Suami Miskinku di Ruang Nasabah Prioritas
Part 7"Soal yang katanya kamu mau dijodohkan sama anak juragan jengkol, yakin kamu gak mau nikah sama dia? Dia pasti mau kok meski sekarang kamu udah punya anak Rin. Kamu 'kan masih muda, cantik dan kuat.""Astagfirullah Ibu, apaan sih. Mikirnya kok sampai ke sana? Jelas aja Arin gak mau, Bu. Jangankan sekarang saat anak udah mau anak dua. Andai Arin jadi janda sekali pun, Arin gak akan mau nikah sama dia," terangku panjang lebar."Loh kenapa? Kan dia kaya raya Rin, gak seperti anak Ibu yang hanya ...." Ibu mertua berubah sedih.Aku cepat mengusap bahu beliau."Gak penting Bang Jaya orang kaya atau bukan Bu, karena bagi Arin, Bang Jaya itu spesial. Lebih dari siapa pun. Dan posisinya jelas gak akan bisa digantikan oleh siapa pun. Jadi tolong berhenti nyebut-nyebut nama lelaki lain ya, Bu. Kita fokus aja ke kehidupan kita. Keluarga kecil kita. Nuna yang lagi lucu-lucunya dan utun yang berapa bulan lagi akan siap meramaikan rumah kita juga. Oke, Bu?"Ibu mertua senyum getir sambil manggut-manggut, "terimakasih Nak, terimakasih. Kamu emang berbeda. Gak salah pilih berarti anak Ibu menikahimu. Semoga kamu bisa tetap seperti ini ya, Nak." Ibu mertua menatapku dalam.Aku membalas dengan senyuman lebar."Ya pasti dong Bu, emangnya menantu Ibu ini mau berubah jadi apa? Wonder Women? Atau ... Kuntilanak? Hahaha." Aku terbahak."Issshh kamu nih." Ibu mertua mendorong halus bahuku sambil ikut terbahak juga akhirnya."Ya udah ya Bu, Arin istirahat sebentar ya, bentar lagi mau Ashar soalnya," pamitku akhirnya."Iya. Ya udah gih."Aku masuk ke dalam kamar dan ikut berbaring di ranjang sebelah Bang Jaya dengan posisi Nuna di tengah-tengah.Suamiku kayaknya kecapekan banget, dia udah langsung pelor aja soalnya.Ting!Aku baru akan memejamkan mata saat ponsel Bang Jaya berdenting di dekat kepalaku. Kuangkat pelan dan iseng melihat pesan di layar pop upnya.Pesan dari ibu mertua ternyata.[Kamu emang gak salah pilih istri. Ibu makin yakin sekarang.]Keningku mengerut diikuti senyuman yang mendadak melengkung di bibirku. Aheeuuy.***Esok hari."Beberapa hari lalu saya lihat kamu lagi ada di bidan Rin, lagi ngapain?" tanya Bu Juli, tetangga rumah.Pagi ini kami sedang berbelanja sayur di gerobaknya Mang Naim."Oh iya, lagi periksa Bu, Arin lagi isi lagi.""Eh serius? Isi lagi? Hamil maksudnya?" Bu Juli nampak terkejut."Iya. Kenapa?""Anak kamu si Nuna 'kan masih kecil Rin," timpal Bu Titi, tetangga rumah juga."Oh ya gak apa-apa, 'kan ada mertua yang bantu jagain.""Bukan masalah itu loh. Maaf ya, emang kamu gak takut nanti anak-anakmu itu kekurangan gizi? Maksudnya ... biaya besarin satu anak aja gede loh Rin, eh ini malah mau nambah lagi. Sementara kerjaan suami kamu aja masih serabutan."Aku terhenyak, dan baru akan menanggapi saat Bu Titi lebih dulu nyerobot."Iya bener. Anak saya tuh sampe sekarang masih belum berani loh buat hamil, karena katanya masih nabung buat besarin anaknya. Kamu itu pasti entar susunya juga harus dibantu pake susu formula Rin anakmu yang pertama itu.""Iya. Mana mahal pula kalau susu formula tuh. Eh ada sih yang murah dan bisa aja minta subsidi ke pemerintah, tapi itu juga kalau dikasih ya haha." Bu Juli terbahak-bahak.Aku mulai geram."Lagian kamu tuh kok mau-maunya aja sih jadi mesin pencetak anak? Kamu 'kan masih muda. Nikah juga baru kemaren sore istilahnya, tapi anak udah mau dua aja," timpal Bu Titi lagi.Aku benar-benar geram dan tak tahan lagi."Saya tahu kok Bu, saya tahu biaya besarin anak itu mahal. Bukan