Rini.

Aku berdiri tepat didepan suamiku. "Kok ada di sini mas?" tanyaku menyelidik.

"Ayo kita masuk dulu, Sayang, tidak enak mengobrol di luar," kata mas Andri.

Akupun melangkah memasuki rumah Rini. Rumah yang menurutku lumayan bagus, sangat nyaman walaupun tidak begitu luas. Rumah ini terkesan elegan dengan penataaannya, dan yang pasti rumah ini bersih, rapi dan masih kelihatan baru.

Aku duduk di sofa di ruang tamu, empuk sekali, sofanya pun terlihat masih baru. Beruntung sekali Rini dihadiahi rumah senyaman ini oleh perusahaan. Tentu saja pencapaiannya juga fantastis sampai bisa mendapatkan reward satu unit rumah. 

Sejenak terlintas di benakku rumah Rini di kampung yang sangat sederhana. Kulihat Rini berjalan ke arah kami sambil membawa nampan berisi gelas minuman.

"Duduk di sini Dik, dekat Mas, jangan melamun aja dong."  Mas Andri membuka suara sambil menepuk sofa disebelahnya. Aku lebih memilih sofa di seberangnya.

"Silahkan diminum Pak Andri, Mbak Nuri," kata Rini sambil meletakkan nampannya. Aku tersenyum. 

Hening.

"Oiya Rin, ada apa ya manggil Mbak kemari. katanya kemarin ada hal penting yang mau disampaikan," kataku memecah keheningan. Rini melirik mas Andri sambil mengangguk. Bola mataku bergerak melihat ke arah Rini kemudian ganti ke arah mas Andri. 

"Biar Mas yang jelaskan ya, Dik." Mas Andri berbicara sambil memperbaiki duduknya, ia terlihat salah tingkah. Sejurus kemudian ia kembali tenang.

"Sebelumnya Mas minta maaf jika apa yang Mas ungkapkan ini akan melukai perasaanmu, Dik."

Jantungku memompa lebih cepat.

"Status Rini sekarang selain sebagai karyawan di perusahaan, juga adalah istri Mas."

Aku mematung.

"Mas sudah menikahi Rini sekitar tiga bulan lalu."

Badanku serasa terbang. Aku serasa tidak berpijak pada bumi lagi.

"Maafkan Mas baru mengatakannya sekarang. Sebenarnya Mas menunggu saat yang tepat, tapi sepertinya kamu sudah mulai mencari tau sendiri. Mas tau kamu bukan wanita bodoh, instingmu  sebagai istri pasti sudah merasakannya. Sekali lagi maafkan kami. Mas punya alasan kuat menikahi Rini. Mas akan menjelaskan sejelas-jelasnya jika adik meminta penjelasan," sambungnya lagi.

Hening.

Aku kehilangan kekuatan. Aku tetap mematung. Bahkan air mataku tidak bisa menetes, padahal hatiku telah basah dengan air mata.

"Mbak Nuri ...." Rini meraih tanganku. Wajahnya terlihat khawatir. Aku sendiri tidak mengerti dengan tubuhku. Rasanya aku ingin menangis, ingin teriak, ingin memaki mendengar pengakuan langsung dari mulut suamiku bawha dia telah menikah dengan wanita lain. Ingin menerkam dan mencabik-cabik merka berdua, bahkan ingin melenyapkan mereka berdua sekarang juga. Tapi, tubuhku bergeming, aku bahkan tidak punya kekuatan sedikitpun untuk bergerak. Beberapa detik tubuhku mematung. Aku seolah kehilangan diriku sendiri.

"Astaghfirullahaladzim." susah payah kuucapkan istighfar berkali-kali. Kumulai dari mengucapkannya dalam hati hingga akhirnya terucap oleh bibirku yang bergetar. Akhirnya sedikit demi sedikit aku kembali mulai bisa menguasai diriku. Sungguh menyebut nama Allah adalah sumber kekuatan terbesar dalam situasi apapun.

"Meminta penjelasan katamu Mas? Kamu mengaku menikahi Rini dan mempertanyakan apakah aku akan meminta penjelasan? Aku tak butuh penjelasan dan pembelaan atas nafsu kalian. Kamu gila Mas. Kamuuu ...." Aku kembali kehilangan kata-kata. "Dan kamu Rin ... kamu sudah kuanggap adikku bahkan kuanggap sahabatku, kenapa kamu tega berbuat seperti ini padaku? Apa sebenarnya yang ada di pikiran kalian berdua." Aku menatap tajam pada Rini kemudian pada Mas Andri. Mas Andri bergeser berpindah duduk ke sampingku, tangannya terulur hendak meraih pundakku. Segera kutepis tangannya menjauh.