cuma susu formulanya aja, tapi biaya vaksin dan lain-lainnya juga mahal. Tapi karena saya udah persiapan, makanya sekarang saya mantap ha mil lagi. Jadi ibu-ibu tuh gak usah ya repot-repot ngurusin hidup saya, karena saya juga udah persipkan dengan matang," tandasku sebelum akhirnya aku pergi dari hadapan mereka setelah membayar belanjaanku lebih dulu."Hih, kesel banget deh. Apaan sih, pada julid amat jadi orang," gerutuku kesal."Kenapa lagi Rin?" tanya mertua yang sedang sibuk mengasuh Nuna di ruang tv."Biasa emak-emak julid Bu, bikin kesel aja. Masa tadi Arin diceramahin soal biaya gedein anak. Ya mungkin niat mereka baik, mau ngingetin, tapi 'kan gak harus di depan banyakan orang juga. Mana pake nanya segala katanya nanti anak-anak Arin mau dikasih makan apa? Malu banget Arin, gak ada adab banget tuh Bu Juli sama Bu Titi.""Masa sih? Bentar biar Ibu yang labrak mereka." Mertua cepat bangkit setelah meletakan Nuna pada pangkuanku.Kubiarkan saja. Biar Bu Juli dan Bu Titi para tetangga rempong itu tahu rasa."Kalian jangan pada ngomong gitu dong sama menantu saya. Dia itu lagi hamil muda, kalau stres akibat omongan kalian, gimana? Mau tanggung jawab kalian, hah?!"Kudengar suara mertuaku menggelegar di luar. Haha rasian tuh Bu Juli-pet sama Bu Titi-pan setan. Kena omel mertuaku yang galak baru tahu rasa kalian. Rese sih ngurusin hidup orang."Ya biarin aja. Suka-suka dia. Lagian mau dia hamil berpuluh-puluh kali pun, emang kami nyusahin ibu-ibu? Nggak 'kan?!" teriak mertuaku lagi.Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 8Karena kedengaran makin sengit, aku pun bangkit menengok dari kaca jendela. Mertuaku masih ngomel-ngomel dan adu mulut rupanya sama ibu-ibu rempong itu.Ah, aku jadi terharu. Entah kenapa, mertuaku sebaik itu. Beliau bahkan bersikap layaknya seorang ibu kandung yang sedang membela anaknya."Rin." Aku mengerjap dan cepat mengusap sudut mata yang sudah basah.Bang Jaya tiba-tiba sudah ada di dekatku. Dia baru pulang. Aku sampai tak sadar saat dia naik ke teras."Kenapa? Ngapain di sini?""Gak apa-apa, Bang. Tumben udah balik jam segini?" Aku balik bertanya."Gak, Abang cuma mau ngasih ini buat kamu. Terus mau berangkat lagi." Bang Jaya memberikanku plastik dari minimarket yang setelah kutengok ternyata isinya beberapa dus susu ibu hamil."Abang beli susu ibu hamil sebanyak ini? Duitnya dari mana? Abang 'kan baru jalan.""Adalah tadi Abang dapet rejeki," jawabnya santai. "Rejeki dari mana, Bang? Ini 'kan susu mahal. Terus Abang juga 'kan
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 9Tak punya harta maksudnya. Tapi kalau soal hati dan lainnya, mereka kaya banget."Ah kamu nih, sabar dong Jay, tinggal dikit lagi rencan-""Ehek ehek ehek." Nuna terbangun.Aku tepok jidat. Astagfirullah Nak, kenapa mesti bangun sekarang sih? Tanggung dah ah 'kan jadinya.Karena Nuna udah terlanjur bangun, cepat aku menggendongnya dari atas kasur. Tak lama Bang Jaya juga masuk ke dalam kamar."Nuna bangun ya Rin?""Iya, Bang." "Sini. Biar Abang yang gendong. Kamu mandi aja gih takut belum mandi."Aku mengangguk dan buru-buru pergi ke kamar mandi. Selesai melakukan ritual bersih-bersih yang terhitung hanya 3 menitan itu aku gegas balik ke kamar. Udah punya anak gak ada banget waktu buat lama-lama di kamar mandi. Gak tenang aja rasanya. Takut Nuna nangis. Padahal ada mertua sih yang jaga. Tapi tetep aja gak tenang."Udah sana pergi. Jangan-jangan bener apa kata Mbak Mumun, perempuan itu emang gak tahu malu. Sini biar Nuna Ibu yang jaga.