"Jangan seperti ini Sayang, Mas benar-benar minta maaf jika ini menyakitimu."

"Jika ini menyakitiku? Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan Mas? Kamu menikahi Rini, kalian mengkhianatiku!!!" Aku berteriak dengan lantang.

Mas Andri kembali ingin menggapai pundakku dan kembali kutepis tangannya, kali ini dengan hentakan kasar aku menepisnya. Mas Andri menatapku, matanya terlihat sayu.

Aku menoleh ke arah Rini, kulihat dia menangis sesegukan. Pundaknya naik turun. Tidak ada satu kalimat pun yang keluar dari bibirnya. 

"Hehhh kamu Rin! Aku yang tersakiti di sini. Aku yang dikhianati oleh kalian berdua. Kenapa kamu yang menangis. Apa maumu hah?? Belum cukupkah kebaikanku selama ini padamu. Kalau aku tidak merebutmu dari cengkraman rentenir itu mungkin sekarang kamu sudah dijual oleh mereka. Mungkin sekarang kamu sudah dijadikan wanita pemuas nafsu oleh mereka. Lalu sekarang suamiku pun kau rebut dariku!!! Jangan berpura-pura polos di depanku perempuang j*lang!!!" Aku berteriak melotot padanya. Aku telah dikuasai amarah, walaupun hati kecilku menolak. Tidak seharusnya aku mengungkit-ungkit kebaikanku padanya. Maafkan aku ya Allah jika keikhlasanku menolongnya harus ternoda oleh lisanku sendiri.

"Maafkan Rini, Mbak. Sekali lagi maafkan Rini. Rini tidak akan membela diri, di sini Rini yang salah sudah menyakiti Mbak Nuri. Rini pun sakit melihat Mbak Nuri seperti ini. Maafkan Rini, Mbak." Rini terisak-isak di hadapanku.

"Munafik kamu Rin, di depanku kau bersikap baik tapi kau menusukku dari belakang. Kau tidak tau terima kasih, Rin. AKU MEMBENCIMU!!! DASAR PEREMPUAN MUNAFIK!!" Suaraku bergetar. Aku baru menyadari tangan Mas Andri sedang mengusap pundakku. Kembali kutepis tangannya dengan kasar.

"Astaghfirullah, istighfar, Dik. Jangan mengotori lisanmu Sayang." Suara mas Andri lembut namun serasa hambar di telingaku. Tiba-tiba aku merasa muak mendengar suaranya.

"Maaf Mbak ... maafkan Rini." Rini masih menangis dan sesegukan.

"Percuma kamu meminta maaf Rin, kamu juga Mas. Ribuan kali kata maaf dari bibir kalian pun sudah percuma. Kalian sudah berhasil melukaiku sangat dalam," ucapku menatapnya tajam.

"Asal kalian berdua tau, sakitnya Aldy beberapa hari yang lalu penyebabnya adalah karena tekanan batin. Dokter bahkan menyarankan aku membawanya ke psikiater karena yang sakit adalah jiwanya yang kemudian berimbas pada fisiknya. Apa kalian tau penyebabnya? Aldy bercerita sambil menangis di depanku bahwa dia beberapa kali melihat papanya dan tante Rini jalan berdua." Aku berhenti sesaat.

Kulihat ekspresi mas Andri seperti terkejut. 

"Aku tidak akan membiarkan kalian menyakiti anak-anakku. Kalian boleh saja tidak mempedulikan perasaanku, tapi jangan pernah menyakiti batin anakku." Aku berdiri meraih tasku. 

Aku menoleh sekali lagi pada Mas Andri. "Kalian berdua pengecut, apa maksud kalian menyuruhku ke sini ke sarang madumu untuk membongkar kebusukan kalian di sini. Mana wibawamu sebagai suami Mas?" 

Aku tidak mau lagi berlama-lama di sini. Aku muak, aku sakit, hatiku berdarah-darah dengan pengakuan mereka. Aku berlalu tanpa mengucapkan salam. Rini masih terus menangis sesegukan, dia tak berkata apapun lagi. Sementara Mas Andri berdiri dan menyusul langkahku.