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 10Aku akhirnya urung mengejar ibuku. Sementara Mas Agas cepat menghampiri kami."Kamu gak apa-apa Rin?" tanyanya dengan wajah yang agak cemas."Gak apa-apa," jawabku kecut."Maaf ya Rin, Mas gak tahu Ibu bakal marah-marah gitu. Tahu gitu Mas gak akan anter Ibu ke sini."Aku hanya diam."Mau Mas anter ke dokter gak? Takutnya kenapa-kenapa sama janin kamu.""Apaan sih gak usah," ketusku."Agaasss! Buruan balik. Ngapain sih kamu masih di sana. Ketularan miskin baru tahu rasa kamu!" teriak Ibuku dari luar pagar.Astagfirullah. Andai bukan ibuku, udah kulakban saja mulutnya itu. Bikin malu."Ya udah kalau gitu Mas permisi ya Rin," pamit Mas Agas kemudian.Aku tetap diam sambil membuang muka. Mas Agas berbalik badan dan baru akan pergi saat ibu mertua kembali memanggilnya."Agas.""Ya, Bu?" sahutnya sambil kembali memutar badan ke arah kami."Bilang sama mertuamu itu, andai besok kami jadi orang kaya, maka haram hukumnya dia menginjakan kaki d
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 11Aku menarik napas berat. Ibu mertua ternyata sengaja bela-belain pindah ke rumah Bu Sabeni supaya bisa nunjukin kehidupanku setelah ibuku hina tadi pagi. Ya ampun, segitu sayangnya ibu mertua padaku."Dan kalau soal bersih-bersih rumah kamu juga gak perlu khawatir, karena nanti akan ada yang bantuin kita di rumah ini," kata Ibu mertua lagi.Keningku mengerut, "hah ada yang bantuin, Bu? Siapa?""Ada pokoknya nanti datang. Dia yang akan jadi ART kita di sini.""ART?""Iya ART, kenapa? Kamu kayak gak percaya gitu."Aku nyengir, "hehe bukan gitu Bu, tapi apa gak salah kita pakai ART?""Nggak. Emangnya kenapa?"Aku menggigit bibir, "bukannya ART itu mahal ya, Bu? Sayang 'kan uangnya.""Halah gak apa-apa, yang penting ada yang bantuin kita," respon mertua santai sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya.Lagi, aku mengigit bibir."Bu, maaf nih ya sebelumnya. Emang sih kalau ada ART itu nanti kita jadi ada yang bantuin, tapi masalahnya, em
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 12 "Maaf Ibu, tapi kami gak punya wewenang memberi diskon, semua harga sudah ditentukan oleh pemilik toko," kata si Mbak penjaga kasir lagi dengan sopannya."Halah, bisa kali diakalin. Nanti bilang aja busuk atau gimana kek. Nih duitnya." Mbak Opi lalu menaruh selembar uang berwarna biru ke atas meja kasir."Loh Bu, tapi ini kurang Bu, totalnya 85 ribu semua belanjaannya. Ibu jangan gitu doang, karena kalau kurang nanti saya yang harus gantiin." Si Mbak kasir mulai panik."Nggak pokoknya saya mau nawar. Kamu bilangin aja deh ke pemilik tokonya. Saya anak temennya gitu. Pasti dikasih kok."Mbak Opi pun menenteng plastik berisi sayur mayurnya dan baru akan keluar saat si Mbak kasir dengan cepat menghadang."Bu, jangan dibawa dulu Bu, lunasi dulu kurangnya, 35 ribu lagi," kekeuhnya."Halah apaan. Cuma brokoli yang udah merah aja masa harganya mahal banget. Udah tuh saya udah bayar. Awas, saya mau balik," paksa Mbak Opi. Tapi sekuat tenaga s
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 13POV OPIHeh, beneran? Beneran itu si Arini naik mobil bagus terus masuk rumah Bu Sabeni? Mau ngapain dia ke sana? Terus itu mobil siapa yang dinaikinya?Setelah bengong beberapa menit sambil terus menatap rumah Bu Sabeni, buru-buru aku masuk lagi ke rumah ibu."Bu!"Ibu yang sedang memijit pelipisnya mengecap bibir sambil merespon malas, "ck apalagi?" Aku cepat duduk di dekatnya."Bu, si Arin ngapain masuk ke rumah Bu Sabeni?"Ibu melirik tanpa bicara, dia tampak masih kesal padaku."Bu, Opi nanya," kataku lagi."Ya nggak tahulah Opi, kamu kira Ibu ngurusin dia?""Tapi Bu, tadi si Arin naik mobil ke rumah Bu Sabeni, katanya itu rumah baru dia."Lagi, ibu mengecap bibir dengan tatapan yang masih kesal padaku."Opi serius, Bu. Ayo Bu, Ibu harus lihat sendiri kalau Ibu gak percaya." Kupaksa ibu bangkit lalu menariknya ke teras."Apa sih kamu Opi! Ngapain sih tarik-tarik Ibu gini? Lepasin," sergah Ibu."Bu, coba Ibu lihat, itu si Arini n
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 14"Loh Bu! Bu! Bayar dulu!" teriak Bang Ujang."Biar saya yang bayar. 10 rebu 'kan?" kataku cepat."12 rebu lima ratus, Mbak.""Loh kok nambah?""Kan sama tempe sepotong."Aku tepok jidat, "oh iya lupa."Cepat aku merogoh tasku yang masih tersampir di pundak. Berharap ada duit recehan bekas parkir di sana.Tapi sial. Di tasku bener-bener gak ada duit rupanya. Cuma sisa selembar yang sepuluh ribu tadi."Bang, scan QR bisa gak? Saya gak ada duit cash," tanyaku akhirnya. Sengaja aja aku beralasan."Gak bisa Mbak, duit cash aja.""Tapi di tas saya beneran gak ada duit cash Bang, gimana dong?" tanyaku lagi sambil sekali lagi mengobrak-abrik isi tasku.Bang Ujang menghela napas panjang, "haaah. Ya udah kalau gak ada saya masukin catatan hutang aja dulu Mbak," kata dia akhirnya. Ah syukurlah. Akhirnya Bang Ujang ngomong gitu juga. Gak apa-apalah namaku ada di catatan hutang dia, cuma dua rebu maratus doang kok."Nah gitu dong, nanti besok deh
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 15Aku mengerling kesal, "itulah, Opi juga kesel banget dan gak tahu harus ngomong apa lagi. Dia itu bener-bener gak ada otaknya sedikit pun. Udah tahu itu mobil satu-satunya kendaraan kami, eeeh malah dijual. Parah banget.""Lagi pula kok bisa sih kamu gak tahu suamimu itu masih nyicil rumah? Selama ini kamu gak dikasih tahu apa gimana?" cecar Ibu lagi dengan nada suara yang makin serius."Gak, Bu. Selama ini Mas Agas emang gak terbuka sama Opi. Apalagi soal keuangan. Gak tahu deh kenapa. Jadi selama ini Mas Agas cuma ngasih buat Opi belanja, itu aja. Selebihnya, soal berapa nominal tabungannya, berapa penghasilannya, Opi gak pernah tahu pasti. Yang jelas, kemarin-kemarin dia bilang tabungannya udah ludes, dia juga udah diputus kontrak kerja. Alhasil keuangan kami sekarang, ya gitu deh ...." Aku memijit kening sambil mengembuskan napas berat.Sementara Ibu geleng-geleng kepala, "ya ampun Opii, kok bisa sih si Agas sekarang bangkrut gitu?