"Dik, masuklah ke mobil Mas. Jangan menyetir dalam kondisi seperti ini, sangat membahayakan keselamatanmu," ajaknya.

"Sudahlah Mas, jangan pedulikan aku lagi. Uruslah istri mudamu yang lagi menangis itu, dia pasti membutuhkan belaianmu," ucapku sinis. Mas Andri menggeleng, kemudian tangan kanan memegang keningnya dan tangan kirinya di pinggang, lalu memejamkan matanya sesaat. Gaya khas mas Andri jika lagi ada masalah, lagi berpikir keras atau lagi pusing. Hahhhh ... pusing ... dia pusing karena kelakuannya sendiri, karena nafsunya. Aku berlalu dari hadapannya. 

Aku memasukkan kunci mobil dan menyalakan mesin. Kuremas kuat-kuat  setir mobilku berusaha mengumpulkan kekuatan. Aku beristighfar berkali-kali mengharapkan kekuatan dari Tuhanku. Aku harus fokus, jarak dari sini ke rumahku memerlukan waktu sekitar 20 menit. Kujalankan mobilku perlahan setelah membaca Bismillah. Saat mencapai jalan besar setelah keluar dari kompleks perumahan Rini aku melihat dari spion ada mobil mas Andri mengikutiku dari belakang.

***

"Assalamualaikum," lirihku sambil membuka pintu depan.

"Walaikumsalam," jawab Bi Ina menoleh kearah pintu. Bi Ina terkejut melihatku, penampilanku sekarang pasti sangat kusut. Aku mengangguk dan tersenyum padanya, mengisyaratkan kalau aku baik-baik saja.

"Anak-anak mana, Bi?"

"Nanda lagi main di depan tv bu, kalau abang ada di kamarnya, tadi cuma keluar sewaktu makan siang."

Aku menghela nafas, alhamdulillah aman. Aku tak mau anak-anakku melihatku dalam kondisi begini. Terlebih Aldy, dia pasti akan langsung menanyakan apa yang terjadi.

Aku berdiri di bawah shower, mengguyur tubuhku dengar air. Air dingin menembus kulitku sedikit memberikan sensasi rileks. Air mataku tumpah berbaur dengan air dari shower, aku tergugu, aku menangis meratapi nasibku. 

Puas dengan kegiatan membersihkan diri, aku keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamar utama ini. Kulihat mas Andri duduk menunduk di tepi ranjang.

Huhhhh, tak bisakah lelaki ini membiarkanku rileks sebentar saja. Melihatnya membuat hatiku kembali bergejolak. Dia mendogakkan kepalanya menyadari kehadiranku.

"Tolong tinggalkan aku sendiri Mas." 

"Mas takut kamu bertindak nekat Dik, Mas ingin menjagamu, tolong kendalikan dirimu. Jangan berbuat yang tidak-tidak," ucapnya.

Aku menghembus nafas kasar.

"Maksud Mas aku akan nekat bunuh diri? Tenang saja Mas, aku masih punya iman di dadaku. Aku juga punya anak-anak yang membutuhkanku. Jika ada yang hendak kubunuh sekarang, itu adalah kamu dan istri mudamu," sahutku dengan suara tegas.

"Dik, tolong dengarkan penjelasan Mas. Kita perlu waktu bicara empat mata."

"Kenapa baru sekarang kamu mengajakku bicara empat mata Mas? Kenapa bukan sebelum kamu menikahinya?" Emosiku meluap. Aku meraih gelas di atas nakas dan melemparnya ke dinding.

PRANGGG!!! 

Mas Andri kaget, ia menatapku sayu, sekilas kulihat ada air mata yang jatuh dari pelupuk matanya.

"Baiklah, Mas akan memberimu waktu. Marah itu manusiawi Dik, tapi jangan biarkan setan menang dengan membiarkan kemarahan terlalu lama menguasaimu. Mas pergi dulu, jaga dirimu dan anak-anak. Mas menyayangi kalian." Lelaki itu berlalu kearah pintu.

"Abang ...." Kulihat ekspresi terkejut Mas Andri tepat di depan pintu kamarku.

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
laki "brengsek rini biadab ,karma berjalan pengkhianst paling terbenci
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status